Gak perlu obat Oma T,T membara terus nih Pak Dokter Info ya Kaka. Untuk hari ini Denver 2 dulu Besok thor izin sehari ya. Sampai jumpa hari Selasa ^^ Luv luv luv sekebon Bu Astuti Jan lupa dukungannya. Maaacihh ^^
Pascatragedi malam itu, Dewi merasa canggung tinggal di rumah besar ini. Setiap kali melangkah keluar kamar, dia merasakan tatapan penuh arti dari para pelayan.Bahkan, beberapa dari mereka tampak berbisik-bisik begitu melihatnya. Wajah Dewi terasa panas, dan dia refleks menarik sweaternya lebih tinggi, berharap bisa menyembunyikan jejak-jejak kemesraan yang masih tertinggal di kulitnya.Dewi buru-buru mengambil air hangat untuk Denver. Begitu kembali ke kamar, dia menghela napas lega, tetapi ketenangan itu langsung buyar."Kenapa ditutupi?" Suara Denver terdengar penuh godaan.Dewi menoleh, dan detik itu juga napasnya tercekat. Suaminya berdiri di sana dengan rambut basah yang masih menetes, serta dada bidang terbuka. Mata karamel itu menatapnya lekat-lekat, lalu menyeringai."Kamu malu, Sayang?" bisik Denver, melangkah mendekat. Jemarinya membelai leher Dewi, mengamati jejak percintaan yang memudar.Dewi merengut, mencoba menghindari tatapan jahil itu. "Aku mau ke kampus hari ini. Ad
Telepon genggam dalam genggaman berdering lagi. Dewi menatap layarnya dan mendesah panjang."Iya, Bu?" sahutnya dengan nada cemas."Di mana, Wi? Dirga rewel, sama Ibu dan Mbaknya juga nangis. Sekarang lagi dibawa ke taman sama Nyonya Nayla, tapi masih merengek, Wi," adu Astuti dengan nada panik.Dewi menatap jalanan yang lengang di depan. Sungguh, dia ingin memutar taksi ini ke rumah sakit, tetapi bagaimana dengan Dirgantara?Keterdiaman itu membuat Astuti kembali bertanya, "Halo, Wi? Kamu baik-baik aja?"Dewi menelan ludah, mencoba menenangkan pikiran. "Iya, Bu. Aku lagi di jalan. Sebentar lagi sampai.""Hati-hati, ya, Wi," tukas Astuti sebelum panggilan suara terputus.Dalam mobil yang bergerak dengan kecepatan sedang ini, tatapan Dewi tampak kosong. Dia memikirkan suaminya, lalu mengirimkan pesan pada pria itu bahwa dia memilih pulang.[Dokter, aku pulang, ya. Makanan sudah aku kirim ke rumah sakit. Jangan lupa makan siang.]Pesannya terkirim, tetapi tidak dibaca oleh Denver.Dewi
Sampai pukul enam sore, Denver tidak kunjung menghubunginya. Hanya satu pesan singkat yang masuk ke ponselnya.[Sayang, maaf. Aku ada pekerjaan di luar kota.]Dewi menghela napas panjang. Hanya itu? Seharian penuh dan hanya satu pesan?Dia menatap layar, berharap ada pesan susulan, tetapi nihil. Jari-jarinya sempat mengetik balasan, tetapi akhirnya dia mengurungkan niat.Untuk apa? Percuma jika hanya dia yang berusaha peduli.Sementara itu, Dirga terus menempel padanya. Bayi itu gelisah setiap kali dibaringkan dan menolak digendong oleh siapa pun selain dirinya.Pundak dan punggung Dewi hampir rontok karena bobot tubuh Dirga yang makin berat, tetapi dia tidak tega melepaskannya. Bahkan saat ingin sekadar minum air, dia tetap membawa Dirga dalam pelukannya karena bayi itu akan menangis kejer jika ditinggalkan."Sebenarnya kenapa Papa menghilang seperti ini, ya, Sayang? Ada masalah apa lagi?" gumam Dewi sambil mengayunkan tubuh, berusaha menenangkan buah hatinya.Baru saja Dirga memejamk
