Daniel mengikuti Dewi dan Amelia pergi ke mall, sesuai dengan perjanjian mereka, bahwa Daniel akan membelikan apapun keingin mereka berdua asalkan mereka ingin ikut dengan Daniel. "Amel, ayuk pilih semuanya nak mumpung gratis." ucap Dewi. "Iya bu, tapi ibu ngerasa ada yang aneh ngga sih. Masa tuan Alex ngasih kita buat belanja mana bebas lagi mau kita." "Amelia, kamu ngga usah mikirin itu terpenting sekarang kita belanja baju, sepatu, tas perhiasan semua nya nak." ucap Dewi seraya memilih beberapa tas branded. Amelia melihat Daniel, tatapan yang sangat aneh. Ia merasa bahwa Alexander pasti sengaja meminta Daniel untuk melakukan ini. "Amelia, heii cepet pilih mana?." teriak Dewi. "Ibu, udahlah ngga usah pilih banyak-banyak. Amelia rasa kayaknya mereka ngerencanain sesuatu, pasti kak Sarah." ucap Amelia curiga. "Sayang, bisa ngga usah curiga dulu, apa salahnya kakak mu membelanjakan kita kan." "Udah bu, lebih baik kita pulang sekarang. Ini udah cukup banyak loh bu, ayoolah pula
Saat pulang kerumah, Amelia terkejut melihat Tania yang sudah berada di rumah bersama dengan ayahnya. "Kak Tania,, kakak ngapain disini?." Tanya Amelia."Oh aku disini karena ingin mengunjungi om irwan, kasian dia tadi nyariin kamu." Ucap Tania. Amelia melihat gerak gerik Tania, ia menyakinkan apakah yang dikatakan Tania benar, bahwa ia hanya ingin menjenguk Irwan. "Kak Tania kesini sama siapa?, apakah ada kak Sarah."*Kenapa kamu tanya Sarah, aku sendirian loh disini." Ucap Tania. "Iyaa kan aku curiga ngga mungkin kak sendirian disini kan, pasti ada kan kak Sarah." Tania meminta Amelia mencari sekeliling rumah jika memang ada Sarah silakan temui. Mendengar ucapan Tania, Amelia menghela nafas. "Ayah, udah makan ?." tanya Amelia. "Emm,, udah tadi nak, ayah cuman mau kopi aja kok." "Iya udah kalo gitu, biar Amelia buatkan." ucap Amelia. "Ngga usah Mel, ayah sudah dibuatin kopi sama Tania. "Amelia melihat gelas kopi didepan ayahnya, kemudian ia melihat Tania. Amelia mengucapkan
Alexander merasakan perubahan dalam hidup nya setelah menikah dengan Sarah. Dia yang sangat angkuh dan cuek, kini berubah menjadi pria yang penuh perhatian, setiap detail mengenai Sarah selalu jadi pusat perhatian nya. "Alex, dimana Sarah. Mama sudah nyiapin bubur ikan nih buat dia." ucap Elizabeth. "Bubur ikan, mah yakin bubur ikan ini bagus buat dia.""Alex, jelas dong bubur ikan tuna untuk janin antara lain adalah mendukung pertumbuhan tulangnya. Selain nikmat dan mudah diolah, ikan tuna mengandung beragam nutrisi yang baik untuk pertumbuhan janin sekaligus ibu hamil." jelas Elizabeth. Alexander terdiam, ia melihat bubur tersebut seraya menaiki alisnya. Alexander masih ragu jika ikan tuna tidak baik untuk anak dalam perut Sarah. "Emm,, selamat pagi ma, mas belum berangkat. ""Oh nanti Daniel sedang bersiap-siap.""Ohiya Sar, ini mama buatkan bubur ikan tuna. Ni baik untuk kesehatan janin kamu." ucap. Elizabeth. "Waw,, makasih ma, kayaknya enak deh." Saat sarah ingin memasukka
