Pagi itu, suasana di rumah Alexander terasa tenang seperti biasa. Di luar, matahari baru saja muncul di ufuk timur, sinarnya menyentuh setiap sudut rumah mewah milik Alexander dan Sarah. Alexander sedang bersiap-siap untuk pergi ke kantor, mengenakan setelan jas hitam yang rapi. Ia merapikan dasinya di depan cermin, memeriksa penampilannya sekali lagi sebelum keluar dari kamar."Sarah, aku berangkat dulu," ucap Alexander seraya mengintip ke dalam kamar bayi di mana Sarah sedang menyusui Zacky.Sarah tersenyum lembut dan mengangguk. "Hati-hati di jalan, sayang."Alexander membalas senyuman Sarah, lalu melangkah keluar dari kamar. Saat ia turun menuju pintu utama, sopir pribadinya, Pak Doni, sudah siap menunggu di depan dengan kunci mobil di tangan."Pak Doni, tolong ambilkan mobil saya di garasi. Saya akan segera keluar," perintah Alexander sambil melangkah ke arah pintu depan.Pak Doni mengangguk dan segera bergegas menuju garasi. Namun, saat Alexander hendak membuka pintu untuk kelua
Pagi itu, Adrian memutuskan untuk kembali mengunjungi rumah Alexander. Ia merasa ada hal-hal yang belum tersampaikan saat pertemuan terakhirnya dengan Sarah. Ada sesuatu di dalam hatinya yang mengganjal, sesuatu yang perlu ia sampaikan agar ia bisa benar-benar melanjutkan hidupnya. Dengan tekad bulat, Adrian membawa makanan kesukaan Sarah dan mainan untuk Zacky. Ia berharap kunjungannya kali ini bisa menjadi kesempatan untuk berbicara lebih dalam dengan Sarah.Sesampainya di rumah Alexander, Adrian disambut hangat oleh pembantu rumah tangga yang mengenali wajahnya dari kunjungan sebelumnya. "Selamat pagi, Pak Adrian. Silakan masuk, Nyonya Sarah sedang berada di ruang tamu bersama Zacky."Adrian mengangguk dan memasuki rumah besar itu dengan hati-hati, merasakan perasaan yang campur aduk di dalam dirinya. Rumah itu terasa nyaman dan hangat, namun ada sesuatu yang membuatnya merasa asing, mungkin karena ia menyadari bahwa ini bukan lagi tempatnya. Sarah telah membangun hidup yang baru
Amelia berdiri di seberang jalan, memandangi rumah besar yang baru saja didatangi Adrian. Pikirannya berputar-putar melihat Adrian keluar dari rumah itu. Ada sesuatu yang mengusik hatinya sejak pertemuan terakhir mereka. Kecurigaan yang selama ini ia coba tepis, kini kembali menghantui pikirannya.‘Kenapa Adrian datang ke rumah Sarah pagi-pagi begini? Apa yang sebenarnya terjadi antara mereka?’ pikir Amelia dengan cemas. Perasaan ini semakin kuat ketika ia melihat senyum tipis di wajah Adrian, seolah ada sesuatu yang disembunyikan pria itu.Adrian berjalan menuju mobilnya dengan langkah yang sedikit lesu. Namun, sebelum ia sempat membuka pintu mobil, Amelia dengan cepat melangkah ke arahnya dan menarik lengannya, membuat Adrian terhenti seketika."Amelia?" Adrian terkejut melihat Amelia yang tiba-tiba muncul di hadapannya. "Apa yang kamu lakukan di sini?"Amelia menatap Adrian dengan tajam, mencoba menahan emosi yang bergejolak di dalam dirinya. "Seharusnya aku yang bertanya seperti i
