Selamat PAk Dokter dan Dewi ^^ Tapi ada apa lagi ini? T.T
“Ada apa ini, Carissa?!” suara Denver menggema di depan pintu pembatas IGD dan ruang tunggu keluarga. Tatapan pria itu tajam dan penuh pertanyaan, saat melihat istrinya yang terisak di kursi tunggu.Carissa mendongak, lalu mengusap pipinya yang basah.“Ni—Niang … ja—tuh,” adu wanita itu dengan nada gemetar.Denver mengerutkan alis, memeriksa penampilan Carissa yang berantakan. Matanya menyipit penuh kecurigaan. Sepengetahuan Denver, rumah Niang hanya memiliki satu lantai. Bagaimana dia bisa jatuh?Tatapan Denver intimidatif membuat Carissa gugup. Sehingga wanita itu melirik Bima, yang duduk tak jauh darinya, Carissa berharap mendapat dukungan.“Niang … tadi ke rumah dan … tidak sengaja terpeleset dari lantai dua,” gugup Carissa kentara sekali nada terbata dengan upaya menyembunyikan kebenaran.Selama beberapa saat, Denver terdiam dan berdiri. Dia menatap tajam kepada
Satu hari setelah insiden itu, Dewi memutuskan kembali bekerja. Meskipun fisik terasa lelah dan pikirannya tidak memberi dia pilihan lain.Ada kekhawatiran yang menggerogoti hati, terutama tentang janinnya. Namun, dia ingin menunjukkan empati kepada Niang, meskipun hubungannya dengan keluarga itu penuh ketegangan.Ketika Dewi mendekati ruang ICU, langkahnya terhenti. Dua pengawal Denver berdiri tegap di pintu masuk, dan di sana Carissa duduk dengan seorang wanita sebaya. Mata Carissa menyipit ketika pandangannya bertemu dengan Dewi, seolah memberi peringatan bahwa gadis itu tidak diterima di sini.Dewi menggigit bibir dan membuang muka, lalu berbalik kembali ke departemen IGD. Di ruang istirahat, Kepala IGD memanggilnya.“Dewi, kemarilah!” perintah pria itu terdengar serius.“Ya, Pak?” Dewi melangkah mendekat dan pikirannya mencoba menebak alasan panggilan itu.“Mulai besok, untuk sementara waktu, kamu aka
Dewi mengusap perutnya dengan lembut, jari-jarinya yang halus menyentuh perutnya seolah berbicara kepada bakal janin yang mulai tumbuh. Netra hitamnya menatap kosong kosong, dan pikirannya penuh dengan pertanyaan rumit tak terjawab.“Maafkan aku, ya,” gumamnya lirih. “Aku tidak tahu harus bagaimana menghadapi ini semua.”Langkah berat terdengar mendekat. Aroma yang sudah sangat dikenalnya memenuhi udara, dan jantung Dewi berdetak lebih cepat. Dia mendongak, dan di sanalah Denver berdiri dengan ekspresi serius serta tatapan tajam langsung tertuju ke pipinya.“Dewi...” panggil Denver, intonasi itu sangat rendah dan tentunya penuh tuntutan. “Apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini padamu?”Dewi menggeleng pelan. Dia berusaha menghindari tatapan pria itu dengan melepas ikatan rambutnya.“Tidak ada apa-apa, Dokter,” jawabnya singkat seraya mencoba menyembunyikan getaran di suaranya.D
[Maaf, aku pergi tanpa izin. Aku butuh waktu untuk menenangkan diri. Dokter tenang saja, aku bukan kabur tapi di rumah Ayah.] Denver memandangi layar ponsel yang menampilkan pesan dari Dewi beberapa hari lalu. Saat ini dia duduk di dalam mobil Audi hitamnya,. Kemudian, manik cokelat karamel pria itu menatap rumah sederhana berada di ujung jalan. Dari kejauhan, dia bisa melihat Dewi sedang duduk di teras, mengenakan daster longgar berwarna pastel, rambutnya dikuncir rapi, membuat wajahnya tampak lebih berseri. Pria itu menghela napas panjang, membiarkan rasa rindu itu memenuhi dadanya. Sepekan ini dia hanya bisa mengawasi Dewi dari jauh, memastikan gadis itu dan bayi dalam kandungannya baik-baik saja. Dari balik kaca mobil yang sedikit terbuka, Denver melihat seorang pria paruh baya menghampiri Dewi. Itu Danang, ayah Dewi. Keduanya tampak berbincang-bincang dengan santai, sesekali diselingi tawa kecil terdengar samar di telinganya. Adegan itu membuat dada Denver terasa hangat.
