Amelia melangkah keluar dari kampus dengan langkah cepat. Hari itu, kuliah terasa lebih panjang dari biasanya, dan pikirannya sudah dipenuhi dengan rencana untuk kembali ke cafe dan bekerja agar bisa melupakan Daniel. Tempat itu selalu menjadi pelariannya dari kesibukan, dengan aroma kopi yang menenangkan dan suasana hangat yang membuatnya merasa nyaman.Ia merapikan rambutnya yang tergerai, lalu memeriksa ponsel untuk memastikan tidak ada pesan penting yang terlewat. Setelah memastikan semuanya beres, Amelia mulai berjalan menuju kafe. Jalan yang ia lalui cukup ramai dengan kendaraan berlalu-lalang, dan Amelia sibuk dengan pikirannya sendiri hingga ia hampir tidak memperhatikan lingkungan sekitarnya.Namun, tiba-tiba sebuah mobil hitam meluncur cepat ke arah trotoar tempat Amelia berjalan. Amelia tertegun, tubuhnya membeku sesaat karena keterkejutan. Dalam hitungan detik, ia menyadari bahwa dirinya berada di jalur yang salah dan mobil tersebut hanya berjarak beberapa meter darinya. K
Setelah menghabiskan waktu bersama di kafe, Adrian menawarkan diri untuk mengantarkan Amelia pulang. Meski awalnya Amelia merasa ragu, ia akhirnya menerima tawaran itu. Mobil Adrian meluncur dengan tenang di jalanan yang mulai sepi. Suasana di dalam mobil terasa hangat, meski ada sedikit keheningan yang menyelimuti mereka."Jadi, bagaimana kehidupanmu sekarang, Amelia?" tanya Adrian sambil melirik ke arah Amelia yang duduk di sebelahnya.Amelia tersenyum kecil, merasa sedikit canggung dengan pertanyaan itu. "Hidupku baik-baik saja, Adrian. Sibuk dengan kuliah dan... yah, kehidupan sehari-hari."Adrian mengangguk, memahami jawaban singkat Amelia. Setelah beberapa saat, ia kembali berbicara, kali ini dengan nada yang lebih lembut. "Apakah kamu sudah memiliki seseorang yang spesial dalam hidupmu?"Pertanyaan itu membuat Amelia terdiam sejenak. Ia menatap lurus ke depan, mencoba merangkai kata-kata yang tepat. "Sebenarnya..." Amelia berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan suara yang se
Hari itu langit mendung, dan udara terasa sejuk ketika Amelia duduk di ruang tengah kost-nya, menikmati secangkir teh hangat. Setelah pertemuan tak terduga dengan Adrian, pikirannya dipenuhi dengan berbagai pertanyaan. Ia mencoba memahami perasaan yang berkecamuk di dalam dirinya. Tetapi sebelum ia sempat lebih jauh memikirkannya, pintu kost-nya diketuk dengan nada tergesa-gesa.Amelia mengernyit, bertanya-tanya siapa yang datang. Ia berdiri dan membuka pintu, lalu terkejut saat melihat Adrian berdiri di sana, wajahnya tampak serius."Adrian? Ada apa? Kenapa tiba-tiba datang ke sini?" tanya Amelia, mencoba menutupi kekagetannya.Adrian tampak sedikit gelisah, namun ia tetap tersenyum. "Amelia, maafkan aku datang tanpa memberi tahu sebelumnya. Tapi aku butuh bantuanmu."Amelia memandang Adrian dengan penasaran. "Bantuan apa yang kamu butuhkan?"Adrian menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara, "Aku ingin menemui Sarah. Aku ingin menyapanya, walaupun hanya berbicara sebentar. Kamu tah
