Malam itu, suasana di rumah keluarga Alexander tampak tenang dan hangat. Elizabeth sibuk menyiapkan hidangan makan malam istimewa, sementara Alexander dan Sarah duduk di ruang tamu, berbicara tentang rencana masa depan mereka. Sarah, meskipun masih merasa terluka dengan kehadiran Emily, berusaha untuk tetap berpikiran positif demi bayi yang ada dalam kandungannya.Tiba-tiba, bel pintu berbunyi. Richard dengan cepat bergegas membuka pintu dan tersenyum lebar ketika melihat tamu yang datang."Emily, terima kasih sudah datang," ujar Richard dengan nada ramah.Emily tersenyum manis dan melangkah masuk. "Terima kasih telah mengundangku, Richard."Alexander dan Sarah yang sedang berbincang terkejut melihat Emily masuk. Elizabeth, yang baru saja keluar dari dapur, juga tampak bingung dan cemas."Richard, ada apa ini? Mengapa Emily ada di sini?" tanya Elizabeth dengan nada berusaha tetap tenang.Richard merangkul Emily dengan akrab. "Emily adalah teman baik keluarga ini. Aku pikir tidak ada s
Malam telah berlalu dengan ketegangan yang tak kunjung mereda. Di dalam kamar utama, Elizabeth berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan gerakan cepat dan marah. Richard duduk di tepi tempat tidur, tampak gelisah."Bagaimana bisa kamu melakukan itu, Richard?!" seru Elizabeth dengan suara bergetar.Richard mencoba menjelaskan, "Elizabeth, aku hanya ingin yang terbaik untuk Alexander. Emily—""Emily apa?!" potong Elizabeth tajam. "Dia adalah masa lalu Alexander. Sekarang Alexander sudah menikah dengan Sarah, dan mereka sedang menanti kelahiran anak mereka. Kamu tidak bisa begitu saja mengabaikan itu!"Richard berdiri, mencoba mendekati istrinya. "Aku tahu ini sulit, tapi Emily juga penting bagi Alexander. Aku hanya berpikir—""Berpikir apa?" Elizabeth membalikkan badan, menatap suaminya dengan mata berapi-api. "Berpikir bahwa menghancurkan pernikahan anak kita adalah solusi terbaik? Kamu telah menyakiti hati Sarah dan merusak kepercayaan kita pada keluarga ini."Richard menghe
Malam itu, suasana di rumah keluarga Anderson terasa tenang setelah hari yang penuh ketegangan. Alexander berbaring di tempat tidurnya, mencoba melupakan semua peristiwa yang terjadi dengan membaca buku favoritnya. Namun, pikirannya terus berputar tentang semua yang telah terjadi, terutama tentang percakapannya dengan Emily dan perasaan bersalah yang masih mengganjal.Dia menarik napas panjang, berusaha fokus pada halaman yang sedang dibacanya. Tiba-tiba, dari sudut matanya, dia melihat pintu kamar mandi terbuka dan Sarah keluar. Rambutnya masih basah, tetesan air masih mengalir di ujung-ujungnya. Sarah mengenakan piyama satin pendek yang menonjolkan lekuk tubuhnya, membuat kulitnya tampak lebih bercahaya di bawah cahaya lampu kamar.Alexander merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Dia berusaha untuk tetap tenang, tetapi pemandangan itu membuatnya sulit berkonsentrasi. Sarah berjalan pelan menuju cermin, mengambil sisir untuk merapikan rambutnya. Gerakan sederhana itu terasa begitu m
Pagi itu, Sarah bangun dengan semangat baru. Setelah malam yang panjang, ia merasa bahwa sekarang adalah saat yang tepat untuk memperbaiki hubungan dengan Alexander. Dengan penuh kasih sayang, ia menyiapkan sarapan spesial. Telur dadar, roti panggang, buah-buahan segar, dan kopi hangat tersusun rapi di atas nampan. Sarah berharap, sarapan ini bisa menjadi awal yang baik untuk hubungan mereka.Setelah semuanya siap, Sarah membawa nampan itu menuju ruang kerja Alexander. Namun, begitu ia mendekati pintu, Sarah mendengar suara yang sangat dikenalnya. Suara Emily. Dengan hati-hati, Sarah membuka pintu dan melihat pemandangan yang membuat hatinya tercekat. Emily berada di dalam ruangan, dan dia dan Alexander sedang berpelukan.Sarah mencoba menahan rasa cemburu yang membuncah di dadanya. Ia tahu bahwa amarah tidak akan membawa hasil apa pun. Dengan tenang, ia melangkah masuk ke ruangan dan tersenyum tipis, berusaha untuk tetap tenang dan elegan."Selamat pagi, mas Alex," sapa Sarah dengan
