Sarah mengunci pintu belakang rumahnya dengan hati yang masih berdebar. Pertemuan dengan Emily tadi meninggalkan bekas yang dalam di hatinya. Setelah memastikan pintu terkunci, dia berjalan ke dapur, menemukan Amelia sedang mencuci piring. Ia mendekat dengan langkah pelan, mencoba menenangkan dirinya."Amelia," panggil Sarah dengan suara lembut.Amelia tidak menoleh, masih sibuk dengan pekerjaannya. "Ada apa, Kak?" tanyanya dingin.Sarah merasa canggung. Amelia selalu bersikap keras di luar, tetapi Sarah tahu betapa besar perhatian yang diberikan adiknya. "Aku ingin berterima kasih atas apa yang kau lakukan tadi. Kau membelaku dengan sangat berani. Aku benar-benar terharu."Amelia berhenti sejenak, meletakkan piring yang sudah bersih. Ia menoleh, menatap Sarah dengan mata yang masih memancarkan ketegasan. "Itu bukan apa-apa, Kak. Aku hanya tidak bisa diam melihat orang menyakitimu."Sarah mendekat, meraih tangan Amelia yang dingin karena air. "Tetap saja, Amelia. Aku sangat berterima
Alexander berdiri di depan rumahnya, merasa gelisah karena tidak menemukan Sarah di dalam. Pikirannya penuh dengan pertanyaan. Setelah beberapa saat berdiam diri, ia memutuskan untuk pergi ke rumah Sarah dan menjemputnya kembali.Dalam perjalanan, Alexander merasakan campuran emosi yang sulit dijelaskan. Ia tahu bahwa Sarah sedang hamil anaknya, dan ia merasa bertanggung jawab atas keadaan ini. Namun, di sisi lain, hatinya masih terikat pada Emily, wanita yang selama ini ia cintai.Setibanya di rumah Sarah, Alexander turun dari mobilnya dengan langkah tegas. Ia mengetuk pintu dan menunggu. Amelia, yang mendengar ketukan tersebut, segera membuka pintu dan melihat Alexander berdiri di depannya."Amelia, aku datang untuk menjemput Sarah," kata Alexander tanpa basa-basi.Amelia menatap Alexander dengan mata tajam. "Kakakku tidak akan pergi denganmu, Alexander. Kau hanya membuat hatinya terluka."Alexander menghela napas panjang. "Aku tahu aku telah berbuat salah. Tapi Sarah sedang mengand
Sesampainya di rumah, Alexander merasa hatinya penuh dengan rasa bersalah. Dia segera menuju kamar Sarah dengan harapan bisa memperbaiki kesalahannya. Pintu kamar terbuka sedikit, memperlihatkan Sarah yang duduk di tepi tempat tidur, menatap kosong ke luar jendela."Sarah," panggil Alexander pelan, suaranya penuh penyesalan. Dia mendekat dengan langkah hati-hati, berharap bisa meredakan kekacauan yang telah ia buat.Sarah menoleh dengan senyum tipis, mata merah karena menangis. "Apa yang ingin kau katakan, Alexander?" tanyanya lembut namun tegas.Alexander menarik napas dalam. "Aku ingin meminta maaf. Aku tahu tadi siang aku membuat kesalahan besar. Aku tidak seharusnya meninggalkanmu demi Emily."Sarah mengangguk pelan. "Aku sudah menduga ini akan terjadi. Kau selalu memilih Emily, bahkan ketika kau berjanji padaku."Alexander merasa hatinya tercabik-cabik. "Sarah, aku tidak bisa mengubah masa lalu, tapi aku ingin kita bisa memperbaiki hubungan ini. Aku ingin bertanggung jawab."Sara
Pagi itu, Alexander bangun dengan tekad baru. Dia tahu bahwa dia harus mengambil langkah nyata untuk memperbaiki hubungannya dengan Sarah. Setelah berpikir semalaman, dia memutuskan untuk mengajak Sarah jalan-jalan ke mall, berharap bisa meminta maaf dan menunjukkan keseriusannya untuk memperbaiki hubungan mereka.Alexander masuk ke kamar Sarah dengan hati-hati. Sarah sedang duduk di depan cermin, menyisir rambutnya yang panjang. Ketika dia melihat bayangan Alexander di cermin, Sarah menoleh dan tersenyum tipis."Pagi, Sarah," sapa Alexander dengan lembut. "Aku ingin mengajakmu jalan-jalan hari ini. Kita bisa pergi ke mall, makan siang, dan berbelanja. Bagaimana menurutmu?"Sarah tampak terkejut dengan ajakan itu. Namun, dia bisa melihat kesungguhan di mata Alexander. Setelah berpikir sejenak, dia mengangguk pelan. "Baiklah, Mas Alex. Aku pikir kita memang perlu waktu untuk berbicara dan mencoba memperbaiki semuanya."Mendengar persetujuan Sarah, Alexander merasa lega. Dia berharap
