"Ibu, memangnya apa salah Jessica sampai Sonia yang lebih baik menemani aku? Apa Ibu lupa kalau Jessica adalah menantu—""Menantu siapa? Memangnya sejak kapan Ibu nganggap dia itu menantu?" potong Bu Laura menatap tidak suka. Dadanya naik turun karena amarah terus membuncah. Dia berdoa agar Tuhan segera memberi jalan keluar m dari masalah itu.Ya, Jessica adalah masalah menurut keluarga Albian. Mereka tahu betul bahwa wanita licik itu selalu memanfaatkan kecintaan Albian padanya. Beberapa kali pula Elsa memergokinya menelepon seseorang dan berulang kali menyebut tentang warisan. Namun, ketika memberitahu sang kakak, justru dia yang dianggap menjatuhkan fitnah.Mereka sedang menanti saat paling tepat untuk menjatuhkan Jessica karena kesalahan kecil tidaklah berarti. Wanita itu tidak mudah dijatuhkan karena dia pandai menjual air mata dan kesedihan yang membuat Albian semakin jatuh cinta, sayang, dan percaya kepadanya."Nggak apa-apa, Mas. Kalau misal Ibu emang maunya kamu ngajak Sonia,
Bab 42Jessica dan Sonia berdiri tidak jauh dari kamar mereka, pastinya menjamin bahwa sang suami tidak akan mendengar. Tatapan mereka tidak lagi bersahabat, seperti dulu.Mungkin memang sudah ditakdirkan bahwa Jessica akan membawa saingannya sendiri dalam rumah itu sehingga harus bekerja lebih keras. Sonia mulai mendapatkan hati Albian, maka tidak menutup kemungkinan suatu hari memiliki tempat pertama."Ini acara keluarga pertamamu, Sonia. Nggak ada alesan kamu menghindarinya. Ibu lebih memilih kamu, aku yakin nggak ada kesulitan seperti yang kamu takutkan." Jessica tersenyum, tetapi kedua matanya seolah-olah ingin menerkam wanita berbadan dua itu."Tapi aku sedang tidak enak badan, Kak. Sebaiknya Kak Jessi sebagai istri pertama yang ke sana. Aku ini dinikahi cuman buat ngelahirin anak, mereka pun ngiranya aku orang lain, kan?""Nggak, Sonia. Kamu punya tempat di hati Mas Al dan sebenarnya pun Mas Al pengin kamu datang sama dia. Lihat aja dia berusaha ngebujuk kamu, kan? Terlepas dar
Bab 43Kendaraan roda empat melaju dengan kecepatan sedang. Sonia menggenggam erat tangan sang suami karena merasa gugup. Dia tahu bahwa tidak mudah menghadapi perangai orang kaya apabila merasa paling berpengaruh, terutama karena sudah melihat sikap mertua dan adik iparnya kemarin.Jantung berdegup tidak normal bagai pacuan kuda, tetapi Sonia merasa harus menyembunyikan kegelisahannya itu. Sesekali dia menatap suaminya yang sedang mengobrol dengan supir pribadi mereka."Kamu khawatir, Sonia?""Nggak, Mas. Cuman agak gugup. Dulu aku tuh gak pernah hadir di acara ultah orang kaya, baru kali ini. Apalagi status udah jadi istri, tapi harus bersikap seolah-olah aku bukan istrimu, Mas. Itu mudah aja, aku cuma takut mereka ngerjain aku.""Emang iya ada orang kaya yang ngerjain orang lain?""Mas kayak nggak tau aja. Banyak orang kaya yang mandang remeh orang miskin, bahkan bisa nganggep mereka itu kek sampah dunia. Kalau mereka tahu aku ini miskin, mungkin bakal dicaci, Mas. Misal disebut ga