Setelah Amelia dan Adrian pergi, suasana di dalam rumah kembali tenang. Namun, di dalam hati Alexander, ketenangan itu hanyalah ilusi. Ia masih merasakan sisa-sisa kecemburuan yang tadi menggelayut ketika melihat interaksi antara Sarah dan Adrian. Alexander duduk di sofa, memandang istrinya yang sedang menggendong Zacky. Wajahnya datar, namun di dalam hatinya, gejolak perasaan sulit ia redam.Sarah yang sedang memeluk Zacky, menyadari perubahan ekspresi suaminya. Bibirnya melengkung dalam senyuman kecil yang tak dapat ia sembunyikan. Alexander memang selalu mencoba untuk menutupi perasaannya, tetapi Sarah tahu betul apa yang terjadi di balik wajah tenangnya itu."Kenapa diam, sayang?" tanya Sarah lembut, sambil mengusap-usap kepala Zacky yang mulai mengantuk.Alexander berpaling, tidak mau mengakui apa yang sebenarnya ia rasakan. "Tidak apa-apa. Aku hanya... sedikit lelah," jawabnya singkat, mencoba mengalihkan perhatian.Sarah tersenyum kecil, tahu bahwa suaminya sedang berusaha menu
Pagi itu, suasana rumah Alexander dan Sarah terasa tenang seperti biasanya. Zacky, bayi kecil mereka, masih terlelap di kamar setelah diberi ASI oleh Sarah. Alexander sudah bersiap-siap untuk berangkat kerja, tetapi langkahnya tertahan ketika ia mendengar suara mobil memasuki halaman rumah mereka. Sarah yang sedang membereskan mainan Zacky di ruang tamu, menengok ke luar jendela ketika mendengar suara klakson mobil. Seulas senyum muncul di wajahnya saat ia mengenali mobil yang datang itu. " Mas Alex, orang tuamu datang!" seru Sarah dengan nada riang.Alexander menghentikan langkahnya sejenak, menatap ke arah pintu depan dengan senyum tipis. "Mereka pasti datang untuk mengunjungi Zacky lagi," gumamnya, setengah bercanda. Ia tahu betapa Richard dan Elizabeth, orang tuanya, sangat menyayangi cucu pertama mereka. Setiap kali datang berkunjung, mereka selalu membawa banyak hadiah dan makanan untuk Zacky, meskipun bayi itu belum bisa menikmati sebagian besar dari apa yang mereka bawa.Ta
Siang itu, Amelia sedang duduk di meja kerjanya di salah satu sudut café yang tenang. Ia sedang sibuk menyelesaikan tugas kuliahnya yang menumpuk, ketika tiba-tiba suara langkah kaki yang dikenalnya mendekat. Ia mendongak dan melihat Adrian berdiri di depannya dengan senyum samar di wajahnya. "Amelia, apa kau punya waktu sebentar?" tanyanya dengan nada yang terdengar sedikit canggung. Amelia bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.Amelia tersenyum dan segera menutup laptopnya. "Tentu saja, Adrian. Duduklah," jawabnya sambil menunjuk kursi kosong di sebelahnya. "Ada apa? Kau terlihat agak khawatir."Adrian menarik napas panjang sebelum duduk di hadapan Amelia. Tatapannya kosong sejenak, seolah-olah ia sedang mencari kata-kata yang tepat untuk memulai pembicaraan ini. Setelah beberapa detik hening, ia akhirnya membuka suara."Aku… sebenarnya kembali ke Indonesia bukan hanya untuk berlibur atau mencari pekerjaan baru," Adrian memulai, suaranya terdengar rendah dan penuh b
Pagi itu, suasana di rumah Alexander terasa tenang seperti biasa. Di luar, matahari baru saja muncul di ufuk timur, sinarnya menyentuh setiap sudut rumah mewah milik Alexander dan Sarah. Alexander sedang bersiap-siap untuk pergi ke kantor, mengenakan setelan jas hitam yang rapi. Ia merapikan dasinya di depan cermin, memeriksa penampilannya sekali lagi sebelum keluar dari kamar."Sarah, aku berangkat dulu," ucap Alexander seraya mengintip ke dalam kamar bayi di mana Sarah sedang menyusui Zacky.Sarah tersenyum lembut dan mengangguk. "Hati-hati di jalan, sayang."Alexander membalas senyuman Sarah, lalu melangkah keluar dari kamar. Saat ia turun menuju pintu utama, sopir pribadinya, Pak Doni, sudah siap menunggu di depan dengan kunci mobil di tangan."Pak Doni, tolong ambilkan mobil saya di garasi. Saya akan segera keluar," perintah Alexander sambil melangkah ke arah pintu depan.Pak Doni mengangguk dan segera bergegas menuju garasi. Namun, saat Alexander hendak membuka pintu untuk kelua
