Sonia termenung dalam kamar seorang diri ketika mengingat alasan yang disebut oleh Indah tadi. Wanita berpakaian seragam pelayan itu benar-benar tahu segalanya. Menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan, hal tersebut dilakukan berulang kali untuk melonggarkan dada yang terasa sesak. Bagaimana bisa Jessica begitu tega pada suami yang mencintainya dengan tulus? Dia hidup bak seorang ratu, tidak menyentuh pekerjaan rumah dan leluasa menggunakan uang, baik perawatan, belanja, atau apa pun itu. Apa dia tidak tahu bahwa di luar sana ada beberapa istri yang terpaksa membantu suaminya mencari nafkah atau harus beradu mulut dengan mertua karena masalah nafkah yang tidak cukup? Bukan, bukan merasa tidak cukup, tetapi itulah kebenarannya. Beberapa kali Sonia mendapati tetangga harus bertengkar dengan suami karena dijatah dua puluh ribu sehari, tetapi harus menyuguhkan makanan bergizi. Itu bisa saja andai beras dan kebutuhan lainnya tersedia hingga istri cukup membeli minyak goreng. Jess
"Mbak, sebenarnya aku penasaran akan sesuatu," kata Sonia mencekal tangan Indah ketika dia baru saja mengambil sapu.Wanita yang memakai seragam pelayan itu menaikkan sebelah alisnya. "Sesuatu apa itu, Non?""Pertama kali makan di rumah ini, aku masih ingat dengan menunya yang super sederhana seolah-olah Mas Al itu bukan orang kaya. Namun, dalam sebulan terakhir mulai berbeda. Aku lihat ada banyak hidangan, berbagai macam.""Mungkin ini terdengar sepele untuk ditanyakan, tetapi mungkin Non Sonia benar-benar butuh jawaban. Setahu aku, Bu Jessi sengaja meminta kami menyiapkan menu sederhana agar Pak Albian menganggap istrinya tidak gila harta dan bisa mengelola keuangan dengan baik. Selain itu, Bu Jessi juga ingin menghemat lebih sering dengan alasan bahwa roda kehidupan berputar. Entah itu tulus atau hanya ingin menarik perhatian Pak Al. Kalau dalam sebulan terakhir, itu semua karena permintaan Pak Al pada kami. Katanya bosan kalau lauk yang sama setiap hari. Tentu kami menuruti, ibara
Sore menjelang Magrib, Sonia melihat Jessica melangkah cepat menuju taman. Rasa penasaran pun seketika membuncah di dalam hati karena khawatir ada sesuatu yang kembali direncanakan.Wanita yang memakai dress hitam itu terlihat menghela napas berat ketika memandangi ponselnya. Beberapa detik kemudian, benda pipih itu menempel di telinga kanan Jessica sendiri. Seseorang pun berbicara dari sana, tetapi Sonia tidak mampu mendengarnya."Kenapa kita gak balik ke rencana awal, malah berantakan kayak gini? Awas aja kalau sampai gagal, aku gak akan maafin kamu, apalagi ikut pulang ke London."London? Kedua alis Sonia saling bertaut. Siapa yang mengajak wanita itu ke sana?"Iya, aku udah nurutin semua maunya kamu. Aku buat Sonia bingung antara mau deketin Mas Al atau nggak. Harapannya, sih, mereka deket biar aku gak perlu lagi tinggal sama dia dan kalau anak itu lahir, paling dia ikut sama Mas Al aja. Aku mah ogah ngurus bayi!"Sonia tidak tahu pasti alasan wanita itu membuat dirinya dilema. Ak
