Siang itu, Amelia sedang duduk di meja kerjanya di salah satu sudut café yang tenang. Ia sedang sibuk menyelesaikan tugas kuliahnya yang menumpuk, ketika tiba-tiba suara langkah kaki yang dikenalnya mendekat. Ia mendongak dan melihat Adrian berdiri di depannya dengan senyum samar di wajahnya. "Amelia, apa kau punya waktu sebentar?" tanyanya dengan nada yang terdengar sedikit canggung. Amelia bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.Amelia tersenyum dan segera menutup laptopnya. "Tentu saja, Adrian. Duduklah," jawabnya sambil menunjuk kursi kosong di sebelahnya. "Ada apa? Kau terlihat agak khawatir."Adrian menarik napas panjang sebelum duduk di hadapan Amelia. Tatapannya kosong sejenak, seolah-olah ia sedang mencari kata-kata yang tepat untuk memulai pembicaraan ini. Setelah beberapa detik hening, ia akhirnya membuka suara."Aku… sebenarnya kembali ke Indonesia bukan hanya untuk berlibur atau mencari pekerjaan baru," Adrian memulai, suaranya terdengar rendah dan penuh b
Pagi itu, suasana di rumah Alexander terasa tenang seperti biasa. Di luar, matahari baru saja muncul di ufuk timur, sinarnya menyentuh setiap sudut rumah mewah milik Alexander dan Sarah. Alexander sedang bersiap-siap untuk pergi ke kantor, mengenakan setelan jas hitam yang rapi. Ia merapikan dasinya di depan cermin, memeriksa penampilannya sekali lagi sebelum keluar dari kamar."Sarah, aku berangkat dulu," ucap Alexander seraya mengintip ke dalam kamar bayi di mana Sarah sedang menyusui Zacky.Sarah tersenyum lembut dan mengangguk. "Hati-hati di jalan, sayang."Alexander membalas senyuman Sarah, lalu melangkah keluar dari kamar. Saat ia turun menuju pintu utama, sopir pribadinya, Pak Doni, sudah siap menunggu di depan dengan kunci mobil di tangan."Pak Doni, tolong ambilkan mobil saya di garasi. Saya akan segera keluar," perintah Alexander sambil melangkah ke arah pintu depan.Pak Doni mengangguk dan segera bergegas menuju garasi. Namun, saat Alexander hendak membuka pintu untuk kelua
Pagi itu, Adrian memutuskan untuk kembali mengunjungi rumah Alexander. Ia merasa ada hal-hal yang belum tersampaikan saat pertemuan terakhirnya dengan Sarah. Ada sesuatu di dalam hatinya yang mengganjal, sesuatu yang perlu ia sampaikan agar ia bisa benar-benar melanjutkan hidupnya. Dengan tekad bulat, Adrian membawa makanan kesukaan Sarah dan mainan untuk Zacky. Ia berharap kunjungannya kali ini bisa menjadi kesempatan untuk berbicara lebih dalam dengan Sarah.Sesampainya di rumah Alexander, Adrian disambut hangat oleh pembantu rumah tangga yang mengenali wajahnya dari kunjungan sebelumnya. "Selamat pagi, Pak Adrian. Silakan masuk, Nyonya Sarah sedang berada di ruang tamu bersama Zacky."Adrian mengangguk dan memasuki rumah besar itu dengan hati-hati, merasakan perasaan yang campur aduk di dalam dirinya. Rumah itu terasa nyaman dan hangat, namun ada sesuatu yang membuatnya merasa asing, mungkin karena ia menyadari bahwa ini bukan lagi tempatnya. Sarah telah membangun hidup yang baru
Amelia berdiri di seberang jalan, memandangi rumah besar yang baru saja didatangi Adrian. Pikirannya berputar-putar melihat Adrian keluar dari rumah itu. Ada sesuatu yang mengusik hatinya sejak pertemuan terakhir mereka. Kecurigaan yang selama ini ia coba tepis, kini kembali menghantui pikirannya.‘Kenapa Adrian datang ke rumah Sarah pagi-pagi begini? Apa yang sebenarnya terjadi antara mereka?’ pikir Amelia dengan cemas. Perasaan ini semakin kuat ketika ia melihat senyum tipis di wajah Adrian, seolah ada sesuatu yang disembunyikan pria itu.Adrian berjalan menuju mobilnya dengan langkah yang sedikit lesu. Namun, sebelum ia sempat membuka pintu mobil, Amelia dengan cepat melangkah ke arahnya dan menarik lengannya, membuat Adrian terhenti seketika."Amelia?" Adrian terkejut melihat Amelia yang tiba-tiba muncul di hadapannya. "Apa yang kamu lakukan di sini?"Amelia menatap Adrian dengan tajam, mencoba menahan emosi yang bergejolak di dalam dirinya. "Seharusnya aku yang bertanya seperti i
