haduh Denver jangan deh ya, bisa bisa Dewi gak fokus belajar itu (・o・)
[Mon ange, hari ini aku sibuk, pulang terlambat lagi.] Dewi menatap layar ponsel, ibu jarinya menggantung di atas keyboard. Dia ragu untuk membalas. Napas wanita itu panjang, seperti menelan kekecewaan yang sudah berulang kali datang. Sudah hampir dua minggu seperti ini. Bahkan Denver mengurungkan niat menjadi dosen di kampus ini. Dia menoleh ke arah parkiran kampus yang mulai sepi. Rasa lelah mulai merayap ke tubuhnya, tetapi bukan hanya karena aktivitas seharian, melainkan karena kerinduan yang perlahan berubah menjadi sejumput kesedihan. [Oke, aku pulang dulu, ya, Dokterku Sayang.] Pesan balasan Dewi terkirim pada Denver, dan tak lama ponselnya kembali bergetar. [Maaf, ingkar lagi jemput kamu di kampus. Aku sudah telepon Pak Agus untuk jemput.] Dewi menghela napas. Setidaknya, sekalipun Denver sibuk menghabiskan hampir 24 jam waktunya di rumah sakit, pria itu masih memedulikannya. [Siap, Dok.] Dewi mengunci layar ponsel. Saat sedang menunggu, seperti biasa, Darius
"Ya ampun, Denver!" seru Dewi panik. Dia melangkah masuk ke dalam ruangan dengan napas sedikit tertahan. Mata sipitnya membulat saat melihat sosok suaminya tergeletak di atas karpet dengan kaki masih berada di atas sofa. Jantungnya mencelos. Dengan cepat, Dewi berlutut, tangannya menyentuh pipi pria itu yang terasa sedikit dingin. Sejenak pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan buruk. Apa Denver pingsan? Apa dia kelelahan sampai jatuh sakit? Napas wanita itu tercekat dan paniknya makin parah, tetapi Denver terkekeh kecil. Mata pria itu mengerjap, lalu menatap Dewi dengan seringai khasnya. "Ah, enaknya punya istri perawat," godanya serak. Dewi memukul bahunya gemas. "Ish, tidak lucu, Dokter! Aku benar-benar khawatir!" Pagi ini dia sengaja datang sebelum kuliah, ingin memastikan Denver baik-baik saja setelah semalaman
Dewi duduk di salah satu rumah makan sederhana, jemari rampingnya mengetuk meja dengan gelisah. Sudah satu jam berlalu, tetapi orang yang dia tunggu belum bersedia menghampiri. Di layar ponselnya, pop-up pesan terus bermunculan.[Sayang, maaf. Bukan maksudku tidak mau bantu.][Dewi, jangan marah! Kamu salah paham!][Mon ange? Kamu ingat, kunci dari permasalahan adalah komunikasi?]Dewi menatap pesan-pesan itu tanpa keinginan untuk membalas. Napas wanita itu agak berat, mebuat dadanya terasa sesak. Kenapa semua orang tidak mau membantu? Kenapa mereka seolah menghindari permintaannya?Tepat saat pikirannya tambah kacau, seorang wanita berjalan ke arahnya."Rani ... aku—""Dewi, maaf. Aku tidak bisa bantu. Restoranku ini lagi bermasalah," sela Maharani dengan ekspresi menyesal dan atapannya penuh rasa iba.Dewi seketika terdiam. Senyum maniss yang sempat muncul perlahan memudar."Oh, baik," ujarnya, mencoba terdengar santai. "Nanti aku datang lagi. Umm ... boleh aku pesan makanan? Dibungk
