"Kayaknya kamu emang gadis baik-baik, Sonia. Aku gak nyangka banget kalo di dalam kimono itu ada kaos dan celana pendek yang gak ketat," tutur Jessica memindai tubuh Sonia dari kaki sampai kepala. Gagal sudah rencananya merekam video untuk dijadikan ancaman di masa depan."Aku gak tahu aku ini baik atau enggak karena kita semua tahu aku di sini demi uang. Pastinya aku selalu khawatir terlalu terbuka meskipun itu di kolam renang, kecuali sudah memastikan tiada sesiapa di sini. Sebenarnya aku hanya malu melihat perut sendiri, Kak. Gimana pun, aku hamil anak suami orang." Sonia mengatakan itu semua bukan tanpa tujuan, dia berusaha mencari binar kecemburuan pada kedua mata Jessica.Pandangan mereka bertemu di satu titik yang sama, begitu lama. Namun, Sonia tidak juga menemukan jawaban. Bisa saja wanita itu menyembunyikan rasa cemburu karena khawatir ada konflik dalam hal sepele."Apa pun yang menjadi alasanmu, aku salut. Makanya aku ngerasa kamu itu emang layak mendapatkan posisi ini dan
Sonia termenung dalam kamar seorang diri ketika mengingat alasan yang disebut oleh Indah tadi. Wanita berpakaian seragam pelayan itu benar-benar tahu segalanya. Menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan, hal tersebut dilakukan berulang kali untuk melonggarkan dada yang terasa sesak. Bagaimana bisa Jessica begitu tega pada suami yang mencintainya dengan tulus? Dia hidup bak seorang ratu, tidak menyentuh pekerjaan rumah dan leluasa menggunakan uang, baik perawatan, belanja, atau apa pun itu. Apa dia tidak tahu bahwa di luar sana ada beberapa istri yang terpaksa membantu suaminya mencari nafkah atau harus beradu mulut dengan mertua karena masalah nafkah yang tidak cukup? Bukan, bukan merasa tidak cukup, tetapi itulah kebenarannya. Beberapa kali Sonia mendapati tetangga harus bertengkar dengan suami karena dijatah dua puluh ribu sehari, tetapi harus menyuguhkan makanan bergizi. Itu bisa saja andai beras dan kebutuhan lainnya tersedia hingga istri cukup membeli minyak goreng. Jess
"Mbak, sebenarnya aku penasaran akan sesuatu," kata Sonia mencekal tangan Indah ketika dia baru saja mengambil sapu.Wanita yang memakai seragam pelayan itu menaikkan sebelah alisnya. "Sesuatu apa itu, Non?""Pertama kali makan di rumah ini, aku masih ingat dengan menunya yang super sederhana seolah-olah Mas Al itu bukan orang kaya. Namun, dalam sebulan terakhir mulai berbeda. Aku lihat ada banyak hidangan, berbagai macam.""Mungkin ini terdengar sepele untuk ditanyakan, tetapi mungkin Non Sonia benar-benar butuh jawaban. Setahu aku, Bu Jessi sengaja meminta kami menyiapkan menu sederhana agar Pak Albian menganggap istrinya tidak gila harta dan bisa mengelola keuangan dengan baik. Selain itu, Bu Jessi juga ingin menghemat lebih sering dengan alasan bahwa roda kehidupan berputar. Entah itu tulus atau hanya ingin menarik perhatian Pak Al. Kalau dalam sebulan terakhir, itu semua karena permintaan Pak Al pada kami. Katanya bosan kalau lauk yang sama setiap hari. Tentu kami menuruti, ibara