Pagi itu, Adrian memutuskan untuk kembali mengunjungi rumah Alexander. Ia merasa ada hal-hal yang belum tersampaikan saat pertemuan terakhirnya dengan Sarah. Ada sesuatu di dalam hatinya yang mengganjal, sesuatu yang perlu ia sampaikan agar ia bisa benar-benar melanjutkan hidupnya. Dengan tekad bulat, Adrian membawa makanan kesukaan Sarah dan mainan untuk Zacky. Ia berharap kunjungannya kali ini bisa menjadi kesempatan untuk berbicara lebih dalam dengan Sarah.Sesampainya di rumah Alexander, Adrian disambut hangat oleh pembantu rumah tangga yang mengenali wajahnya dari kunjungan sebelumnya. "Selamat pagi, Pak Adrian. Silakan masuk, Nyonya Sarah sedang berada di ruang tamu bersama Zacky."Adrian mengangguk dan memasuki rumah besar itu dengan hati-hati, merasakan perasaan yang campur aduk di dalam dirinya. Rumah itu terasa nyaman dan hangat, namun ada sesuatu yang membuatnya merasa asing, mungkin karena ia menyadari bahwa ini bukan lagi tempatnya. Sarah telah membangun hidup yang baru
Kebahagiaan yang sempat Adrian rasakan saat kelahiran putrinya berubah menjadi kekhawatiran yang dalam. Ia tak bisa benar-benar tenang, mengingat betapa berbahayanya situasi antara Daniel dan Alexander. Adrian tahu bahwa satu-satunya cara untuk menghentikan siklus dendam ini adalah dengan menghadapi Daniel dan menemukan solusi yang benar-benar damai.Alexander juga menyadari ancaman yang belum sepenuhnya berlalu. Meski sempat tersentuh oleh kebahagiaan Adrian, pikirannya tak bisa lepas dari bayang-bayang pertemuan terakhirnya dengan Daniel. Dalam pertemuan itu, Daniel menunjukkan kemarahan dan kebencian yang mendalam, terutama setelah merasa dikhianati oleh Adrian. Alexander memahami bahwa dendam yang tersimpan dalam hati Daniel tak akan hilang begitu saja.Adrian akhirnya memutuskan bahwa ia harus berbicara langsung dengan Daniel. Ia mengatur pertemuan rahasia di tempat yang jauh dari hiruk-pikuk kota, berharap bisa melunakkan hati sepupunya itu. Sebelum pergi, ia menatap Amelia dan
Amelia duduk di kursi malas di rumah sakit, perutnya yang besar jelas menunjukkan bahwa ia sudah sangat dekat dengan waktu persalinan. Adrian duduk di sampingnya, menggenggam tangannya erat-erat. Meski bibirnya tersenyum lembut, ada ketegangan yang jelas di wajahnya. Hari itu, hari yang seharusnya dipenuhi kebahagiaan, malah diwarnai kekhawatiran karena ancaman Daniel yang masih menggantung di udara."Semua akan baik-baik saja," bisik Adrian, berusaha menenangkan istrinya. "Kita fokus pada kelahiran bayi kita dulu. Jangan pikirkan hal-hal yang lain."Amelia mengangguk, meskipun ia tahu Adrian juga sedang memikirkan hal yang sama. Ia tahu suaminya tertekan dengan situasi yang melibatkan Daniel. Namun, saat ini, yang terpenting baginya adalah menyambut buah hati mereka.Tiba-tiba, Amelia merasakan rasa sakit yang tajam di perutnya, seperti ada kontraksi yang datang lebih kuat dari sebelumnya. Ia mengerang pelan, membuat Adrian segera panik.“Amelia, kamu baik-baik saja?” Adrian langsung
