"Suami macam apa yang pulang jam segini?" Suara seorang wanita terdengar sarkastik, nadanya malas, tetapi matanya menyala penuh emosi. Pria yang baru saja memasuki rumah itu menatap wanitanya dengan rahang mengatup. Wanita itu berdiri di ruang tengah dengan gelas kristal di tangan, meneguk cairan bening dengan ekspresi menikmati. Padahal dia sengaja pulang pukul satu pagi supaya tidak bertemu dengan sang istri. Ternyata gagal. "Apa yang kamu minum, Dania?" Darius melangkah mendekat, matanya menangkap botol yang hampir kosong di meja. Dania terkekeh kecil, lalu mengangkat gelasnya. "Vodka. Mau coba?" Dengan santai, dia menyodorkan gelasnya pada Darius. Darius menerima gelas itu, tetapi alih-alih meneguk, dia menuangkan isinya ke wastafel. "What the—are you crazy, Doctor?!" Dania berteriak kesal. Darius hanya tersenyum miring, menatap istrinya yang jelas-jelas sudah setengah mabuk. "Ya, aku memang gila. Sama seperti kamu." Tanpa menunggu jawaban, Darius berjalan menuju kamar. Lan
"Makasih, Sayang," tandas Dewi dengan senyum hangat, berharap sapaan itu bisa sedikit melembutkan suasana. Pagi itu, Dewi merasa ada secercah harapan. Meskipun ekspresi Denver masih cenderung datar, setidaknya pria itu masih peduli dengan membawakan tas dan laptopnya. Ya, Denver hanya mengangguk tanpa senyum. "Cepatlah, kamu bisa terlambat." Nada suaranya terdengar lebih dingin dari biasanya, tetapi Dewi berusaha mengabaikan hal itu. Dia justru memandangi wajah sang suami yang berada sedekat ini dengannya, tetap tampn, sekalipun idak berseri-seri seperti biasanya. Melainkan ada ketegangan yang tertelihat. Saat Dewi hendak menuruni anak tangga, dia hampir tersandung. Jantungnya mencelos, tetapi dalam hitungan detik, lengan kokoh Denver sigap menahan pinggulnya, menjaga agar dia tidak jatuh. Sentuhan itu sekilas membuat Dewi merasa hangat, tetapi ekspresi sang suami tetap datar. "Dewi, hati-hati!" seru Denver, lalu mendudukkannya di tengah anak tangga. Dia dengan cekatan memeriksa
"Denver ... kenapa kamu menghilang begini?" gumam Dewi pelan, tanganya menekan dada yang terasa sesak.Dia menatap layar ponsel dengan mata yang mulai berat karena kelelahan. Jemari rampingnya menggulir layar, melihat pesan yang dia kirim ke Denver. Masih ceklis satu.Pukul enam malam tadi. Dia sudah pulang ke rumah diantar oleh Darius, berharap Denver sudah ada di kamar. Ternyata tidak. Ruangan ini tetap sepi dan dingin.Bahkan Dirga pun sengaja dia titipkan bersama Astuti dan babysitter karena cedera membuat gerakannya terbatas.Dewi menarik napas panjang, lalu mengetik pesan lain.[Sayang, aku sudah di rumah.]Setelah itu, dia mengambil hasil pemeriksaan dan mengirimkan ke Denver, berharap ini bisa menarik perhatian pria itu. Namun, hasilnya tetap sama. Pesan hanya terkirim ceklis satu, seolah Denver benar-benar memutuskan menghilang darinya.Di mana kamu, Denver?[Aku harus menjalani fisioterapi. Tapi besok ada mata kuliah penting, aku boleh kuliah ‘kan?]Dewi terus membolak-balik