Pagi ini, Dewi sengaja bangun lebih awal. Tangannya cekatan mengiris bawang dan jahe di dapur, disertai aroma kaldu ayam kampung mulai memenuhi ruangan. Namun, sesekali dia melirik ke arah pintu, memastikan tidak ada yang melihatnya dengan tatapan aneh."Nyonya, jangan. Ini tugas kami," ujar salah satu pelayan, suaranya terdengar canggung.Dewi tersenyum lembut, meskipun hatinya sedikit berdebar. "Tidak apa. Sesekali aku ingin masak untuk suamiku."Chef yang biasa datang dari hotel keluarga Bradley pun menatapnya dengan ragu, tetapi tidak berkata apa-apa.Dewi tahu, ini adalah tantangan. Selama ini, rumah besar ini tidak pernah mengenal menantu yang masuk dapur kecuali Fredella—istri pamannya Denver."Semoga mereka suka," gumam Dewi pelan sambil menuangkan nasi tim ayam kampung ke dalam mangkuk.Ini bukan sekadar masakan, ini cara Dewi menunjukkan bahwa dirinya benar-benar bagian dari keluarga ini. Selain itu ada maksud terselubung untuk Denver. Apalagi prilakunya kemarin sangat kasar
Dewi melenguh dan menggeliatkan tubuhnya, perlahan mengerjap menyesuaikan cahaya yang masuk ke ruangan. Saat melihat sinar matahari sore menyelinap di balik tirai, dia sontak terduduk, mengucek matanya dengan panik."Ya ampun ... ini sudah sore," ucapnya sambil bangkit dengan buru-buru.Hanya saja, gerakan Dewi terhenti saat menyadari ada yang memperhatikannya. Di sudut ruangan, Denver duduk di kursi kerjanya, menatap wanita itu tajam dengan sorot mata yang sulit diartikan.Manik karamel itu tidak seperti biasanya, bukan sekadar lelah atau jenuh, tetapi menyimpan sesuatu yang lebih dalam.Dewi menelan ludah, merasa ada yang tidak beres. Dia mengusap kemeja yang kusut, kemudian meraba kantong skiny jeans-nya, mencari sesuatu. Napas wanita itu mulai berat saat tidak menemukannya.Di saat bersamaan, Denver berdiri, langkah boots-nya menggema di ruangan yang sunyi. Dengan gerakan tenang dan penuh tekanan, pria itu mengulurkan sebuah ponsel ke arahnya."Cari ini, hmm?" tanya Denver dengan,
"Suami macam apa yang pulang jam segini?" Suara seorang wanita terdengar sarkastik, nadanya malas, tetapi matanya menyala penuh emosi. Pria yang baru saja memasuki rumah itu menatap wanitanya dengan rahang mengatup. Wanita itu berdiri di ruang tengah dengan gelas kristal di tangan, meneguk cairan bening dengan ekspresi menikmati. Padahal dia sengaja pulang pukul satu pagi supaya tidak bertemu dengan sang istri. Ternyata gagal. "Apa yang kamu minum, Dania?" Darius melangkah mendekat, matanya menangkap botol yang hampir kosong di meja. Dania terkekeh kecil, lalu mengangkat gelasnya. "Vodka. Mau coba?" Dengan santai, dia menyodorkan gelasnya pada Darius. Darius menerima gelas itu, tetapi alih-alih meneguk, dia menuangkan isinya ke wastafel. "What the—are you crazy, Doctor?!" Dania berteriak kesal. Darius hanya tersenyum miring, menatap istrinya yang jelas-jelas sudah setengah mabuk. "Ya, aku memang gila. Sama seperti kamu." Tanpa menunggu jawaban, Darius berjalan menuju kamar. Lan
"Makasih, Sayang," tandas Dewi dengan senyum hangat, berharap sapaan itu bisa sedikit melembutkan suasana. Pagi itu, Dewi merasa ada secercah harapan. Meskipun ekspresi Denver masih cenderung datar, setidaknya pria itu masih peduli dengan membawakan tas dan laptopnya. Ya, Denver hanya mengangguk tanpa senyum. "Cepatlah, kamu bisa terlambat." Nada suaranya terdengar lebih dingin dari biasanya, tetapi Dewi berusaha mengabaikan hal itu. Dia justru memandangi wajah sang suami yang berada sedekat ini dengannya, tetap tampn, sekalipun idak berseri-seri seperti biasanya. Melainkan ada ketegangan yang tertelihat. Saat Dewi hendak menuruni anak tangga, dia hampir tersandung. Jantungnya mencelos, tetapi dalam hitungan detik, lengan kokoh Denver sigap menahan pinggulnya, menjaga agar dia tidak jatuh. Sentuhan itu sekilas membuat Dewi merasa hangat, tetapi ekspresi sang suami tetap datar. "Dewi, hati-hati!" seru Denver, lalu mendudukkannya di tengah anak tangga. Dia dengan cekatan memeriksa
