Selamat ya Dok jadi diretur lagi. Kalau adain acara makan-makan, jan lupa undang readers semua! Wajib!!
Semenjak menjabat kembali sebagai direktur rumah sakit, kesibukan Denver bertambah berkali-kali lipat. Memang jadwal praktiknya berkurang, tetapi dia harus mengurusi manajemen dan melakukan manuver agar keutuhan rumah sakit jauh dari tangan jahil.Hal itu juga mengurangi komunikasi Denver dengan Dewi.Saat ini, Dewi sedang duduk di dipan di taman, menggendong Dirga yang belakangan ini makin aktif. Di sampingnya, Astuti sedang sibuk membuat rujak, sesekali melirik Dewi yang tampak murung."Ibu perhatiin kamu kok lesu banget, Wi? Kenapa? Kangen Pak Dokter?" goda Astuti sambil mengulek bumbu.Dewi mengangguk pelan, lalu mengembuskan napas panjang. "Ibu bisa saja. Tapi ... Dokter Denver memang sibuk. Apa mungkin pasiennya tambah banyak, ya?""Biar aja, Wi. Tugas laki-laki ‘kan kerja. Demi masa depan si kecil," ujar Astuti, melirik Dirga yang asyik mengemut jari-jarinya.Dewi hanya tersenyum tipis, matanya menerawang. Teringat pada komunikasi terakhir mereka tiga hari lalu, sekarang dia me
Senja ini, kediaman Danis berubah menjadi lautan bunga. Beraneka warna menghiasi gerbang, taman, hingga area utama yang telah disiapkan untuk prosesi sakral. Tiga hari pascapertunangan, keluarga memutuskan mempercepat pernikahan keduanya. Pemberkasan dilakukan dengan tergesa-gesa, nyaris seperti pemaksaan. Di tengah suasana penuh haru dan ketegangan, seorang pria tampan dalam balutan jas putih duduk di tempatnya, ditemani dua saksi di sebelahnya. Sejak tadi, dia tampak gelisah, terus menggoyangkan kakinya seperti seseorang yang kebelet ke toilet. "Tenanglah, Denver! Kamu ini bukan perjaka lagi, kenapa harus tegang?" ucap seorang pria yang duduk tidak jauh darinya. Denver menghela napas panjang dan menoleh. "Uncle Dariel, ini memang bukan pertama kalinya aku menikah. Tapi ini pertama dan terakhir kalinya aku mengikat janji suci dengan wanita yang kucintai." Tiba-tiba, tepukan keras mendarat di punggungnya. Denver menoleh tajam, mengira itu ulah Valerie, tapi ternyata ...m "Aunty F
Ini memang bukan pernikahan pertama bagi keduanya. Namun, ini pertama kalinya mereka merasakan kehangatan dan sesuatu yang mendebarkan saat menghadapi pasangan.Saat ini keduanya, telah memasuki kamar yang terasa seperti surga tersembunyi. Lampu-lampu kristal redup berpendar lembut. Aroma lilin aroma terapi bercampur dengan wangi mawar putih yang tersusun indah di sudut ruangan, menambah nuansa intim yang mendebarkan.Dewi terpaku pada keindahan ruangan yang begitu sempurna, seolah dirancang khusus untuk malam istimewa ini. Dadanya berdebar, melihat taburan kelopak mawar merah membentuk pola hati di atas seprai satin putih."Ini cantik," lirih Dewi, matanya mengembun, menatap sekeliling dengan perasaan haru. Tangannya menyentuh lembut tirai tipis, lalu beralih ke pintu kaca besa besar yang menyuguhkan pemandangan malam yang begitu romantis.Di luar, kolam renang pribadi membiaskan pantulan cahaya bulan yang menggantung di langit."Kamu lebih cantik dibanding semua ini, Sayang," bisik
"Dewi?" panggil Denver lagi karena tidak ada respons dari wanita itu.Punggung Dewi menegang seketika, bukan karena kenikmatan dunia, melainkan rasa takut yang tiba-tiba menjalari tubuhnya. Tangan wanita itu gemetar, napasnya memburu, dan benda kecil putih pun terjatuh dari genggamannya.Denver menyipitkan mata, iris karamelnya mengunci pergerakan Dewi yang tampak panik. Dengan langkah tegap, dia turun dari ranjang dan meraih benda itu."Kamu minum pil KB?" tanya Denver, nada suaranya rendah, tetapi menusuk hingga ke relung dada Dewi.Jantung Dewi berdegup lebih kencang. Dia menelan ludah dengan susah payah, matanya menghindari tatapan suami yang kini mengintimidasi."Jawab aku!" desak Denver lebih dalam.Dewi mundur selangkah, tangannya saling meremas. Bibir mungil itu bergerak, tetapi tak satu pun kata keluar.Setelah menarik napas dalam-dalam, akhirnya dia berbisik, "A—ku … belum siap untuk hamil lagi. Dirga … masih terlalu kecil untuk punya adik."Denver tidak langsung menanggapi.