Bu Laura balas menampar Sonia. Kedua matanya memancarkan semburat merah pertanda amarah sedang memuncak. Mereka menjadi pusat perhatian dan beruntung saja sang ayah sedang berada di halaman depan rumah karena urusan penting.Suasana yang semula dipenuhi kebahagiaan menjadi tegang. Dada Sonia pun naik turun karena sebenarnya muak melihat sikap orang kaya yang selalu seenaknya ingin mempermalukan orang miskin. Tidak, dia tidak boleh mengalah sampai diinjak-injak, dia memiliki harga diri meskipun bukan dari keluarga terpandang."Kamu sadar posisimu di sini? Elsa adalah tuan rumah, yang punya acara, adik dari Albian tempatmu mengadu nasib dan menumpang hidup. Elsa adalah putri keluarga—""Aku tahu, Nyonya, bahkan sangat tahu. Elsa orang kaya dan berpendidikan. Seharusnya dia tahu bagaimana cara memperlakukan orang lain, terlebih itu adalah tamu sendiri. Aku memang bukan orang penting, tetapi datang karena diundang. Aku bukan orang kaya, tetapi hatiku bukan keturunan rendah." Sonia sengaja
"Jessica tidak harus tahu apa yang terjadi di pesta tadi," kata Albian begitu mereka tiba di pintu utama."Kenapa, Mas?"Albian menghela napas berat. "Andai semua semudah yang dibayangkan."Mendengar itu, Sonia memilih diam daripada harus melempar pertanyaan lagi. Dia tahu kalau suaminya menyimpan beban karena sampai sekarang belum mendapat restu. Jika Jessica saja diperlakukan demikian, maka bagaimana dengan dirinya? Sanggupkan melalui semua itu apabila rahasia telah terungkap?Daun pintu terbuka lebar, mereka melangkah beriringan melewati ruang tamu dan langsung ke lantai dua karena suasana pun telah sepi. Keduanya menuju kamar masing-masing untuk membersihkan diri.Menghela napas berat, Sonia menyimpan gaun yang sudah robek itu untuk menjadikannya kenangan meskipun terkesan buruk. Dia harus mengingat kejadian paling memalukan dalam hidupnya dan berharap suatu hari tidak pernah jatuh ke lubang yang sama.Setelah lima belas menit menghabiskan waktu di kamar mandi karena merasa gerah.
Bab 46Keesokan harinya ketika jam menunjuk angka sembilan pagi, Sonia berdiri di dekat tangga dan terasa sulit melanjutkan langkahnya karena masih terusik dengan insiden memalukan di pesta ulang tahun Elsa tadi malam. Dia mengusap perut yang semakin membesar itu, merasakan setiap gerakan calon buah hatinya.Andai saja dia tidak menuruti keinginan suami untuk datang ke acara itu, maka pikiran pasti takkan terusik, bahkan saat sarapan pun lebih memilih diam dan membiarkan Albian mengobrol panjang dengan Jessica.Wanita berbadan dua itu menghela napas berat. Rasanya semakin menyesakkan dada. Dia menggaruk telinga yang tidak gatal ketika teringat kalau tadi dia meminta izin pada sang suami untuk pulang ke rumah barang dua hari, tetapi tidak mendapat izin dengan dalih khawatir ada yang mencoba melukai.Apa yang bisa dia lakukan selain menanti dengan sabar? Tidak bisakah keluarganya saja yang datang menjenguk? Tadi subuh memang sempat bertukar pesan dengan Tania, sekadar menanyakan kabar.