"Denver ... kenapa kamu menghilang begini?" gumam Dewi pelan, tanganya menekan dada yang terasa sesak.Dia menatap layar ponsel dengan mata yang mulai berat karena kelelahan. Jemari rampingnya menggulir layar, melihat pesan yang dia kirim ke Denver. Masih ceklis satu.Pukul enam malam tadi. Dia sudah pulang ke rumah diantar oleh Darius, berharap Denver sudah ada di kamar. Ternyata tidak. Ruangan ini tetap sepi dan dingin.Bahkan Dirga pun sengaja dia titipkan bersama Astuti dan babysitter karena cedera membuat gerakannya terbatas.Dewi menarik napas panjang, lalu mengetik pesan lain.[Sayang, aku sudah di rumah.]Setelah itu, dia mengambil hasil pemeriksaan dan mengirimkan ke Denver, berharap ini bisa menarik perhatian pria itu. Namun, hasilnya tetap sama. Pesan hanya terkirim ceklis satu, seolah Denver benar-benar memutuskan menghilang darinya.Di mana kamu, Denver?[Aku harus menjalani fisioterapi. Tapi besok ada mata kuliah penting, aku boleh kuliah ‘kan?]Dewi terus membolak-balik
Denver merangkul bahu Darius dan menggiringnya keluar dari ruang sidang. Sikapnya mencerminkan kedekatan khas dua lelaki yang sudah seperti saudara. Bahkan postur tubuh mereka yang nyaris sama tinggi membuat keduanya tampak seperti kembar jika dilihat sepintas.Hanya saja, rambut cokelat kehitaman milik Denver tampak kontras dengan rambut Darius yang hitam legam dan selalu tertata rapi.“Lepas, Denver,” gerutu Darius, berusaha menyingkirkan lengan pria itu dari bahunya.“Minum kopi. Aku traktir,” ajak Denver spontan, tahu betul bahwa pikiran sahabatnya itu tengah kusut dan butuh pelarian sejenak.Darius mengangguk kecil dan menghela napas panjang. Setelah berhasil meloloskan diri dari genggaman Denver, dia langsung menuju mobilnya yang terparkir tepat di depan gedung pengadilan.Sementara itu, Denver harus berjalan sedikit lebih lama. Audi hitam miliknya tadi diparkir cukup jauh karena dia datang agak terlamb
“Wah … itu adik? Tapi kenapa adiknya kecil banget, Pa?” tanya Dirga sambil menunjuk layar monitor dengan mata membulat penasaran.Dua minggu telah berlalu sejak hari pernikahan Darius dan Maharani. Semua kembali beraktivitas normal.Hari ini, Dewi memutuskan melakukan pemeriksaan kehamilan bersama suaminya di ruang praktik milik Denver. Sebenarnya, ini karena permintaan Dirga yang terus-menerus merengek ingin melihat calon adiknya.“Ya, perkembangan manusia memang dimulai dari yang sangat kecil, Nak. Kalau dijelaskan panjang lebar, kamu pasti bingung,” tutur Denver lembut. Senyumnya merekah melihat Dirga begitu terkesima memandangi layar.Sementara itu, Dewi terus menatap Denver tanpa berkedip. Ada rasa geli dan manis saat melihat pria tampan yang kini jadi suaminya itu serius memeriksanya—sebagai dokter kandungan. Lucu rasanya, diperiksa oleh suami sendiri.“Kenapa kamu lihat aku terus, Mon ange? Jangan goda aku di tempat kerja, hmm,” bisik Denver seraya mengerlingkan sebelah matany
