Seorang gadis melihat ke arah test pack yang tengah ia pegang, berharap bahwa benda kecil dan pipih itu menunjukkan dua garis yang artinya ia tengah mengandung benih dari seseorang yang sangat amat ia cintai.
"Apa? Gagal lagi?! " Teriaknya dengan kesal lalu melempar benda itu ke sembarang arah saat menunjukkan garis satu pertanda ia tidak tengah mengandung.Ke dua tangannya merepal dengan kuat, gagal sudah semua rencananya menjadi seorang wanita terhormat dan hidup mewah. Selanjutnya apa? Apa yang harus ia lakukan setelah ia gagal memberikan keturunan pada kekasihnya?Namanya Jessica, ia di vonis tak bisa memiliki keturunan karena penyakit rahim yang ia miliki, namun dengan keyakinan yang besar serta tidak percaya dengan apa yang di katakan oleh dokter, ia terus berusaha untuk memiliki seorang anak dengan kekasihnya yang tak lain adalah seorang mafia ternama di negeri ini demi kehidupan yang layak serta derajat yang lebih tinggi supaya di hormati.Suara ketukan pintu kamar mandi terdengar, membuat Jessica yang masih di rundung kekesalan langsung bergegas membuka pintu dan melihat siapa yang baru saja mengetuk."Hasilnya negatif, iya kan? " Tanya seorang pria dengan wajah dingin dan datar. Ia adalah pemeran utama dari cerita ini, Revan Antonio. Pria kejam yang di takuti oleh banyak orang, pria jahat yang meminjamkan uang pada orang lain dan mematok bunga yang cukup besar. Semua peredaran barang ilegal di negeri ini, ia semua yang tangani. Jadi tak heran, jika ia di segani banyak orang serta Jessica terobsesi untuk menjadi istrinya dan memberinya seorang keturunan."Kita bisa coba lain kali." Balas Jessica dengan berpura-pura riang. Ia memeluk tubuh Revan dengan erat, meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia mampu menjadi apa yang di inginkan oleh pria di hadapannya.Tapi tidak dengan Revan, sejak awal ia sama sekali tak menyukai Jessica, walaupun kerap menghabiskan malam bersama, perasaannya tidak pernah berubah. Dengan kasar ia mendorong Jessica hingga mundur beberapa langkah sebelum akhirnya memperingatkannya."Dokter itu punya ilmu yang tinggi, kamu masih tidak percaya? Periksalah di banyak dokter di manapun yang kamu inginkan, hasilnya akan tetap sama. Jalani operasi, dan selamatkan hidupmu sendiri. " Ucap Revan dengan raut wajah yang datar."Aku pengen punya anak. ""Kamu gak bisa. ""Aku bisa! " Teriak Jessica dengan frustrasi."Buktinya? Bisa? " Sinis Revan tak punya hati.Jessica yang sudah terlalu benci dengan keadaan langsung mengeluarkan senjata api miliknya, menodongkannya pada Revan sebagai bentuk kekesalannya. Sedangkan Revan tampak santai di posisinya, ia tidak peduli."Kenapa diam? Tembak. " Ucap Revan menantang. Jessica memejamkan ke dua matanya, tangannya bergerak pelan untuk menekan tembakan.Dor. Suara tembakan terdengar sangat keras, membuat Jessica langsung membuka matanya lebar cukup terkejut dengan suara tersebut. Apa, ia yang baru saja melakukannya?Ke dua tangan Jessica gemetaran, pistol yang ia pegang terjatuh di lantai sembari menatap Revan dengan penuh penyesalan.Dor. Tembakan kembali terdengar, suara tawa Revan terdengar sangat keras menertawakan ekspresi Jessica saat ini yang tengah ketakutan."Kenapa? Menyangka bahwa kamu yang menembak? " Goda Revan pada