Sarah menunggu kepulangan Alexander, Sudah pukul 00:45 Alexander belum juga pulang, sedangkan Daniel sudah sejak tadi pulang. "Non, kok belum tidur?." tanya Daniel yang kala itu ingin mengambil minum. "Em,, iya nih. Ohiya Alex masih lama ya pulang nya?.""Tuan Alex, oh ku pikir udah pulang dari tadi non."Sarah menggelengkan kepala nya, ia belum pulang sejak tadi. Bahkan ponselnya pun sulit di hubungi, itu membuat Sarah kuatir apa lagi Alexander pergi keluar kota. "Keluar kota, perasaan tuan Alex tak ada projek ke luar kota. " batin Daniel bingung. "Dan, menurut kamu dia pergi ke luar kota mana?, dia ngga pergi sendirian kan?." tanya Sarah panik. "Non, emm aku sebenarnya kurang tau tapi tenang aja tuan Alex akan menjaga dirinya sendiri.""Aku hanya takut aja, soalnya aku merasa akhir-akhir ini mas Alex berubah." ucap Sarah. Daniel terdiam, ia berjalan mengambil air minum seraya melihat Sarah. Daniel meraih ponselnya, ia melihat tanggal setelah ia mengingat ternyata tanggal ini
Hari ini Amelia akan pergi ke suatu tempat dengan teman-temanya. Namun ia tak sengaja melihat Alexander duduk sendirian di cafe tanpa seorang teman. "Itu kan kak Alex, sama siapa dia? sama kak Sarah atau sama om Daniel. " ucap Amelia sendirian. Amelia terus menatap Alexander, karena seperti nya Alexander menunggu seseorang. Hal tersebut lah membuat Amelia penasaran, masa iya Alexander menunggu Sarah harusnya Sarah sudah duduk didepan Alexander. "Amelia ayo pulang." ajak salah satu temannya. "Ohh,, kalian aja duluan nanti aku susul." "Tapi kan kita udah selesai ngerjain tugasnya." "Iya duluan aja, nanti aku susul deh kalo ngga aku pulang naik taksi." ucap Amelia. Teman-teman mengangguk iya, dan mereka segera pergi meninggalkan Amelia sendiri. Mata Amelia terus memperhatikan Alexander, sampai seseorang wanita muda menghampiri Alexander. "Loh loh itukan bukan kak Sarah, siapa dia." ucap Amelia terkejut.. Amelia juga melihat wanita tersebut mencium pipi kanan kiri Alexander, bahk
Setelah mendapat informasi dari Amelia, Elizabeth langsung mengepalkan tangannya ia takut jika Sarah tau tentang kepulangan Emily. "Mama kok disini?." tanya Sarah tiba-tiba. "Oh bukan apa-apa kok sayang.""Ohiya ma, tadi kayak nya ada yang manggil-manggil aku? siapa ya mah?." tanya Sarah melihat kearah luar. "Bukan siapa-siapa sayang, biasa orang yang mintak sedekah. Jadi bibi manggil kamu karena mama sedang mandi tadi.".Sarah mengangguk iya , Sarah duduk di sofa seraya bermain ponsel. Sedangkan Elizabeth ketakutan jika Sarah mengetahui apa yang dilakukan oleh Alexander. "Amelia, kenapa ya nelpon aku." ucap Sarah. "Siapa Sarah?." tanya Elizabeth"Oh ini mah, Amelia tadi nelepon 2 panggilan tak terjawab." Sarah berniat ingin menelpon Amelia, namun ditahan oleh Elizabeth. Elizabeth berusaha mengalihkan perhatian Sarah, agar Sarah tak fokus lagi dengan Amelia. "Sarah, bagaimana kemarin kamu cek kandungan?, apa kata Dr. Bayu?." tanya Elizabeth. "Ohh,, iya mah aku lupa beri kabar
Elizabeth mencari tahu tentang keberadaan Emily dan berakhir menemukan hal yang membuat nya terkejut yaitu keberadaan Emily di apartemen pribadi milik Alexander. "Alex benar-benar keterlaluan, ini ngga bisa dibiarin." ucap Elizabeth. Elizabeth langsung keluar dari kamar nya, namun terhenti karena suaminya memanggil melihat nya ingin pergi. "Mau kemana mah?. " tanya Suaminya. "Ada sesuatu yang aku harus aku urus pah, ini penting untuk masa depan putra kita dan menantu kita. ""Maksudnya bagaimana?."Elizabeth bercerita bahwa Alexander sudah bertemu dengan Emily bahkan membiarkan Emily tinggal di apartemen pribadi nya. Elizabeth ngga bisa biarkan itu semua, ia tak rela jika putra nya harus bersama dengan seorang wanita matre seperti Emily. "Lalu kamu apakan dia?." "Papa kayak ngga tau mama saja, sejak dulu mama benci dengan wanita itu, intinya mama akan melindungi pernikahan putra kita. ""Baiklah tapi jangan sampai kamu buat masalah ya.""Tenang saja, papa ngga perlu kuatir. Pali
