Semangat ya Dewi T,T
Bahu Dewi terkulai lemas saat melihat siapa yang datang sepagi ini. Dia berharap sosok itu adalah Denver, tetapi ternyata …. Apakah dia kecewa? Entahlah, tetapi wajahnya menunjukkan reaksi yang serupa.“Maaf, Non Dewi. Pak Denver bilang saya harus antar Non ke rumah sakit sekarang juga,” ungkap Pak Agus dengan intonasi hati-hati, terlebih melihat Dewi yang kepayahan.Dewi mengernyit, lalu mengingat bahwa hari ini memang jadwal pemeriksaannya. Dia akan mengetahui apakah proses pembuahan berhasil atau tidak.“Oh, iya, Pak. Tunggu sebentar.” Dewi berjalan ke kamar, bersiap, lalu mengikuti Pak Agus menuju mobil.Dalam perjalanan, Dewi mengusap perutnya yang terasa tidak nyaman. Rasa mual masih tersisa dari pagi tadi membuatnya sedikit gelisah. Dia juga merasa kelelahan karena malam sebelumnya melewatkan jam makan.Sesampainya di rumah sakit, Dewi langsung menuju ruang praktik Denver di lantai dua. Pintu ruangan terbuka, dia melihat pria itu berdiri di balik meja, tampak segar dan memesona
“Ada apa ini, Carissa?!” suara Denver menggema di depan pintu pembatas IGD dan ruang tunggu keluarga. Tatapan pria itu tajam dan penuh pertanyaan, saat melihat istrinya yang terisak di kursi tunggu.Carissa mendongak, lalu mengusap pipinya yang basah.“Ni—Niang … ja—tuh,” adu wanita itu dengan nada gemetar.Denver mengerutkan alis, memeriksa penampilan Carissa yang berantakan. Matanya menyipit penuh kecurigaan. Sepengetahuan Denver, rumah Niang hanya memiliki satu lantai. Bagaimana dia bisa jatuh?Tatapan Denver intimidatif membuat Carissa gugup. Sehingga wanita itu melirik Bima, yang duduk tak jauh darinya, Carissa berharap mendapat dukungan.“Niang … tadi ke rumah dan … tidak sengaja terpeleset dari lantai dua,” gugup Carissa kentara sekali nada terbata dengan upaya menyembunyikan kebenaran.Selama beberapa saat, Denver terdiam dan berdiri. Dia menatap tajam kepada
Satu hari setelah insiden itu, Dewi memutuskan kembali bekerja. Meskipun fisik terasa lelah dan pikirannya tidak memberi dia pilihan lain.Ada kekhawatiran yang menggerogoti hati, terutama tentang janinnya. Namun, dia ingin menunjukkan empati kepada Niang, meskipun hubungannya dengan keluarga itu penuh ketegangan.Ketika Dewi mendekati ruang ICU, langkahnya terhenti. Dua pengawal Denver berdiri tegap di pintu masuk, dan di sana Carissa duduk dengan seorang wanita sebaya. Mata Carissa menyipit ketika pandangannya bertemu dengan Dewi, seolah memberi peringatan bahwa gadis itu tidak diterima di sini.Dewi menggigit bibir dan membuang muka, lalu berbalik kembali ke departemen IGD. Di ruang istirahat, Kepala IGD memanggilnya.“Dewi, kemarilah!” perintah pria itu terdengar serius.“Ya, Pak?” Dewi melangkah mendekat dan pikirannya mencoba menebak alasan panggilan itu.“Mulai besok, untuk sementara waktu, kamu aka
Dewi mengusap perutnya dengan lembut, jari-jarinya yang halus menyentuh perutnya seolah berbicara kepada bakal janin yang mulai tumbuh. Netra hitamnya menatap kosong kosong, dan pikirannya penuh dengan pertanyaan rumit tak terjawab.“Maafkan aku, ya,” gumamnya lirih. “Aku tidak tahu harus bagaimana menghadapi ini semua.”Langkah berat terdengar mendekat. Aroma yang sudah sangat dikenalnya memenuhi udara, dan jantung Dewi berdetak lebih cepat. Dia mendongak, dan di sanalah Denver berdiri dengan ekspresi serius serta tatapan tajam langsung tertuju ke pipinya.“Dewi...” panggil Denver, intonasi itu sangat rendah dan tentunya penuh tuntutan. “Apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini padamu?”Dewi menggeleng pelan. Dia berusaha menghindari tatapan pria itu dengan melepas ikatan rambutnya.“Tidak ada apa-apa, Dokter,” jawabnya singkat seraya mencoba menyembunyikan getaran di suaranya.D