Setelah Denver meninggalkan rumah, Dewi berjalan menuju ruang tamu untuk membersihkan meja. Namun, langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sebuah kartu hitam elegan tergeletak di atas meja. “Kartu siapa ini?” gumamnya sambil mengambil benda itu dengan hati-hati. Permukaan kartu itu mengkilap, dengan ukiran nama Arkatama Denver Bradley tertulis rapi di sana. Jantung Dewi berdegup cepat bersamaan dengan suara ponselnya bergetar di saku kaos. Satu pesan masuk. [Itu untukmu. Gunakan kapan pun kamu perlu. Aku tidak ingin kamu kekurangan apa pun, terutama saat mengandung anakku.] Membaca pesan itu, Dewi terdiam. Tangannya mengepal kartu itu erat-erat. Pandangannya mengarah ke jendela yang terbuka. Perasaan campur aduk menghantam dirinya seperti ombak besar. ‘Bukankah aku bisa menjaga diriku sendiri? Apa dia pikir aku ini tidak mandiri?’ batinnya. Perasaan hangat juga menyelinap di hatinya. Perhatian Denver begitu besar, bahkan pada hal kecil. Namun, menerima kartu ini bera
Dewi menatap foto hasil USG di tangannya, gambaran kecil dari kehidupan yang sedang tumbuh di dalam perutnya. Namun, kehangatan yang dirasakannya saat mendengar detak jantung bayi itu tadi kini tercampur dengan kecemasan menyesakkan dada.Kata-kata Carissa tadi begitu menusuk, mengguncang keyakinannya.‘Anak ini akan menjadi penerus keluarga Denver dan aku … Setelah dia lahir, aku yang akan menjadi ibunya.’Kalimat itu terus berulang di benaknya layaknya sebuaah gema yang tak kunjung reda. Dewi meremas foto di tangannya tanpa sadar, dia berusaha menenangkan hati.“Kenapa perhatian kecil darinya membuat aku merasa begini?” gumamnya.Dia mengingat betapa Denver menunjukkan perhatian besar tadi. Perasaan itu seharusnya membuatnya tenang, tetapi malah memunculkan gejolak lain.Langkah Dewi terasa berat saat meninggalkan rumah sakit. Namun, langkahnya terhenti oleh suara berat yang sudah akrab di telinganya.“Dewi.”Dia menoleh dan mendapati Denver berdiri beberapa langkah di belakangnya. T
Carissa duduk di sebuah kafe mewah pagi ini. Dia bertemu dengan seorang pria berpenampilan mencurigakan. Wajahnya ditutupi topi dan masker, dan tatapannya tajam. “Aku mau semuanya selesai dalam waktu dekat,” kata Carissa dengan nada dingin. Mata pria itu menyipit. “Tenang saja, Ca. Semua sesuai rencana.” Carissa menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya memancarkan kebencian. “Pastikan dia keguguran hari ini!” ucapnya penuh kebencian. Pria asing itu mendekat dan meraba paha Carissa, lalu tangannya hendak masuk ke dalam rok span pendek. “Stop! Aku enggak mau bercinta!” tolak wanita itu dengan wajah ketus. “Tapi aku merindukanmu. Sudah lama kita tidak melakukannya. Aku janji kali ini main aman,” bisik pria itu membuat Carissa menggangguk pelan. Keduanya pun bergegas pergi setelah merapikan penampilan hingga tak seorang pun mengenali bahwa itu adalah Carissa Sailendra. “Bukannya nanti malam kamu harus—” Ucapan Carissa terputus ketika pria itu meremas dadanya, lalu mendekat. “Kamu