Saat malam tiba, dimana Alexander menatap wajah Sarah, ia tersenyum tipis melihat kecantikan Sarah. "Kau benar cantik Sarah, aku harusnya bersyukur mendapatkan mu." ucap Alexander seraya mengusap wajahnya. Alexander langsung sadar, ia tak seharusnya memuji Sarah seperti ini. Alexander beranjak dari tempat tidur, namun mata tak bisa berbohong ia terus menatap Sarah yang sedang tidur. "Aihh,, ada apa sebenarnya ini?, kenapa sulit sekali di hilang kan wajahnya." ucap Alexander. Alexander yang hendak ingin keluar tiba-tiba terhenti karena mendengar suara ponselnya berdering. Ia segera meraih, saat mengetahui siapa yang menelpon membuat nya terkejut. "Emily.." batin Alexander. "Halo sayang, kok lama banget angkat nya. Ohiya aku ingin kasih kabar bahagia, tau ngga minggu depan aku pulang ke Indonesia." ucap Emily dari telepon. Alexander terdiam membeku, ia tak tau cara menggambarkan isi hatinya. Disisi lain ia senang namun disisi lain ia tak tega dengan Sarah. "Hallo, Alexander kamu
Pagi hari Alexander siap-siap untuk pergi. Dimana hari yang telah ia nantikan akhirnya tiba, kepulangan Emily yang sangat ia rindukan terjadi hari ini. "Mas,, mau ke kantor kan?." tanya Sarah. "Tentu, emang selama ini aku pergi kemana? kalo ngga ke kantor.""Oh,, aku cuman tanya aja mas."Alexander melihat Sarah sekilas, lalu berjalan kearah laci mengambil jam tangan. Dimana jam tangan tersebut pemberian Emily, sudah lama Alexander tak memakai nya dan hari ini ia akan pakai saat menjemput Emily dari kantor. "Kamu pakai jam tangan itu lagi mas?.""Iya emang kenapa?, ini milik ku." ucap Alexander ketus. "Aa,, aku tahu tapi kan.. " Sar, ngga usah berfikir buruk tentang ku, aku hanya pengen aja kok."Alexander meraih parfum, ia menyemprotkan parfum banyak sekali dijas nya. Alexander tersenyum dengan Sarah lalu turun kebawah untuk makan dengan diikutin oleh Sarah. "Alex, kamu pakek parfum satu botol nyengat banget bau nya." ucap Elizabeth. "Ngga mah, dikit kok. '"Hemm,, Sarah ini m
Tepat pukul 10:00 wib, Alexander sudah berada di bandara,Ia menanti kedatangan Emily sendrian. Alexander berdiri melihat kearah depan seraya memegang sebuah buket bunga yang akan diberikan kepada Emily. "Sayangg.. " teriak Emily seraya menarik koper nya. Alexander bisa melihat wajah cantik Emily setelah dua tahun tak bertemu, wajah yang sangat ia rindukan akhirnya tiba juga. Emily langsung melepaskan koper nya dan memeluk erat Alexander, bahkan ia mencium pipi Alexander berulang-ulang kali karena merasakan kebahagiaan. "Aku kangen, kangen berat sama kamu sayang." ucap Emily. "Umm,, aku tahu.'" Tahu dari mana?.""Dari pelukan mu erat banget, kau pasti sangat rindu dengan ku." ucap Alexander. Emily tersenyum, ia memang merindukan Alexander sejak lama, namun studynya diluar negeri membuat nya harus berpisah dengan Alex. "Ohiya ini bunga untuk mu." ucap Alexander memberikan bunga tersebut. "Aa, kamu memang ngga berhenti romantis nya. Tapi aku ngga butuh ini. ""Lalu kamu mau apa?
