Sesampainya di rumah, Alexander merasa hatinya penuh dengan rasa bersalah. Dia segera menuju kamar Sarah dengan harapan bisa memperbaiki kesalahannya. Pintu kamar terbuka sedikit, memperlihatkan Sarah yang duduk di tepi tempat tidur, menatap kosong ke luar jendela."Sarah," panggil Alexander pelan, suaranya penuh penyesalan. Dia mendekat dengan langkah hati-hati, berharap bisa meredakan kekacauan yang telah ia buat.Sarah menoleh dengan senyum tipis, mata merah karena menangis. "Apa yang ingin kau katakan, Alexander?" tanyanya lembut namun tegas.Alexander menarik napas dalam. "Aku ingin meminta maaf. Aku tahu tadi siang aku membuat kesalahan besar. Aku tidak seharusnya meninggalkanmu demi Emily."Sarah mengangguk pelan. "Aku sudah menduga ini akan terjadi. Kau selalu memilih Emily, bahkan ketika kau berjanji padaku."Alexander merasa hatinya tercabik-cabik. "Sarah, aku tidak bisa mengubah masa lalu, tapi aku ingin kita bisa memperbaiki hubungan ini. Aku ingin bertanggung jawab."Sara
Pagi itu, Alexander bangun dengan tekad baru. Dia tahu bahwa dia harus mengambil langkah nyata untuk memperbaiki hubungannya dengan Sarah. Setelah berpikir semalaman, dia memutuskan untuk mengajak Sarah jalan-jalan ke mall, berharap bisa meminta maaf dan menunjukkan keseriusannya untuk memperbaiki hubungan mereka.Alexander masuk ke kamar Sarah dengan hati-hati. Sarah sedang duduk di depan cermin, menyisir rambutnya yang panjang. Ketika dia melihat bayangan Alexander di cermin, Sarah menoleh dan tersenyum tipis."Pagi, Sarah," sapa Alexander dengan lembut. "Aku ingin mengajakmu jalan-jalan hari ini. Kita bisa pergi ke mall, makan siang, dan berbelanja. Bagaimana menurutmu?"Sarah tampak terkejut dengan ajakan itu. Namun, dia bisa melihat kesungguhan di mata Alexander. Setelah berpikir sejenak, dia mengangguk pelan. "Baiklah, Mas Alex. Aku pikir kita memang perlu waktu untuk berbicara dan mencoba memperbaiki semuanya."Mendengar persetujuan Sarah, Alexander merasa lega. Dia berharap
Emily berjalan keluar dari sebuah kafe dengan suasana hati yang gundah. Hari itu, dia memutuskan untuk mencari hiburan di tengah kekacauan emosional yang dialaminya akibat pernikahan Alexander dengan Sarah. Sambil memikirkan strategi untuk merebut kembali Alexander, Emily tidak sengaja melihat Richard, ayah Alexander, di seberang jalan.Richard sedang berjalan bersama seorang wanita yang tampak lebih muda darinya. Mereka terlihat mesra, dengan tangan Richard melingkari pinggang wanita itu. Emily merasa terkejut dan penasaran. Dia memutuskan untuk mengikuti mereka secara diam-diam, memastikan apa yang dia lihat memang benar adanya.Mereka berdua masuk ke dalam sebuah restoran mewah. Emily menyelinap masuk, memilih meja yang agak tersembunyi namun tetap bisa melihat jelas gerak-gerik Richard dan wanita itu. Sambil memesan minuman, Emily terus mengawasi mereka.Richard dan wanita itu tampak menikmati makan malam mereka. Mereka tertawa bersama, saling bergenggaman tangan, dan Richard bahk
Malam itu, suasana di rumah keluarga Alexander tampak tenang dan hangat. Elizabeth sibuk menyiapkan hidangan makan malam istimewa, sementara Alexander dan Sarah duduk di ruang tamu, berbicara tentang rencana masa depan mereka. Sarah, meskipun masih merasa terluka dengan kehadiran Emily, berusaha untuk tetap berpikiran positif demi bayi yang ada dalam kandungannya.Tiba-tiba, bel pintu berbunyi. Richard dengan cepat bergegas membuka pintu dan tersenyum lebar ketika melihat tamu yang datang."Emily, terima kasih sudah datang," ujar Richard dengan nada ramah.Emily tersenyum manis dan melangkah masuk. "Terima kasih telah mengundangku, Richard."Alexander dan Sarah yang sedang berbincang terkejut melihat Emily masuk. Elizabeth, yang baru saja keluar dari dapur, juga tampak bingung dan cemas."Richard, ada apa ini? Mengapa Emily ada di sini?" tanya Elizabeth dengan nada berusaha tetap tenang.Richard merangkul Emily dengan akrab. "Emily adalah teman baik keluarga ini. Aku pikir tidak ada s