Mata sipit Dewi makin menyipit, menajamkan tatapannya pada seorang pria yang baru turun dari mobil. Postur tubuh tegap pria itu seketika membuat bulu kuduknya meremang. Dia berdiri membeku di tempat, dihantam oleh perasaan tak karuan. “Masuklah, Nona,” titah pria itu dengan nada datar tanpa paksaan. “Aku tidak mau,” tolak Dewi, melangkah menjauh dari mobil sedan tersebut. Namun, baru saja dia mengambil dua langkah mundur, telinganya menangkap suara seorang wanita memanggil dari dalam mobil. Dewi menoleh, melihat tangan wanita itu melambai, mengisyaratkan agar dia masuk. Setelahnya, mobil sedan itu melaju, meninggalkan area rumah sakit. “Jangan melihatku seperti itu!” ketus wanita berambut pirang kecokelatan, matanya melirik Dewi sekilas. “Denver memintaku menjemputmu.” Senyum kecil terukir di wajah Dewi saat nama itu terucap. Dia menunduk, menatap gaun merah muda yang membalut tubuhnya. Saat itu juga perasaan cemasnya menguap. “Bagus, ‘kan, pilihanku? Pagi tadi, Denver mendadak
Saat ini Denver duduk termenung di bangku logam. Sepuluh jemari tangannya saling menyatu erat dan menempel pada kening. Sesekali, pria itu juga menatap pintu ruang bank darah.Ketika seseorang ke luar dengan lengan terpasang plester, detik itu Denver mendapat jawaban bahwa darah yang didonorkan oleh sang pendonor cocok dengan Dewi.“Terima kasih, Darius,” ucap Denver sambil melengkungkan senyum tipis.“Dia juga pasienku,” jawab Darius sambil menatap tajam, lalu bertanya, “Boleh aku menjenguknya?”Denver menatap pria itu beberapa saat. Meskipun sosok di hadapannya telah berjasa, tetap saja berat hati Denver mengizinkan. Dia menggeleng dan berkata, “Dilarang masuk selain petugas ICU dan dokter yang bertanggung jawab.”“Aku hanya ingin memastikan Dewi baik-baik saja, Denver,” ujar Darius, matanya menatap lurus seolah mencari celah dalam keteguhan Denver. Namun, tatapan Denver yang dingin tetap tidak memberi ruang.“Baiklah, aku mengerti. Sampaikan salamku padanya, katakan dia wanita heba
Mata karamel Denver bergetar menatap roda-roda brankar bergerak cepat keluar dari ruang operasi. Tubuh pria itu melemas bagai kehilangan rangkanya setelah melakukan penyelamatan kepada Dewi, yang mengalami pendarahan.“Dewi …,” lirih Denver, kini bersandar pada pintu kaca.Akan tetapi, tangis bayi menyadarkan Denver untuk tetap tegar dan berdiri kokoh sebagai pria sekaligus ayah. Dia menoleh dan melihat tubuh kecil itu.“Dokter, bayi Anda akan kami bawa ke NICU,” ujar seorang tim neonatalogis.Denver mengangguk, lantas meraih bayinya dan menggendongnya ke luar dari ruang operasi. Namun, di depan pintu dia menggeram ketika sang mama melontarkan sebuah pertanyaan menyakitkan, “Bayinya baik-baik saja, ‘kan? Kamu harus cepat tes DNA!”“Cukup, Ma!” desis Denver tertahan seolah enggan mengusik tidur bayi kecilnya.“Apa lagi? Kita harus tahu dia anakmu atau bukan!” desak Dwyne yang mendapat tatapan tajam dari Denver.Tatapan Dwyne sedikit goyah, tetapi dia segera mengangkat dagu. “Aku hanya
Semua orang dalam ruangan tercengang mendengar pernyataan itu. Namun, Dwyne maju dan menatap tajam kepada orang itu. “Kamu bukan dokter di rumah sakit ini, Darius!” hardiknya.“Tante, ini kondisi darurat!” sergah Darius yang kemudian melangkah maju dan melihat Dewi terbaring tidak berdaya. “Sebagai dewan komite, aku harap Tante Dwyne memberiku izin,” sambungnya.Darius menatap Dewi yang terbaring lemah di brankar. “Aku tidak bisa membiarkan dia seperti ini,” ucapnya tegas dan sorot matanya menunjukkan rasa bersalah.Dwyne mengepalkan tangan dan membuang tatapan ke arah lain, tetapi rintih kesakitan Dewi serta isak tangis Astuti membuat wanita itu mendengkus, lalu mengangguk pelan.