“Aku harus ...,” kata Jessica lagi setelah menerima ultimatum, “bertahan.”Malam yang gelap tanpa bintang, seperti layar hitam yang menggantung di atas rumah besar milik Albian. Di ruang kerja yang luas dengan dinding berlapis kayu mahoni, suasana terasa tegang. Lampu gantung yang biasanya memancarkan kilauan hangat kini tampak suram, membentuk bayangan di wajah Albian yang berdiri dengan postur tegap di belakang meja kerjanya.Di seberang meja, Jessica duduk dengan dagu terangkat tinggi, mencoba mempertahankan harga dirinya. Namun, jemarinya yang mencengkeram ujung kursi menunjukkan kegelisahan yang tak mampu dia sembunyikan. Di sebelahnya, Julian duduk lebih santai, tetapi pandangan matanya menyapu ruangan, mencari tanda-tanda apa pun yang bisa memberinya kendali atas situasi ini.Benar, mereka berdua semakin tersudut, bahkan Julian diseret paksa oleh orang-orang Albian.Albian menatap mereka berdua dengan dingin, diam seolah sedang menakar berat dosa-dosa mereka. Suara detik jam di
Jessica menatap amplop di atas meja dengan mata lebar, tetapi tangannya gemetar, tak sanggup membukanya. Julian, di sisi lain, memutar otak dengan cepat, mencoba mencari celah untuk menyelamatkan diri dari situasi ini. Dalam keheningan yang mencekam, detik jam di dinding terdengar semakin keras, seolah menghitung mundur waktu mereka. “Kamu pikir dia benar-benar punya semua bukti itu?” bisik Jessica, memecah keheningan. Suaranya hampir tidak terdengar, seperti desis ular yang berusaha menahan amarah. Julian mendengkus, tetapi ada nada gugup dalam tawa kecilnya. “Dia mencoba menggertak kita. Albian memang pintar, tapi tidak mungkin dia tahu semuanya.” Jessica memutar matanya, melirik lelaki itu dengan sinis. “Kamu bilang dia tidak akan tahu apa pun tentang dokumen-dokumen itu. Tapi lihat di mana kita sekarang!" Julian mengangkat bahu, mencoba menjaga ketenangannya. “Kita hanya perlu tetap tenang. Jika dia punya bukti sebanyak yang dia klaim, dia tidak akan memberi kita waktu untuk b
Langit sore memerah, seolah-olah matahari ikut merasakan tekanan yang menghimpit Jessica. Di dalam rumah mewah yang biasanya terasa seperti benteng tak tergoyahkan, kini suasananya mencekam. Jessica duduk di ruang tamu, jemarinya sibuk meremas-remas kain sofa. Pikirannya berputar-putar, mencari celah di antara semua kekacauan yang ia ciptakan sendiri.Di depannya, Julian berdiri diam, tatapannya kosong menatap ke luar jendela. Dia tahu bahwa pertahanan mereka telah runtuh. Mereka telah kehabisan waktu.“Apa kamu yakin ini keputusan terbaik?” Suara Jessica terdengar serak, penuh keraguan.Julian menoleh, wajahnya tak menunjukkan belas kasihan. “Apa pilihan lain yang kamu punya, Jessica? Melarikan diri? Kamu tahu Albian nggak akan ngebiarin kita pergi gitu aja.”Jessica menghela napas panjang, tubuhnya bersandar ke sofa. “Aku nggak pernah berpikir semuanya akan berakhir seperti ini.”“Nggak ada yang pernah berpikir begitu,” Julian menjawab dingin. “Tapi itulah kenyataannya.”Ketika mala