Emily merasa tertampar dengan kata-kata Elizabeth, ia terdiam melihat kepergian Elizabeth begitu saja. Walaupun Alexander membela Emily namun tetap saja Emily merasa kesal. "Sayang, maafin mama kamu kan tau kalo ma... " Iya aku tau kok, tante Eliz ngga bakal pernah suka sama aku. Mau aku sebaik apapun pun, secantik apapun, sepintar apapun tetap saja tante Eliz ngga suka. " ucap Emily kesal. "Emily,, kamu harus tahu mama ngga seperti itu kok, dia hanya.. " Udahlah Lex, mau gimana pun hubungan kita nih ngga bakal dapat restu dari mama kamu. Aku tau kok aku orang yang tidak punya apa-apa, lagian juga cinta ku tulus dengan mu. " ucap Emily. Alexander meraih tangan Emily dan memeluk nya, ia meminta maaf atas tindakan mama nya jika mungkin menyakiti perasaan Emily, tapi Alexander juga tak tahu kenapa mama nya tiba-tiba datang ke apartemen ini, padahal Alexander tak memberitahu nya. "Hem,, aku rasa hubungan kita memang ngga pernah mendapatkan restu dari orang tua mu lex, apa perlu kita
Setiba dirumah, Alexander mengumpulkan semua asisten rumah tangga. Disini Alexander benar-benar marah karena istri nya terjatuh akibat keteledoran dirinya. "Siapa yang bertugas membersihkan kamar mandi kamar ku?." tanya Alexander dengan tatapan mata tajam. "Mas Alex, udahlah aku ngga apa-apa kok. Lagian ini bukan salah mereka, aku yang salah tidak berhati-hati. " sahut Sarah. "Apaan sih Sarah, kalo hal seperti ini dibiarkan semuanya akan ngulanjak." Amarah Alexander benar-benar tak terbendung kan, ia benar-benar kesal dan marah. Ia tak akan memaafkan siapapun itu yang membuat istrinya terjatuh apa lagi sampai calon anaknya hilang. "Kenapa semua diam saja, apakah kalian tidak memiliki mulut hah. " teriak Alexander. "Alex, kamu kenapa jadi seperti ini. Ayolah nak ini hanya kecelakaan kecil saja." ucap Papa nya Alexander. "Pah, ini semua ngga bisa dianggap sepele. Bagiku tetap saja ini kesalahan besar, aku ngga akan pernah kasih peluang orang yang udah buat istri ku terjatuh sampa
Alexander yang sibuk mengurus Sarah, membuatnya lupa memberikan kabar kepada Emily hal tersebut lah membuat masalah bagi hubungan Alexander dan Emily. "Kenapa Alex ngga susah dihubungi sih, ada apa sebenarnya?." Emily terus menerus menghubungi Alexander namun tak ada di jawaban dari Alexander, mana nomer Alexander sulit sekali dihubungi membuat Emily frustasi. Emily bolak balik ruangan apartemen seraya melihat ponselnya, sudah lebih tiga hari Alexander menghilang sejak kedatangan Elizabeth di apartemen mereka. "Pasti ini gara-gara tante Eliz, Alex ngga pernah kek gini kalo ngga gara-gara wanita tua itu." oceh Emily. Emily melemparkan ponselnya ke atas kasur, tiba-tiba ada suara bell berbunyi membuat Emily bahagia ia pikir itu adalah Alexander. "Alex,, "Emily langsung berlarian menuju pintu apartemen, namun saat ia membuka pintu ia terkejut, Karena yang datang bukanlah Alexander melainkan Elizabeth. "Tante.. Plakk... Elizabeth langsung melayangkan satu tamparan kepada Emily.