"Mas? Kenapa?"Albian menggeleng pelan. Dia ingat betul bermimpi menjadi seorang raja yang begitu mencintai sang ratu, tetapi suatu hari bertemu seorang dayang dan jatuh cinta padanya. Dayang itu dia jadikan selir istana. Hati Albian berpaling, bahkan mengirim sang ratu ke pengasingan agar selirnya bisa naik takhta.Tidak lama setelah itu, tersebar cerita tentang raja yang dianggap tiran terburuk karena begitu tega membuang ratu demi selir kesayangannya. Pertumpahan darah pun terjadi ketika kedua fraksi saling bertentangan dalam hal tersebut. Albian yang berposisi sebagai raja memilih untuk menutup mata meskipun tahu bahwa selir yang telah menjadi ratu baru itu terlibat dalam kematian mendiang ratu terdahulu.Mimpi tersebut diceritakan pada Jessica. Wanita itu tertawa dan mengatakan bahwa mereka akan selalu bersama selamanya mengingat sekarang adalah era modern. Akan tetapi, mendengar perkataan Sonia tadi tentang mimpi buruk yang tidak boleh diceritakan, akankah semua menjadi nyata?D
Bab 37Setelah membuka pintu kamar, Albian menghela napas berat. Dia berusaha menahan tawa ketika melihat istrinya sedang mengamuk pada tembok. Ada apa? Mungkinkah sesuatu tengah mengusik pikirannya?Albian merasa istrinya semakin cantik ketika merajuk. Bibir itu terlihat mungil sekali."Mas, kamu udah balik?" Sonia yang baru menyadari kehadiran suaminya seketika memperbaiki posisi duduk sambil merapikan rambut yang dia acak sendiri tadi.Bagaimana tidak, lelaki itu selalu berhasil membuatnya kesal. Kenapa harus keluar dari kamar setelah semua yang terjadi?Sonia menunduk ketika mereka beradu pandang untuk waktu yang lama, kemudian diam-diam mengukir senyum. Dalam hati bertanya, bisakah dia melakukan apa yang dia mau? Menemani hari-hari Albian hingga maut memisahkan?Tidak dapat disangkal, Sonia merasa nyaman berada di dekat suaminya. Andai Jessica mencintai dengan tulus, maka perasaan itu akan berusaha dia bunuh. Namun, pengkhianatan dibalas pengkhianatan terdengar lebih menarik."Ke
Bab 38Entah kenapa Albian sekarang lebih perhatian pada wanita yang sedang berbadan dua itu. Setiap kali dibutuhkan, dia selalu berusaha ada. Tidak seperti dulu di mana dia melakukannya karena terpaksa, didesak Jessica dengan alasan ibu hamil itu harus dituruti.Hari-hari yang dilalui penuh canda dan tawa, seperti saat Albian sedang dimabuk cinta Jessica. Dia merasakan bunga-bunga bermekaran dalam hatinya ketika berada di dekat Sonia. Lelaki itu tidak mampu mengelak, dia benar-benar terpesona, berhasil dibuat nyaman.Bukan hanya lelaki itu, Sonia pun sesungguhnya merasakan hal yang sama. Setiap kali berada di dekat Albian, jantungnya seketika berdetak tidak normal sampai harus menghela napas kasar. Setiap waktu bersama membuat Sonia merasa dilindungi.Beberapa hari yang lalu dia merasa telah jahat karena merebut lelaki itu dari Jessica, tetapi hatinya menepis rasa bersalah itu mengingat Jessica adalah wanita licik. Jika Sonia tidak menyerang lebih dulu, maka dia akan diserang habis-h
Bab 39Indah menatap dalam pada kedua mata Asri yang terlihat tidak tenang. Tentu saja karena sebenarnya wanita itu khawatir ketahuan dirinya sengaja mendukung Jessica melakukan kejahatan. Namun, setelah beberapa saat dalam keheningan, perlahan dia bisa menguasai diri hingga membalas tatapan itu."Aku nanya, Airin mana? Nggak adil kalau kita capek kerja, sedangkan dia santai-santai." Asri kembali membuka suara, kali ini terdengar penuh penekanan."Bibi suruh keluar beli bahan yang diperlukan di pasar." Bi Sumi yang menjawab ketika menyadari mereka hanya diam.Asri mendelik kesal. Dia merasa telah dibodohi oleh wanita tua itu. Akan tetapi, dia tidak bisa bertindak banyak mengingat Dea pun sedang berada di luar rumah dan jika mereka menanyakan itu, apa yang harus dia jawab? Sungguh dia tidak begitu pandai berbohong apalagi jika mendapat tatapan menghujam.Andai saja mau, baik Indah atau Bi Sumi bisa menanyakan keberadaan Dea karena mereka ada senior di sana. Sayang sekali, semua dirasa