Langit tampak cerah seolah-olah menyambut awal baru dalam hidup Albian. Di ruang kerjanya yang luas, dia berdiri di depan jendela besar, memandang taman yang hijau dan rapi. Namun, pikirannya tidak sedang menikmati keindahan itu. dia memikirkan langkah terakhir yang harus dia ambil untuk menutup babak kelam yang telah mengoyak hidupnya.Di meja di belakangnya, dokumen perceraian tergeletak rapi, menunggu tanda tangannya. Hanya ada satu nama yang tertinggal di kolom kosong itu: miliknya. Jessica sudah menandatangani dokumen tersebut kemarin, dengan tangan yang gemetar dan ekspresi wajah yang penuh kekalahan.Albian menghela napas panjang. Tangannya menggenggam pena yang terasa berat, seakan keputusan ini tidak hanya memutuskan hubungan pernikahan mereka, tetapi juga menutup semua harapan yang pernah dia miliki terhadap wanita yang dulu dia cintai.Seminggu sebelumnya, Albian telah bertemu dengan tim pengacaranya. Mereka membahas semua rincian perceraian—pembagian aset dan semua hal yan
Embusan angin sore menyapu lembut wajah Sonia saat dia duduk di samping rumah, memandangi taman yang tampak jauh lebih hidup dari sebelumnya. Burung-burung berkicau ceria di atas dahan pohon, bunga-bunga bermekaran, dan udara terasa segar. Namun, yang paling berarti bagi Sonia adalah ketenangan di hatinya yang perlahan mulai tumbuh sejak kepergian Jessica.Jessica, dengan segala intrik dan kepalsuannya, akhirnya menjadi bagian dari masa lalu. Tidak ada lagi ancaman, ejekan, atau permainan licik yang membuat Sonia merasa terpojok di rumah ini. Untuk pertama kalinya, rumah ini benar-benar terasa seperti tempat berlindung yang nyaman.Albian yang sedang sibuk di kantornya memastikan bahwa Sonia memiliki waktu untuk menikmati hari-harinya tanpa gangguan. Lelaki itu bahkan dengan sengaja mengurangi jadwal pekerjaannya agar bisa lebih sering berada di sisi Sonia. Perhatian kecil itu membuat Sonia merasa dihargai, sesuatu yang dulu jarang dia rasakan.Ketika Sonia sedang memetik bunga mawar
Hari itu, awan berarak di langit melukiskan gradasi kelabu yang mendalam. Sonia duduk di ruang tamu dengan secangkir teh hangat di tangannya, menanti kedatangan Megan. Dia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam percakapan terakhir mereka di telepon. Suara Megan terdengar berat, seperti menyimpan beban yang selama ini dia pendam.Selain itu, Sonia merasa lelah dan tidak ingin melamun sendirian. Dalam keadaan perut yang membesar, dia betul-betul sulit bergerak. Kali pertama, itu alasannya. Para ART yang dia percayai pun selalu sibuk dengan pekerjaan mereka.“Bu Sonia, ada tamu,” kata salah seorang pelayan—Kamila—membuyarkan pikiran wanita berbadan dua itu. Sonia segera memperbaiki posisi duduk dan meminta Kamila membuka pintu. Benar saja, Megan berdiri di sana dengan senyuman kecil yang terasa dipaksakan sebelum melangkah masuk dan mengempas bokong di sofa ruang tamu tepat di hadapan Sonia.Sudah dua hari berlalu sejak Sonia berkunjung ke rumah ibunya. Di saat itu pula dia merasa Megan m
Seperti biasa ketika pagi telah tiba, Albian akan disibukkan dengan pekerjaan. Pertama setelah bersiap adalah sarapan. Lelaki itu tidak bisa melakukannya dengan santai—sambil berbincang hangat. Di telinga ada earphone karena seseorang menghubunginya.Sonia hanya bisa menggelengkan kepala ketika lelaki itu pergi setelah mengecup puncak kepalanya. Benar-benar sibuk dan hampir tidak ada waktu mengobrol berdua. Indah yang melihat mereka hanya bisa tersenyum."Beruntung bukan Bu Sonia yang pergi dari sini. Sejak awal Bibi khawatir," celetuk Bi Sumi mengusik perhatian wanita yang sedang mengelus perut buncitnya itu."Iya, aku masih ingat pas pertama datang ke sini, Bi. aku kira Bi Sumi itu ngerasa iri. Duh, maaf karena aku suudzon sama Bibi, tapi aku ngira Kak Jes itu baik," balas Sonia tersenyum tulus."Iya, Bu. Bibi juga udah menduga karena Bu Jessi emang pandai memanipulasi orang.""Ngomong-ngomong, kenapa aku jadi dipanggil Ibu, nih?"Indah dan Kamila mendekat lantas salah satu dari mer