Sore menjelang Magrib, Sonia melihat Jessica melangkah cepat menuju taman. Rasa penasaran pun seketika membuncah di dalam hati karena khawatir ada sesuatu yang kembali direncanakan.Wanita yang memakai dress hitam itu terlihat menghela napas berat ketika memandangi ponselnya. Beberapa detik kemudian, benda pipih itu menempel di telinga kanan Jessica sendiri. Seseorang pun berbicara dari sana, tetapi Sonia tidak mampu mendengarnya."Kenapa kita gak balik ke rencana awal, malah berantakan kayak gini? Awas aja kalau sampai gagal, aku gak akan maafin kamu, apalagi ikut pulang ke London."London? Kedua alis Sonia saling bertaut. Siapa yang mengajak wanita itu ke sana?"Iya, aku udah nurutin semua maunya kamu. Aku buat Sonia bingung antara mau deketin Mas Al atau nggak. Harapannya, sih, mereka deket biar aku gak perlu lagi tinggal sama dia dan kalau anak itu lahir, paling dia ikut sama Mas Al aja. Aku mah ogah ngurus bayi!"Sonia tidak tahu pasti alasan wanita itu membuat dirinya dilema. Ak
"Mas? Kenapa?"Albian menggeleng pelan. Dia ingat betul bermimpi menjadi seorang raja yang begitu mencintai sang ratu, tetapi suatu hari bertemu seorang dayang dan jatuh cinta padanya. Dayang itu dia jadikan selir istana. Hati Albian berpaling, bahkan mengirim sang ratu ke pengasingan agar selirnya bisa naik takhta.Tidak lama setelah itu, tersebar cerita tentang raja yang dianggap tiran terburuk karena begitu tega membuang ratu demi selir kesayangannya. Pertumpahan darah pun terjadi ketika kedua fraksi saling bertentangan dalam hal tersebut. Albian yang berposisi sebagai raja memilih untuk menutup mata meskipun tahu bahwa selir yang telah menjadi ratu baru itu terlibat dalam kematian mendiang ratu terdahulu.Mimpi tersebut diceritakan pada Jessica. Wanita itu tertawa dan mengatakan bahwa mereka akan selalu bersama selamanya mengingat sekarang adalah era modern. Akan tetapi, mendengar perkataan Sonia tadi tentang mimpi buruk yang tidak boleh diceritakan, akankah semua menjadi nyata?D
Bab 37Setelah membuka pintu kamar, Albian menghela napas berat. Dia berusaha menahan tawa ketika melihat istrinya sedang mengamuk pada tembok. Ada apa? Mungkinkah sesuatu tengah mengusik pikirannya?Albian merasa istrinya semakin cantik ketika merajuk. Bibir itu terlihat mungil sekali."Mas, kamu udah balik?" Sonia yang baru menyadari kehadiran suaminya seketika memperbaiki posisi duduk sambil merapikan rambut yang dia acak sendiri tadi.Bagaimana tidak, lelaki itu selalu berhasil membuatnya kesal. Kenapa harus keluar dari kamar setelah semua yang terjadi?Sonia menunduk ketika mereka beradu pandang untuk waktu yang lama, kemudian diam-diam mengukir senyum. Dalam hati bertanya, bisakah dia melakukan apa yang dia mau? Menemani hari-hari Albian hingga maut memisahkan?Tidak dapat disangkal, Sonia merasa nyaman berada di dekat suaminya. Andai Jessica mencintai dengan tulus, maka perasaan itu akan berusaha dia bunuh. Namun, pengkhianatan dibalas pengkhianatan terdengar lebih menarik."Ke
Bab 38Entah kenapa Albian sekarang lebih perhatian pada wanita yang sedang berbadan dua itu. Setiap kali dibutuhkan, dia selalu berusaha ada. Tidak seperti dulu di mana dia melakukannya karena terpaksa, didesak Jessica dengan alasan ibu hamil itu harus dituruti.Hari-hari yang dilalui penuh canda dan tawa, seperti saat Albian sedang dimabuk cinta Jessica. Dia merasakan bunga-bunga bermekaran dalam hatinya ketika berada di dekat Sonia. Lelaki itu tidak mampu mengelak, dia benar-benar terpesona, berhasil dibuat nyaman.Bukan hanya lelaki itu, Sonia pun sesungguhnya merasakan hal yang sama. Setiap kali berada di dekat Albian, jantungnya seketika berdetak tidak normal sampai harus menghela napas kasar. Setiap waktu bersama membuat Sonia merasa dilindungi.Beberapa hari yang lalu dia merasa telah jahat karena merebut lelaki itu dari Jessica, tetapi hatinya menepis rasa bersalah itu mengingat Jessica adalah wanita licik. Jika Sonia tidak menyerang lebih dulu, maka dia akan diserang habis-h