Bu Laura berdecih mendengar ucapan itu. Dia tahu betul kalau Jessica adalah rubah yang licik dan memang harus diusir dari sana. Andai saja anaknya patuh sejak lama, maka tidak akan ada perdebatan panjang setiap kali mereka bertemu, sengaja atau tidak.Suasana semakin menegangkan karena Jessica pun terkadang menabuh genderang perang lebih dulu. Mereka tidak pernah akur sekali pun dan tentu saja Albian selalu membela istri tercintanya membuat wanita itu tidak takut sama sekali.Sebentar lagi mereka akan berpisah selamanya, mungkin tidak salah jika saling melontarkan kata-kata hina sekarang, begitu pikir Jessica. Namun, dia mengingat satu hal bahwa Albian akan menaruh rasa benci apabila ternyata mereka memang sengaja melakukan jebakan dan menunjukkan bukti kalau Jessica pun tidak sebaik yang dibayangkan"Jadi, siapa perempuan tadi, Jessica?" Bu Laura bertanya dengan tatapan penuh intimidasi.Wanita yang memakai lipstick merah menyala itu tersenyum lebar, menampilkan gigi yang berderet ra
Setelah malam penuh ketegangan itu, rumah Albian tidak lagi menjadi tempat yang aman. Ethan memutuskan memindahkan keluarga Albian ke tempat persembunyian sementara. Sebuah vila di luar kota, tersembunyi di balik hutan, dipilih sebagai lokasi terbaik untuk memastikan keamanan mereka. Jessica duduk di kursi dekat jendela besar vila itu, pandangannya kosong menatap ke luar. Dia merasa seperti beban berat terus menghimpitnya. Sonia, yang tak pernah membiarkan orang lain tenggelam dalam rasa bersalah terlalu lama, mendekatinya. “Kita semua berada di sini karena kamu, Jessica,” kata Sonia, nada suaranya tegas, “tapi aku ingin kamu tahu, aku tidak sepenuhnya menyalahkanmu.” Jessica menoleh, matanya berkaca-kaca. “Sonia ... aku sudah menghancurkan hidup kalian. Jika sesuatu terjadi pada Farhan atau Alia ....” Sonia menggeleng. “Aku tidak mau mendengar penyesalan itu lagi. Apa yang kita perlukan sekarang adalah rencana. Kamu bilang kamu punya salinan data itu. Di mana?” Wanita itu m
Malam itu, suasana rumah keluarga Albian penuh ketegangan. Jessica duduk di sudut ruangan dengan wajah penuh kecemasan, tangannya gemetar saat memegang secangkir teh yang hampir dingin. Di seberangnya, Sonia dan Albian saling bertukar pandang, mencoba membaca pikiran satu sama lain.Farhan dan Alia sudah terlelap di kamar mereka, tidak menyadari badai yang tengah mendekat. Sonia menatap Albian dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan—campuran antara kekhawatiran dan kekuatan.“Jessica.” Sonia akhirnya memecah keheningan. “Kita harus tahu semuanya. Tidak ada yang bisa disembunyikan sekarang. Apa sebenarnya yang mereka inginkan darimu?”Jessica menggigit bibir bawahnya, ragu-ragu untuk bicara. “Aku sudah memberitahu kalian. Itu semua tentang dokumen yang aku curi—”“Tidak mungkin hanya itu,” potong Sonia, nadanya tegas, “mereka tidak akan mengorbankan segalanya hanya untuk mengejar dokumen biasa.”Albian menatap Jessica tajam. “Jessica, kalau kamu ingin kami membantu, kamu harus berkata