Udara di ruang bersalin dipenuhi ketegangan bercampur harapan. Albian berdiri di samping ranjang Sonia, memegang tangannya yang dingin tetapi bergetar karena usaha keras melahirkan. Wajah Sonia yang biasanya tenang kini berkerut, keringat bercucuran dari dahinya. Napasnya terengah-engah, seolah setiap tarikan adalah perjuangan yang tidak berujung.Sebenarnya Albian meminta wanita itu untuk melahirkan secara caesar saja, tetapi Sonia menolak dengan alasan masih mampu untuk melahirkan secara normal. Lagi pula dia pernah mendengar bahwa semua tidak semudah yang dibayangkan, harus melalui tahap pemulihan dan rasa sakit yang berkali lipat setelah efek bius hilang.Entahlah, tetapi Sonia merasa bahwa melahirkan caesar pun merupakan pengorbanan yang besar dan tidak mudah dilalui. Dia memilih normal saja selama masih bisa.“Sedikit lagi, Sayang. Kamu hebat,” bisik Albian dengan suara pelan, tetapi penuh tekad.Sonia mencoba tersenyum meskipun nyeri yang menderanya begitu kuat. “Aku … aku cuma
Malam itu, Bu Laura duduk di ruang kerjanya, tangannya menopang dagu sambil memikirkan rencana baru. Sejak Tania pergi, Sonia terlihat lebih tegar. Hubungannya dengan Albian semakin kuat dan keluarga besar mulai memberikan dukungan kepada Sonia. Bu Laura tidak bisa membiarkan hal itu terus terjadi."Jika aku tidak melakukan sesuatu, wanita itu akan benar-benar menguasai keluarga ini," gumamnya. Dia membuka map di depannya yang penuh dokumen proyek amal keluarga mereka—sebuah proyek besar yang diinisiasi oleh keluarga besar Adikusumo sejak dulu.Matanya menyipit saat ide mulai terbentuk. Dia memutuskan untuk memberikan Sonia tanggung jawab besar—sebuah ujian yang, menurutnya, akan membuktikan apakah Sonia benar-benar layak menjadi bagian dari keluarga mereka.Setelah beberapa harinya, Bu Laura memanggil Sonia untuk bertemu di ruang tamu. Sonia datang dengan sedikit canggung, tidak terbiasa diajak berbicara langsung oleh mertuanya.“Ibu mau ketemu aku?” tanya Sonia dengan sopan begitu d
Pagi itu, Sonia sedang menyiapkan sarapan ketika Tania masuk ke dapur dengan raut wajah yang tak biasa. Matanya bersinar dan senyumnya tidak dapat disembunyikan.“Kak Sonia, aku punya kabar baik!” seru Tania, suaranya penuh semangat.Sonia menoleh, meletakkan panci di atas meja. “Apa itu? Cepat ceritain!”Tania mengeluarkan amplop dari tasnya dan menyerahkannya kepada Sonia. “Ini ... aku diterima di program beasiswa untuk melanjutkan studi ke luar negeri!”Sonia membuka amplop itu dengan tangan sedikit gemetar. Mata bulatnya membelalak ketika membaca isi surat tersebut. “Tania! Ini luar biasa!” serunya sambil memeluk adiknya erat.Beasiswa itu adalah impian Tania selama bertahun-tahun, tetapi selama ini tampak mustahil karena keterbatasan finansial. Namun, berkat dukungan Albian yang membantu memfasilitasi aplikasi dan memperkenalkan Tania ke orang-orang yang tepat, kesempatan ini akhirnya menjadi nyata.“Aku nggak percaya ini benar-benar terjadi,” kata Tania, duduk di meja makan deng