Sarah menunggu kepulangan Alexander, Sudah pukul 00:45 Alexander belum juga pulang, sedangkan Daniel sudah sejak tadi pulang. "Non, kok belum tidur?." tanya Daniel yang kala itu ingin mengambil minum. "Em,, iya nih. Ohiya Alex masih lama ya pulang nya?.""Tuan Alex, oh ku pikir udah pulang dari tadi non."Sarah menggelengkan kepala nya, ia belum pulang sejak tadi. Bahkan ponselnya pun sulit di hubungi, itu membuat Sarah kuatir apa lagi Alexander pergi keluar kota. "Keluar kota, perasaan tuan Alex tak ada projek ke luar kota. " batin Daniel bingung. "Dan, menurut kamu dia pergi ke luar kota mana?, dia ngga pergi sendirian kan?." tanya Sarah panik. "Non, emm aku sebenarnya kurang tau tapi tenang aja tuan Alex akan menjaga dirinya sendiri.""Aku hanya takut aja, soalnya aku merasa akhir-akhir ini mas Alex berubah." ucap Sarah. Daniel terdiam, ia berjalan mengambil air minum seraya melihat Sarah. Daniel meraih ponselnya, ia melihat tanggal setelah ia mengingat ternyata tanggal ini
Hari ini Amelia akan pergi ke suatu tempat dengan teman-temanya. Namun ia tak sengaja melihat Alexander duduk sendirian di cafe tanpa seorang teman. "Itu kan kak Alex, sama siapa dia? sama kak Sarah atau sama om Daniel. " ucap Amelia sendirian. Amelia terus menatap Alexander, karena seperti nya Alexander menunggu seseorang. Hal tersebut lah membuat Amelia penasaran, masa iya Alexander menunggu Sarah harusnya Sarah sudah duduk didepan Alexander. "Amelia ayo pulang." ajak salah satu temannya. "Ohh,, kalian aja duluan nanti aku susul." "Tapi kan kita udah selesai ngerjain tugasnya." "Iya duluan aja, nanti aku susul deh kalo ngga aku pulang naik taksi." ucap Amelia. Teman-teman mengangguk iya, dan mereka segera pergi meninggalkan Amelia sendiri. Mata Amelia terus memperhatikan Alexander, sampai seseorang wanita muda menghampiri Alexander. "Loh loh itukan bukan kak Sarah, siapa dia." ucap Amelia terkejut.. Amelia juga melihat wanita tersebut mencium pipi kanan kiri Alexander, bahk
Kebahagiaan yang sempat Adrian rasakan saat kelahiran putrinya berubah menjadi kekhawatiran yang dalam. Ia tak bisa benar-benar tenang, mengingat betapa berbahayanya situasi antara Daniel dan Alexander. Adrian tahu bahwa satu-satunya cara untuk menghentikan siklus dendam ini adalah dengan menghadapi Daniel dan menemukan solusi yang benar-benar damai.Alexander juga menyadari ancaman yang belum sepenuhnya berlalu. Meski sempat tersentuh oleh kebahagiaan Adrian, pikirannya tak bisa lepas dari bayang-bayang pertemuan terakhirnya dengan Daniel. Dalam pertemuan itu, Daniel menunjukkan kemarahan dan kebencian yang mendalam, terutama setelah merasa dikhianati oleh Adrian. Alexander memahami bahwa dendam yang tersimpan dalam hati Daniel tak akan hilang begitu saja.Adrian akhirnya memutuskan bahwa ia harus berbicara langsung dengan Daniel. Ia mengatur pertemuan rahasia di tempat yang jauh dari hiruk-pikuk kota, berharap bisa melunakkan hati sepupunya itu. Sebelum pergi, ia menatap Amelia dan
Amelia duduk di kursi malas di rumah sakit, perutnya yang besar jelas menunjukkan bahwa ia sudah sangat dekat dengan waktu persalinan. Adrian duduk di sampingnya, menggenggam tangannya erat-erat. Meski bibirnya tersenyum lembut, ada ketegangan yang jelas di wajahnya. Hari itu, hari yang seharusnya dipenuhi kebahagiaan, malah diwarnai kekhawatiran karena ancaman Daniel yang masih menggantung di udara."Semua akan baik-baik saja," bisik Adrian, berusaha menenangkan istrinya. "Kita fokus pada kelahiran bayi kita dulu. Jangan pikirkan hal-hal yang lain."Amelia mengangguk, meskipun ia tahu Adrian juga sedang memikirkan hal yang sama. Ia tahu suaminya tertekan dengan situasi yang melibatkan Daniel. Namun, saat ini, yang terpenting baginya adalah menyambut buah hati mereka.Tiba-tiba, Amelia merasakan rasa sakit yang tajam di perutnya, seperti ada kontraksi yang datang lebih kuat dari sebelumnya. Ia mengerang pelan, membuat Adrian segera panik.“Amelia, kamu baik-baik saja?” Adrian langsung
