Pagi itu, Adrian memutuskan untuk kembali mengunjungi rumah Alexander. Ia merasa ada hal-hal yang belum tersampaikan saat pertemuan terakhirnya dengan Sarah. Ada sesuatu di dalam hatinya yang mengganjal, sesuatu yang perlu ia sampaikan agar ia bisa benar-benar melanjutkan hidupnya. Dengan tekad bulat, Adrian membawa makanan kesukaan Sarah dan mainan untuk Zacky. Ia berharap kunjungannya kali ini bisa menjadi kesempatan untuk berbicara lebih dalam dengan Sarah.Sesampainya di rumah Alexander, Adrian disambut hangat oleh pembantu rumah tangga yang mengenali wajahnya dari kunjungan sebelumnya. "Selamat pagi, Pak Adrian. Silakan masuk, Nyonya Sarah sedang berada di ruang tamu bersama Zacky."Adrian mengangguk dan memasuki rumah besar itu dengan hati-hati, merasakan perasaan yang campur aduk di dalam dirinya. Rumah itu terasa nyaman dan hangat, namun ada sesuatu yang membuatnya merasa asing, mungkin karena ia menyadari bahwa ini bukan lagi tempatnya. Sarah telah membangun hidup yang baru
Amelia berdiri di seberang jalan, memandangi rumah besar yang baru saja didatangi Adrian. Pikirannya berputar-putar melihat Adrian keluar dari rumah itu. Ada sesuatu yang mengusik hatinya sejak pertemuan terakhir mereka. Kecurigaan yang selama ini ia coba tepis, kini kembali menghantui pikirannya.‘Kenapa Adrian datang ke rumah Sarah pagi-pagi begini? Apa yang sebenarnya terjadi antara mereka?’ pikir Amelia dengan cemas. Perasaan ini semakin kuat ketika ia melihat senyum tipis di wajah Adrian, seolah ada sesuatu yang disembunyikan pria itu.Adrian berjalan menuju mobilnya dengan langkah yang sedikit lesu. Namun, sebelum ia sempat membuka pintu mobil, Amelia dengan cepat melangkah ke arahnya dan menarik lengannya, membuat Adrian terhenti seketika."Amelia?" Adrian terkejut melihat Amelia yang tiba-tiba muncul di hadapannya. "Apa yang kamu lakukan di sini?"Amelia menatap Adrian dengan tajam, mencoba menahan emosi yang bergejolak di dalam dirinya. "Seharusnya aku yang bertanya seperti i
Amelia melangkah dengan hati-hati memasuki rumah Sarah. Perasaan was-was menyelimuti hatinya sejak melihat Adrian pagi tadi keluar dari rumah ini. Setelah pertemuan yang menegangkan dengan Adrian, Amelia merasa ada sesuatu yang belum selesai. Sesuatu yang memaksanya untuk berbicara dengan Sarah secepat mungkin. “Kak Sarah, apakah kamu ada waktu sebentar?” tanya Amelia ketika melihat Sarah sedang menyuapi Zacky di ruang tamu.Sarah tersenyum, meletakkan sendoknya dengan hati-hati sebelum mengalihkan perhatiannya kepada Amelia. “Tentu, Amelia. Ada apa?”Amelia ragu sejenak. Ia tidak ingin membuat suasana menjadi canggung atau menuduh Sarah tanpa dasar yang jelas. Namun, ia juga tidak bisa menahan kecemasannya lebih lama lagi. Akhirnya, ia memutuskan untuk mengutarakan isi hatinya dengan cara yang sehalus mungkin.“Aku tadi melihat Kak Adrian keluar dari rumahmu pagi-pagi sekali,” kata Amelia dengan nada hati-hati. “Aku tahu ini mungkin bukan urusanku, tapi aku penasaran... untuk apa A
Di kantor, Alexander merasakan suasana yang semakin mencekam. Beberapa hari terakhir, ia tak bisa tenang. Teror yang awalnya hanya berupa paket misterius, kini semakin sering menghantui kesehariannya. Tiap pagi, saat Alexander baru tiba di kantor, ia selalu mendapati sesuatu yang baru di mejanya—sebuah barang yang berhubungan dengan Daniel. Kadang sebuah pulpen, terkadang sebuah catatan kecil dengan tulisan yang tak bisa ia kenali, dan bahkan foto-foto lama Daniel yang seolah ingin mengingatkan sesuatu yang mengerikan. Hari ini, Alexander kembali menemukan sesuatu yang membuat jantungnya berdegup kencang. Sebuah jaket kulit usang yang pernah ia lihat dikenakan Daniel. Jaket itu diletakkan dengan rapi di kursinya, seolah-olah sengaja diposisikan untuk menyambutnya. Di dalam saku jaket tersebut, Alexander menemukan sebuah kertas kecil dengan tulisan yang membuat darahnya seketika membeku: “Hukuman akan datang, dan kamu akan membayar semuanya.” Alexander segera memanggil asistennya, J
Hari itu, Alexander pulang dengan tubuh yang terasa amat berat. Setelah berhari-hari penuh dengan tekanan, teror yang tak kunjung usai, serta kelelahan fisik dan mental yang menggerogoti, ia hanya ingin satu hal: pulang ke rumah dan melupakan semua masalah yang menghantuinya di kantor.Saat ia membuka pintu rumahnya, keheningan menyambutnya. Cahaya redup dari lampu-lampu rumah membuat suasana terasa hangat dan menenangkan. Alexander menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir rasa lelah yang menumpuk dalam dirinya. Langkah kakinya pelan namun pasti menuju ruang keluarga, tempat di mana ia tahu bahwa istri dan anaknya mungkin sedang beristirahat.Tepat seperti dugaannya, di sofa yang nyaman, Sarah tampak tertidur lelap dengan Zacky yang terbaring di pangkuannya. Pemandangan itu seketika menghapus rasa lelah yang ia rasakan. Ada sesuatu yang ajaib dalam momen itu—kedamaian yang hanya bisa ia temukan dalam kehadiran keluarganya.Alexander berdiri sejenak, menikmati pemandangan tersebut.