“Sebagai dokter tamu. Bantu dia sampai Denver selesai operasi pasien lain!” tegas Dwyne.Seketika Darius memeriksa catatan hasil pemeriksaan tanda vital Dewi. Dokter itu pun mengambil keputusan membawa Dewi ke ruang operasi.“Tolong, Dokter. Selamatkan Dewi dan anaknya!” pinta Astuti sambil terus menggenggam
Hari-hari yang dijalani Dewi seiring bertambahnya usia kandungan sangatlah berat. Sekarang, dia sama sekali kesulitan berjalan karena kakinya membengkak, termasuk wajah yang sebelumnya tirus. Dia pun menatap pantulan diri yang menyedihkan ini pada cermin.“Bertahanlah, Sayang,” gumamnya memandangi perut buncit.“Dewi, kenapa lama? Ada tamu!” teriak Astuti membuat Dewi buru-buru mencuci muka untuk menyamarkan garis sendu pada wajah.“Ya, Bu. Sebentar,” sahutnya.Sayang, rasa mual menyerangnya lagi hingga dia muntah. Padahal Denver sudah memberikan obat penunjang kesehatan untuk mengurangi dampak komplikasi, tetapi seolah tidak berpengaruh padanya.“Wi, kamu muntah lagi?” tanya Astuti.Dewi tidak menjawab karena desakan dari dalam lambung cukup hebat. Hingga Astuti menerobos masuk dan melihat dia sedang kepayahan. Ya, dia memang tidak pernah mengunci pintu.“Dewi bisa, Bu,” lirihnya sambil menyeka noda muntahan yang menempel pada dagu.“Jangan ngeyel, kamu, Wi! Ayo, Ibu bantu,” kata Ast
“Oh … sekarang Mama tahu, Ibu hamil yang kamu tolong waktu itu siapa,” sarkas Dwyne dengan senyum mengembang, tetapi terasa membuat bulu kuduk Dewi merinding.Melihat mamanya makin mendekat masuk, Denver berdiri tepat di depan Dewi. Menghalangi jarak pandang wanita itu. Dia yakin mamanya tidak akan tinggal diam saja.“Berhenti, Ma!” titah Denver begitu tegas. Bahkan saat ini rahangnya mengeras dan tangannya mengepal hingga urat-urat di punggung tangan tampak jelas.“Mama mau tanya bagaimana kabarnya Dewi, apa salah?” Tatapan Dwyne beralih pada Denver. “Bagaimanapun katanya dia hamil keturunan kita, bukan?”“Aku mohon Mama jangan sakiti Dewi!” tegas Denver lagi.Alih-alih merasakan takut dan menciut, justru Dewi menggenggam pergelangan tangan Denver membuat pria itu menoleh.“Aku tidak apa-apa, Dokter,” lirih Dewi dengan kerlingan kelopak mata yang seolah meyakinkan.Denver pun menggeser badan.Kini tampaklah Dewi dan Dwyne saling berhadapan. Dua wanita berbeda usia yang memiliki posis
Dewi terkesiap, tubuhnya sedikit merapat ke dinding. Bayangan wanita elegan yang baru saja dia lihat di lobi rumah sakit masih jelas terpatri di pikirannya. Namun, saat dia memberanikan diri untuk mengintip lagi, sosok itu menghilang. “Bu Dwyne …,” gumamnya dengan suara nyaris tak terdengar dan napas tercekat. Ketika Dewi sedang dirundung kegundahan, punggungnya mendadak ditepuk dari belakang. Dia tersentak, langsung berbalik dengan sorot mata penuh kewaspadaan. “Kenapa berdiri di sini?” tanya orang itu yang menatap dengan alis mengernyit. “Anda baik-baik saja?” Dewi menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Saya kira … ya, saya baik-baik saja. Kenapa Dokter Darius ada di sini?” Netra hitamnya masih memindai penuh kewaspadaan ke sekitar. “Boleh saya bantu antar ke kamar?” tawar Darius ramah. Dewi ragu sejenak, lalu mengangguk karena bagaimanapun Dwyne bisa muncul kapan saja. “Terima kasih, Dokter.” Senyum hangat terukir pada wajah kurus Dewi. “Jangan sungkan meminta