Malam itu, suasana rumah Alexander dipenuhi ketenangan setelah kelahiran anak keduanya. Namun, di luar sana, badai besar sedang mendekat. Daniel, yang masih dikuasai amarah dan dendam, tidak bisa menerima kenyataan bahwa Adrian, adik sepupunya, memilih untuk melawan dan menghentikan niatnya.Sementara itu, di rumah sakit, Sarah telah dipindahkan ke kamar pemulihan bersama bayi perempuannya yang sehat. Alexander tak lepas dari sisi istrinya. Meski ia merasa lega karena anak keduanya lahir dengan selamat, pikirannya tetap terpecah dengan ancaman yang menggantung di atas kepala mereka—Daniel.“Alex,” bisik Sarah dengan suara lembut, menggenggam tangan suaminya. “Kamu kelihatan sangat khawatir. Ada apa? Apakah sesuatu terjadi dengan Daniel?”Alexander mengangguk pelan. Ia tak ingin menyembunyikan apapun dari Sarah, meskipun ia tahu bahwa ini bukan saat yang tepat untuk membicarakan masalah besar. Namun, Sarah mengenalnya terlalu baik untuk dibiarkan dalam kegelapan.“Daniel... dia... mara
Suara napas Sarah semakin cepat, tubuhnya bergetar menahan rasa sakit yang semakin tak tertahankan. Pecahnya ketuban membuat semua orang di rumah panik, terutama Amelia yang tidak pernah melihat kakaknya dalam keadaan selemah ini. Amelia segera memegang tangan Sarah dengan erat, mencoba menenangkan kakaknya meski hatinya sendiri dipenuhi kekhawatiran. Sementara itu, Adrian sedang dalam perjalanan, berusaha secepat mungkin untuk menemukan Alexander."Adrian, tolong cepat kembali! Kak Sarah tidak sanggup lagi!" suara Amelia terdengar putus asa melalui telepon.Adrian mempercepat langkahnya, berpacu dengan waktu. Di tengah perjalanan, ia tak henti-hentinya mencoba menghubungi Alexander, tetapi ponselnya tetap mati. Rasa takut dan kekhawatiran merayap dalam dirinya. Ia tahu bahwa Daniel mungkin sudah melancarkan rencananya, dan jika Alexander tidak segera ditemukan, semuanya bisa berakhir buruk. Namun, saat ini, Adrian tidak hanya memikirkan Alexander, tapi juga Sarah dan bayinya yang aka
Di ruang gawat darurat rumah sakit, situasi semakin tegang. Sarah yang berbaring di ranjang rumah sakit sudah tampak pucat pasi. Pecah ketubannya datang lebih cepat dari perkiraan, dan rasa sakit yang menyiksanya semakin hebat. Amelia menggenggam erat tangan kakaknya, mencoba menenangkan Sarah, namun ketegangan tetap terasa jelas di wajahnya."Amelia... aku tidak bisa... ini terlalu sakit," bisik Sarah dengan suara yang nyaris putus asa."Sabar, Sarah. Kamu kuat. Aku di sini bersamamu, dan Adrian sedang berusaha menghubungi Alexander," ucap Amelia dengan nada lembut, meski dalam hatinya ia sendiri mulai panik. Adrian, yang berdiri tak jauh dari pintu, terlihat mondar-mandir sambil terus menempelkan ponselnya di telinga, mencoba menghubungi Alexander berkali-kali."Kenapa teleponnya selalu mati?" gumam Adrian, frustrasi. Ia menghela napas panjang, matanya terarah ke arah Sarah yang sedang berjuang. Rasa tanggung jawab mulai menekan hatinya. Apalagi dengan firasat buruk yang terus mengg