Bab 39Indah menatap dalam pada kedua mata Asri yang terlihat tidak tenang. Tentu saja karena sebenarnya wanita itu khawatir ketahuan dirinya sengaja mendukung Jessica melakukan kejahatan. Namun, setelah beberapa saat dalam keheningan, perlahan dia bisa menguasai diri hingga membalas tatapan itu."Aku nanya, Airin mana? Nggak adil kalau kita capek kerja, sedangkan dia santai-santai." Asri kembali membuka suara, kali ini terdengar penuh penekanan."Bibi suruh keluar beli bahan yang diperlukan di pasar." Bi Sumi yang menjawab ketika menyadari mereka hanya diam.Asri mendelik kesal. Dia merasa telah dibodohi oleh wanita tua itu. Akan tetapi, dia tidak bisa bertindak banyak mengingat Dea pun sedang berada di luar rumah dan jika mereka menanyakan itu, apa yang harus dia jawab? Sungguh dia tidak begitu pandai berbohong apalagi jika mendapat tatapan menghujam.Andai saja mau, baik Indah atau Bi Sumi bisa menanyakan keberadaan Dea karena mereka ada senior di sana. Sayang sekali, semua dirasa
Lima tahun berlalu sejak malam yang penuh tantangan di ballroom mewah itu. Hidup Sonia dan Albian kini terasa lebih stabil meski tetap penuh dinamika. Mereka telah melalui banyak hal bersama dan keluarga mereka tumbuh dengan cinta dan kebahagiaan.Di sebuah pagi musim semi yang cerah, suara tawa anak kecil terdengar di halaman rumah besar milik keluarga Albian. Farhan Damian Adikusumo, putra pertama mereka yang kini berusia lima tahun, sedang berlari-lari mengejar bola di bawah pengawasan pelayan. Sementara itu, Sonia berbaring di tempat tidur di kamar utama, tangannya menggenggam tangan Albian.“Bagaimana perasaanmu, Sayang?” tanya Albian dengan nada cemas, duduk di tepi ranjang. Wajahnya menunjukkan kecemasan bercampur antusiasme.“Sedikit tegang, tapi aku siap, Mas,” jawab Sonia dengan senyum kecil meski wajahnya terlihat lelah. Perut besarnya menunjukkan bahwa dia akan melahirkan kapan saja.Tiba-tiba, Sonia merasakan kontraksi yang tajam. Dia pun menggigit bibir bawahnya, mencoba
Pada malam yang lain sesuai permintaan Pak Adikusumo, acara berlangsung meriah di salah satu ballroom hotel mewah milik keluarga Albian. Lampu kristal menggantung megah di langit-langit, sementara para tamu dari kalangan pebisnis ternama dan tokoh masyarakat berdatangan dengan senyum ramah yang penuh formalitas.Sonia berdiri di samping Albian, mengenakan gaun malam berwarna biru safir yang anggun. Rambutnya disanggul sederhana dan senyum lembutnya mencerminkan rasa percaya diri yang baru dia temukan. Di tengah percakapan hangat dengan beberapa tamu, Sonia merasakan tatapan dingin sang mertua yang terus mengawasinya dari kejauhan.“Ibu pasti sedang merencanakan sesuatu,” pikir Sonia, tetapi dia tetap menjaga sikapnya.Di sudut ruangan, Bu Laura memandang Sonia dengan sorot mata sulit ditebak. Keberhasilan Sonia membantu perusahaan selamat dari krisis besar baru-baru ini membuatnya terkesan, meski dia enggan mengakui hal itu secara terbuka.Namun, ada sesuatu dalam diri wanita tua itu