Sonia memutuskan untuk tidak tinggal diam. Dia mengamati kembali rekaman CCTV yang menunjukkan pria dengan jaket logo misterius itu. Dalam pikirannya, ada satu pertanyaan yang terus menghantuinya: kenapa mereka begitu gigih mengejar Jessica?Sementara itu, di ruang kerjanya, Albian menelepon salah satu kontak kepercayaannya. “Dapatkan semua informasi tentang logo ini. Siapa pun yang terlibat di balik organisasi ini, aku ingin tahu segalanya,” katanya dengan nada penuh determinasi.Tak lama, Albian keluar dari ruang kerja. “Kita harus berbicara serius,” katanya sambil memandang Sonia dan Jessica.“Apalagi sekarang, Mas?” tanya Sonia.“Aku sudah memanggil penyelidik pribadi untuk menyelidiki organisasi ini. Tapi Jessica, kamu harus bicara jujur. Apa yang sebenarnya mereka inginkan darimu? Ini bukan sekadar ancaman biasa. Pasti ada alasan besar kenapa mereka segigih ini.”Wanita itu tampak gugup. “Mereka menginginkan ... dokumen penting yang dulu aku ambil dari salah satu pemimpin mereka
Suara retakan dari dapur membuat Sonia dan Jessica saling pandang dengan ketegangan di mata mereka. Sonia segera meraih ponsel di meja, bersiap menghubungi Albian yang sedang bekerja di ruang pribadinya. Namun sebelum dia sempat menekan tombol, Jessica menahan tangannya."Tunggu. Kalau kamu membuat suara, mereka bisa tahu kita menyadari kehadiran mereka," bisik Jessica."Siapa mereka?" tanya Sonia, suaranya tertahan, tetapi tegas.Jessica tidak menjawab. Dia hanya menatap ke arah dapur, memasang kewaspadaan.Dari bayangan di balik pintu dapur, terdengar langkah-langkah pelan. Jessica meraih sebuah benda berat—kayu kecil yang tergeletak di dekat meja—dan bergerak mendekati pintu.Sonia, meskipun gugup, mengikuti di belakangnya.Namun, sebelum mereka bisa mendekat, pintu terbuka, dan seseorang yang tidak dikenal muncul. Wajahnya tertutup oleh topi dan masker. Tatapannya tajam, tetapi dia tampak terkejut mendapati Jessica dan Sonia berdiri di sana."Siapa kamu?!" Sonia berseru dengan sua
Keesokan harinya, Jessica benar-benar kembali seperti yang dijanjikan. Kali ini, dia membawa dokumen-dokumen yang katanya bisa membuktikan ancamannya nyata. Sonia duduk di ruang tamu bersama Albian, dengan sikap waspada, sementara Jessica mulai menjelaskan.“Orang ini, namanya Vincent,” kata Jessica, sambil menunjuk sebuah nama di salah satu dokumen, “dia mantan rekan bisnisku. Awalnya, aku pikir dia hanya marah karena aku mundur dari proyek kami. Tapi belakangan, dia mulai mengancam akan membocorkan rahasia pribadiku dan menyebarkan berita palsu untuk menghancurkan reputasiku.”“Dan apa hubungannya dengan kami?” potong Sonia dingin.Jessica menelan ludah, gugup. “Karena Vincent tidak hanya menyerangku. Dia juga menyebut nama kalian. Dia tahu aku pernah menjadi bagian dari kehidupan kalian dan dia akan menggunakan itu untuk mempermalukan kalian di publik.”Albian memijat pelipisnya, sementara Sonia menatap Jessica dengan tajam. “Jadi, karena ulahmu sendiri, sekarang kami juga terancam
Jessica tersenyum tipis, tapi jelas terlihat tegang. “Aku butuh bicara denganmu, Mas.” Albian diam, tubuhnya membeku. Dia ingin langsung menutup pintu, tapi Jessica memandangnya dengan sorot mata yang penuh tekanan. “Ini penting.” Sonia, yang mendengar suara di depan pintu, berjalan mendekat. “Mas? Siapa—” Langkahnya terhenti begitu melihat Jessica berdiri di ambang pintu. “Sonia.” Jessica mengangguk singkat, seolah kehadirannya adalah hal yang wajar. “Lama tidak bertemu.” “Kamu ... mau apa lagi kamu ke sini?” tanya Sonia, suaranya bergetar, bukan karena takut, tapi karena amarah yang berusaha dia kendalikan jika teringat pada perbuatan wanita licik itu. Jessica melirik Sonia sebelum kembali menatap Albian. “Aku perlu bicara dengan kalian. Ini soal sesuatu yang sangat penting.” “Jessica, kamu seharusnya tidak di sini,” ujar Albian, nadanya datar, tapi penuh ketegasan. Wanita licik itu mendesah. “Aku tidak punya pilihan lain, Mas. Percayalah, aku tidak ingin datang jika tidak te