Dewi yang baru saja selesai berpakaian segera mendekat. Dia melihat suaminya belum juga mengenakan sehelai benang pun. “Ada apa, Dokter?” tanyanya, berusaha mengintip ke dalam tas. Sayang, sebelum Dewi bisa melihat isinya, Denver buru-buru menutup tas dengan gerakan tergesa. Wajah tampannya mendadak pucat, seakan ada sesuatu yang harus disembunyikan. “Kenapa kamu ada di sini?” tanya pria itu dengan intonasi cemas. Dewi mengernyit, sedikit curiga. “Aku … hanya ingin tahu kenapa Dokter belum mengenakan pakaian.” Denver berdeham, berusaha mengendalikan diri. “Tidak ada apa-apa. Sebaiknya kamu sarapan duluan. Aku menyusul nanti.” Dewi menatapnya, mata sipitnya menyipit penuh selidik. “Tapi aku—” Belum sempat dia menyelesaikan kalimat, Denver sudah menggiringnya keluar kamar dengan lembut, tetapi tegas. Dewi berdiri terpaku di depan pintu. Ada sesuatu yang terasa aneh. Pikirannya langsung melayang ke masa lalu—Bima, yang pernah mengusirnya begitu saja setelah menikah. Tidak, Denver
Setelah dua hari menginap di hotel, dengan berat hati pasangan pengantin baru itu mengakhiri sesi bulan madu sederhana mereka. Bukan karena tidak ingin menikmati waktu lebih lama, melainkan keadaan memaksa untuk kembali.Saat ini Dewi dan Denver sedang menghadap Danis yang sedari tadi diam memandang keduanya. Sorot mata pria tu sulit ditebak, seakan menimbang banyak hal."Pak Danis, terima kasih sudah merestui kami. Aku … tidak tahu harus membalasnya bagaimana," cicit Dewi yang masih canggung dan belum sepenuhnya percaya bahwa dia kini diakui sebagai putri pria di hadapannya.Danis mendekat, lalu tiba-tiba merengkuh Dewi dalam pelukan erat. Tubuh pria paruh baya itu berguncang, dan Dewi merasakan lembab pada bahunya. Perlahan, dia pun membalas pelukan itu, dadanya ikut sesak melihat betapa rapuh ayah kandungnya."Kamu layak bahagia, Nak. Harus bahagia!" Suara Danis terdengar serak dan dalam, menggema di telinga Dewi seperti sebuah janji yang harus digenggam erat.Setelah melepaskan pe
Dewi tahu dirinya tidak bisa terus larut dalam pusaran kesedihan. Dia ingin segera pulang, menatap Dirga, dan kembali merasakan kehangatan rumah. Namun, langkahnya tetap terasa berat ketika memasuki rumah megah yang kini menjadi tempatnya bernaung. Saat ini, Dewi berjalan perlahan, menyusuri setiap sudut ruangan yang tidak banyak berubah sejak pertama kali dia menginjakkan kaki di sini. Kali ini, statusnya berbeda. Tidak lagi sebagai tamu yang dipandang sebelah mata, tetapi sebagai bagian dari keluarga. Jemarinya makin erat menggenggam tangan Denver, mencari pegangan. "Jangan tegang, Sayang," bisik Denver, mencuri kesempatan untuk mengecup daun telinganya dengan lembut. "Ini seperti mimpi," lirih Dewi, suaranya tak terdengar. Pandangannya beralih ke lantai dua, di mana Dwyne menatapnya dengan ekspresi rumit. Sejenak Dewi menelan ludah, jantungnya berdebar kencang. "Ayo, kita temui Mama," ajak Denver sambil mengeratkan genggaman tangannya. Saat langkah keduanya menyentuh lantai d