"Ini lebih buruk dari yang kita kira," kata Albian dengan suara berat, meletakkan dokumen tebal di meja ruang rapatnya. Para eksekutif perusahaan duduk dengan wajah tegang, sementara layar proyektor di depannya menampilkan grafik penurunan tajam.Pesaing besar, Fortuna Corporation, telah meluncurkan produk baru yang hampir identik dengan salah satu produk unggulan perusahaan Albian. Tidak hanya itu, mereka berhasil menekan harga hingga jauh di bawah rata-rata pasar, membuat pelanggan utama perusahaan Albian mulai berpaling."Jika kita tidak segera menemukan solusi, kerugian ini bisa membuat kita kehilangan kontrak-kontrak utama," tambah salah satu direktur pemasaran.Albian menghela napas panjang. Matanya menyapu seluruh ruangan, mencoba mencari semangat dalam timnya yang tampak mulai kehilangan harapan.Ujian datang bertubi-tubi membuat kepalanya terasa berdenyut.***Di rumah, Sonia melihat Albian pulang lebih larut dari biasanya. Wajahnya terlihat kusut, dengan garis-garis kelelaha
“Ibu, ini sudah terlalu jauh!” Albian mendobrak masuk ke ruang kerja ibunya. Suaranya tajam, hampir seperti geram. Di tangannya ada dokumen yang baru saja dia ambil dari meja sang ibu. “Apa maksudmu menyelidiki masa lalu Sonia? Apa Ibu sudah tidak percaya sama anak sendiri?”Wanita tua itu menatap putranya dengan tenang meskipun ekspresinya dingin. “Ibu hanya memastikan, Albian. Sebagai ibu, tentu Ibu punya hak untuk melindungi keluarga. Apa kamu masih tidak mengerti itu?”“Keluarga? Itu termasuk Sonia sekarang! Dia adalah istriku, ibu dari anakku, dan bagian dari hidupku. Ibu tidak punya hak untuk merusak hubungan kami!”Bu Laura segera berdiri, menghadapi Albian dengan tatapan tajam. “Kamu terlalu percaya pada Sonia, seperti dulu kamu percaya pada Jessica. Kamu lupa bagaimana itu menghancurkanmu? Ibu tidak akan membiarkan kesalahan itu terulang!”"Jadi, Ibu menganggap mereka sama karena berasal dari latar belakang yang sama?" Suara Albian mulai pelan, tetapi tentu masih penuh peneka
“Sayang, kamu mau jalan-jalan sama aku nggak?” tanya Albian pagi itu, memecah keheningan di ruang makan. Mereka sedang menikmati sarapan sederhana bersama ibu Sonia.Sonia mengangkat alis, sedikit terkejut. “Ke mana, Mas?”Albian tersenyum kecil, seakan menyimpan rahasia. “Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan. Ini akan menjadi awal dari sesuatu yang baru untuk kita.”Mendengar itu, Bu Siti mengukir senyum dan beralih menatap putrinya. "Pergilah, Nak. Farhan biar sama Ibu.""Apa nggak merepotkan, Bu?" tanya Sonia sedikit ragu. Sungguh, dia tidak lagi ingin merepotkan ibunya karena di masa kecil pun selalu direpotkan meskipun memang sudah menjadi tugas Ibu untuk merawat anak-anaknya.Farhan memang memiliki baby sitter, tetapi tetap saja harus selalu dalam pengawasan. Sudah banyak kasus yang membuat bulu kuduk Sonia meremang. Ya, meskipun baby sitter itu berperilaku baik selama ini, entah dengan nanti."Nggak apa-apa. Farhan cucu Ibu, kan? Lagi pula anakmu itu pinter, lho. Nggak akan nge
“Ini akan menjadi hari yang istimewa, Sayang,” ujar Albian sambil menggenggam tangan istrinya erat. Matanya berbinar penuh cinta saat memandang wanita yang telah melalui banyak rintangan bersamanya.Sonia tersenyum kecil. “Aku masih nggak percaya semua ini akhirnya terjadi, Mas. Aku merasa seperti baru saja melewati badai yang panjang.”Lelaki berwajah tegas itu mengusap punggung tangan Sonia dengan lembut. “Dan kini, kita berdiri di bawah langit yang cerah. Kamu layak mendapatkan semua kebahagiaan ini.”Hari itu, Sonia dan Albian memutuskan untuk mengadakan pesta kecil di rumah mereka. Tidak ada kemewahan berlebihan seperti acara keluarga besar sebelumnya, hanya kehangatan orang-orang terdekat yang setia mendampingi mereka selama ini.Pelayan-pelayan yang tersisa di rumah itu, yang sebagian besar telah menjadi seperti keluarga bagi Sonia, membantu menyiapkan makanan dan dekorasi. Mereka semua tampak bersemangat, seperti merayakan keberhasilan Sonia yang kini benar-benar diterima seba