[Maaf, aku pergi tanpa izin. Aku butuh waktu untuk menenangkan diri. Dokter tenang saja, aku bukan kabur tapi di rumah Ayah.] Denver memandangi layar ponsel yang menampilkan pesan dari Dewi beberapa hari lalu. Saat ini dia duduk di dalam mobil Audi hitamnya,. Kemudian, manik cokelat karamel pria itu menatap rumah sederhana berada di ujung jalan. Dari kejauhan, dia bisa melihat Dewi sedang duduk di teras, mengenakan daster longgar berwarna pastel, rambutnya dikuncir rapi, membuat wajahnya tampak lebih berseri. Pria itu menghela napas panjang, membiarkan rasa rindu itu memenuhi dadanya. Sepekan ini dia hanya bisa mengawasi Dewi dari jauh, memastikan gadis itu dan bayi dalam kandungannya baik-baik saja. Dari balik kaca mobil yang sedikit terbuka, Denver melihat seorang pria paruh baya menghampiri Dewi. Itu Danang, ayah Dewi. Keduanya tampak berbincang-bincang dengan santai, sesekali diselingi tawa kecil terdengar samar di telinganya. Adegan itu membuat dada Denver terasa hangat.
Setelah Denver meninggalkan rumah, Dewi berjalan menuju ruang tamu untuk membersihkan meja. Namun, langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sebuah kartu hitam elegan tergeletak di atas meja. “Kartu siapa ini?” gumamnya sambil mengambil benda itu dengan hati-hati. Permukaan kartu itu mengkilap, dengan ukiran nama Arkatama Denver Bradley tertulis rapi di sana. Jantung Dewi berdegup cepat bersamaan dengan suara ponselnya bergetar di saku kaos. Satu pesan masuk. [Itu untukmu. Gunakan kapan pun kamu perlu. Aku tidak ingin kamu kekurangan apa pun, terutama saat mengandung anakku.] Membaca pesan itu, Dewi terdiam. Tangannya mengepal kartu itu erat-erat. Pandangannya mengarah ke jendela yang terbuka. Perasaan campur aduk menghantam dirinya seperti ombak besar. ‘Bukankah aku bisa menjaga diriku sendiri? Apa dia pikir aku ini tidak mandiri?’ batinnya. Perasaan hangat juga menyelinap di hatinya. Perhatian Denver begitu besar, bahkan pada hal kecil. Namun, menerima kartu ini bera
Dewi menatap foto hasil USG di tangannya, gambaran kecil dari kehidupan yang sedang tumbuh di dalam perutnya. Namun, kehangatan yang dirasakannya saat mendengar detak jantung bayi itu tadi kini tercampur dengan kecemasan menyesakkan dada.Kata-kata Carissa tadi begitu menusuk, mengguncang keyakinannya.‘Anak ini akan menjadi penerus keluarga Denver dan aku … Setelah dia lahir, aku yang akan menjadi ibunya.’Kalimat itu terus berulang di benaknya layaknya sebuaah gema yang tak kunjung reda. Dewi meremas foto di tangannya tanpa sadar, dia berusaha menenangkan hati.“Kenapa perhatian kecil darinya membuat aku merasa begini?” gumamnya.Dia mengingat betapa Denver menunjukkan perhatian besar tadi. Perasaan itu seharusnya membuatnya tenang, tetapi malah memunculkan gejolak lain.Langkah Dewi terasa berat saat meninggalkan rumah sakit. Namun, langkahnya terhenti oleh suara berat yang sudah akrab di telinganya.“Dewi.”Dia menoleh dan mendapati Denver berdiri beberapa langkah di belakangnya. T