Hentakan langkah sepatu pantofel menggema di lorong yang sepi. Bayangan sosok itu makin mendekat, tetapi hati kecil Dewi yakin bahwa itu bukan pria yang dicarinya. Bahkan Dirga yang biasanya antusias saat melihat papanya, kali ini hanya menggeliat gelisah dalam dekapannya."Itu ‘kan ..." Valerie menunjuk ke arah pria yang kini berdiri tidak jauh dari mereka."Dokter Darius?" ucap Dewi pelan.Darius menatap mereka dengan sorot mata tajam. "Apa kabar, Dewi? Lama tidak bertemu." Tatapannya beralih dari wajah mungil Dirga ke wajah Dewi, memperhatikan setiap ekspresi yang terpahat di sana. "Apa yang kamu lakukan di sini malam-malam? Apa dia sakit?"Dewi menggeleng pelan dan tersenyum kaku. Dia makin mengeratkan dekapannya pada Dirga, lalu sedikit membungkuk hendak berpamitan. Namun, tiba-tiba, Darius menahan pergelangan tangannya."Dewi?"Dewi menoleh dengan jantung yang mulai berdetak lebih cepat. Pandangan mereka bertemu, dan dalam sekejap, Dewi menangkap sesuatu di mata Darius—sesuatu y
Denver mendekat dan mencoba menyingkirkan tangan Darius dari bahu Dewi. Namun, genggaman Darius terlalu kokoh, seakan menegaskan keberadaannya di sisi wanita itu. Mata mereka saling beradu—satu penuh kemarahan, satu lagi penuh tantangan."Kamu membuatnya menangis, Bung!" desis Darius, suaranya datar dan menusuk seperti belati. "Dan aku menyesal merelakannya untukmu."Jari-jari Denver mengepal, otot lengannya menegang. Rahangnya mengeras, tetapi dia tahu—ini bukan tempat untuk bertarung. Ini rumah sakit, dan Dirga masih dalam perawatan.Denver berbisik dengan suara rendah, "Coba saja, Darius. Kamu hanya akan kecewa untuk kedua kalinya."Darius tersenyum sinis, tetapi akhirnya melepaskan genggamannya. Denver segera beralih ke Dewi, tetapi wanita itu justru bergeser menjauh.Bahu wanita itu menegang saat tangan Denver mencoba meraih pergelangannya."Sayang, maaf," lirih Denver, suaranya penuh penyesalan.Dewi tidak menjawab. Dia hanya berdiri di ujung ranjang Dirga, matanya tertuju pada b
Dewi melangkah gontai mendekati Denver yang dicecar oleh pria paruh baya itu. Hatinya meringis mendengar kalimat perintah yang keluar dari mulut Pak Didit.Jari-jarinya makin erat menggenggam tangan sang suami, seolah menegaskan bahwa dia tidak akan menyerahkan Denver pada siapa pun. Bukan hanya demi dirinya, tetapi juga demi Dirga—anak mereka jauh lebih berhak memiliki ayahnya.Melihat pasangan itu membuat Didit kembali bersuara. “Dania tanggung jawabmu, Denver!”Alis Denver mengerut dan dia terkekeh. “Sejak kapan Dania menjadi tanggung jawabku? Saya tidak pernah menjanjikan apa pun padanya! Sejak awal saya dan putri Anda tidak memiliki hubungan apa pun. Semua ini hanya kesalahpahaman yang dibuat keluarga Anda sendiri.”“Kamu tega Denver!” geram Didit.“Sebelumnya saya mohon maaf, Pak,” ucap Dewi terdengar tegas. Denver yang berdiri di sampingnya berusaha menahan Dewi agar tidak ikut campur, tetapi wanita itu hanya menatapnya tajam, menolak mundur.Pak Didit menyipitkan mata, tatapan