Pagi itu, Amelia berjalan menuju kafe favoritnya setelah selesai kuliah. Ia merasa butuh tempat untuk duduk sejenak dan menikmati secangkir kopi sambil merenung. Sejak beberapa hari terakhir, pikirannya terus dipenuhi oleh Adrian dan perasaan yang ia miliki. Rasa cemburu dan penasaran menggerogotinya, terutama setelah pertemuan terakhir mereka di rumah Sarah.Saat Amelia hendak memasuki kafe, matanya tak sengaja menangkap sosok yang familiar di seberang jalan. Di sana, berdiri Adrian yang sedang berbicara dengan seorang pria. Amelia memperhatikan lebih dekat, berusaha mengenali siapa pria tersebut. Namun, pria itu memakai masker dan topi yang menutupi sebagian besar wajahnya, membuatnya sulit dikenali.Rasa penasaran menggelitik Amelia. Mengapa Adrian berbicara dengan seseorang yang tampaknya berusaha menyembunyikan identitasnya? Amelia merasa ada sesuatu yang janggal. Tanpa berpikir panjang, ia memutuskan untuk mendekati mereka."Adrian!" teriak Amelia, melambaikan tangan untuk menar
Pagi itu, Alexander baru saja selesai sarapan bersama Sarah dan Zacky ketika ia menerima pesan dari James, asistennya yang selalu setia. Pesan itu singkat, namun cukup membuatnya terjaga sepenuhnya.*"Pak, saya mendapat informasi dari seorang saksi bahwa ada seseorang berpakaian hitam yang masuk ke ruangan Anda kemarin malam. Orang tersebut meletakkan sesuatu di atas meja Anda, sepertinya jas. Saya sudah meminta rekaman CCTV dan menyiapkan saksi untuk bertemu dengan Anda di kantor."*Mata Alexander langsung melebar membaca pesan tersebut. Perasaannya segera dipenuhi oleh rasa penasaran dan kecemasan. Siapa orang berpakaian hitam itu? Apakah ini ada hubungannya dengan teror yang ia terima akhir-akhir ini? Pikirannya langsung dipenuhi dengan berbagai kemungkinan, namun ia tahu satu hal pasti: ia harus segera pergi ke kantor untuk memastikan semuanya."Sarah, aku harus segera ke kantor," kata Alexander buru-buru sambil meletakkan cangkir kopinya.Sarah menatapnya dengan penuh kekhawatira
Amelia baru saja selesai dengan shift malamnya di kafe. Rasa lelah mulai menjalar ke seluruh tubuhnya, namun ia tetap merasa tenang. Jalanan sepi, hanya ditemani cahaya lampu jalan yang remang-remang, memberikan suasana malam yang sunyi. Ketika hendak pulang, ia melihat sosok yang familiar berjalan cepat di seberang jalan. Pria itu adalah Adrian."Kak Adrian.. " ucap Amelia. Ada yang aneh dengan cara Adrian berjalan, langkahnya tergesa-gesa dan tampak cemas. Amelia merasa ada sesuatu yang tidak beres, nalurinya mendorongnya untuk mengikuti pria itu tanpa sepengetahuannya. Amelia mengambil keputusan cepat untuk tidak pulang langsung dan mengikuti Adrian dari kejauhan. Jantungnya berdebar-debar saat ia memastikan agar jarak mereka tidak terlalu dekat. Dengan langkah hati-hati, Amelia menjaga agar Adrian tidak menyadari kehadirannya."Mau kemana ya dia?."Adrian terus berjalan dengan kecepatan yang konstan, seolah-olah ia memiliki tujuan yang jelas. Amelia mengikuti tanpa suara, menjaga