Malam itu, suasana rumah Alexander dipenuhi ketenangan setelah kelahiran anak keduanya. Namun, di luar sana, badai besar sedang mendekat. Daniel, yang masih dikuasai amarah dan dendam, tidak bisa menerima kenyataan bahwa Adrian, adik sepupunya, memilih untuk melawan dan menghentikan niatnya.Sementara itu, di rumah sakit, Sarah telah dipindahkan ke kamar pemulihan bersama bayi perempuannya yang sehat. Alexander tak lepas dari sisi istrinya. Meski ia merasa lega karena anak keduanya lahir dengan selamat, pikirannya tetap terpecah dengan ancaman yang menggantung di atas kepala mereka—Daniel.“Alex,” bisik Sarah dengan suara lembut, menggenggam tangan suaminya. “Kamu kelihatan sangat khawatir. Ada apa? Apakah sesuatu terjadi dengan Daniel?”Alexander mengangguk pelan. Ia tak ingin menyembunyikan apapun dari Sarah, meskipun ia tahu bahwa ini bukan saat yang tepat untuk membicarakan masalah besar. Namun, Sarah mengenalnya terlalu baik untuk dibiarkan dalam kegelapan.“Daniel... dia... mara
Suara napas Sarah semakin cepat, tubuhnya bergetar menahan rasa sakit yang semakin tak tertahankan. Pecahnya ketuban membuat semua orang di rumah panik, terutama Amelia yang tidak pernah melihat kakaknya dalam keadaan selemah ini. Amelia segera memegang tangan Sarah dengan erat, mencoba menenangkan kakaknya meski hatinya sendiri dipenuhi kekhawatiran. Sementara itu, Adrian sedang dalam perjalanan, berusaha secepat mungkin untuk menemukan Alexander."Adrian, tolong cepat kembali! Kak Sarah tidak sanggup lagi!" suara Amelia terdengar putus asa melalui telepon.Adrian mempercepat langkahnya, berpacu dengan waktu. Di tengah perjalanan, ia tak henti-hentinya mencoba menghubungi Alexander, tetapi ponselnya tetap mati. Rasa takut dan kekhawatiran merayap dalam dirinya. Ia tahu bahwa Daniel mungkin sudah melancarkan rencananya, dan jika Alexander tidak segera ditemukan, semuanya bisa berakhir buruk. Namun, saat ini, Adrian tidak hanya memikirkan Alexander, tapi juga Sarah dan bayinya yang aka
Di ruang gawat darurat rumah sakit, situasi semakin tegang. Sarah yang berbaring di ranjang rumah sakit sudah tampak pucat pasi. Pecah ketubannya datang lebih cepat dari perkiraan, dan rasa sakit yang menyiksanya semakin hebat. Amelia menggenggam erat tangan kakaknya, mencoba menenangkan Sarah, namun ketegangan tetap terasa jelas di wajahnya."Amelia... aku tidak bisa... ini terlalu sakit," bisik Sarah dengan suara yang nyaris putus asa."Sabar, Sarah. Kamu kuat. Aku di sini bersamamu, dan Adrian sedang berusaha menghubungi Alexander," ucap Amelia dengan nada lembut, meski dalam hatinya ia sendiri mulai panik. Adrian, yang berdiri tak jauh dari pintu, terlihat mondar-mandir sambil terus menempelkan ponselnya di telinga, mencoba menghubungi Alexander berkali-kali."Kenapa teleponnya selalu mati?" gumam Adrian, frustrasi. Ia menghela napas panjang, matanya terarah ke arah Sarah yang sedang berjuang. Rasa tanggung jawab mulai menekan hatinya. Apalagi dengan firasat buruk yang terus mengg
Malam itu, Sarah terbangun dengan rasa mulas yang menusuk di perutnya. Ia mengerang pelan, tangannya memegangi perut yang semakin membesar. Detik itu juga ia tahu bahwa ini adalah tanda bahwa waktu kelahiran anak keduanya telah tiba. Namun, Alexander belum juga kembali. Ia mencoba menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam, tapi kontraksi semakin kuat.Dengan tangan gemetar, Sarah meraih ponselnya dan segera menghubungi adiknya, Amelia. Sambil menunggu Amelia mengangkat panggilan, Sarah menggigit bibirnya, menahan rasa sakit yang semakin tak tertahankan."Amelia... aku butuh bantuanmu," suara Sarah terdengar panik saat Amelia akhirnya mengangkat telepon.Amelia yang mendengar suara panik kakaknya langsung terbangun dari tidurnya. "Sarah? Ada apa? Kau baik-baik saja?""Ini... aku rasa aku akan melahirkan, Amelia. Alexander belum juga pulang. Bisa kau datang ke sini dengan Adrian? Aku tidak kuat..."Mendengar suara lemah Sarah, Amelia langsung bergegas membangunkan Adrian yang masih te