Di rumah sakit lain, Darius berdiri tegak di depan ranjang pasien, jemarinya mencengkeram kotak cincin dengan kuat. Tatapannya menusuk, menatap Dania yang terisak di bawah selimut.Seharusnya dia tidak perlu mengambil keputusan sejauh ini, tetapi keadaan memaksanya."Putriku tidak mencintaimu!" bentak Didit, suaranya bergetar marah. Dia mengibaskan tangan, mengusir Darius dari ruangan.Darius terkekeh, senyum miring menghiasi wajahnya. "Apa cinta masih dibutuhkan dalam situasi seperti ini, Pak Didit? Atau Anda hanya ingin menyelamatkan harga diri keluarga Anda?"Didit mengepalkan tangan, ekspresinya mengeras. Amarah terpancar jelas dari sorot matanya, seolah ingin menerjang Darius saat itu juga."Menikah hari ini atau tidak ada satu pun pria yang mau dengannya!" ancam Darius, suaranya dingin dan tajam.Dania tersentak, tangisnya makin keras. Didit menoleh pada putrinya dengan kebingungan dan amarah yang bercampur menjadi satu."Apa kamu bisa berjanji akan mencintai putriku?" tanya Did
Pukul 12 malam, Dewi terbangun. Matanya langsung tertuju pada Dirga yang tertidur nyenyak di samping Denver. Bocah itu benar-benar melepaskan rindu, bahkan tak lagi mencari Dewi seperti sebelumnya. "Dirgantara anak Mama, cepat sehat, Nak. Sekarang Papa sudah di sini," bisik Dewi lembut. Dia mengecup pelipis putranya, membuat anak itu menggerakkan pipi seakan geli dalam tidurnya. Tatapan Dewi pun beralih pada Denver. Pipi pria itu masih menunjukkan sisa memar, dan punggung tangannya dihiasi cakaran yang tampak cukup dalam. Meskipun mulai memudar, tetap saja luka itu membuat dadanya terasa sesak. Tanpa suara, dia meraih cairan pembersih luka, lalu dengan hati-hati mengoleskannya. Dewi berusaha agar gerakannya tidak membangunkan Denver, karena jika pria itu sadar, pasti akan besar kepala. Setelah selesai, dia duduk sejenak, menatap paras rupawan suami yang tertidur lelap. Jarinya bergerak di udara, membentuk tanda hati untuk Dirga dan Denver. Akan tetapi, pikirannya kembali t
Pascaperistiwa menegangan hari itu, Maharani akhirnya mengaktifkan kembali ponselnya. Dia menyadari bahwa menghilang tidak ada gunanya karena pada kenyataannya semua tetap terbongkar.Hal pertama yang dia lakukan menghubungi Dewi.“Dewi … ini aku, Rani. Bisa kita bertemu di Kafe Rainbow?” pintanya, dengan suara pelan dan penuh keraguan. Dia sungguh berharap Dewi datang bertemu dengannya.Siangharinya, Maharani sudah menunggu cukup lama. Bahkan dia telah menghabiskan dua gelas jus di kafe yang sepi itu.Saat Maharani mulai pasrah dan yakin sahabatnya tidak akan datang, detik itu juga Dewi mendekat dengan tatapan nanar.“Rani?” panggil Dewi, suaranya lemah lembut.Seketika Maharani menggenggam gelas kosong erat, sementara Dewi langsung meraih tangan wanita itu dalam genggamannya. Keheningan pun menyelimuti mereka.Kedua duduk saling berhadapan. Tatapan Maharani dipenuhi kerinduan dan penyesalan, seolah ada
Maharani berdiri kaku, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. Darius berdiri tepat di hadapannya, menatapnya dengan sorot mata tajam yang seolah bisa menembus hingga ke dalam tulangnya. Udara di ruangan itu mendadak begitu berat, napasnya terasa sesak."Kenapa kamu diam? Jawab aku, Maharani! Apa yang kamu pikirkan sampai melakukan ini?" Suara Darius terdengar dalam dan menegangkan, membuat Maharani mendadak kehilangan kosakata.“Aku … hanya ….” Maharani memejamkan matanya sejenak. Dia menelan ludah, berusaha menghindari tatapan menusuk itu.“Hanya apa? Apa istriku mengancammu, hah? Katakan!” perintah Darius lagi tanpa memberi ampun.Dia melirik ke arah Dania, berharap wanita itu membantunya keluar dari situasi ini. Namun, Dania hanya berdiri dengan tangan terlipat di dada, tampak sorot matanya penuh kepuasan. Maharani tidak menyangka seseorang yang dianggap sebagai rekan kerja, membiarkannya tenggelam sendirian seper