Pascatragedi malam itu, Dewi merasa canggung tinggal di rumah besar ini. Setiap kali melangkah keluar kamar, dia merasakan tatapan penuh arti dari para pelayan.Bahkan, beberapa dari mereka tampak berbisik-bisik begitu melihatnya. Wajah Dewi terasa panas, dan dia refleks menarik sweaternya lebih tinggi, berharap bisa menyembunyikan jejak-jejak kemesraan yang masih tertinggal di kulitnya.Dewi buru-buru mengambil air hangat untuk Denver. Begitu kembali ke kamar, dia menghela napas lega, tetapi ketenangan itu langsung buyar."Kenapa ditutupi?" Suara Denver terdengar penuh godaan.Dewi menoleh, dan detik itu juga napasnya tercekat. Suaminya berdiri di sana dengan rambut basah yang masih menetes, serta dada bidang terbuka. Mata karamel itu menatapnya lekat-lekat, lalu menyeringai."Kamu malu, Sayang?" bisik Denver, melangkah mendekat. Jemarinya membelai leher Dewi, mengamati jejak percintaan yang memudar.Dewi merengut, mencoba menghindari tatapan jahil itu. "Aku mau ke kampus hari ini. Ad
“Wah … itu adik? Tapi kenapa adiknya kecil banget, Pa?” tanya Dirga sambil menunjuk layar monitor dengan mata membulat penasaran.Dua minggu telah berlalu sejak hari pernikahan Darius dan Maharani. Semua kembali beraktivitas normal.Hari ini, Dewi memutuskan melakukan pemeriksaan kehamilan bersama suaminya di ruang praktik milik Denver. Sebenarnya, ini karena permintaan Dirga yang terus-menerus merengek ingin melihat calon adiknya.“Ya, perkembangan manusia memang dimulai dari yang sangat kecil, Nak. Kalau dijelaskan panjang lebar, kamu pasti bingung,” tutur Denver lembut. Senyumnya merekah melihat Dirga begitu terkesima memandangi layar.Sementara itu, Dewi terus menatap Denver tanpa berkedip. Ada rasa geli dan manis saat melihat pria tampan yang kini jadi suaminya itu serius memeriksanya—sebagai dokter kandungan. Lucu rasanya, diperiksa oleh suami sendiri.“Kenapa kamu lihat aku terus, Mon ange? Jangan goda aku di tempat kerja, hmm,” bisik Denver seraya mengerlingkan sebelah matany
“Sakit, Oma …,” adu Dirga sambil menunjuk kakinya yang tersembunyi di balik celana panjang. Bibir mungilnya maju ke depan, dan manik karamel bergerak gelisah, mencari dua sosok yang sejak tadi dinantikan.“Iya, itu sudah diobati, Sayang. Tidak ada luka apa pun, kan?” sahut Dwyne sembari membelai puncak kepala Dirgantara dengan sentuhan penuh kasih.“Olang itu jalannya sembalang, ah!” Dirga bersedekap dada. Kedua alisnya bertaut, bola matanya menatap tajam ke arah tamu-tamu yang masih ramai di taman, menikmati pesta.Wajah tampan anak itu merengut.Beberapa saat lalu, ketika mengambil makanan di meja, seorang anak kecil menabrak Dirga cukup keras hingga makanannya terjatuh. Beruntung tuksedo mininya tidak kotor, tetapi tubuh kecil Dirga ikut terhuyung dan tersungkur. Anak yang menabraknya pun menangis sehingga mengundang perhatian para tamu.“Dia lebih kecil dari kamu. Jadi … belum tahu cara menghindar,” ujar Dwyne, masih dengan nada lembut. Dalam hati, wanita paruh baya itu ingin sek