Setelah Daniel pergi, Adrian duduk termenung di ruangannya, memikirkan langkah berikutnya. Situasi semakin memburuk. Meski ia sudah mencoba berbicara dengan Daniel, semuanya malah semakin rumit. Kini, ia harus memikirkan cara untuk menghentikan Daniel sebelum balas dendam itu benar-benar menghancurkan semua orang, termasuk Amelia yang kini menjadi pusat perhatian di antara mereka.Amelia, yang selama ini selalu tampak ceria, belakangan mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan emosional. Adrian menyadari betapa sulitnya bagi Amelia untuk berada di tengah konflik yang ia sendiri mungkin tidak sepenuhnya pahami. Ia tak pernah membayangkan bahwa Amelia akan terjebak di antara dendam keluarga yang tak berkesudahan ini.Setelah beberapa saat berpikir, Adrian memutuskan untuk pulang lebih awal. Ia ingin berbicara dengan Amelia tentang semua yang terjadi. Ada banyak hal yang belum Amelia ketahui, dan Adrian merasa ini adalah saat yang tepat untuk mengungkapkan semuanya. Di satu sisi, Adrian ta
Daniel berjalan bolak-balik di dalam ruangan gelap dengan wajah tegang. Pikiran tentang pengkhianatan Adrian terus membayangi. Adrian, yang seharusnya berada di sisinya, justru mulai menunjukkan sikap sebaliknya. Dan sekarang, Adrian bahkan meminta dia berhenti dari rencana balas dendam yang sudah lama dia susun. Suara langkah kaki Daniel menggema di ruangan itu, hingga akhirnya dia menghentikan gerakannya dan memandang Adrian dengan sorot mata marah."Kenapa kau tiba-tiba berubah pikiran, Adrian?" tanya Daniel dengan nada dingin yang menggigilkan. "Kita sudah sepakat bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk membalas dendam pada Alexander. Kenapa sekarang kau memutuskan untuk mengkhianatiku?"Adrian, yang berdiri di sudut ruangan, menghela napas panjang. Wajahnya tampak lelah, dan dia menatap Daniel dengan tatapan tenang, tapi tegas. "Ini bukan soal pengkhianatan, Daniel. Ini soal menghentikan siklus kebencian yang tak ada gunanya. Apa yang kau harapkan dari semua ini? Kehancuran Ale
Hari itu, Alexander kembali ke rumah dengan hati yang penuh beban. Pikirannya tak bisa lepas dari pesan-pesan di ponsel tua yang ia temukan di kantor lama Daniel. Jika benar Daniel masih hidup, apa tujuan dari semua ini? Apa yang sebenarnya sedang dia rencanakan? Di dalam hatinya, Alexander tahu ini bukan lagi sekadar balas dendam pribadi, ada sesuatu yang lebih besar, lebih gelap, yang terpendam di bawah permukaan.Sesampainya di rumah, Alexander disambut oleh Sarah yang sedang bermain bersama Zacky di ruang tengah. Melihat kebahagiaan di wajah istri dan anaknya sedikit meredakan kegelisahan yang menghantuinya."Kamu pulang terlambat lagi, Sayang," kata Sarah sambil tersenyum hangat. "Ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan?"Alexander tersenyum tipis, mendekati Sarah dan mencium pipinya. "Banyak yang terjadi di kantor, tapi aku tidak ingin membebanimu dengan masalah itu."Sarah menatap Alexander dengan penuh perhatian, mengetahui bahwa suaminya sedang menutupi sesuatu. Namun, dia memi