Jessica. Wanita itu memeriksa dada kekasihnya, tidak ada yang terluka. Berarti, bukan pistolnya yang baru saja menembak, lalu suara dari mana itu?Suara riuh para anak buah Revan mulai terdengar, di iringi dengan suara tembakan beberapa kali serta teriakan banyak orang. Itu adalah penyerangan dari kelompok mafia lain yang ingin merebut kekuasaan. Revan dengan cepat menarik Jessica pergi dari area itu, mengeluarkan pistol miliknya untuk berjaga."Pulang dan berobat. " Titah Revan pada Jessica usai gadis itu berada di dalam mobil. "Jangan lagi berharap menjadi istriku lagi, aku tidak suka padamu. Bukan karena kamu tidak bisa memberikan anak padaku, tapi karena perasaanku tidak padamu. " Sambungnya yang sukses membuat Jessica patah hati sepatah-patahnya.Revan meninggalkannya, mulai berkelahi dengan banyak orang yang ada di sana, saling memukul, menendang serta mengelak saat di tembak."Lihat aja nanti, ku hancurkan secara perlahan. " Jessica.*Keluarga Wijaya adalah keluarga kecil yang serba kesusahan tapi selalu bahagia karena bersama. Sang ayah bernama Heru Wijaya dan sang ibu bernama Norma Wijaya. Mereka mempunya dua orang anak, anak pertama bernama Latania Wijaya atau yang kerap di sapa Lala, dan anak ke dua mereka bernama Eriktonio Wijaya atau yang kerap di sapa Erik."Ibu, apa aku tidak bisa pindah universitas?" tanya Lala dengan nada kesal. Pagi ini seluruh anggota keluarganya sedang berada di meja makan untuk sarapan bersama."Tidak!" jawab ibunya dengan tegas sambil mengambil makanan yanggberada di atas meja untuk suami dan ke dua anaknya."Kenapa, Bu?" Lala kembali bertanya, hatinya terasa sangat mengganjal saat ia kuliah di salah satu univeristas terkemuka di kota ini. Bukannya Lala tak suka universitas itu, namun yang Lala takutkan adalah biaya yang harus di tanggung Ayahnya perbulan. Lala sangat mengerti, bahwa gaji Ayahnya sangatlah kecil dan tak mampu membayar uang semester setiap bulan."Kau tidak tahu? Ayahmu meminjam banyak uang dari Lintah darat untuk membayar biaya kuliahmu!" jawab Norma dengan nada bicara yang ia naikkan beberapa oktaf yang sukses membuat Lala terkejut bukan main."Apa, Bu? Pinjam uang dari lintah darat?" tanya Lala dengan keras usai mendengar apa yang baru saja Ibunya katakan. Lala tak habis pikir, kenapa Ayahnya nekat meminjam uang pada lintah darat, apa Ayahnya tidak tahu, bahwa lintah darat itu sangat berbahaya?"Benar, jadi kamu harus kuliah dengan baik!" balas Heru, Ayahnya Lala sembari menyeruput teh hangat buatan istri tercintanya."Bagaimana ayah akan membayarnya?" terlihat jelas di raut wajah Lala saat ini kalau ia sedang khawatir. Bagaimana ia tak khawatir jika Ayahnya nampak sangat santai saat ini. Padahal dia meminjam uang pada lintah darat. Lintah darat sangatlah kejam, mereka tak akan segan-segan membunuh orang yang meminjam uang jika mereka tak mampu membayar hutangnya, belum lagi lintah darat pasti akan mematok bunga yang sangat besar."Tenang saja, Ayah akan membayarnya." jawab ayahnya dengan santai. Lala menghela nafasnya dengan kasar, ia heran, kenapa Ayahnya masih saja terlihat santai."Ayo cepat makan ikan ini, itu bagus untuk otak kalian!" ucap Norma sambil memberikan ikan ke dua anaknya masing-masing sepotong."Wow! Ini enak sekali Bu." Puji