Carissa duduk di sebuah kafe mewah pagi ini. Dia bertemu dengan seorang pria berpenampilan mencurigakan. Wajahnya ditutupi topi dan masker, dan tatapannya tajam. “Aku mau semuanya selesai dalam waktu dekat,” kata Carissa dengan nada dingin. Mata pria itu menyipit. “Tenang saja, Ca. Semua sesuai rencana.” Carissa menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya memancarkan kebencian. “Pastikan dia keguguran hari ini!” ucapnya penuh kebencian. Pria asing itu mendekat dan meraba paha Carissa, lalu tangannya hendak masuk ke dalam rok span pendek. “Stop! Aku enggak mau bercinta!” tolak wanita itu dengan wajah ketus. “Tapi aku merindukanmu. Sudah lama kita tidak melakukannya. Aku janji kali ini main aman,” bisik pria itu membuat Carissa menggangguk pelan. Keduanya pun bergegas pergi setelah merapikan penampilan hingga tak seorang pun mengenali bahwa itu adalah Carissa Sailendra. “Bukannya nanti malam kamu harus—” Ucapan Carissa terputus ketika pria itu meremas dadanya, lalu mendekat. “Kamu
Langkah Denver menghentak keras menyusuri koridor rumah. Napasnya memburu dan rahangnya mengeras. Tanpa ragu, dia mengempaskan pintu kamar Carissa hingga terbuka lebar.Carissa yang sedang duduk di depan meja rias, tersentak kaget. Lipstik di tangan wanita itu jatuh ke lantai."Denver?! Apa-apaan sih?" seru Carissa, berusaha bangkit.Akan tetapi, tatapan Denver yang membara membuat langkah Carissa tertahan. Mata cokelat karamel pria itu menatap tajam seolah ingin membakar habis wanita di depannya."Apa yang kamu lakukan pada Dewi?!" Suara Denver menggelegar, dan agak bergetar karena amarah yang ditahan.Carissa berusaha tersenyum, meski wajahnya kini memucat. "Aku … enggak tahu apa yang kamu bilang. Dewi? Aku enggak ketemu sama dia. Kamu tahu sendiri kemarin aku seharian di rumah Oma."Habis sudah kesabaran Denver. Dia menghantam meja rias di depannya, membuat botol parfum dan kosmetik berjatuhan. Bahkan beberapa pecah."Jangan bohong! Aku tahu kamu yang mendorong Dewi di tangga darur
Suara napas Dewi memburu di lorong dingin itu. Tangannya bergetar memegangi perut yang terasa nyeri hebat. Pandangan Ibu hamil itu kabur, dan rasa sakit menjalar ke seluruh tubuh. Perlahan dia mencoba merangkak, mencari pegangan di sekitar tangga."Tidak ... aku harus melindungi kamu," gumamnya pelan sambil menahan rasa sakit di perut.Sayang, langkahnya goyah. Cairan merah mulai mengalir di antara kedua kakinya. Sebelum tubuh mungil itu sempat menghantam lantai lebih keras, sepasang tangan langsung menangkapnya.“Astaga, Dewi!” pekik Valerie, lalu berteriak meminta tolong ke arah tangga.Tidak lama kemudian Mama Dwyne yang baru datang dari lantai atas segera berlari menghampiri. Mata wanita paruh baya itu membelalak melihat darah di lantai."Kita harus bawa dia ke rumah sakit!" seru Mama Dwyne panik dan tanpa pikir panjang langsung membantu Valerie mengangkat tubuh Dewi.Mama Dwyne berkali-kali melirik ke arah Dewi yang setengah sadar di dalam mobil. Jantungnya berdegup kencang."Apa