Bab 47"Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa kamu segugup itu, Mbak?"Indah menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan perlahan. Setelah itu, dia memberitahu semua kejadian yang tidak sengaja dia lihat tadi malam ketika baru saja keluar dari kamar mandi yang ada di dekat dapur. Rupanya wanita yang memakai seragam pelayan itu baru selesai menonton film horor dan tiba-tiba mendapat panggilan alam.Sulit ditebak, tetapi Sonia begitu khawatir mengingat ada tanaman beracun yang memang sangat mematikan. Semua terjadi tidak sesuai yang diharapkan saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah besar itu.Terlepas dari masalah yang akan diciptakan oleh Jessica dan Julian nanti, sebenarnya Sonia masih terguncang oleh tindakan Dea. Gadis itu benar-benar sudah keterlaluan sampai membuatnya sedikit takut menuruni anak tangga sendirian. Kekhawatiran menebal tatkala terlintas dalam pikiran bahwa gadis licik itu akan dilindungi oleh Jessica."Menurut aku, sebaiknya Non Sonia pulang ke rumah orang tua du
Bab 48"Kenapa, Bu? Apa Bapak pernah datang ke sini sebelumnya?"Bu Siti menggeleng dengan senyum sungkan yang dipaksa ada. Sementara itu, Sonia menatap dalam pada kedua mata ibunya, berusaha menemukan kebenaran. Dia tidak akan terima kalau saja lelaki itu datang dan mengaku menyesali perbuatannya setelah semua yang dia lakukan selama ini pada mereka.Penderitaan karena terkadang lelaki itu sampai main tangan setiap kali mendapat ceramah dari istrinya dan penghinaan dari tetangga mengingat mereka terlilit utang hingga menyebabkan Sonia terjebak dalam pernikahan yang belum pernah dibayangkan.Hidup memang berubah lebih baik, tetapi mengorbankan masa depan. Satu hal lainnya yang patut Sonia syukuri adalah sikap Albian yang perlahan membuka hati dan menganggapnya sebagai istri sungguhan."Mengenai pertanyaan kamu tadi, Ibu kurang yakin karena tidak pernah mendua. Bagi Ibu, pengkhianatan adalah kesalahan yang nggak mungkin mendapat maaf. Tapi kalau dipikir-pikir, bisa jadi karena bosan at
Lima tahun berlalu sejak malam yang penuh tantangan di ballroom mewah itu. Hidup Sonia dan Albian kini terasa lebih stabil meski tetap penuh dinamika. Mereka telah melalui banyak hal bersama dan keluarga mereka tumbuh dengan cinta dan kebahagiaan.Di sebuah pagi musim semi yang cerah, suara tawa anak kecil terdengar di halaman rumah besar milik keluarga Albian. Farhan Damian Adikusumo, putra pertama mereka yang kini berusia lima tahun, sedang berlari-lari mengejar bola di bawah pengawasan pelayan. Sementara itu, Sonia berbaring di tempat tidur di kamar utama, tangannya menggenggam tangan Albian.“Bagaimana perasaanmu, Sayang?” tanya Albian dengan nada cemas, duduk di tepi ranjang. Wajahnya menunjukkan kecemasan bercampur antusiasme.“Sedikit tegang, tapi aku siap, Mas,” jawab Sonia dengan senyum kecil meski wajahnya terlihat lelah. Perut besarnya menunjukkan bahwa dia akan melahirkan kapan saja.Tiba-tiba, Sonia merasakan kontraksi yang tajam. Dia pun menggigit bibir bawahnya, mencoba
Pada malam yang lain sesuai permintaan Pak Adikusumo, acara berlangsung meriah di salah satu ballroom hotel mewah milik keluarga Albian. Lampu kristal menggantung megah di langit-langit, sementara para tamu dari kalangan pebisnis ternama dan tokoh masyarakat berdatangan dengan senyum ramah yang penuh formalitas.Sonia berdiri di samping Albian, mengenakan gaun malam berwarna biru safir yang anggun. Rambutnya disanggul sederhana dan senyum lembutnya mencerminkan rasa percaya diri yang baru dia temukan. Di tengah percakapan hangat dengan beberapa tamu, Sonia merasakan tatapan dingin sang mertua yang terus mengawasinya dari kejauhan.“Ibu pasti sedang merencanakan sesuatu,” pikir Sonia, tetapi dia tetap menjaga sikapnya.Di sudut ruangan, Bu Laura memandang Sonia dengan sorot mata sulit ditebak. Keberhasilan Sonia membantu perusahaan selamat dari krisis besar baru-baru ini membuatnya terkesan, meski dia enggan mengakui hal itu secara terbuka.Namun, ada sesuatu dalam diri wanita tua itu