Erik dengan senang, ia lantas melahap ikan itu dengan cepat."Untukku mana sayang?" tanya Heru sembari netranya menyapu seluruh penjuru meja makan, mencari ikan yang sama seperti yang di berikan istrinya pada ke dua anaknya, namun sayang, ia tak melihat ikan itu lagi, hanya ada sup bayam saja yang berada di dalam mangkuk besar di meja makan."Tidak ada jatah ikan untukmu, makan saja bayam itu." jawab Norma sambil memasukkan makanan ke dalam mulutnya, memakan nasi putih dengan lauk sup bayam dengan sangat lahap."Setiap hari pasti makannya sup bayam, apa gak ada sup yang lain? Dan juga, aku ingin makan ikan." celoteh Heru sembari membuang nafasnya dengan kasar, ia merasa sangat bosan dengan menu makanan yang tersaji di meja makan, selalu saja sup bayam."Ikan itu sepotong harganya 50.000 Itu sangat mahal sayang, kita hanya mampu membeli dua potong saja untuk ke dua anak kita." jawab Norma pada suaminya. Lagi-lagi Heru menghela nafas, ia harus rela memakan sup bayam setiap hari demi ke dua buah hatinya."Makan ini ayah!" Lala menusuk sepotong ikan salmon rebus miliknya lantas menaruhnya di piring sang Ayah, Heru yang melihat sepotong ikan itu pun lantas menatapnya dengan bola matanya yang berbinar."Terima kasih sayang," ucap Heru dengan gembira, ia dengan cepat lantas menusukan sepotong ikan itu dengan garpu lantas memasukkannya ke dalam mulutnya."Kenapa kamu berikan pada ayahmu, sayang ?" tanya Norma dengan heran, bagaimana bisa putrinya itu memberikan sepotong ikan mahal itu pada Ayahnya, padahal ikan salmon itu bisa membuat otaknya semakin cerdas dengan banyaknya kandungan nutrisi di dalam sepotong ikan salmon tersebut."Sudahlah Bu, gak papa kok." jawab Lala dengan santai. Ia lantas kembali sibuk dengan sarapan paginya, nasi dan juga sup bayam sudah cukup baginya."Kalo begitu aku minta!" ucap Norma mengambil ikan dari suaminya. Heru terkejut dengan tingkah istrinya yang merebut sepotong itu dari mulutnya."Jangan di makan semua sayang," Heru mengambil ikan itu kembali, ia tak rela jika istrinya menghabiskan ikan salmon lezat itu tanpa membaginya dengan dirinya."Aku mau!" rebut Norma kembali saat Heru merampas ikan salmon itu dari garpu yang ia pegang."Sedikit saja!" ujar Heru sembari memotong sepotong ikan itu menjadi dua bagian, satu bagian untuknya dan satu bagian lagi untuk istrinya.Mereka beradu mulut dan saling merebut ikan rebus itu. Lala sedari tadi melihat tingkah ke dua orang tuanya yang mirip dengan dua anak kecil yang merebutkan permen, namun Lala bersyukur, walaupun keluarganya termasuk keluarga yang serba kekurangan, namun mereka masih bisa bersama-sama dan saling mengerti satu sama lain. Ia merasa sangat beruntung terlahir di dalam keluarga seperti ini.Latania Wijaya, gadis cantik berusia 20 tahun yang saat ini tengah nengenyam pendidikan di bangku kuliah, gadis tangguh dengan senyuman manis serta semangat yang sangat luar biasa."Aku berangkat Ayah, Ibu!" pamit Lala dengan lembut, ia lantas bangkit dari duduknya, meraih tas selempang miliknya lantas menyampirkannya ke bahunya yang sebelah kiri, setelah itu ia berjalan keluar dari rumah dan mengambil sepeda miliknya yang ia taruh di teras rumahnya. Mengendarai sepeda itu hingga sampai ke kampus.Butuh waktu 30 menit hingga akhirnya