Dewi bergegas ke dapur begitu mendengar suara pecahan gelas. Saat sampai, alangkah terkejutnya dia mendapati Valerie sedang berjongkok, meringis kesakitan sambil membersihkan pecahan gelas yang berserakan di lantai. "Ya ampun Valerie!" Dewi segera mendekat, menarik tangan Valerie. "Jangan sentuh pakai tangan kosong!" pekiknya. Mata sipitnya melebar melihat ada luka di jari Valerie, cairan merah merembes keluar. "Kamu–" "Aku tidak sengaja menjatuhkannya," ujar Valerie, wajahnya sedikit pucat. "Aku tadi mau ambil air, tapi tanganku sakit." Tanpa banyak bicara lagi, Dewi mengambil kotak P3K, lalu dengan cekatan membersihkan luka Valerie. "Makasih, ya, Wi." ujar Valerie setelah tangannya dibalut plester. Dewi tersenyum lantas menyentuh bahu Valerie. Adik sepupu Denver itu meringis. "Harusnya aku yang bilang makasih, tanganmu pegal karena gendong Dirga," ucap Dewi sungkan. "Ya, mungkin. Badannya Dirga berat, sih." Valerie tergelak mengingat anak kecil itu. Dewi terseny
"Wi, ada pasien trauma tingkat 1 di kepala. Tolong bantu."Suara itu menyadarkan Dewi, dia tidak boleh meninggalkan rumah sakit ini sebelum jam kerjanya selesai.Dewi menghela napas panjang, meremas jemarinya yang terasa dingin."Iya Sus." Dewi segera berlari membantu tim medis lain. Barulah setelah menyelesaikan sif-nya di rumah sakit, tanpa memberitahu Denver, dia segera meluncur ke rumah kontrakan Maharani.Begitu sampai, langkahnya terhenti saat melihat Astuti terduduk di lantai ruang tamu, bahunya terguncang karena isakan.Di hadapannya, ads selembar cek senilai seratus juta tergeletak begitu saja di atas meja kayu tua.“Bu Astuti?” Dewi mendekat, menahan detak jantungnya yang berdebar tidak karuan. “Apa yang terjadi?”Astuti mendongak, wajahnya yang sembab memperlihatkan keputusasaan begitu kentara. “Rani pergi ... Dokter Dania kasih uang ini. Seratus juta, Dewi. Ibu takut!”Dewi memicingkan mata, perasaan tidak enak menyergap pikirannya. “Uang sebanyak ini untuk apa?”Astuti
“Tumben mendadak datang ke sini, Wi?” Intonasi Maharani terdengar tercekat, senyumnya kaku. “Ini masih pagi.”Dewi tidak langsung menjawab. Dia hanya menatap lekat wajah Maharani, mengamati setiap perubahan ekspresinya. Napas Maharani tampak tersendat, jemarinya mencengkeram gelas susu sangat erat hingga sedikit bergetar. Terlalu jelas dia menyembunyikan sesuatu.“Rani … tujuanku datang ke sini ingin tahu apa hubunganmu dengan Dokter Dania. Aku tidak percaya kalian berteman,” ujar Dewi dengan nada tajam, mata sipitnya menyipit penuh selidik.Tangan Maharani makin gemetar. Gelas yang dipegangnya hampir tergelincir. Wajah yang semula tenang kini memucat.Dewi tidak bisa mengabaikan perasaan tidak nyaman sejak kemarin. Kedekatan tak wajar antara Maharani dan Dania terus mengusik pikirannya. Pagi ini, tanpa banyak berpikir, dia memutuskan mengunjungi rumah kontrakan.Denver yang kebetulan ada kegiatan pagi ini bersedia mengantarnya. Mereka berangkat lebih awal dari biasanya.“Ada apa, Rani