Saat pagi datang, Denver masih menemani Danis di rumah sakit. Pria itu tampak mengkhawatirkan kondisi mertuanya yang sendirian tanpa wali. Namun, wajah Ruslan yang tiba-tiba masuk ke ruangan dengan ekspresi serius membuat Denver yakin ada sesuatu hal mendesak."Pak, keluarga pasien mau mengajukan banding. Mereka juga menuntut ganti rugi," bisik Ruslan dengan nada hati-hati, "Anda harus pulang sekarang."Denver menarik napas panjang, tangannya terangkat untuk memijat pelipis yang terasa berdenyut akibat tekanan dari berbagai masalah. Dia menatap Ruslan dengan rahang mengatup."Siapkan helikopter! Cari tahu apakah Pak Danis bisa dipindahkan ke Rumah Sakit JB hari ini juga atau tidak!" titahnya tegas.Ruslan mengangguk dan segera keluar ruangan. Sementara itu, Denver meraih tangan keriput Danis, menatap wajah pucat mertuanya dengan sorot mata penuh pertimbangan."Pak Danis, saya harus pulang. Saya akan memindahkan Bapak ke Rumah Sakit JB," u
Mengandalkan pengalamannya sebagai perawat, Dewi segera memeriksa tanda-tanda bahaya di tubuh sang suami yang lemah. Dada wanita itu terasa sesak melihat Denver yang terbaring lemah dengan wajah pucat dan napas tidak beraturan."Denver? Sayang, bisa dengar aku?" tanya Dewi dengan suara bergetar dan jemari menyentuh wajah pria itu, mencari respons.Tubuh Denver terasa dingin membuat jantung Dewi mencelos. "Jangan begini, dong ...."Dengan tangan sedikit gemetar, dia segera menekan interkom untuk meminta bantuan. Namun, sebelum dia sempat bertindak, tangan kekar Denver tiba-tiba bergerak dan mencengkeram pergelangannya."Aku baik-baik saja," bisik Denver dengan suara serak.Dewi menghela napas lega, tetapi kekhawatiran belum sepenuhnya hilang. Dia membantu Denver berbaring lebih nyaman di atas ranjang."Kita ke rumah sakit sekarang!"Denver menggeleng lemah, matanya mengerjap berusaha menyesuaikan dengan cahaya kamar."Infus ... ambil NaCl 0,9% untukku. Tidak perlu ke rumah sakit."Dewi
“Hi … Dewi, Dokter Denver. Lama tidak bertemu, ya?”Sosok itu melangkah mendekat. Senyuman terulas di bibirnya, tetapi matanya … dingin, menusuk, seolah menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar sapaan biasa.Seketika Dewi menegang. Tangannya refleks mencengkeram pegangan kursi roda dan jemarinya memutih. Seakan-akan jika dia tidak berpegangan, tubuh mungil itu akan runtuh di tempat.“Kalau kamu mencari suamimu, dia sedang praktik,” papar Denvr dengan suara terdengar tegas, dan tidak mengandung keramahan sedikit pun. “Sebaiknya kamu tunggu di ruang tamu.”Dania mengulurkan tangan, dia ingin berjabat tangan. Namun, hal itu justru memperlihatkan cincin berlian yang berkilauan di jarinya. Senyum Dania makin mengembang, tetapi sorot matanya memperlihatkan sesuatu yang berbeda—tantangan.“Tolong jangan menghindar,” ucap Dania, suaranya memang lembut, tetapi intonasi itu mengandung sesuatu yang licik. “Aku … hanya ingin berteman dengan kalian.”“Dania, kamu bisa berteman dengan siapa pun, t
Siang ini, Dania menatap alat tes kehamilan di tangannya dengan mata membelalak. Jantung wanita itu berdetak kencang dan napasnya memburu. Dengan tangan gemetar, dia meremas benda kecil itu sebelum akhirnya membanting ke lantai dan menginjaknya berulang kali. "Tidak! Aku tidak bisa hamil!" Pandangan wanita itu buram oleh amarah dan ketakutan. Beberapa minggu setelah suntik KB, justru Dania mendapati kenyataan tidak sesuai rencananya. “Ini semua salah Darius! Kalau aku hamil anaknya, bagaimana nanti kata Dokter Denver?” racau Dania,” argh … seharusnya aku langsung KB setelah tidur dengannya!” Dia tidak akan membiarkan hidupnya dikendalikan oleh pria itu. Dengan langkah terburu-buru, Dania mengambil kunci mobil dan melaju ke apotek terdekat. Namun, setelah mendatangi beberapa apotek, dia tetap tidak menemukan yang dicari. Putus asa, Dania pulang dengan membawa bahan-bahan yang didapatnya, lalu meracik ramuan sendiri di kamar. Saat cairan pahit itu melewati tenggorokannya, dia menung