Lala sampai di salah satu kampus terkemuka di kota ini. Jujur saja, sebenarnya Lala tak ingin melanjutlan kuliah, namun karena ayah dan ibunya memaksa, akhirnya ia mau melanjutkan kuliahnya. Alasan Lala tak ingin melanjutkan kuliah adalah karena masalah biaya.Pekerjaan ayahnya yang hanya seorang buruh di salah satu pabrik makanan ringan tak mampu membuat hidup mereka menjadi lebih baik. Gaji yang di terima ayahnya perbulan hanya cukup untuk membayar sewa rumah dan juga biaya sekolah Erik, dan untuk biaya kampusnya, Heru bahkan rela berhutang pada lintah darat. Sedangkan Lala sendiri juga bekerja sebagai seorang pelayan di salah satu cafe, ia akan bekerja setelah ia pulang dari kampus. Uang hasil pekerjaannya bisa untuk membeli buku dan juga uang jajannya. Hitung-hitung untuk membantu Heru agar Ayahnya itu tak perlu memikirkan uang jajannya.Lala menghapus keringat yang mengucur di pelipisnya,menggayuh sepeda dari rumah ke kampus benar-benar sangat menguras tenaganya. Lala menghela nafasnya dengan kasar, baru saja ia sampai di kampus, namun ia sudah di sambut oleh dua mahasiswi yang selalu saja mengerjainya."Selamat pagi, lemah!" sapa seorang gadis dengan rambut pendek yang menghiasi kepalanya, sebuah senyuman miring tercetak jelas di bibir sexy Nindy yang terolesi lipstik berwarna merah menyala. Lala menelan salivanya susah payah, ia yakin dan sangat yakin, bahwa Nindy sudah merencanakan hal yang akan membuat dirinya malu. Lala melirik ke arah Salsa, gadis itu juga tersenyum miring dengan tangan kanannya yang membawa sebuah ember berisi air. Mereka adalah si buang onar di kampus, membenci para mahasiswi miskin dan menganggap mereka sebagai hama di kampus. Mereka tidak segan-segan membully dan membuat mereka bahan bercandaan, dan salah satu target mahasisiwi miskin tersebut adalah Lala. Tiada hari tanpa bullyan, semua itu demi kepuasan Hidup dan Salsa. Dasar jahat.Tubuh Lala seketika langsung basah kuyup saat Salsa menyiramkan seember air dingin ke seluruh tubuhnya. Suara gelak tawa jahat mereka berdua terdengar di gendang telinga Lala, bahkan suara tawa tak hanya berasal dari mereka, melainkan banyak sekali mahasiswa dan mahasiswi yang menertawai dirinya. Merasa emosi karena di permalukan di depan umum, dengan marah Lala menginjak kaki Nindy dan Salsa barengan dengan ke dua kakinya. Seketika suara tawa jahat mereka di gantikan dengan suara jeritan yang memilukan karena merasakan sakit. Dengan langkah seribu Lala lantas berlari meninggalkan Salsa dan Nindy yang sedang memegangi kaki mereka yang terasa sakit karena ulahnya."HEY LALA! BERHENTI!" teriak Nindy dengan sangat keras. Dua mahasiswi yang suka sekali mengganggu Lala itu lantas dengan cepat berlari mengejar Lala yang sudah ngacir entah kemana.Lala menghentikan langkahnya saat kakinya terasa sudah sangat pegal karena berlari. Lala mengatur nafasnya yang tak beraturan, sungguh ia sangat lelah saat ini.Tubuh Lala terhuyung ke belakang saat seseorang menabraknya dengan tak sengaja. Untung saja sebuah lengan kekar menahan pinggangnya agar tubuh mungil Lala tak terjatuh dan mencium lantai yang keras. Mata Lala berbinar saat melihat siapa orang yang menabrak sekaligus menolongnya. Pria most wanted kampus ini, Jacob."Lo baik-baik aja