Malam itu, Sarah terbangun dengan rasa mulas yang menusuk di perutnya. Ia mengerang pelan, tangannya memegangi perut yang semakin membesar. Detik itu juga ia tahu bahwa ini adalah tanda bahwa waktu kelahiran anak keduanya telah tiba. Namun, Alexander belum juga kembali. Ia mencoba menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam, tapi kontraksi semakin kuat.Dengan tangan gemetar, Sarah meraih ponselnya dan segera menghubungi adiknya, Amelia. Sambil menunggu Amelia mengangkat panggilan, Sarah menggigit bibirnya, menahan rasa sakit yang semakin tak tertahankan."Amelia... aku butuh bantuanmu," suara Sarah terdengar panik saat Amelia akhirnya mengangkat telepon.Amelia yang mendengar suara panik kakaknya langsung terbangun dari tidurnya. "Sarah? Ada apa? Kau baik-baik saja?""Ini... aku rasa aku akan melahirkan, Amelia. Alexander belum juga pulang. Bisa kau datang ke sini dengan Adrian? Aku tidak kuat..."Mendengar suara lemah Sarah, Amelia langsung bergegas membangunkan Adrian yang masih te
Setelah Daniel pergi, Adrian duduk termenung di ruangannya, memikirkan langkah berikutnya. Situasi semakin memburuk. Meski ia sudah mencoba berbicara dengan Daniel, semuanya malah semakin rumit. Kini, ia harus memikirkan cara untuk menghentikan Daniel sebelum balas dendam itu benar-benar menghancurkan semua orang, termasuk Amelia yang kini menjadi pusat perhatian di antara mereka.Amelia, yang selama ini selalu tampak ceria, belakangan mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan emosional. Adrian menyadari betapa sulitnya bagi Amelia untuk berada di tengah konflik yang ia sendiri mungkin tidak sepenuhnya pahami. Ia tak pernah membayangkan bahwa Amelia akan terjebak di antara dendam keluarga yang tak berkesudahan ini.Setelah beberapa saat berpikir, Adrian memutuskan untuk pulang lebih awal. Ia ingin berbicara dengan Amelia tentang semua yang terjadi. Ada banyak hal yang belum Amelia ketahui, dan Adrian merasa ini adalah saat yang tepat untuk mengungkapkan semuanya. Di satu sisi, Adrian ta
Daniel berjalan bolak-balik di dalam ruangan gelap dengan wajah tegang. Pikiran tentang pengkhianatan Adrian terus membayangi. Adrian, yang seharusnya berada di sisinya, justru mulai menunjukkan sikap sebaliknya. Dan sekarang, Adrian bahkan meminta dia berhenti dari rencana balas dendam yang sudah lama dia susun. Suara langkah kaki Daniel menggema di ruangan itu, hingga akhirnya dia menghentikan gerakannya dan memandang Adrian dengan sorot mata marah."Kenapa kau tiba-tiba berubah pikiran, Adrian?" tanya Daniel dengan nada dingin yang menggigilkan. "Kita sudah sepakat bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk membalas dendam pada Alexander. Kenapa sekarang kau memutuskan untuk mengkhianatiku?"Adrian, yang berdiri di sudut ruangan, menghela napas panjang. Wajahnya tampak lelah, dan dia menatap Daniel dengan tatapan tenang, tapi tegas. "Ini bukan soal pengkhianatan, Daniel. Ini soal menghentikan siklus kebencian yang tak ada gunanya. Apa yang kau harapkan dari semua ini? Kehancuran Ale
Hari itu, Alexander kembali ke rumah dengan hati yang penuh beban. Pikirannya tak bisa lepas dari pesan-pesan di ponsel tua yang ia temukan di kantor lama Daniel. Jika benar Daniel masih hidup, apa tujuan dari semua ini? Apa yang sebenarnya sedang dia rencanakan? Di dalam hatinya, Alexander tahu ini bukan lagi sekadar balas dendam pribadi, ada sesuatu yang lebih besar, lebih gelap, yang terpendam di bawah permukaan.Sesampainya di rumah, Alexander disambut oleh Sarah yang sedang bermain bersama Zacky di ruang tengah. Melihat kebahagiaan di wajah istri dan anaknya sedikit meredakan kegelisahan yang menghantuinya."Kamu pulang terlambat lagi, Sayang," kata Sarah sambil tersenyum hangat. "Ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan?"Alexander tersenyum tipis, mendekati Sarah dan mencium pipinya. "Banyak yang terjadi di kantor, tapi aku tidak ingin membebanimu dengan masalah itu."Sarah menatap Alexander dengan penuh perhatian, mengetahui bahwa suaminya sedang menutupi sesuatu. Namun, dia memi