“Semuanya sudah siap.” Sonia mengumumkan dengan percaya diri di hadapan tim proyeknya. Mata mereka bersinar penuh harapan meskipun minggu-minggu sebelumnya mereka diliputi keraguan. Strategi baru yang dirancang Sonia berhasil menarik perhatian beberapa perusahaan besar yang bersedia mendanai proyek pembangunan sekolah tersebut. Tantangan terakhir adalah menyampaikan presentasi kepada dewan direksi dan para mitra. Jika Sonia gagal di tahap ini, seluruh proyek bisa runtuh. Hari presentasi tiba. Sonia bangun lebih awal, mengenakan setelan sederhana nan elegan yang mencerminkan profesionalisme. Di depan cermin, dia menarik napas panjang. “Kamu bisa melakukannya,” bisiknya pada dirinya sendiri. Albian menghampiri dari belakang, meletakkan tangannya di pundaknya. “Aku percaya padamu,” katanya dengan suara lembut. “Ingat, ini bukan hanya tentang membuktikan diri kepada keluargaku. Ini tentang memberikan dampak nyata pada hidup orang lain.” Wanita itu tersenyum kecil, merasakan duku
Malam itu, Bu Laura duduk di ruang kerjanya, tangannya menopang dagu sambil memikirkan rencana baru. Sejak Tania pergi, Sonia terlihat lebih tegar. Hubungannya dengan Albian semakin kuat dan keluarga besar mulai memberikan dukungan kepada Sonia. Bu Laura tidak bisa membiarkan hal itu terus terjadi."Jika aku tidak melakukan sesuatu, wanita itu akan benar-benar menguasai keluarga ini," gumamnya. Dia membuka map di depannya yang penuh dokumen proyek amal keluarga mereka—sebuah proyek besar yang diinisiasi oleh keluarga besar Adikusumo sejak dulu.Matanya menyipit saat ide mulai terbentuk. Dia memutuskan untuk memberikan Sonia tanggung jawab besar—sebuah ujian yang, menurutnya, akan membuktikan apakah Sonia benar-benar layak menjadi bagian dari keluarga mereka.Setelah beberapa harinya, Bu Laura memanggil Sonia untuk bertemu di ruang tamu. Sonia datang dengan sedikit canggung, tidak terbiasa diajak berbicara langsung oleh mertuanya.“Ibu mau ketemu aku?” tanya Sonia dengan sopan begitu d
Pagi itu, Sonia sedang menyiapkan sarapan ketika Tania masuk ke dapur dengan raut wajah yang tak biasa. Matanya bersinar dan senyumnya tidak dapat disembunyikan.“Kak Sonia, aku punya kabar baik!” seru Tania, suaranya penuh semangat.Sonia menoleh, meletakkan panci di atas meja. “Apa itu? Cepat ceritain!”Tania mengeluarkan amplop dari tasnya dan menyerahkannya kepada Sonia. “Ini ... aku diterima di program beasiswa untuk melanjutkan studi ke luar negeri!”Sonia membuka amplop itu dengan tangan sedikit gemetar. Mata bulatnya membelalak ketika membaca isi surat tersebut. “Tania! Ini luar biasa!” serunya sambil memeluk adiknya erat.Beasiswa itu adalah impian Tania selama bertahun-tahun, tetapi selama ini tampak mustahil karena keterbatasan finansial. Namun, berkat dukungan Albian yang membantu memfasilitasi aplikasi dan memperkenalkan Tania ke orang-orang yang tepat, kesempatan ini akhirnya menjadi nyata.“Aku nggak percaya ini benar-benar terjadi,” kata Tania, duduk di meja makan deng