Emily berjalan keluar dari sebuah kafe dengan suasana hati yang gundah. Hari itu, dia memutuskan untuk mencari hiburan di tengah kekacauan emosional yang dialaminya akibat pernikahan Alexander dengan Sarah. Sambil memikirkan strategi untuk merebut kembali Alexander, Emily tidak sengaja melihat Richard, ayah Alexander, di seberang jalan.Richard sedang berjalan bersama seorang wanita yang tampak lebih muda darinya. Mereka terlihat mesra, dengan tangan Richard melingkari pinggang wanita itu. Emily merasa terkejut dan penasaran. Dia memutuskan untuk mengikuti mereka secara diam-diam, memastikan apa yang dia lihat memang benar adanya.Mereka berdua masuk ke dalam sebuah restoran mewah. Emily menyelinap masuk, memilih meja yang agak tersembunyi namun tetap bisa melihat jelas gerak-gerik Richard dan wanita itu. Sambil memesan minuman, Emily terus mengawasi mereka.Richard dan wanita itu tampak menikmati makan malam mereka. Mereka tertawa bersama, saling bergenggaman tangan, dan Richard bahk
Malam itu, suasana di rumah keluarga Alexander tampak tenang dan hangat. Elizabeth sibuk menyiapkan hidangan makan malam istimewa, sementara Alexander dan Sarah duduk di ruang tamu, berbicara tentang rencana masa depan mereka. Sarah, meskipun masih merasa terluka dengan kehadiran Emily, berusaha untuk tetap berpikiran positif demi bayi yang ada dalam kandungannya.Tiba-tiba, bel pintu berbunyi. Richard dengan cepat bergegas membuka pintu dan tersenyum lebar ketika melihat tamu yang datang."Emily, terima kasih sudah datang," ujar Richard dengan nada ramah.Emily tersenyum manis dan melangkah masuk. "Terima kasih telah mengundangku, Richard."Alexander dan Sarah yang sedang berbincang terkejut melihat Emily masuk. Elizabeth, yang baru saja keluar dari dapur, juga tampak bingung dan cemas."Richard, ada apa ini? Mengapa Emily ada di sini?" tanya Elizabeth dengan nada berusaha tetap tenang.Richard merangkul Emily dengan akrab. "Emily adalah teman baik keluarga ini. Aku pikir tidak ada s
Malam telah berlalu dengan ketegangan yang tak kunjung mereda. Di dalam kamar utama, Elizabeth berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan gerakan cepat dan marah. Richard duduk di tepi tempat tidur, tampak gelisah."Bagaimana bisa kamu melakukan itu, Richard?!" seru Elizabeth dengan suara bergetar.Richard mencoba menjelaskan, "Elizabeth, aku hanya ingin yang terbaik untuk Alexander. Emily—""Emily apa?!" potong Elizabeth tajam. "Dia adalah masa lalu Alexander. Sekarang Alexander sudah menikah dengan Sarah, dan mereka sedang menanti kelahiran anak mereka. Kamu tidak bisa begitu saja mengabaikan itu!"Richard berdiri, mencoba mendekati istrinya. "Aku tahu ini sulit, tapi Emily juga penting bagi Alexander. Aku hanya berpikir—""Berpikir apa?" Elizabeth membalikkan badan, menatap suaminya dengan mata berapi-api. "Berpikir bahwa menghancurkan pernikahan anak kita adalah solusi terbaik? Kamu telah menyakiti hati Sarah dan merusak kepercayaan kita pada keluarga ini."Richard menghe
Malam itu, suasana di rumah keluarga Anderson terasa tenang setelah hari yang penuh ketegangan. Alexander berbaring di tempat tidurnya, mencoba melupakan semua peristiwa yang terjadi dengan membaca buku favoritnya. Namun, pikirannya terus berputar tentang semua yang telah terjadi, terutama tentang percakapannya dengan Emily dan perasaan bersalah yang masih mengganjal.Dia menarik napas panjang, berusaha fokus pada halaman yang sedang dibacanya. Tiba-tiba, dari sudut matanya, dia melihat pintu kamar mandi terbuka dan Sarah keluar. Rambutnya masih basah, tetesan air masih mengalir di ujung-ujungnya. Sarah mengenakan piyama satin pendek yang menonjolkan lekuk tubuhnya, membuat kulitnya tampak lebih bercahaya di bawah cahaya lampu kamar.Alexander merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Dia berusaha untuk tetap tenang, tetapi pemandangan itu membuatnya sulit berkonsentrasi. Sarah berjalan pelan menuju cermin, mengambil sisir untuk merapikan rambutnya. Gerakan sederhana itu terasa begitu m