Amelia sedang sibuk melayani pelanggan di kafe tempatnya bekerja paruh waktu. Hari itu, kafe tampak lebih ramai dari biasanya, tetapi Amelia menikmati kesibukannya. Pekerjaan ini memberinya kesempatan untuk melupakan sejenak masalah yang terjadi di rumah, terutama mengenai kakaknya, Sarah, dan Alexander. Dengan apron yang melilit di pinggangnya dan senyum ramah yang selalu ia tunjukkan pada pelanggan, Amelia merasa hidupnya memiliki ritme yang menenangkan.Namun, ketenangan itu seketika terganggu ketika pintu kafe terbuka dan seorang pria masuk. Amelia yang sedang membawa nampan berisi minuman, langsung menyadari siapa pria itu. Daniel. Orang kepercayaan Alexander. Amelia menghela napas panjang, berusaha tetap tenang.Daniel berjalan menuju meja kosong dan duduk. Ketika Amelia mendekat untuk mengambil pesanan, Daniel menatapnya dengan ekspresi campur aduk."Amelia," sapa Daniel dengan nada datar."Daniel," balas Amelia singkat, tanpa menatap langsung ke arahnya."Apa yang kau lakukan
Pagi itu, Sarah sedang duduk di ruang tamu rumah Alexander, menikmati secangkir teh hijau sambil membaca buku tentang kehamilan. Dia mencoba mengalihkan pikirannya dari masalah yang terus-menerus menghantuinya. Tiba-tiba, bel pintu berbunyi. Sarah meletakkan bukunya dan berjalan menuju pintu.Ketika dia membuka pintu, dia terkejut melihat Dr. Bayu berdiri di sana dengan senyuman ramah dan sebuah keranjang berisi buah-buahan segar di tangannya."Dr. Bayu, apa yang membawamu ke sini?" tanya Sarah dengan suara penuh keheranan.Dr. Bayu tersenyum. "Aku datang untuk memastikan bahwa kamu dan bayimu sehat, Sarah. Dan aku membawa beberapa buah-buahan segar untukmu. Mereka baik untuk kesehatanmu dan bayi."Sarah tersenyum lembut. "Terima kasih banyak, Dr. Bayu. Itu sangat perhatian dari kamu.""Harap panggil aku Bayu saja. Kita tidak perlu terlalu formal, kan?" kata Dr. Bayu dengan nada bercanda.Sarah tersenyum lagi. "Baiklah, Bayu. Masuklah, duduk dulu. Aku akan membuatkan teh untukmu."Dr.
Malam itu, suasana rumah terasa hening. Sarah duduk di ruang tamu, membaca buku tentang kehamilan sambil sesekali mengusap perutnya yang semakin membesar. Kehamilannya sudah memasuki bulan ke sembilan, dan dia mulai merasa cemas menantikan kelahiran bayinya. Elizabeth dan Richard sedang berpergian, meninggalkan Sarah sendirian di rumah besar itu. Alexander, suaminya, sedang keluar untuk karena rapat . Sarah memutuskan untuk pergi ke kamar mandi sebelum tidur. Saat dia berjalan menuju kamar mandi, tiba-tiba kakinya terpeleset di atas lantai yang licin. Tubuhnya terjatuh dengan keras ke lantai, dan dia merasakan sakit yang tajam di perutnya."Aduh!" Sarah berteriak, merasa perutnya sangat sakit. Dia mencoba bangkit, tetapi rasa sakitnya semakin parah. Ketika dia melihat ke bawah, dia terkejut melihat air ketuban yang mulai mengalir. "Oh tidak, ini terlalu cepat!" pikirnya panik.Sarah merasakan ketakutan yang mendalam. Dia tahu bahwa bayinya akan segera lahir, tetapi dia tidak siap
Kehadiran seorang bayi sering kali membawa kebahagiaan yang tak terlukiskan, tetapi untuk Sarah, kebahagiaan itu bercampur dengan rasa kecewa yang mendalam. Setelah melahirkan, Sarah merasa lelah, tidak hanya secara fisik tetapi juga emosional. Dia terbaring di ranjang rumah sakit, dengan bayi mereka yang baru lahir berada di dalam inkubator di dekatnya. Ketika Alexander tiba di rumah sakit setelah malam yang penuh dengan kecemasan, dia segera menuju ruang bersalin. Namun, begitu dia memasuki ruangan dan melihat Sarah, dia merasakan dinginnya sikap istrinya. Sarah tidak menatapnya, bahkan tidak menyapa. Dia hanya menatap bayi mereka dengan tatapan kosong, seakan mencoba mengalihkan perasaannya."Sarah," panggil Alexander dengan suara lembut. Dia merasa bersalah dan cemas. "Aku di sini sekarang."Sarah tidak menjawab. Dia tetap diam, tidak mau menatap Alexander. Hatinya masih terluka oleh kenyataan bahwa Alexander telah berbohong tentang makan malam bersama Emily, sementara dia harus