“Sakit, Oma …,” adu Dirga sambil menunjuk kakinya yang tersembunyi di balik celana panjang. Bibir mungilnya maju ke depan, dan manik karamel bergerak gelisah, mencari dua sosok yang sejak tadi dinantikan.“Iya, itu sudah diobati, Sayang. Tidak ada luka apa pun, kan?” sahut Dwyne sembari membelai puncak kepala Dirgantara dengan sentuhan penuh kasih.“Olang itu jalannya sembalang, ah!” Dirga bersedekap dada. Kedua alisnya bertaut, bola matanya menatap tajam ke arah tamu-tamu yang masih ramai di taman, menikmati pesta.Wajah tampan anak itu merengut.Beberapa saat lalu, ketika mengambil makanan di meja, seorang anak kecil menabrak Dirga cukup keras hingga makanannya terjatuh. Beruntung tuksedo mininya tidak kotor, tetapi tubuh kecil Dirga ikut terhuyung dan tersungkur. Anak yang menabraknya pun menangis sehingga mengundang perhatian para tamu.“Dia lebih kecil dari kamu. Jadi … belum tahu cara menghindar,” ujar Dwyne, masih dengan nada lembut. Dalam hati, wanita paruh baya itu ingin sek
“Ah … Darius, kamu benar-benar penjahat,” lenguh Maharani, matanya terpejam sesaat, napasnya tersendat di tengah desahan halus. Dia menelan saliva, kini tubuhnya menegang seperti tersentuh listrik halus di bawah kulitnya.Tadi, pria itu membawanya langsung ke kamar hotel usai prosesi pernikahan mereka. Tanpa banyak kata, dengan antusiasme yang membuncah, Darius melucuti kebaya pengantin Maharani. Jemarinya bekerja luwes, sudah hafal setiap lipatan dan kancing, lalu membaringkan sang istri di ranjang pengantin berseprai putih yang bertabur kelopak mawar.Detik ini, mereka telah sama-sama polos, tidak ada lagi batas di antara kain dan kulit.Darius tampak sangat menguasai momen. Namun, di balik geraknya yang percaya diri, ada ketulusan yang menyelinap di setiap kecupan dan belaian.“Penjahat?” bisik Darius sembari menelusuri ceruk leher sang istri dengan ciuman yang membuat bulu kuduk Maharani meremang.“Umm … iya. Kamu menculikku. Pesta kita bahkan belum selesai, Da-Darius …, ah … ini
Setelah resmi menyandang status duda dan mempertahankan gelar itu selama kurang dari sebulan, akhirnya hari ini Darius melepas masa kesendiriannya dengan mempersunting Maharani.Bunga-bunga bermekaran indah menghiasi pelaminan serta taman. Bahkan pepohonan rindang pun seolah merestui hari penuh cinta ini. Suhu yang sejuk turut mendukung segalanya yang telah dirancang dengan saksama.Saat ini Darius mengenakan jas putih dengan rambut ditata rapi menggunakan pomade. Dia duduk bersama Denver dan Danis sebagai saksi pernikahan, menanti sang mempelai wanita yang belum juga tiba."Santai, Darius. Tenanglah, Maharani sedang bersiap. Kamu jangan bikin malu seperti ini," bisik Denver sambil melirik kaki Darius yang bergerak-gerak gelisah. Kening Darius juga dipenuhi keringat sebesar biji jagung."Aku tidak perlu nasihat. Aku butuh Maharani!" tegas Darius dengan wajah tegang.Denver terkekeh melihat mantan rivalnya panik. Dia pun menggoda lagi dengan suara rendah, "Ah … bagaimana kalau Maharani
Hari berikutnya, Darius masih cuti. Dia datang lebih awal ke persidangan kedua Dania. Pria itu duduk menyendiri di bangku tunggu, memandangi sisi kanan dan kiri ruang sidang yang masih sepi. Padahal dia sudah janjian dengan Denver, tetapi pria itu belum tampak.Darius memejamkan mata sambil menyandarkan punggung ke dinding dingin. Dia mencoba membayangkan wajah Maharani agar suasana hatinya lebih tenang, dan berhasil.Bahkan ketika Denver datang bersama Ruslan dan Rudi, Darius menyapa dengan santai. Termasuk saat bertemu Dania di ruang sidang, tatapan tajam sang mantan tidak lagi menggoyahkan hatinya.Sidang pun selesai. Jadwal sidang berikutnya masih menunggu konfirmasi. Hal ini membuat Darius sedikit cemas, lantaran pernikahannya dengan Maharani makin dekat.“Tidak baik melamun,” tegur Denver, melihat Darius tampak berpikir di depan pintu pengadilan.“Ah, bukan melamun. Aku sedang berpikir cari kado untuk anakmu.” Darius m