"Pastikan semuanya sempurna," perintah Laura kepada salah satu pelayan saat mereka menata meja-meja besar di taman belakang rumah keluarga Adikusumo. Malam itu, pesta keluarga besar akan diadakan untuk merayakan keberhasilan perusahaan yang baru saja pulih dari krisis.Para tamu mulai berdatangan, semuanya dari kalangan terpandang. Laki-laki dengan setelan jas mewah dan perempuan mengenakan gaun elegan memenuhi halaman, bercakap-cakap sambil memegang gelas anggur. Albian dan Sonia tiba sedikit terlambat, bergandengan tangan dengan senyuman di wajah mereka.Bu Laura memandang keduanya dari kejauhan. Meski dia tidak sepenuhnya puas, dia sadar bahwa malam ini harus menjaga citra keluarga di depan kerabat dan rekan bisnis.“Sonia,” suara lembut, tetapi dingin Bu Laura menyapa ketika Sonia sedang berbicara dengan seorang tamu.Sonia berbalik dan mendapati Laura berdiri di depannya, wajahnya tidak menampakkan emosi.“Ya, Bu?”“Aku mau kamu menemani beberapa tamu penting kita malam ini,” kat
Hari itu dimulai dengan suasana yang mencekam di Kantor Pusat Adikusumo Corporation. Albian menerima laporan dari tim manajemen bahwa ada ancaman serius terhadap stabilitas perusahaan. Salah satu pesaing utama mereka, Silver Apex Group, melakukan serangan pasar yang sangat agresif, mengklaim telah menemukan cara baru untuk memproduksi produk dengan biaya lebih murah.“Ini tidak masuk akal.” Albian bergumam sambil membaca laporan keuangan di mejanya. “Bagaimana mereka bisa menurunkan biaya produksi sebanyak ini dalam waktu singkat?”Rekan kerjanya, Adrian, yang menjabat sebagai Kepala Keuangan, berdiri di depan meja Albian dengan ekspresi cemas. “Kami menduga mereka mendapatkan akses ke salah satu teknologi eksklusif kita. Entah bagaimana, dokumen rahasia kita bocor.”Kata-kata itu menghantam Albian seperti petir. “Apa kamu yakin?”“Kami belum punya bukti, tapi pola mereka terlalu mencurigakan. Jika ini terus berlanjut, kita akan kehilangan pasar dalam beberapa bulan ke depan.”Albian
Malam itu, rumah besar keluarga Adikusumo diliputi keheningan yang mencekam. Sonia berdiri di kamar yang dia dan Albian gunakan selama kunjungan mereka. Kepalanya bersandar pada jendela besar yang menghadap taman belakang, pikirannya dipenuhi keraguan.Albian duduk di sofa di belakangnya, memandangi istrinya dengan cemas. "Sonia," panggilnya lembut.Sonia berbalik, matanya berkilat dengan emosi. "Aku nggak tahu harus bagaimana lagi, Mas. Aku merasa ... nggak cukup baik untuk keluarga ini. Apa yang ibumu lakukan tadi membuatku sadar kalau aku mungkin nggak akan pernah diterima di sini."Albian berdiri dan berjalan mendekatinya. Dia menggenggam tangan Sonia, mencoba meyakinkannya. "Kamu cukup, Sonia. Kamu lebih dari cukup. Jangan biarkan kata-kata Ibu ngebuat kamu ragu pada dirimu sendiri."Namun, kata-kata Albian tidak mampu menghilangkan rasa sakit yang Sonia rasakan. Wanita itu tahu bahwa selama Bu Laura masih memiliki prasangka terhadapnya, hidup mereka tidak akan pernah tenang.Kee
"Sudah cukup, Bu!" Suara Albian menggema di ruang tengah rumah besar itu, tajam dan penuh amarah. Matanya menatap ibunya dengan tajam, sesuatu yang jarang sekali terjadi. Sonia berdiri di belakangnya, mencoba menyembunyikan rasa gugup di balik ketenangannya.Di seberangnya, Bu Laura berdiri dengan wajah dingin dan penuh harga diri. Di tangannya, ada dokumen yang baru saja dia tunjukkan kepada keluarga besar. Dokumen itu berisi informasi masa lalu Sonia, lengkap dengan beberapa tambahan manipulatif yang sengaja dibuat untuk memperburuk citra menantunya."Kenapa Ibu harus berhenti, Albian?" Suara Bu Laura rendah, tetapi penuh otoritas. "Aku hanya melindungi keluarga kita dari wanita yang tak layak. Apakah kamu benar-benar ingin menghabiskan hidupmu dengan seseorang yang punya masa lalu seperti ini?"Sonia menundukkan kepalanya. Tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh. Dia tahu hari ini akan datang, tetapi tidak menyangka akan secepat ini—dan