Amelia melangkah dengan hati-hati memasuki rumah Sarah. Perasaan was-was menyelimuti hatinya sejak melihat Adrian pagi tadi keluar dari rumah ini. Setelah pertemuan yang menegangkan dengan Adrian, Amelia merasa ada sesuatu yang belum selesai. Sesuatu yang memaksanya untuk berbicara dengan Sarah secepat mungkin. “Kak Sarah, apakah kamu ada waktu sebentar?” tanya Amelia ketika melihat Sarah sedang menyuapi Zacky di ruang tamu.Sarah tersenyum, meletakkan sendoknya dengan hati-hati sebelum mengalihkan perhatiannya kepada Amelia. “Tentu, Amelia. Ada apa?”Amelia ragu sejenak. Ia tidak ingin membuat suasana menjadi canggung atau menuduh Sarah tanpa dasar yang jelas. Namun, ia juga tidak bisa menahan kecemasannya lebih lama lagi. Akhirnya, ia memutuskan untuk mengutarakan isi hatinya dengan cara yang sehalus mungkin.“Aku tadi melihat Kak Adrian keluar dari rumahmu pagi-pagi sekali,” kata Amelia dengan nada hati-hati. “Aku tahu ini mungkin bukan urusanku, tapi aku penasaran... untuk apa A
Di kantor, Alexander merasakan suasana yang semakin mencekam. Beberapa hari terakhir, ia tak bisa tenang. Teror yang awalnya hanya berupa paket misterius, kini semakin sering menghantui kesehariannya. Tiap pagi, saat Alexander baru tiba di kantor, ia selalu mendapati sesuatu yang baru di mejanya—sebuah barang yang berhubungan dengan Daniel. Kadang sebuah pulpen, terkadang sebuah catatan kecil dengan tulisan yang tak bisa ia kenali, dan bahkan foto-foto lama Daniel yang seolah ingin mengingatkan sesuatu yang mengerikan. Hari ini, Alexander kembali menemukan sesuatu yang membuat jantungnya berdegup kencang. Sebuah jaket kulit usang yang pernah ia lihat dikenakan Daniel. Jaket itu diletakkan dengan rapi di kursinya, seolah-olah sengaja diposisikan untuk menyambutnya. Di dalam saku jaket tersebut, Alexander menemukan sebuah kertas kecil dengan tulisan yang membuat darahnya seketika membeku: “Hukuman akan datang, dan kamu akan membayar semuanya.” Alexander segera memanggil asistennya, J
Hari itu, Alexander pulang dengan tubuh yang terasa amat berat. Setelah berhari-hari penuh dengan tekanan, teror yang tak kunjung usai, serta kelelahan fisik dan mental yang menggerogoti, ia hanya ingin satu hal: pulang ke rumah dan melupakan semua masalah yang menghantuinya di kantor.Saat ia membuka pintu rumahnya, keheningan menyambutnya. Cahaya redup dari lampu-lampu rumah membuat suasana terasa hangat dan menenangkan. Alexander menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir rasa lelah yang menumpuk dalam dirinya. Langkah kakinya pelan namun pasti menuju ruang keluarga, tempat di mana ia tahu bahwa istri dan anaknya mungkin sedang beristirahat.Tepat seperti dugaannya, di sofa yang nyaman, Sarah tampak tertidur lelap dengan Zacky yang terbaring di pangkuannya. Pemandangan itu seketika menghapus rasa lelah yang ia rasakan. Ada sesuatu yang ajaib dalam momen itu—kedamaian yang hanya bisa ia temukan dalam kehadiran keluarganya.Alexander berdiri sejenak, menikmati pemandangan tersebut.