"Ini lebih buruk dari yang kita kira," kata Albian dengan suara berat, meletakkan dokumen tebal di meja ruang rapatnya. Para eksekutif perusahaan duduk dengan wajah tegang, sementara layar proyektor di depannya menampilkan grafik penurunan tajam.Pesaing besar, Fortuna Corporation, telah meluncurkan produk baru yang hampir identik dengan salah satu produk unggulan perusahaan Albian. Tidak hanya itu, mereka berhasil menekan harga hingga jauh di bawah rata-rata pasar, membuat pelanggan utama perusahaan Albian mulai berpaling."Jika kita tidak segera menemukan solusi, kerugian ini bisa membuat kita kehilangan kontrak-kontrak utama," tambah salah satu direktur pemasaran.Albian menghela napas panjang. Matanya menyapu seluruh ruangan, mencoba mencari semangat dalam timnya yang tampak mulai kehilangan harapan.Ujian datang bertubi-tubi membuat kepalanya terasa berdenyut.***Di rumah, Sonia melihat Albian pulang lebih larut dari biasanya. Wajahnya terlihat kusut, dengan garis-garis kelelaha
“Ibu, ini sudah terlalu jauh!” Albian mendobrak masuk ke ruang kerja ibunya. Suaranya tajam, hampir seperti geram. Di tangannya ada dokumen yang baru saja dia ambil dari meja sang ibu. “Apa maksudmu menyelidiki masa lalu Sonia? Apa Ibu sudah tidak percaya sama anak sendiri?”Wanita tua itu menatap putranya dengan tenang meskipun ekspresinya dingin. “Ibu hanya memastikan, Albian. Sebagai ibu, tentu Ibu punya hak untuk melindungi keluarga. Apa kamu masih tidak mengerti itu?”“Keluarga? Itu termasuk Sonia sekarang! Dia adalah istriku, ibu dari anakku, dan bagian dari hidupku. Ibu tidak punya hak untuk merusak hubungan kami!”Bu Laura segera berdiri, menghadapi Albian dengan tatapan tajam. “Kamu terlalu percaya pada Sonia, seperti dulu kamu percaya pada Jessica. Kamu lupa bagaimana itu menghancurkanmu? Ibu tidak akan membiarkan kesalahan itu terulang!”"Jadi, Ibu menganggap mereka sama karena berasal dari latar belakang yang sama?" Suara Albian mulai pelan, tetapi tentu masih penuh peneka
“Sayang, kamu mau jalan-jalan sama aku nggak?” tanya Albian pagi itu, memecah keheningan di ruang makan. Mereka sedang menikmati sarapan sederhana bersama ibu Sonia.Sonia mengangkat alis, sedikit terkejut. “Ke mana, Mas?”Albian tersenyum kecil, seakan menyimpan rahasia. “Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan. Ini akan menjadi awal dari sesuatu yang baru untuk kita.”Mendengar itu, Bu Siti mengukir senyum dan beralih menatap putrinya. "Pergilah, Nak. Farhan biar sama Ibu.""Apa nggak merepotkan, Bu?" tanya Sonia sedikit ragu. Sungguh, dia tidak lagi ingin merepotkan ibunya karena di masa kecil pun selalu direpotkan meskipun memang sudah menjadi tugas Ibu untuk merawat anak-anaknya.Farhan memang memiliki baby sitter, tetapi tetap saja harus selalu dalam pengawasan. Sudah banyak kasus yang membuat bulu kuduk Sonia meremang. Ya, meskipun baby sitter itu berperilaku baik selama ini, entah dengan nanti."Nggak apa-apa. Farhan cucu Ibu, kan? Lagi pula anakmu itu pinter, lho. Nggak akan nge