“Hari ini Pratiwi bisa bantu kamu belajar.” Denver menandatangani berkas di layar tabletnya, jemarinya cekatan bergerak tanpa sedikit pun mengalihkan perhatian.“Beneran?” Mata Dewi berbinar. “Memangnya dokterku enggak repot kalau ditinggal Suster Tiwi?” tanyanya sambil menyuapi Dirga dengan lembut, memastikan anaknya mengunyah dengan benar.Meskipun ada pengasuh, Dewi tetap ingin menikmati setiap momen berharga bersama putranya. Bahkan selama seminggu ini, saat dia menjalani masa magang di JB, Dirga selalu mengekor ke mana pun dia pergi, enggan jauh dari sang ibu.“Iya, Sayang. Hari ini aku libur praktik, cuma ada jadwal operasi jam tiga sore.” Denver akhirnya melirik, senyum tipis terbit di sudut bibirnya saat melihat wajah Dewi yang sumringah.Dewi memang sedang menempuh gelar profesinya sebagai perawat praktisi, dan Denver memberid dukungan penuh. Bahkan, dia rela melepas perawat kepercayaan untuk membim
“Bagaimana hasil pemeriksaanku? Umm … kapan program bayi tabungnya?” Maharani menyandarkan punggung pada dinding kamar sempitnya. Dia masih menempelkan telepon genggam di telinga, mendengar suara Dania yang terdengar ceria di seberang sana."Oke. Hasil pemeriksaanmu sangat bagus, Maharani. Dokter bilang badanmu dalam kondisi prima. Dengan obat yang sudah diberikan, sel telurmu berada dalam kualitas terbaik," tutur Dania yang suaranya penuh kepuasan.Maharani tersenyum getir. "Itu … kabar baik. Aku ingin semua berjalan lancar. Aku juga mau minta tolong Dokter Dania untuk daftar operasi plastik di rumah sakit JB … setelah melahirkan."Dania terdiam sejenak, lalu tertawa tanpa suara dan geleng-geleng. "Gampang. Aku bisa mengurus semuanya untukmu. Kamu hanya perlu menunggu kehamilan itu saja."Maharani menarik napas panjang dan berbisik, "Boleh aku minta sesuatu?”“Katakan saja!”“Umm … tolong siapkan tempat tingg
"Papa lihat ada pisang goleng gosong manis!" seru Dirga, saat melihat Denver baru saja pulang dari rumah sakit. Bocah kecil itu berlari mendekati papanya, sambil membawa pisang di kedua tangannya."Aaa ... Papa, ini enak. Onty Lani yang bawa." Dirga tersenyum lebar, lalu satu tangannya menunjuk ke samping."Papa mau coba, satu saja." Denver membuka mulutnya dan dia lumayan menikmati pisang 'gosong' kesukaan putranya.Dewi pun terkikik geli melihat tingkah dua lelaki itu, tetapi tidak dengan Maharani yang saat ini duduk di ruang keluarga rumah Dewi.Maharani memandangi sekeliling dengan perasaan campur aduk. Tangannya menggenggam kotak kecil berisi sale pisang buatannya sendiri, buah tangan darinya untuk sang sahabat.Aroma kayu manis dari diffuser ruangan bercampur dengan bau kopi yang disajikan pelayan rumah. Nyaman, hangat, dan jauh dari kesulitan yang beberapa hari ini membuat kepala Maharani dilanda pusing.Dewi kel
"Hari ini aku ke kampus. Ada kelas," kata Darius dengan suara datarnya. Pagi ini, Darius merapikan jasnya di depan cermin. Dia melirik Dania yang masih berbaring di tempat tidur dengan wajah ketus. Sejak tadi, wanita itu tidak mengucapkan sepatah kata pun. Semalam, Darius berhasil menggagalkan rencana liciknya. Tabung kecil berisi benihnya sudah dia amankan sebelum Dania sempat membawanya pergi. “Aku berangkat dulu,” ucap Darius lembut, dan mengecup puncak kepala sang istri. Dania tetap diam. Tangan wanita itu sibuk mengetuk-ngetuk layar ponsel, tetapi sorot matanya menunjukkan kekecewaan mendalam. Saat Darius hendak melangkah keluar, Dania bersuara pelan, tetapi penuh sindiran. “Kamu pikir bisa lolos terus?” Wanita itu menatap tajam pada Darius. "Aku akan menggunakan cara lain, apa kamu lupa aku ini lulusan kedokteran?" Darius berhenti sejenak, menoleh dengan ekspresi