Pagi itu, Amelia berjalan menuju kafe favoritnya setelah selesai kuliah. Ia merasa butuh tempat untuk duduk sejenak dan menikmati secangkir kopi sambil merenung. Sejak beberapa hari terakhir, pikirannya terus dipenuhi oleh Adrian dan perasaan yang ia miliki. Rasa cemburu dan penasaran menggerogotinya, terutama setelah pertemuan terakhir mereka di rumah Sarah.Saat Amelia hendak memasuki kafe, matanya tak sengaja menangkap sosok yang familiar di seberang jalan. Di sana, berdiri Adrian yang sedang berbicara dengan seorang pria. Amelia memperhatikan lebih dekat, berusaha mengenali siapa pria tersebut. Namun, pria itu memakai masker dan topi yang menutupi sebagian besar wajahnya, membuatnya sulit dikenali.Rasa penasaran menggelitik Amelia. Mengapa Adrian berbicara dengan seseorang yang tampaknya berusaha menyembunyikan identitasnya? Amelia merasa ada sesuatu yang janggal. Tanpa berpikir panjang, ia memutuskan untuk mendekati mereka."Adrian!" teriak Amelia, melambaikan tangan untuk menar
Pagi itu, Alexander baru saja selesai sarapan bersama Sarah dan Zacky ketika ia menerima pesan dari James, asistennya yang selalu setia. Pesan itu singkat, namun cukup membuatnya terjaga sepenuhnya.*"Pak, saya mendapat informasi dari seorang saksi bahwa ada seseorang berpakaian hitam yang masuk ke ruangan Anda kemarin malam. Orang tersebut meletakkan sesuatu di atas meja Anda, sepertinya jas. Saya sudah meminta rekaman CCTV dan menyiapkan saksi untuk bertemu dengan Anda di kantor."*Mata Alexander langsung melebar membaca pesan tersebut. Perasaannya segera dipenuhi oleh rasa penasaran dan kecemasan. Siapa orang berpakaian hitam itu? Apakah ini ada hubungannya dengan teror yang ia terima akhir-akhir ini? Pikirannya langsung dipenuhi dengan berbagai kemungkinan, namun ia tahu satu hal pasti: ia harus segera pergi ke kantor untuk memastikan semuanya."Sarah, aku harus segera ke kantor," kata Alexander buru-buru sambil meletakkan cangkir kopinya.Sarah menatapnya dengan penuh kekhawatira
Kebahagiaan yang sempat Adrian rasakan saat kelahiran putrinya berubah menjadi kekhawatiran yang dalam. Ia tak bisa benar-benar tenang, mengingat betapa berbahayanya situasi antara Daniel dan Alexander. Adrian tahu bahwa satu-satunya cara untuk menghentikan siklus dendam ini adalah dengan menghadapi Daniel dan menemukan solusi yang benar-benar damai.Alexander juga menyadari ancaman yang belum sepenuhnya berlalu. Meski sempat tersentuh oleh kebahagiaan Adrian, pikirannya tak bisa lepas dari bayang-bayang pertemuan terakhirnya dengan Daniel. Dalam pertemuan itu, Daniel menunjukkan kemarahan dan kebencian yang mendalam, terutama setelah merasa dikhianati oleh Adrian. Alexander memahami bahwa dendam yang tersimpan dalam hati Daniel tak akan hilang begitu saja.Adrian akhirnya memutuskan bahwa ia harus berbicara langsung dengan Daniel. Ia mengatur pertemuan rahasia di tempat yang jauh dari hiruk-pikuk kota, berharap bisa melunakkan hati sepupunya itu. Sebelum pergi, ia menatap Amelia dan
Amelia duduk di kursi malas di rumah sakit, perutnya yang besar jelas menunjukkan bahwa ia sudah sangat dekat dengan waktu persalinan. Adrian duduk di sampingnya, menggenggam tangannya erat-erat. Meski bibirnya tersenyum lembut, ada ketegangan yang jelas di wajahnya. Hari itu, hari yang seharusnya dipenuhi kebahagiaan, malah diwarnai kekhawatiran karena ancaman Daniel yang masih menggantung di udara."Semua akan baik-baik saja," bisik Adrian, berusaha menenangkan istrinya. "Kita fokus pada kelahiran bayi kita dulu. Jangan pikirkan hal-hal yang lain."Amelia mengangguk, meskipun ia tahu Adrian juga sedang memikirkan hal yang sama. Ia tahu suaminya tertekan dengan situasi yang melibatkan Daniel. Namun, saat ini, yang terpenting baginya adalah menyambut buah hati mereka.Tiba-tiba, Amelia merasakan rasa sakit yang tajam di perutnya, seperti ada kontraksi yang datang lebih kuat dari sebelumnya. Ia mengerang pelan, membuat Adrian segera panik.“Amelia, kamu baik-baik saja?” Adrian langsung