Minggu ini menjadi yang paling berat sepanjang hidup Darius. Bahkan dia sengaja mengajukan cuti dari rumah sakit hanya untuk menyelesaikan segala masalah yang selama ini menggantung.Sekarang, dengan ditemani pengacara serta pamannya yang sangat baik, Darius duduk di ruang sidang yang terasa dingin dan sunyi.Bau kertas tua bercampur aroma pembersih ruangan menyengat di hidung. Suara langkah sepatu para pengacara dan detik jarum jam di dinding terasa memekakkan di tengah ketegangan.Dia menoleh ke samping, menatap kursi kosong di sebelahnya—kursi yang seharusnya diisi oleh Dania. Namun, wanita itu hanya menghadiri sidang melalui layar ponsel, sebab pihak kepolisian tidak mengizinkannya keluar dari sel tahanan karena perilaku buruknya yang makin menjadi.Darius menarik napas panjang, terasa sesak dan perih di dadanya. Ketika hakim memintanya mengucap ikrar talak, sejenak dia terdiam. Ada kilatan ingatan yang muncul—saat pertama kali menggenggam tangan Dania di bawah langit sore, berjan
“Kamu kenapa? Ada yang sakit?” tanya Maharani sambil menatap Darius yang sejak tadi hanya bersedekap dada, duduk di pojokan kamar.Setelah Dewi dan Dirgantara dijemput Denver, Maharani langsung menghampiri Darius. Pria itu tidak menyambutnya dengan senyum atau pelukan, melainkan ekspresi super dingin, seperti freezer yang kelupaan ditutup.Apa mungkin Darius kesal karena dia terlalu lama menemani Dewi di kamar? Atau ... ada sesuatu yang tidak dia tahu?“Mulai sekarang jangan makan tempe goreng lagi!” geram Darius tiba-tiba. Nada suaranya seperti menegur pasien bandel.Maharani langsung melongo. Tadi pria ini begitu antusias ketika diberikan tempe goreng hangat. Sekarang mendadak berubah arah.“Kamu sakit perut karena makan tempe goreng?” tanya Maharani curiga. Matanya menyipit, memeriksa wajah calon suaminya dari atas ke bawah.Darius berdecak, lalu menggeleng cepat. “Bukan perut yang sakit, Rani. Tapi hati. Mengerti?!” ucapnya dengan desahan napas berat seperti habis lari maraton.“A
"Rani … apa yang kamu—"Protes Darius terputus begitu saja saat Maharani menatapnya tajam dan mengangkat telunjuk di depan bibirnya, memberi isyarat tegas agar pria itu diam."Tapi aku—""Jangan berisik, Dok!" tegur Maharani dengan tegas, sambil meraih handuk dan menghela napas panjang.Dia berbalik, mengambil pakaian dengan wajah jengkel, lalu mengenakannya secepat kilat.Beberapa detik kemudian, langkah kecil terdengar mendekat. Seorang anak laki-laki muncul di ambang pintu, membawa aroma tempe goreng yang menguar dari kotak kecil di tangannya."Tante Lani, tempe golengnya masih anget, enak loh dimakan pakai kecap!" celoteh Dirga ceria. Namun, matanya menyapu ke dalam kamar, tidak menemukan keberadaan Maharani."Tante Lani di mana?" tanyanya polos sambil mengetuk pintu, dia tidak berani masuk tanpa izin. Meskipun kakinya terlalu gatal ingin melangkah.Maharani segera melangkah dengan cepat menghampiri Dirga, sambil sibuk mengancingkan kancing baju. Senyum wanita itu dibuat selebar m