Dewi tidak bisa menahan rasa penasarannya. Perintah Denver untuk segera kembali ke rumah hanya menjadi angin lalu baginya. Dengan langkah tertatih, dia tetap berjalan memasuki rumah sakit, kecemasan menguasai hatinya.“Nyonya Dewi?” panggil Pak Agus yang sudah membukakan pintu mobil untuknya.“Tolong bantu saya ke dalam, Pak,” pinta Dewi, suaranya sedikit bergetar.Pak Agus ingin membantah, tetapi sungkan, alhasil segera menopang tubuh Dewi hingga mereka tiba di depan ruang operasi. Setelah sebelumnya bertanya tentang keberadaan Denver.Lorong rumah sakit terasa sunyi, tetapi Dewi tahu, di balik pintu itu, situasinya pasti sangat berbeda. Jantungnya berdebar setiap kali langkah kaki terdengar mendekat, berharap Denver segera keluar dan memberinya jawaban melegakan.Untuk mengalihkan pikirannya, Dewi melakukan panggilan video dengan Danis. Pria paruh baya itu sedang menggendong Dirga, wajah senjanya tampak lebih segar, meskipun ada sedikit garis kelelahan.“Uh, Dirga main sama Eyang, ya
“Wah … itu adik? Tapi kenapa adiknya kecil banget, Pa?” tanya Dirga sambil menunjuk layar monitor dengan mata membulat penasaran.Dua minggu telah berlalu sejak hari pernikahan Darius dan Maharani. Semua kembali beraktivitas normal.Hari ini, Dewi memutuskan melakukan pemeriksaan kehamilan bersama suaminya di ruang praktik milik Denver. Sebenarnya, ini karena permintaan Dirga yang terus-menerus merengek ingin melihat calon adiknya.“Ya, perkembangan manusia memang dimulai dari yang sangat kecil, Nak. Kalau dijelaskan panjang lebar, kamu pasti bingung,” tutur Denver lembut. Senyumnya merekah melihat Dirga begitu terkesima memandangi layar.Sementara itu, Dewi terus menatap Denver tanpa berkedip. Ada rasa geli dan manis saat melihat pria tampan yang kini jadi suaminya itu serius memeriksanya—sebagai dokter kandungan. Lucu rasanya, diperiksa oleh suami sendiri.“Kenapa kamu lihat aku terus, Mon ange? Jangan goda aku di tempat kerja, hmm,” bisik Denver seraya mengerlingkan sebelah matany
“Sakit, Oma …,” adu Dirga sambil menunjuk kakinya yang tersembunyi di balik celana panjang. Bibir mungilnya maju ke depan, dan manik karamel bergerak gelisah, mencari dua sosok yang sejak tadi dinantikan.“Iya, itu sudah diobati, Sayang. Tidak ada luka apa pun, kan?” sahut Dwyne sembari membelai puncak kepala Dirgantara dengan sentuhan penuh kasih.“Olang itu jalannya sembalang, ah!” Dirga bersedekap dada. Kedua alisnya bertaut, bola matanya menatap tajam ke arah tamu-tamu yang masih ramai di taman, menikmati pesta.Wajah tampan anak itu merengut.Beberapa saat lalu, ketika mengambil makanan di meja, seorang anak kecil menabrak Dirga cukup keras hingga makanannya terjatuh. Beruntung tuksedo mininya tidak kotor, tetapi tubuh kecil Dirga ikut terhuyung dan tersungkur. Anak yang menabraknya pun menangis sehingga mengundang perhatian para tamu.“Dia lebih kecil dari kamu. Jadi … belum tahu cara menghindar,” ujar Dwyne, masih dengan nada lembut. Dalam hati, wanita paruh baya itu ingin sek