Malam itu, suasana rumah Alexander dipenuhi ketenangan setelah kelahiran anak keduanya. Namun, di luar sana, badai besar sedang mendekat. Daniel, yang masih dikuasai amarah dan dendam, tidak bisa menerima kenyataan bahwa Adrian, adik sepupunya, memilih untuk melawan dan menghentikan niatnya.Sementara itu, di rumah sakit, Sarah telah dipindahkan ke kamar pemulihan bersama bayi perempuannya yang sehat. Alexander tak lepas dari sisi istrinya. Meski ia merasa lega karena anak keduanya lahir dengan selamat, pikirannya tetap terpecah dengan ancaman yang menggantung di atas kepala mereka—Daniel.“Alex,” bisik Sarah dengan suara lembut, menggenggam tangan suaminya. “Kamu kelihatan sangat khawatir. Ada apa? Apakah sesuatu terjadi dengan Daniel?”Alexander mengangguk pelan. Ia tak ingin menyembunyikan apapun dari Sarah, meskipun ia tahu bahwa ini bukan saat yang tepat untuk membicarakan masalah besar. Namun, Sarah mengenalnya terlalu baik untuk dibiarkan dalam kegelapan.“Daniel... dia... mara
Suara napas Sarah semakin cepat, tubuhnya bergetar menahan rasa sakit yang semakin tak tertahankan. Pecahnya ketuban membuat semua orang di rumah panik, terutama Amelia yang tidak pernah melihat kakaknya dalam keadaan selemah ini. Amelia segera memegang tangan Sarah dengan erat, mencoba menenangkan kakaknya meski hatinya sendiri dipenuhi kekhawatiran. Sementara itu, Adrian sedang dalam perjalanan, berusaha secepat mungkin untuk menemukan Alexander."Adrian, tolong cepat kembali! Kak Sarah tidak sanggup lagi!" suara Amelia terdengar putus asa melalui telepon.Adrian mempercepat langkahnya, berpacu dengan waktu. Di tengah perjalanan, ia tak henti-hentinya mencoba menghubungi Alexander, tetapi ponselnya tetap mati. Rasa takut dan kekhawatiran merayap dalam dirinya. Ia tahu bahwa Daniel mungkin sudah melancarkan rencananya, dan jika Alexander tidak segera ditemukan, semuanya bisa berakhir buruk. Namun, saat ini, Adrian tidak hanya memikirkan Alexander, tapi juga Sarah dan bayinya yang aka
Di ruang gawat darurat rumah sakit, situasi semakin tegang. Sarah yang berbaring di ranjang rumah sakit sudah tampak pucat pasi. Pecah ketubannya datang lebih cepat dari perkiraan, dan rasa sakit yang menyiksanya semakin hebat. Amelia menggenggam erat tangan kakaknya, mencoba menenangkan Sarah, namun ketegangan tetap terasa jelas di wajahnya."Amelia... aku tidak bisa... ini terlalu sakit," bisik Sarah dengan suara yang nyaris putus asa."Sabar, Sarah. Kamu kuat. Aku di sini bersamamu, dan Adrian sedang berusaha menghubungi Alexander," ucap Amelia dengan nada lembut, meski dalam hatinya ia sendiri mulai panik. Adrian, yang berdiri tak jauh dari pintu, terlihat mondar-mandir sambil terus menempelkan ponselnya di telinga, mencoba menghubungi Alexander berkali-kali."Kenapa teleponnya selalu mati?" gumam Adrian, frustrasi. Ia menghela napas panjang, matanya terarah ke arah Sarah yang sedang berjuang. Rasa tanggung jawab mulai menekan hatinya. Apalagi dengan firasat buruk yang terus mengg