“Ah … Darius, kamu benar-benar penjahat,” lenguh Maharani, matanya terpejam sesaat, napasnya tersendat di tengah desahan halus. Dia menelan saliva, kini tubuhnya menegang seperti tersentuh listrik halus di bawah kulitnya.Tadi, pria itu membawanya langsung ke kamar hotel usai prosesi pernikahan mereka. Tanpa banyak kata, dengan antusiasme yang membuncah, Darius melucuti kebaya pengantin Maharani. Jemarinya bekerja luwes, sudah hafal setiap lipatan dan kancing, lalu membaringkan sang istri di ranjang pengantin berseprai putih yang bertabur kelopak mawar.Detik ini, mereka telah sama-sama polos, tidak ada lagi batas di antara kain dan kulit.Darius tampak sangat menguasai momen. Namun, di balik geraknya yang percaya diri, ada ketulusan yang menyelinap di setiap kecupan dan belaian.“Penjahat?” bisik Darius sembari menelusuri ceruk leher sang istri dengan ciuman yang membuat bulu kuduk Maharani meremang.“Umm … iya. Kamu menculikku. Pesta kita bahkan belum selesai, Da-Darius …, ah … ini
Setelah resmi menyandang status duda dan mempertahankan gelar itu selama kurang dari sebulan, akhirnya hari ini Darius melepas masa kesendiriannya dengan mempersunting Maharani.Bunga-bunga bermekaran indah menghiasi pelaminan serta taman. Bahkan pepohonan rindang pun seolah merestui hari penuh cinta ini. Suhu yang sejuk turut mendukung segalanya yang telah dirancang dengan saksama.Saat ini Darius mengenakan jas putih dengan rambut ditata rapi menggunakan pomade. Dia duduk bersama Denver dan Danis sebagai saksi pernikahan, menanti sang mempelai wanita yang belum juga tiba."Santai, Darius. Tenanglah, Maharani sedang bersiap. Kamu jangan bikin malu seperti ini," bisik Denver sambil melirik kaki Darius yang bergerak-gerak gelisah. Kening Darius juga dipenuhi keringat sebesar biji jagung."Aku tidak perlu nasihat. Aku butuh Maharani!" tegas Darius dengan wajah tegang.Denver terkekeh melihat mantan rivalnya panik. Dia pun menggoda lagi dengan suara rendah, "Ah … bagaimana kalau Maharani
Hari berikutnya, Darius masih cuti. Dia datang lebih awal ke persidangan kedua Dania. Pria itu duduk menyendiri di bangku tunggu, memandangi sisi kanan dan kiri ruang sidang yang masih sepi. Padahal dia sudah janjian dengan Denver, tetapi pria itu belum tampak.Darius memejamkan mata sambil menyandarkan punggung ke dinding dingin. Dia mencoba membayangkan wajah Maharani agar suasana hatinya lebih tenang, dan berhasil.Bahkan ketika Denver datang bersama Ruslan dan Rudi, Darius menyapa dengan santai. Termasuk saat bertemu Dania di ruang sidang, tatapan tajam sang mantan tidak lagi menggoyahkan hatinya.Sidang pun selesai. Jadwal sidang berikutnya masih menunggu konfirmasi. Hal ini membuat Darius sedikit cemas, lantaran pernikahannya dengan Maharani makin dekat.“Tidak baik melamun,” tegur Denver, melihat Darius tampak berpikir di depan pintu pengadilan.“Ah, bukan melamun. Aku sedang berpikir cari kado untuk anakmu.” Darius m
Minggu ini menjadi yang paling berat sepanjang hidup Darius. Bahkan dia sengaja mengajukan cuti dari rumah sakit hanya untuk menyelesaikan segala masalah yang selama ini menggantung.Sekarang, dengan ditemani pengacara serta pamannya yang sangat baik, Darius duduk di ruang sidang yang terasa dingin dan sunyi.Bau kertas tua bercampur aroma pembersih ruangan menyengat di hidung. Suara langkah sepatu para pengacara dan detik jarum jam di dinding terasa memekakkan di tengah ketegangan.Dia menoleh ke samping, menatap kursi kosong di sebelahnya—kursi yang seharusnya diisi oleh Dania. Namun, wanita itu hanya menghadiri sidang melalui layar ponsel, sebab pihak kepolisian tidak mengizinkannya keluar dari sel tahanan karena perilaku buruknya yang makin menjadi.Darius menarik napas panjang, terasa sesak dan perih di dadanya. Ketika hakim memintanya mengucap ikrar talak, sejenak dia terdiam. Ada kilatan ingatan yang muncul—saat pertama kali menggenggam tangan Dania di bawah langit sore, berjan