“Ah … Darius, kamu benar-benar penjahat,” lenguh Maharani, matanya terpejam sesaat, napasnya tersendat di tengah desahan halus. Dia menelan saliva, kini tubuhnya menegang seperti tersentuh listrik halus di bawah kulitnya.Tadi, pria itu membawanya langsung ke kamar hotel usai prosesi pernikahan mereka. Tanpa banyak kata, dengan antusiasme yang membuncah, Darius melucuti kebaya pengantin Maharani. Jemarinya bekerja luwes, sudah hafal setiap lipatan dan kancing, lalu membaringkan sang istri di ranjang pengantin berseprai putih yang bertabur kelopak mawar.Detik ini, mereka telah sama-sama polos, tidak ada lagi batas di antara kain dan kulit.Darius tampak sangat menguasai momen. Namun, di balik geraknya yang percaya diri, ada ketulusan yang menyelinap di setiap kecupan dan belaian.“Penjahat?” bisik Darius sembari menelusuri ceruk leher sang istri dengan ciuman yang membuat bulu kuduk Maharani meremang.“Umm … iya. Kamu menculikku. Pesta kita bahkan belum selesai, Da-Darius …, ah … ini
Setelah resmi menyandang status duda dan mempertahankan gelar itu selama kurang dari sebulan, akhirnya hari ini Darius melepas masa kesendiriannya dengan mempersunting Maharani.Bunga-bunga bermekaran indah menghiasi pelaminan serta taman. Bahkan pepohonan rindang pun seolah merestui hari penuh cinta ini. Suhu yang sejuk turut mendukung segalanya yang telah dirancang dengan saksama.Saat ini Darius mengenakan jas putih dengan rambut ditata rapi menggunakan pomade. Dia duduk bersama Denver dan Danis sebagai saksi pernikahan, menanti sang mempelai wanita yang belum juga tiba."Santai, Darius. Tenanglah, Maharani sedang bersiap. Kamu jangan bikin malu seperti ini," bisik Denver sambil melirik kaki Darius yang bergerak-gerak gelisah. Kening Darius juga dipenuhi keringat sebesar biji jagung."Aku tidak perlu nasihat. Aku butuh Maharani!" tegas Darius dengan wajah tegang.Denver terkekeh melihat mantan rivalnya panik. Dia pun menggoda lagi dengan suara rendah, "Ah … bagaimana kalau Maharani
Hari berikutnya, Darius masih cuti. Dia datang lebih awal ke persidangan kedua Dania. Pria itu duduk menyendiri di bangku tunggu, memandangi sisi kanan dan kiri ruang sidang yang masih sepi. Padahal dia sudah janjian dengan Denver, tetapi pria itu belum tampak.Darius memejamkan mata sambil menyandarkan punggung ke dinding dingin. Dia mencoba membayangkan wajah Maharani agar suasana hatinya lebih tenang, dan berhasil.Bahkan ketika Denver datang bersama Ruslan dan Rudi, Darius menyapa dengan santai. Termasuk saat bertemu Dania di ruang sidang, tatapan tajam sang mantan tidak lagi menggoyahkan hatinya.Sidang pun selesai. Jadwal sidang berikutnya masih menunggu konfirmasi. Hal ini membuat Darius sedikit cemas, lantaran pernikahannya dengan Maharani makin dekat.“Tidak baik melamun,” tegur Denver, melihat Darius tampak berpikir di depan pintu pengadilan.“Ah, bukan melamun. Aku sedang berpikir cari kado untuk anakmu.” Darius m
Minggu ini menjadi yang paling berat sepanjang hidup Darius. Bahkan dia sengaja mengajukan cuti dari rumah sakit hanya untuk menyelesaikan segala masalah yang selama ini menggantung.Sekarang, dengan ditemani pengacara serta pamannya yang sangat baik, Darius duduk di ruang sidang yang terasa dingin dan sunyi.Bau kertas tua bercampur aroma pembersih ruangan menyengat di hidung. Suara langkah sepatu para pengacara dan detik jarum jam di dinding terasa memekakkan di tengah ketegangan.Dia menoleh ke samping, menatap kursi kosong di sebelahnya—kursi yang seharusnya diisi oleh Dania. Namun, wanita itu hanya menghadiri sidang melalui layar ponsel, sebab pihak kepolisian tidak mengizinkannya keluar dari sel tahanan karena perilaku buruknya yang makin menjadi.Darius menarik napas panjang, terasa sesak dan perih di dadanya. Ketika hakim memintanya mengucap ikrar talak, sejenak dia terdiam. Ada kilatan ingatan yang muncul—saat pertama kali menggenggam tangan Dania di bawah langit sore, berjan