Suatu malam Alexander melihat Sarah sudah tertidur pulas, rasanya ada sesuatu yang menganggu pikirannya, Ia ingin sekali menghubungi Emily. "Kenapa aku jadi kangen berat nya dengan Emily. " ucap Alexander. Alexander beranjak dari tempat tidurnya, ia meraih laci mengambil ponsel cadangannya. Alexander berjalan pelan menuju ke kamar mandi, ia rasa disana lah tempat aman untuk menghubungi Emily. "Ayoo,, Emily angkat kenapa lama sekali.""Hallo kenapa?, kenapa kamu menghubungi ku setelah sekian lama menghilang?." tanya Emily dari panggilan. "Sayang maaf, aku sedang sibuk ada beberapa pekerjaan yang harus aku urus. " Emily hanya menghela nafas, ia merasa kesel dengan Alexander. Hilang nya Alexander beberapa hari sudah membuat nya berada dalam masalah besar. "Masalah besar?, maksudnya?." tanya Alexander penasaran. "Kamu tahu, mama ku tadi siang kesini. Dia usir aku dari apartemen mu lex, semua barang-barang yang kamu belikan diambil dia, mama mu benar-benar jahat banget lex." "Mama
Kebahagiaan yang sempat Adrian rasakan saat kelahiran putrinya berubah menjadi kekhawatiran yang dalam. Ia tak bisa benar-benar tenang, mengingat betapa berbahayanya situasi antara Daniel dan Alexander. Adrian tahu bahwa satu-satunya cara untuk menghentikan siklus dendam ini adalah dengan menghadapi Daniel dan menemukan solusi yang benar-benar damai.Alexander juga menyadari ancaman yang belum sepenuhnya berlalu. Meski sempat tersentuh oleh kebahagiaan Adrian, pikirannya tak bisa lepas dari bayang-bayang pertemuan terakhirnya dengan Daniel. Dalam pertemuan itu, Daniel menunjukkan kemarahan dan kebencian yang mendalam, terutama setelah merasa dikhianati oleh Adrian. Alexander memahami bahwa dendam yang tersimpan dalam hati Daniel tak akan hilang begitu saja.Adrian akhirnya memutuskan bahwa ia harus berbicara langsung dengan Daniel. Ia mengatur pertemuan rahasia di tempat yang jauh dari hiruk-pikuk kota, berharap bisa melunakkan hati sepupunya itu. Sebelum pergi, ia menatap Amelia dan
Amelia duduk di kursi malas di rumah sakit, perutnya yang besar jelas menunjukkan bahwa ia sudah sangat dekat dengan waktu persalinan. Adrian duduk di sampingnya, menggenggam tangannya erat-erat. Meski bibirnya tersenyum lembut, ada ketegangan yang jelas di wajahnya. Hari itu, hari yang seharusnya dipenuhi kebahagiaan, malah diwarnai kekhawatiran karena ancaman Daniel yang masih menggantung di udara."Semua akan baik-baik saja," bisik Adrian, berusaha menenangkan istrinya. "Kita fokus pada kelahiran bayi kita dulu. Jangan pikirkan hal-hal yang lain."Amelia mengangguk, meskipun ia tahu Adrian juga sedang memikirkan hal yang sama. Ia tahu suaminya tertekan dengan situasi yang melibatkan Daniel. Namun, saat ini, yang terpenting baginya adalah menyambut buah hati mereka.Tiba-tiba, Amelia merasakan rasa sakit yang tajam di perutnya, seperti ada kontraksi yang datang lebih kuat dari sebelumnya. Ia mengerang pelan, membuat Adrian segera panik.“Amelia, kamu baik-baik saja?” Adrian langsung