Suara tawa Farhan dan Alia menggema di halaman belakang rumah besar itu. Farhan, yang kini berusia tujuh tahun, tengah mengejar adiknya yang baru belajar berjalan dengan langkah kecil-kecil yang lucu. Sonia memandangi mereka dari teras sambil menyeduh teh hangat, senyum lembut menghiasi wajahnya."Mereka tumbuh begitu cepat," gumamnya.Albian muncul dari dalam rumah dengan membawa nampan kecil berisi kue-kue kering. "Dan mereka semakin mirip dengan ibunya," katanya sambil duduk di samping Sonia.Sonia tersenyum sambil mengambil satu kue. "Kalau Farhan, mungkin. Tapi Alia jelas memiliki sikap keras kepala ayahnya.""Hati-hati, itu terdengar seperti kritik," goda Albian sambil tersenyum lebar."Tidak, itu pujian terselubung, Mas," balas Sonia sambil menahan tawa.Malam harinya setelah anak-anak tidur, Sonia dan Albian duduk bersama di ruang keluarga. Albian mengambil map kecil dari meja."Aku punya ide," katanya sambil membuka map itu dan menunjukkan brosur liburan, "bagaimana kalau kit
Cahaya mentari pagi menyusup ke dalam ruang kerja Sonia, yang dipenuhi dengan peta, dokumen, dan laporan. Sebagai inisiator utama proyek amal keluarga, Sonia telah membawa perubahan besar yang awalnya hanya bertujuan lokal, kini berkembang hingga ke tingkat internasional."Ibu, ini laporan dari cabang baru di Kamboja," kata seorang staf muda, menyerahkan sebuah dokumen kepada Sonia.Sonia menerima laporan itu dengan senyuman. "Terima kasih, Lisa. Pastikan mereka mendapatkan semua dukungan yang mereka butuhkan. Kita ingin hasil ini berkelanjutan, bukan hanya pencapaian sementara."Lisa mengangguk sebelum bergegas pergi. Proyek amal yang dimulai Sonia kini mencakup pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan perempuan di berbagai negara berkembang. Tantangannya semakin besar, tetapi semangat Sonia tetap menyala.Sungguh dia tidak menduga akan menjadi seorang wanita karir, padahal dulu hanya dipandang sebelah mata. Besar kemungkinan memang itu adalah buah dari kesabarannya. Sonia harus lebih
Angin musim gugur berembus lembut di taman belakang rumah besar keluarga Albian. Hari itu, keluarga besar mengadakan pertemuan santai untuk merayakan keberhasilan proyek amal yang baru saja selesai. Proyek tersebut tidak hanya membantu banyak orang, tetapi juga memperkuat citra keluarga di mata publik. Sonia, yang menjadi ujung tombak proyek itu, kini menjadi pusat perhatian.“Sonia, kamu benar-benar luar biasa,” kata salah satu bibi dari pihak Albian, Bu Gertrude. Dia dikenal sebagai salah satu anggota keluarga yang paling sulit memuji orang lain, “proyek ini berjalan sangat baik, dan aku yakin kontribusimu yang membuatnya berhasil.”Sonia tersenyum hangat, sedikit tersipu. “Terima kasih, Tante Gertrude. Tapi ini semua hasil kerja tim. Aku hanya melakukan bagian kecil.”Mertua, yang duduk tidak jauh dari mereka, hanya mengangguk kecil sambil menyesap tehnya. Meskipun dia tidak langsung memuji, tatapan matanya tidak lagi penuh keraguan seperti sebelumnya.“Sonia memang pekerja keras,”