Denver melangkah cepat menuju lobi apartemen, rahangnya mengeras, matanya menajam saat melihat seorang pria berdiri santai di depan pintu masuk. Kecurigaan langsung mengendap di benak Denver.Pria paruh baya dengan setelan rapi tampak sedang bertanya banyak hal pada resepsionis."Apa yang kamu lakukan di sini?" Suara Denver terdengar dingin dan penuh kewaspadaan.Pria itu menunduk hormat. "Maaf, Tuan. Saya hanya mengantarkan dokumen penting dari Nyonya Dwyne untuk rekan bisnisnya di sini."Denver mengepalkan tangan dan napasnya berat. Tentu saja dia tidak memercayai ucapan asisten mamanya."Sebaiknya kamu pergi sekarang! Sampaikan pada Mama jangan campuri urusanku," gertak pria itu dengan tatapan intimidasi.Akan tetapi, sebelum Denver sempat bertindak lebih jauh, ponselnya berdering keras. Itu panggilan dari rumah sakit."Dokter, pasien melahirkan dalam kondisi darurat. Anda harus segera ke sini!"Denver berdecak pelan dan menggertakkan giginya. Dengan terpaksa, dia melangkah mundur
Dewi sadar, dia seharusnya tidak perlu merasa terkhianati melihat foto tadi. Denver dan Carissa adalah suami istri yang sah. Sudah sepatutnya mereka berbagi peluh, menyalurkan hasrat berdua. Akan tetapi, tanpa bisa dicegah, rasa nyeri terasa di dada Dewi. Dia bahkan tidak sadar telah menghentikan taksi, sebelum kemudian sang sopir menegurnya karena kesal. “Mbak, jadi naik enggak?” Dewi langsung gelagapan. Pikirannya langsung teralihkan saat itu juga. “Oh, iya. Maaf,” balas Dewi sambil tersenyum tipis. Baru dia memasuki mobil dan bersiap menutup pintu, suara seseorang menghentikan gerakannya. “Dewi,” panggil sosok itu dengan intonasi rendah dan tegas. Detik itu, jantung Dewi semakin berpacu. Nyeri di hatinya makin terasa hingga dia tidak berani menatap mata teduh itu lama-lama. “Dokter Denver? Kenapa … ada di sini?” Dokter tampan itu melangkah makin dekat, berhenti tepat di samping Dewi. Tatapan Denver intens, seolah tengah mencari sesuatu di wajah gadis itu. Pria
Denver terduduk di sofa kamarnya. Dia mengepalkan tangan. Ingatannya tentang bagaimana dia tertidur karena lelah tidak seharusnya berakhir seperti ini. Mata cokelat karamel melirik ke arah Carissa yang masih tertidur dengan wajah tenang. Ketidakadilan situasi ini membuat dada pria itu sesak. Dengan cepat, dia berdiri dan berjalan ke sisi tempat tidur. "Bangun!" seru Denver dengan nada keras, membuat Carissa terlonjak kaget. Carissa membuka matanya perlahan, senyum kecil muncul di bibirnya. "Selamat pagi, Baby," sapa wanita itu lembut, seolah-olah tidak ada yang salah. "Apa yang kamu campur di minumanku semalam, Carissa?" Suara Denver naik satu oktaf. "Apa yang sedang kamu rencanakan?" Carissa menghela napas panjang, lalu matanya menatap Denver dengan tatapan dingin. "Aku enggak melakukan apa-apa, Denver. Kamu sendiri yang capek dan tertidur. Jangan berlebihan." "Jangan berlebihan?!" teriak Denver, emosinya memuncak. "Kamu memanfaatkan aku! Kamu pikir aku tidak tahu apa yang ka
Pagi ini langit tampak kelabu dan hujan gerimis mulai turun, membuat Dewi enggan beranjak dari ranjang. Dia meringkuk lebih dalam di bawah selimut, tetapi matanya terpaku pada jendela yang dihiasi tetesan air. Hati Ibu hamil itu bergejolak. Perasaan rindu, khawatir, dan bimbang bercampur aduk. “Apa kamu merindukan papamu?” bisiknya sambil membelai lembut perut yang masih rata. “Kita akan bertemu dengannya nanti di rumah sakit, ya.” Setelah menarik napas panjang, Dewi memutuskan untuk bangkit. Pada pukul enam pagi, dia sudah bersiap-siap untuk bekerja. Tidak ada Denver atau Pak Agus yang menjemputnya pagi ini. Dewi memesan taksi online seperti biasa. Saat menunggu di lobi apartemen, seorang resepsionis menyapanya dan menyerahkan sebuah amplop cokelat. Hanya ada namanya sebagai penerima. “Ini untuk Anda, Nona Dewi. Baru saja dikirim.” Dewi menerima amplop itu dengan rasa penasaran. Begitu membukanya, sepasang netra sipit langsung tertumbuk pada selembar surat perjanjian. Itu adalah