“Kamu kenapa? Ada yang sakit?” tanya Maharani sambil menatap Darius yang sejak tadi hanya bersedekap dada, duduk di pojokan kamar.Setelah Dewi dan Dirgantara dijemput Denver, Maharani langsung menghampiri Darius. Pria itu tidak menyambutnya dengan senyum atau pelukan, melainkan ekspresi super dingin, seperti freezer yang kelupaan ditutup.Apa mungkin Darius kesal karena dia terlalu lama menemani Dewi di kamar? Atau ... ada sesuatu yang tidak dia tahu?“Mulai sekarang jangan makan tempe goreng lagi!” geram Darius tiba-tiba. Nada suaranya seperti menegur pasien bandel.Maharani langsung melongo. Tadi pria ini begitu antusias ketika diberikan tempe goreng hangat. Sekarang mendadak berubah arah.“Kamu sakit perut karena makan tempe goreng?” tanya Maharani curiga. Matanya menyipit, memeriksa wajah calon suaminya dari atas ke bawah.Darius berdecak, lalu menggeleng cepat. “Bukan perut yang sakit, Rani. Tapi hati. Mengerti?!” ucapnya dengan desahan napas berat seperti habis lari maraton.“A
"Rani … apa yang kamu—"Protes Darius terputus begitu saja saat Maharani menatapnya tajam dan mengangkat telunjuk di depan bibirnya, memberi isyarat tegas agar pria itu diam."Tapi aku—""Jangan berisik, Dok!" tegur Maharani dengan tegas, sambil meraih handuk dan menghela napas panjang.Dia berbalik, mengambil pakaian dengan wajah jengkel, lalu mengenakannya secepat kilat.Beberapa detik kemudian, langkah kecil terdengar mendekat. Seorang anak laki-laki muncul di ambang pintu, membawa aroma tempe goreng yang menguar dari kotak kecil di tangannya."Tante Lani, tempe golengnya masih anget, enak loh dimakan pakai kecap!" celoteh Dirga ceria. Namun, matanya menyapu ke dalam kamar, tidak menemukan keberadaan Maharani."Tante Lani di mana?" tanyanya polos sambil mengetuk pintu, dia tidak berani masuk tanpa izin. Meskipun kakinya terlalu gatal ingin melangkah.Maharani segera melangkah dengan cepat menghampiri Dirga, sambil sibuk mengancingkan kancing baju. Senyum wanita itu dibuat selebar m
“Rani ... kamu di mana?” panggil Darius. Pria itu sudah menekan bel berkali-kali, tetapi tidak ada yang membukakan pintu pagar.Bahkan Darius mencoba menghubungi Maharani dan Bu Astuti, tetapi tak mendapat balasan. Hingga akhirnya, dia menggunakan kunci cadangan dan masuk ke dalam rumah.Suasana di dalam tampak rapi dan tenang, aroma pengharum kopi menguar dari sudut-sudut ruangan dan memberi kesan hangat yang familiar.“Rani? Sayang?” panggilnya lagi, sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu yang tertata apik. Tidak ada satu pun tanda kehadiran manusia.Dia meletakkan kantong makanan yang dibawanya di atas meja makan panjang putih. Matanya sempat tertumbuk pada vas bunga segar yang tertata manis di tengah meja.Bibir Darius tertarik membentuk senyum kecil. Rumah ini terasa jauh lebih hidup sejak ada sentuhan seorang wanita.“Bu? Bu Astuti?” Darius melongok ke taman belakang yang ukurannya tidak terlalu besar. Pandangannya menyapu seluruh sudut. Tetap tidak terlihat siapa