Malam itu, Sarah terbangun dengan rasa mulas yang menusuk di perutnya. Ia mengerang pelan, tangannya memegangi perut yang semakin membesar. Detik itu juga ia tahu bahwa ini adalah tanda bahwa waktu kelahiran anak keduanya telah tiba. Namun, Alexander belum juga kembali. Ia mencoba menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam, tapi kontraksi semakin kuat.Dengan tangan gemetar, Sarah meraih ponselnya dan segera menghubungi adiknya, Amelia. Sambil menunggu Amelia mengangkat panggilan, Sarah menggigit bibirnya, menahan rasa sakit yang semakin tak tertahankan."Amelia... aku butuh bantuanmu," suara Sarah terdengar panik saat Amelia akhirnya mengangkat telepon.Amelia yang mendengar suara panik kakaknya langsung terbangun dari tidurnya. "Sarah? Ada apa? Kau baik-baik saja?""Ini... aku rasa aku akan melahirkan, Amelia. Alexander belum juga pulang. Bisa kau datang ke sini dengan Adrian? Aku tidak kuat..."Mendengar suara lemah Sarah, Amelia langsung bergegas membangunkan Adrian yang masih te
Setelah Daniel pergi, Adrian duduk termenung di ruangannya, memikirkan langkah berikutnya. Situasi semakin memburuk. Meski ia sudah mencoba berbicara dengan Daniel, semuanya malah semakin rumit. Kini, ia harus memikirkan cara untuk menghentikan Daniel sebelum balas dendam itu benar-benar menghancurkan semua orang, termasuk Amelia yang kini menjadi pusat perhatian di antara mereka.Amelia, yang selama ini selalu tampak ceria, belakangan mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan emosional. Adrian menyadari betapa sulitnya bagi Amelia untuk berada di tengah konflik yang ia sendiri mungkin tidak sepenuhnya pahami. Ia tak pernah membayangkan bahwa Amelia akan terjebak di antara dendam keluarga yang tak berkesudahan ini.Setelah beberapa saat berpikir, Adrian memutuskan untuk pulang lebih awal. Ia ingin berbicara dengan Amelia tentang semua yang terjadi. Ada banyak hal yang belum Amelia ketahui, dan Adrian merasa ini adalah saat yang tepat untuk mengungkapkan semuanya. Di satu sisi, Adrian ta
Daniel berjalan bolak-balik di dalam ruangan gelap dengan wajah tegang. Pikiran tentang pengkhianatan Adrian terus membayangi. Adrian, yang seharusnya berada di sisinya, justru mulai menunjukkan sikap sebaliknya. Dan sekarang, Adrian bahkan meminta dia berhenti dari rencana balas dendam yang sudah lama dia susun. Suara langkah kaki Daniel menggema di ruangan itu, hingga akhirnya dia menghentikan gerakannya dan memandang Adrian dengan sorot mata marah."Kenapa kau tiba-tiba berubah pikiran, Adrian?" tanya Daniel dengan nada dingin yang menggigilkan. "Kita sudah sepakat bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk membalas dendam pada Alexander. Kenapa sekarang kau memutuskan untuk mengkhianatiku?"Adrian, yang berdiri di sudut ruangan, menghela napas panjang. Wajahnya tampak lelah, dan dia menatap Daniel dengan tatapan tenang, tapi tegas. "Ini bukan soal pengkhianatan, Daniel. Ini soal menghentikan siklus kebencian yang tak ada gunanya. Apa yang kau harapkan dari semua ini? Kehancuran Ale
Hari itu, Alexander kembali ke rumah dengan hati yang penuh beban. Pikirannya tak bisa lepas dari pesan-pesan di ponsel tua yang ia temukan di kantor lama Daniel. Jika benar Daniel masih hidup, apa tujuan dari semua ini? Apa yang sebenarnya sedang dia rencanakan? Di dalam hatinya, Alexander tahu ini bukan lagi sekadar balas dendam pribadi, ada sesuatu yang lebih besar, lebih gelap, yang terpendam di bawah permukaan.Sesampainya di rumah, Alexander disambut oleh Sarah yang sedang bermain bersama Zacky di ruang tengah. Melihat kebahagiaan di wajah istri dan anaknya sedikit meredakan kegelisahan yang menghantuinya."Kamu pulang terlambat lagi, Sayang," kata Sarah sambil tersenyum hangat. "Ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan?"Alexander tersenyum tipis, mendekati Sarah dan mencium pipinya. "Banyak yang terjadi di kantor, tapi aku tidak ingin membebanimu dengan masalah itu."Sarah menatap Alexander dengan penuh perhatian, mengetahui bahwa suaminya sedang menutupi sesuatu. Namun, dia memi