Malam telah berlalu dengan ketegangan yang tak kunjung mereda. Di dalam kamar utama, Elizabeth berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan gerakan cepat dan marah. Richard duduk di tepi tempat tidur, tampak gelisah."Bagaimana bisa kamu melakukan itu, Richard?!" seru Elizabeth dengan suara bergetar.Richard mencoba menjelaskan, "Elizabeth, aku hanya ingin yang terbaik untuk Alexander. Emily—""Emily apa?!" potong Elizabeth tajam. "Dia adalah masa lalu Alexander. Sekarang Alexander sudah menikah dengan Sarah, dan mereka sedang menanti kelahiran anak mereka. Kamu tidak bisa begitu saja mengabaikan itu!"Richard berdiri, mencoba mendekati istrinya. "Aku tahu ini sulit, tapi Emily juga penting bagi Alexander. Aku hanya berpikir—""Berpikir apa?" Elizabeth membalikkan badan, menatap suaminya dengan mata berapi-api. "Berpikir bahwa menghancurkan pernikahan anak kita adalah solusi terbaik? Kamu telah menyakiti hati Sarah dan merusak kepercayaan kita pada keluarga ini."Richard menghe
Malam itu, suasana di rumah keluarga Anderson terasa tenang setelah hari yang penuh ketegangan. Alexander berbaring di tempat tidurnya, mencoba melupakan semua peristiwa yang terjadi dengan membaca buku favoritnya. Namun, pikirannya terus berputar tentang semua yang telah terjadi, terutama tentang percakapannya dengan Emily dan perasaan bersalah yang masih mengganjal.Dia menarik napas panjang, berusaha fokus pada halaman yang sedang dibacanya. Tiba-tiba, dari sudut matanya, dia melihat pintu kamar mandi terbuka dan Sarah keluar. Rambutnya masih basah, tetesan air masih mengalir di ujung-ujungnya. Sarah mengenakan piyama satin pendek yang menonjolkan lekuk tubuhnya, membuat kulitnya tampak lebih bercahaya di bawah cahaya lampu kamar.Alexander merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Dia berusaha untuk tetap tenang, tetapi pemandangan itu membuatnya sulit berkonsentrasi. Sarah berjalan pelan menuju cermin, mengambil sisir untuk merapikan rambutnya. Gerakan sederhana itu terasa begitu m
Pagi itu, Sarah bangun dengan semangat baru. Setelah malam yang panjang, ia merasa bahwa sekarang adalah saat yang tepat untuk memperbaiki hubungan dengan Alexander. Dengan penuh kasih sayang, ia menyiapkan sarapan spesial. Telur dadar, roti panggang, buah-buahan segar, dan kopi hangat tersusun rapi di atas nampan. Sarah berharap, sarapan ini bisa menjadi awal yang baik untuk hubungan mereka.Setelah semuanya siap, Sarah membawa nampan itu menuju ruang kerja Alexander. Namun, begitu ia mendekati pintu, Sarah mendengar suara yang sangat dikenalnya. Suara Emily. Dengan hati-hati, Sarah membuka pintu dan melihat pemandangan yang membuat hatinya tercekat. Emily berada di dalam ruangan, dan dia dan Alexander sedang berpelukan.Sarah mencoba menahan rasa cemburu yang membuncah di dadanya. Ia tahu bahwa amarah tidak akan membawa hasil apa pun. Dengan tenang, ia melangkah masuk ke ruangan dan tersenyum tipis, berusaha untuk tetap tenang dan elegan."Selamat pagi, mas Alex," sapa Sarah dengan
Amelia sedang sibuk melayani pelanggan di kafe tempatnya bekerja paruh waktu. Hari itu, kafe tampak lebih ramai dari biasanya, tetapi Amelia menikmati kesibukannya. Pekerjaan ini memberinya kesempatan untuk melupakan sejenak masalah yang terjadi di rumah, terutama mengenai kakaknya, Sarah, dan Alexander. Dengan apron yang melilit di pinggangnya dan senyum ramah yang selalu ia tunjukkan pada pelanggan, Amelia merasa hidupnya memiliki ritme yang menenangkan.Namun, ketenangan itu seketika terganggu ketika pintu kafe terbuka dan seorang pria masuk. Amelia yang sedang membawa nampan berisi minuman, langsung menyadari siapa pria itu. Daniel. Orang kepercayaan Alexander. Amelia menghela napas panjang, berusaha tetap tenang.Daniel berjalan menuju meja kosong dan duduk. Ketika Amelia mendekat untuk mengambil pesanan, Daniel menatapnya dengan ekspresi campur aduk."Amelia," sapa Daniel dengan nada datar."Daniel," balas Amelia singkat, tanpa menatap langsung ke arahnya."Apa yang kau lakukan