Amelia melangkah dengan hati-hati memasuki rumah Sarah. Perasaan was-was menyelimuti hatinya sejak melihat Adrian pagi tadi keluar dari rumah ini. Setelah pertemuan yang menegangkan dengan Adrian, Amelia merasa ada sesuatu yang belum selesai. Sesuatu yang memaksanya untuk berbicara dengan Sarah secepat mungkin. “Kak Sarah, apakah kamu ada waktu sebentar?” tanya Amelia ketika melihat Sarah sedang menyuapi Zacky di ruang tamu.Sarah tersenyum, meletakkan sendoknya dengan hati-hati sebelum mengalihkan perhatiannya kepada Amelia. “Tentu, Amelia. Ada apa?”Amelia ragu sejenak. Ia tidak ingin membuat suasana menjadi canggung atau menuduh Sarah tanpa dasar yang jelas. Namun, ia juga tidak bisa menahan kecemasannya lebih lama lagi. Akhirnya, ia memutuskan untuk mengutarakan isi hatinya dengan cara yang sehalus mungkin.“Aku tadi melihat Kak Adrian keluar dari rumahmu pagi-pagi sekali,” kata Amelia dengan nada hati-hati. “Aku tahu ini mungkin bukan urusanku, tapi aku penasaran... untuk apa A
Di kantor, Alexander merasakan suasana yang semakin mencekam. Beberapa hari terakhir, ia tak bisa tenang. Teror yang awalnya hanya berupa paket misterius, kini semakin sering menghantui kesehariannya. Tiap pagi, saat Alexander baru tiba di kantor, ia selalu mendapati sesuatu yang baru di mejanya—sebuah barang yang berhubungan dengan Daniel. Kadang sebuah pulpen, terkadang sebuah catatan kecil dengan tulisan yang tak bisa ia kenali, dan bahkan foto-foto lama Daniel yang seolah ingin mengingatkan sesuatu yang mengerikan. Hari ini, Alexander kembali menemukan sesuatu yang membuat jantungnya berdegup kencang. Sebuah jaket kulit usang yang pernah ia lihat dikenakan Daniel. Jaket itu diletakkan dengan rapi di kursinya, seolah-olah sengaja diposisikan untuk menyambutnya. Di dalam saku jaket tersebut, Alexander menemukan sebuah kertas kecil dengan tulisan yang membuat darahnya seketika membeku: “Hukuman akan datang, dan kamu akan membayar semuanya.” Alexander segera memanggil asistennya, J
Hari itu, Alexander pulang dengan tubuh yang terasa amat berat. Setelah berhari-hari penuh dengan tekanan, teror yang tak kunjung usai, serta kelelahan fisik dan mental yang menggerogoti, ia hanya ingin satu hal: pulang ke rumah dan melupakan semua masalah yang menghantuinya di kantor.Saat ia membuka pintu rumahnya, keheningan menyambutnya. Cahaya redup dari lampu-lampu rumah membuat suasana terasa hangat dan menenangkan. Alexander menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir rasa lelah yang menumpuk dalam dirinya. Langkah kakinya pelan namun pasti menuju ruang keluarga, tempat di mana ia tahu bahwa istri dan anaknya mungkin sedang beristirahat.Tepat seperti dugaannya, di sofa yang nyaman, Sarah tampak tertidur lelap dengan Zacky yang terbaring di pangkuannya. Pemandangan itu seketika menghapus rasa lelah yang ia rasakan. Ada sesuatu yang ajaib dalam momen itu—kedamaian yang hanya bisa ia temukan dalam kehadiran keluarganya.Alexander berdiri sejenak, menikmati pemandangan tersebut.
Pagi itu, Amelia berjalan menuju kafe favoritnya setelah selesai kuliah. Ia merasa butuh tempat untuk duduk sejenak dan menikmati secangkir kopi sambil merenung. Sejak beberapa hari terakhir, pikirannya terus dipenuhi oleh Adrian dan perasaan yang ia miliki. Rasa cemburu dan penasaran menggerogotinya, terutama setelah pertemuan terakhir mereka di rumah Sarah.Saat Amelia hendak memasuki kafe, matanya tak sengaja menangkap sosok yang familiar di seberang jalan. Di sana, berdiri Adrian yang sedang berbicara dengan seorang pria. Amelia memperhatikan lebih dekat, berusaha mengenali siapa pria tersebut. Namun, pria itu memakai masker dan topi yang menutupi sebagian besar wajahnya, membuatnya sulit dikenali.Rasa penasaran menggelitik Amelia. Mengapa Adrian berbicara dengan seseorang yang tampaknya berusaha menyembunyikan identitasnya? Amelia merasa ada sesuatu yang janggal. Tanpa berpikir panjang, ia memutuskan untuk mendekati mereka."Adrian!" teriak Amelia, melambaikan tangan untuk menar