Malam itu, suasana rumah Alexander dipenuhi ketenangan setelah kelahiran anak keduanya. Namun, di luar sana, badai besar sedang mendekat. Daniel, yang masih dikuasai amarah dan dendam, tidak bisa menerima kenyataan bahwa Adrian, adik sepupunya, memilih untuk melawan dan menghentikan niatnya.Sementara itu, di rumah sakit, Sarah telah dipindahkan ke kamar pemulihan bersama bayi perempuannya yang sehat. Alexander tak lepas dari sisi istrinya. Meski ia merasa lega karena anak keduanya lahir dengan selamat, pikirannya tetap terpecah dengan ancaman yang menggantung di atas kepala mereka—Daniel.“Alex,” bisik Sarah dengan suara lembut, menggenggam tangan suaminya. “Kamu kelihatan sangat khawatir. Ada apa? Apakah sesuatu terjadi dengan Daniel?”Alexander mengangguk pelan. Ia tak ingin menyembunyikan apapun dari Sarah, meskipun ia tahu bahwa ini bukan saat yang tepat untuk membicarakan masalah besar. Namun, Sarah mengenalnya terlalu baik untuk dibiarkan dalam kegelapan.“Daniel... dia... mara
Suara napas Sarah semakin cepat, tubuhnya bergetar menahan rasa sakit yang semakin tak tertahankan. Pecahnya ketuban membuat semua orang di rumah panik, terutama Amelia yang tidak pernah melihat kakaknya dalam keadaan selemah ini. Amelia segera memegang tangan Sarah dengan erat, mencoba menenangkan kakaknya meski hatinya sendiri dipenuhi kekhawatiran. Sementara itu, Adrian sedang dalam perjalanan, berusaha secepat mungkin untuk menemukan Alexander."Adrian, tolong cepat kembali! Kak Sarah tidak sanggup lagi!" suara Amelia terdengar putus asa melalui telepon.Adrian mempercepat langkahnya, berpacu dengan waktu. Di tengah perjalanan, ia tak henti-hentinya mencoba menghubungi Alexander, tetapi ponselnya tetap mati. Rasa takut dan kekhawatiran merayap dalam dirinya. Ia tahu bahwa Daniel mungkin sudah melancarkan rencananya, dan jika Alexander tidak segera ditemukan, semuanya bisa berakhir buruk. Namun, saat ini, Adrian tidak hanya memikirkan Alexander, tapi juga Sarah dan bayinya yang aka
Di ruang gawat darurat rumah sakit, situasi semakin tegang. Sarah yang berbaring di ranjang rumah sakit sudah tampak pucat pasi. Pecah ketubannya datang lebih cepat dari perkiraan, dan rasa sakit yang menyiksanya semakin hebat. Amelia menggenggam erat tangan kakaknya, mencoba menenangkan Sarah, namun ketegangan tetap terasa jelas di wajahnya."Amelia... aku tidak bisa... ini terlalu sakit," bisik Sarah dengan suara yang nyaris putus asa."Sabar, Sarah. Kamu kuat. Aku di sini bersamamu, dan Adrian sedang berusaha menghubungi Alexander," ucap Amelia dengan nada lembut, meski dalam hatinya ia sendiri mulai panik. Adrian, yang berdiri tak jauh dari pintu, terlihat mondar-mandir sambil terus menempelkan ponselnya di telinga, mencoba menghubungi Alexander berkali-kali."Kenapa teleponnya selalu mati?" gumam Adrian, frustrasi. Ia menghela napas panjang, matanya terarah ke arah Sarah yang sedang berjuang. Rasa tanggung jawab mulai menekan hatinya. Apalagi dengan firasat buruk yang terus mengg
Malam itu, Sarah terbangun dengan rasa mulas yang menusuk di perutnya. Ia mengerang pelan, tangannya memegangi perut yang semakin membesar. Detik itu juga ia tahu bahwa ini adalah tanda bahwa waktu kelahiran anak keduanya telah tiba. Namun, Alexander belum juga kembali. Ia mencoba menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam, tapi kontraksi semakin kuat.Dengan tangan gemetar, Sarah meraih ponselnya dan segera menghubungi adiknya, Amelia. Sambil menunggu Amelia mengangkat panggilan, Sarah menggigit bibirnya, menahan rasa sakit yang semakin tak tertahankan."Amelia... aku butuh bantuanmu," suara Sarah terdengar panik saat Amelia akhirnya mengangkat telepon.Amelia yang mendengar suara panik kakaknya langsung terbangun dari tidurnya. "Sarah? Ada apa? Kau baik-baik saja?""Ini... aku rasa aku akan melahirkan, Amelia. Alexander belum juga pulang. Bisa kau datang ke sini dengan Adrian? Aku tidak kuat..."Mendengar suara lemah Sarah, Amelia langsung bergegas membangunkan Adrian yang masih te