“Kamu kenapa? Ada yang sakit?” tanya Maharani sambil menatap Darius yang sejak tadi hanya bersedekap dada, duduk di pojokan kamar.Setelah Dewi dan Dirgantara dijemput Denver, Maharani langsung menghampiri Darius. Pria itu tidak menyambutnya dengan senyum atau pelukan, melainkan ekspresi super dingin, seperti freezer yang kelupaan ditutup.Apa mungkin Darius kesal karena dia terlalu lama menemani Dewi di kamar? Atau ... ada sesuatu yang tidak dia tahu?“Mulai sekarang jangan makan tempe goreng lagi!” geram Darius tiba-tiba. Nada suaranya seperti menegur pasien bandel.Maharani langsung melongo. Tadi pria ini begitu antusias ketika diberikan tempe goreng hangat. Sekarang mendadak berubah arah.“Kamu sakit perut karena makan tempe goreng?” tanya Maharani curiga. Matanya menyipit, memeriksa wajah calon suaminya dari atas ke bawah.Darius berdecak, lalu menggeleng cepat. “Bukan perut yang sakit, Rani. Tapi hati. Mengerti?!” ucapnya dengan desahan napas berat seperti habis lari maraton.“A
"Rani … apa yang kamu—"Protes Darius terputus begitu saja saat Maharani menatapnya tajam dan mengangkat telunjuk di depan bibirnya, memberi isyarat tegas agar pria itu diam."Tapi aku—""Jangan berisik, Dok!" tegur Maharani dengan tegas, sambil meraih handuk dan menghela napas panjang.Dia berbalik, mengambil pakaian dengan wajah jengkel, lalu mengenakannya secepat kilat.Beberapa detik kemudian, langkah kecil terdengar mendekat. Seorang anak laki-laki muncul di ambang pintu, membawa aroma tempe goreng yang menguar dari kotak kecil di tangannya."Tante Lani, tempe golengnya masih anget, enak loh dimakan pakai kecap!" celoteh Dirga ceria. Namun, matanya menyapu ke dalam kamar, tidak menemukan keberadaan Maharani."Tante Lani di mana?" tanyanya polos sambil mengetuk pintu, dia tidak berani masuk tanpa izin. Meskipun kakinya terlalu gatal ingin melangkah.Maharani segera melangkah dengan cepat menghampiri Dirga, sambil sibuk mengancingkan kancing baju. Senyum wanita itu dibuat selebar m
“Rani ... kamu di mana?” panggil Darius. Pria itu sudah menekan bel berkali-kali, tetapi tidak ada yang membukakan pintu pagar.Bahkan Darius mencoba menghubungi Maharani dan Bu Astuti, tetapi tak mendapat balasan. Hingga akhirnya, dia menggunakan kunci cadangan dan masuk ke dalam rumah.Suasana di dalam tampak rapi dan tenang, aroma pengharum kopi menguar dari sudut-sudut ruangan dan memberi kesan hangat yang familiar.“Rani? Sayang?” panggilnya lagi, sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu yang tertata apik. Tidak ada satu pun tanda kehadiran manusia.Dia meletakkan kantong makanan yang dibawanya di atas meja makan panjang putih. Matanya sempat tertumbuk pada vas bunga segar yang tertata manis di tengah meja.Bibir Darius tertarik membentuk senyum kecil. Rumah ini terasa jauh lebih hidup sejak ada sentuhan seorang wanita.“Bu? Bu Astuti?” Darius melongok ke taman belakang yang ukurannya tidak terlalu besar. Pandangannya menyapu seluruh sudut. Tetap tidak terlihat siapa