Pukul lima sore, Dewi berdiri di depan pintu rumah ayahnya. Udara dingin menyapa, tetapi pikirannya lebih dingin lagi. Dalam perutnya, terdapat gerakan samar seperti kedutan. Ini mengingatkan Dewi akan kenyataan yang tidak bisa dia abaikan. Dalam perjalanan ke rumah Danang, dia sempat mengirim pesan kepada Denver. Namun, tidak ada balasan,.dia yakin Dokter tampan itu sedang bersama istrinya. Pintu rumah terbuka, menampilkan wajah Danang yang mulai dipenuhi kerutan usia. Mata pria paruh baya itu menyipit, menelisik penampilan putrinya dengan perhatian seorang Ayah. “Kamu datang lagi, Nak?” tanya Danang sambil menarik pelan tangan Dewi ke dalam. “Ayo masuk. Ayah masak ayam goreng d. sambal kesukaanmu. Pasti kamu lapar, ya?” Dewi tersenyum kecil, senyuman yang terasa bagai sebuah tameng. “Iya, Ayah. Dewi lapar banget.” Tangan Ibu hamil itu refleks mengusap perut, mencoba menyalurkan kasih sayang yang tidak berani dia ungkapkan. Keduanya berjalan ke ruang makan. Aroma rempah
Dewi berdiri terpaku di depan pintu ruang praktik Denver. Tangannya yang menggenggam gagang pintu gemetar, berusaha menahan diri agar tidak membuka pintu itu lagi. Dari dalam, suara tawa renyah Carissa terdengar jelas, mengiris perasaan Dewi seperti sembilu.“Ada perlu apa, Carissa?” Suara Denver terdengar tegas, membuat dada Dewi sesak.“Mengunjungi suami sendiri dan menjaganya dari pelakor, apa itu salah?” Carissa sengaja mengeraskan suaranya, memastikan setiap kata yang dia ucapkan dapat menembus telinga Dewi di balik pintu.Dewi meremas gagang pintu lebih erat, buku jarinyanya memutih. Dia menundukkan kepala, air mata menggenang di pelupuk matanya. Namun, kakinya seakan terpaku di lantai, tak mampu melangkah pergi.“Dewi bukan pelakor! Jangan mengganggunya lagi, Carissa! Dia sedang hamil anakku.” Suara Denver meluncur penuh peringatan. “Apalagi sampai melibatkan orang lain!”Dewi tersentak mendengar ucapan itu. ‘Melibatkan orang lain? Apa maksudnya?’ pikirnya bingung. Jantungnya b
Bisikan Denver menghipnotis Dewi, membuatnya patuh tanpa ragu. Dengan tangan sedikit gemetar, dia melepas celana pendek Denver dan menaruhnya di ujung sofa.Pandangannya jatuh pada bukti gairah pria itu yang begitu nyata. Saliva tertelan perlahan, dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.“Bukankah hubungan intim disarankan pada usia kehamilan trimester kedua?” Dewi bertanya dengan nada ragu.Denver tersenyum lembut dan memperbaiki posisi duduknya.“Benar, terutama jika Ibu memiliki keluhan atau gangguan. Tapi, Dewi ....” Jemari pria itu mulai menari di sepanjang kulit Dewi yang masih tertutupi gaun. “Kamu tidak mengalami keluhan apa pun, ‘kan?”Dewi mengangguk pelan, mencoba menenangkan debaran jantungnya. Ketika bibir Denver mengecup perutnya, dia menggeliat kecil. Gelak tawa menggantung di udara.Akan tetapi, saat tubuhnya bersentuhan langsung dengan milik Denver, dia membelalak.“Kamu sengaja, ya?” goda Denver dengan intonasi agak manja.Dewi mendesah pelan. “Bukan aku yang senga