Setelah Daniel pergi, Adrian duduk termenung di ruangannya, memikirkan langkah berikutnya. Situasi semakin memburuk. Meski ia sudah mencoba berbicara dengan Daniel, semuanya malah semakin rumit. Kini, ia harus memikirkan cara untuk menghentikan Daniel sebelum balas dendam itu benar-benar menghancurkan semua orang, termasuk Amelia yang kini menjadi pusat perhatian di antara mereka.Amelia, yang selama ini selalu tampak ceria, belakangan mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan emosional. Adrian menyadari betapa sulitnya bagi Amelia untuk berada di tengah konflik yang ia sendiri mungkin tidak sepenuhnya pahami. Ia tak pernah membayangkan bahwa Amelia akan terjebak di antara dendam keluarga yang tak berkesudahan ini.Setelah beberapa saat berpikir, Adrian memutuskan untuk pulang lebih awal. Ia ingin berbicara dengan Amelia tentang semua yang terjadi. Ada banyak hal yang belum Amelia ketahui, dan Adrian merasa ini adalah saat yang tepat untuk mengungkapkan semuanya. Di satu sisi, Adrian ta
Daniel berjalan bolak-balik di dalam ruangan gelap dengan wajah tegang. Pikiran tentang pengkhianatan Adrian terus membayangi. Adrian, yang seharusnya berada di sisinya, justru mulai menunjukkan sikap sebaliknya. Dan sekarang, Adrian bahkan meminta dia berhenti dari rencana balas dendam yang sudah lama dia susun. Suara langkah kaki Daniel menggema di ruangan itu, hingga akhirnya dia menghentikan gerakannya dan memandang Adrian dengan sorot mata marah."Kenapa kau tiba-tiba berubah pikiran, Adrian?" tanya Daniel dengan nada dingin yang menggigilkan. "Kita sudah sepakat bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk membalas dendam pada Alexander. Kenapa sekarang kau memutuskan untuk mengkhianatiku?"Adrian, yang berdiri di sudut ruangan, menghela napas panjang. Wajahnya tampak lelah, dan dia menatap Daniel dengan tatapan tenang, tapi tegas. "Ini bukan soal pengkhianatan, Daniel. Ini soal menghentikan siklus kebencian yang tak ada gunanya. Apa yang kau harapkan dari semua ini? Kehancuran Ale
Hari itu, Alexander kembali ke rumah dengan hati yang penuh beban. Pikirannya tak bisa lepas dari pesan-pesan di ponsel tua yang ia temukan di kantor lama Daniel. Jika benar Daniel masih hidup, apa tujuan dari semua ini? Apa yang sebenarnya sedang dia rencanakan? Di dalam hatinya, Alexander tahu ini bukan lagi sekadar balas dendam pribadi, ada sesuatu yang lebih besar, lebih gelap, yang terpendam di bawah permukaan.Sesampainya di rumah, Alexander disambut oleh Sarah yang sedang bermain bersama Zacky di ruang tengah. Melihat kebahagiaan di wajah istri dan anaknya sedikit meredakan kegelisahan yang menghantuinya."Kamu pulang terlambat lagi, Sayang," kata Sarah sambil tersenyum hangat. "Ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan?"Alexander tersenyum tipis, mendekati Sarah dan mencium pipinya. "Banyak yang terjadi di kantor, tapi aku tidak ingin membebanimu dengan masalah itu."Sarah menatap Alexander dengan penuh perhatian, mengetahui bahwa suaminya sedang menutupi sesuatu. Namun, dia memi