“Ini akan menjadi hari yang istimewa, Sayang,” ujar Albian sambil menggenggam tangan istrinya erat. Matanya berbinar penuh cinta saat memandang wanita yang telah melalui banyak rintangan bersamanya.Sonia tersenyum kecil. “Aku masih nggak percaya semua ini akhirnya terjadi, Mas. Aku merasa seperti baru saja melewati badai yang panjang.”Lelaki berwajah tegas itu mengusap punggung tangan Sonia dengan lembut. “Dan kini, kita berdiri di bawah langit yang cerah. Kamu layak mendapatkan semua kebahagiaan ini.”Hari itu, Sonia dan Albian memutuskan untuk mengadakan pesta kecil di rumah mereka. Tidak ada kemewahan berlebihan seperti acara keluarga besar sebelumnya, hanya kehangatan orang-orang terdekat yang setia mendampingi mereka selama ini.Pelayan-pelayan yang tersisa di rumah itu, yang sebagian besar telah menjadi seperti keluarga bagi Sonia, membantu menyiapkan makanan dan dekorasi. Mereka semua tampak bersemangat, seperti merayakan keberhasilan Sonia yang kini benar-benar diterima seba
“Semuanya sudah siap.” Sonia mengumumkan dengan percaya diri di hadapan tim proyeknya. Mata mereka bersinar penuh harapan meskipun minggu-minggu sebelumnya mereka diliputi keraguan. Strategi baru yang dirancang Sonia berhasil menarik perhatian beberapa perusahaan besar yang bersedia mendanai proyek pembangunan sekolah tersebut. Tantangan terakhir adalah menyampaikan presentasi kepada dewan direksi dan para mitra. Jika Sonia gagal di tahap ini, seluruh proyek bisa runtuh. Hari presentasi tiba. Sonia bangun lebih awal, mengenakan setelan sederhana nan elegan yang mencerminkan profesionalisme. Di depan cermin, dia menarik napas panjang. “Kamu bisa melakukannya,” bisiknya pada dirinya sendiri. Albian menghampiri dari belakang, meletakkan tangannya di pundaknya. “Aku percaya padamu,” katanya dengan suara lembut. “Ingat, ini bukan hanya tentang membuktikan diri kepada keluargaku. Ini tentang memberikan dampak nyata pada hidup orang lain.” Wanita itu tersenyum kecil, merasakan duku
Malam itu, Bu Laura duduk di ruang kerjanya, tangannya menopang dagu sambil memikirkan rencana baru. Sejak Tania pergi, Sonia terlihat lebih tegar. Hubungannya dengan Albian semakin kuat dan keluarga besar mulai memberikan dukungan kepada Sonia. Bu Laura tidak bisa membiarkan hal itu terus terjadi."Jika aku tidak melakukan sesuatu, wanita itu akan benar-benar menguasai keluarga ini," gumamnya. Dia membuka map di depannya yang penuh dokumen proyek amal keluarga mereka—sebuah proyek besar yang diinisiasi oleh keluarga besar Adikusumo sejak dulu.Matanya menyipit saat ide mulai terbentuk. Dia memutuskan untuk memberikan Sonia tanggung jawab besar—sebuah ujian yang, menurutnya, akan membuktikan apakah Sonia benar-benar layak menjadi bagian dari keluarga mereka.Setelah beberapa harinya, Bu Laura memanggil Sonia untuk bertemu di ruang tamu. Sonia datang dengan sedikit canggung, tidak terbiasa diajak berbicara langsung oleh mertuanya.“Ibu mau ketemu aku?” tanya Sonia dengan sopan begitu d
Pagi itu, Sonia sedang menyiapkan sarapan ketika Tania masuk ke dapur dengan raut wajah yang tak biasa. Matanya bersinar dan senyumnya tidak dapat disembunyikan.“Kak Sonia, aku punya kabar baik!” seru Tania, suaranya penuh semangat.Sonia menoleh, meletakkan panci di atas meja. “Apa itu? Cepat ceritain!”Tania mengeluarkan amplop dari tasnya dan menyerahkannya kepada Sonia. “Ini ... aku diterima di program beasiswa untuk melanjutkan studi ke luar negeri!”Sonia membuka amplop itu dengan tangan sedikit gemetar. Mata bulatnya membelalak ketika membaca isi surat tersebut. “Tania! Ini luar biasa!” serunya sambil memeluk adiknya erat.Beasiswa itu adalah impian Tania selama bertahun-tahun, tetapi selama ini tampak mustahil karena keterbatasan finansial. Namun, berkat dukungan Albian yang membantu memfasilitasi aplikasi dan memperkenalkan Tania ke orang-orang yang tepat, kesempatan ini akhirnya menjadi nyata.“Aku nggak percaya ini benar-benar terjadi,” kata Tania, duduk di meja makan deng