"Apa? Seseorang mencariku?" Sonia menatap Indah dengan alis berkerut. Tangannya yang menggenggam cangkir teh sedikit gemetar dan rasa hangat dari cairan teh yang biasa menenangkannya terasa tidak cukup kali ini. Indah, yang duduk di seberangnya di ruang tamu rumah besar itu, tampak ragu. "Ada seorang pria yang datang bertamu pagi tadi, Bu," katanya pelan, "dia menyebut namamu. Dia bilang dia teman lama dari tempat tinggal sebelumnya." Wajah Sonia memucat. Dia meletakkan cangkirnya dengan hati-hati di meja, berusaha tetap tenang. "Dia bilang apa?" "Dia nggak banyak bicara," jawab Indah, "tapi ... nada bicaranya aneh, Bu. Seperti dia menyembunyikan sesuatu. Aku bilang aku nggak tahu siapa Bu Sonia dan di mana dia tinggal sekarang, tapi dia bilang dia akan menemuiku lagi." Sonia menggigit bibir bawahnya, pikirannya mulai berpacu. Siapa pria itu? Dan apa yang dia inginkan? Malamnya, Sonia duduk sendirian di ruang tengah. Anak mereka telah tertidur di kamar bayi dan Albian masih di ka
Hari itu, Albian berada di ruang kerjanya, memeriksa laporan keuangan perusahaan. Sinar matahari masuk melalui jendela besar di belakangnya, menciptakan bayangan panjang di lantai marmer. Namun, pikirannya tak sepenuhnya fokus pada angka-angka di depannya. Ada perasaan ganjil yang terus mengusiknya sejak beberapa hari terakhir. Sonia, istrinya, tampak gelisah belakangan ini meskipun dia berusaha keras menyembunyikannya. Ketukan di pintu membuyarkan pikirannya. "Masuk," katanya dengan suara tegas. Seorang asisten masuk membawa sebuah amplop. "Pak Albian, ini ada laporan yang harus Anda lihat," katanya sebelum keluar dengan cepat. Albian membuka amplop itu dan menemukan beberapa dokumen serta catatan kecil dari seseorang yang tak dia kenal. Lelaki itu membaca dengan teliti dan menemukan sesuatu yang mengejutkan; laporan penyelidikan pribadi tentang Sonia. Semua detail tentang masa lalu istrinya tercantum di sana, termasuk dugaan skandal kecil yang konon melibatkan Sonia saat masih ti
Sonia duduk di ruang keluarga besar rumah Albian yang megah, memegang secangkir teh hangat yang hampir dingin. Di hadapannya, Bu Laura duduk dengan sikap anggun, tetapi kaku, tatapannya tajam seolah meneliti setiap gerak-gerik menantunya. Keheningan terasa begitu tegang hingga suara jarum jam di dinding terdengar nyaring. Sonia menenangkan dirinya, mengingat bahwa langkah ini adalah bagian dari usahanya untuk menjalin hubungan yang lebih baik dengan ibu mertuanya.“Bu, aku dengar keluarga memiliki program amal yang sudah berjalan cukup lama.” Sonia membuka percakapan dengan hati-hati. “Aku ingin menawarkan diri untuk membantu, jika Ibu mengizinkan.”Bu Laura mengangkat alis, tampak sedikit terkejut. “Kamu ingin membantu?” Suaranya terdengar skeptis, seolah tak yakin niat itu tulus.“Iya, Bu.” Sonia menjawab dengan senyum lembut. “Aku pikir, mungkin ini cara aku untuk lebih mengenal keluarga Mas Al, sekaligus berkontribusi pada sesuatu yang penting.”Wanita paruh baya itu memandangnya