Carissa berdiri di tengah ruangan sempit dengan wajah merah padam. Setelah dari gedung pengadilan dia langsung menuju apartemen. Kini tangan wanita itu menggenggam erat ponsel yang layarnya sudah retak. Komentar-komentar penuh hinaan dari media sosial terpampang jelas di depannya, seolah menertawakan keterpurukannya. “Dasar artis murahan!” “Pantas saja ditinggal suami!” Carissa melempar ponsel lagi ke sofa tua, napasnya pun memburu. Dia memutar tubuh ke arah anak kecil yang duduk di sudut ruangan, memeluk boneka usang dengan wajah ketakutan. “Kamu kenapa diam saja?! Jangan lihat aku dengan tatapan itu!” bentak Carissa, suaranya penuh dengan amarah. Bocah kecil itu hanya menunduk, tangannya semakin erat memeluk bonekanya. “Kamu ini cuma bikin hidupku tambah susah!” raung Carissa sambil menendang kursi kecil di dekatnya. Kursi itu terjatuh dengan bunyi keras, membuat anak itu makin mengecilkan tubuhnya. Beberapa saat kemudian, pintu kamar terbuka, dan Chico muncul denga
Carissa mematung di tempat, mata bulatnya membelalak saat seseorang pria berdiri di ambang pintu. Pasalnya langkah pria itu memasuki ruangan dengan menggendong seorang anak kecil. Bocah itu mengenakan pakaian rapi, rambutnya diikat dua, dan kedua matanya yang besar menatap ke sekeliling dengan bingung. “Mama!” seru bocah itu, tangannya terulur ke arah Carissa. Suasana ruang sidang menjadi sunyi senyap. Bahkan suara detak jam di dinding terasa begitu jelas. Carissa makin membeku, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Denver melangkah mendekati pria itu dengan tatapan dingin dan tegas. “Biar aku yang gendong dia, Ruslan,” ujar Denver yang diangguki asistennya. Ruslan menyerahkan bocah kecil itu dengan hati-hati. Tatapannya sempat bertemu mata Denver, mengisyaratkan bahwa mereka sudah melakukan segalanya untuk sampai pada momen ini. Bahkan Ruslan sempat baku hantam bersama Chico demi menghadirkan bocah itu di ruangan ini. Perlahan Denver meraih anak kecil itu dengan hati-hat
Pagi ini, Dewi terbangun dengan kepala yang terasa berat, seolah-olah ada beban tak kasat mata menghimpit pelipisnya. Napasnya pendek, dan dia mencoba bergerak dari ranjang. Namun, tubuhnya terasa lemah, seolah semua tenaga terkuras habis. “Bu Astuti?” panggilnya dengan suara serak, yang hampir tenggelam dalam kesunyian kamar rumah sakit. Tatapan manik hitam tertuju ke pintu kamar yang setengah terbuka, berharap ada langkah kaki yang mendekat. Namun, yang terdengar hanya suara angin dari luar jendela. Rasa mual menyerang dengan tiba-tiba. Dewi berusaha bangkit dari tempat tidur, meskipun langkahnya tertatih. Tangan kurusnya meraba dinding dan berusaha mencari pegangan, tetapi pandangannya mulai kabur. Semua terasa berputar, dan tubuhnya terasa ringan seperti ingin jatuh. Saat itulah pintu terbuka dengan cepat. Aroma hangat sup ikan yang memenuhi udara membuat Dewi sedikit lega, meskipun tubuhnya masih gemetar. “Ya ampun, Dewi!” seru Bu Astuti panik, lalu bergegas membantu Dewi to