kan?" tanya Jacob dengan raut wajah khawatirnya, membantu Lala berdiri kembali dengan tegak."Sorry, tadi gue gak sengaja. Maaf ya," ujat Jacob sembari menatap Lala yang kini juga tengan menatapnya."Eh, gue gak papa kok." jawab Lala sembari menundukan kepalanya, ia merasa pipinya terasa sangat panas saat ini, ia merona malu di depan Jacob. Jujur saja, Lala sudah menyukai Jacob sejak tahun lalu, lebih tepatnya saat pertama kalinya ia menginjakkan kakinya ke kampus ini. Tak hanya most wanted, Jacob juga terkenal sebagai pribadi yang hangat walaupun banyak dari mereka yang mengatakan bawa pria tersebut adalah pribadi yang misterius dan sangat sulit di tebak."Eh! Kok baju lo basah? Kenapa?" pertanyaan Jacob membuat Lala semakin merona. Ini adalah pertama kalinya mereka berbincang."Enggak papa kok." balas Lala bersemu. Jacob tersenyum kecil ke arah Lala, gadis di depannya ini terlihat sangat manis."LALA! GUE BALES LO YA!" teriakan Salsa membuat Lala kalang kabut, tanpa pamitan atau mengucapkan sepatah kata pun, Lala langsung pergi begitu saja menghindar dari Salsa dan Nindy. Sontak, tingkahnya tersebut membuat Jacob merasa penasarannya."HEY SIAPA NAMAMU GADIS MANIS?!" teriak Jacob ke arah Lala, Lala sama sekali tak memperdulikan teriakannya, yang ia pedulikan saat ini adalah ia terhindar dari dua nenek sihir itu."Gadis yang menarik." gumam Jacob sembari netranya masih menatap ke arah punggung Lala yang semakin lama semakin menjauh darinya.Seorang pria tampan duduk dengan sangat tenang di sebuah kursi kebesaran miliknya. Tatapannya yang tegas dan aura kemisteriusannya membuat siapa saja yang berada di dekatnya memilih mundur dari pada berhadapan dengan sesosok pria tampan tersebut. Banyak sekali para pria berbadan besar yang berada di sisinya setiap saat. Para pria berbadan besar itu adalah body guard pribadi pria tampan dengan sejuta pesona itu. Revan Antonely William adalah nama pria itu, seorang lintah darat terkemuka di kota ini, atau kaum milenial sering menyebutnya dengan Mafia kelas kakap yang paling di segani dan juga di takuti. Revan adalah nama sapaannya, pria kesepian yang sama sekali tak memiliki keluarga besar. Sang Ayah memiliki pekerjaan yang sama sepertinya, seorang Mafia. Sedangkan Sang Ibu melarikan diri saat ia masih bayi, maka dari itu, Revan sama sekali tak pernah melihat wanita yang telah melahirkannya di dunia ini sepanjang hidupnya.Sekarang Revan tinggal sendirian, kadang kalanya sang Ayah mene
Waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore, Heru membuka pintu rumahnya yang tidak terkunci lantas masuk ke dalamnya. Pemandangan pertama yang di lihat Heru adalah putra bungsunya, Erik sedang sibuk mengerjakan tugas sekolahnya di meja ruang tamu dengan sibuk. Dengan langkah yang gontai, Heru berjalan mendekat ke arah Erik lantas mendudukan bokongnya di sofa ruang tamu."Ayah mau Erik buatin teh hangat?" tawar Erik, Heru tersenyum manis ke arah putranya lantas menggeleng. "Lanjutkan belajarmu, Ayah bisa panggil Ibumu untuk membuatkan Ayah teh." jawab Heru sembari memijit lengan kanannya dengan menggunakan tangan kirinya. Erik mengangguk dan kembali sibuk mengerjakan PR sekolahnya."SAYANG! BUATKAN AKU TEH!" teriak Heru dengan keras untuk memberi tahu Norma yang berada di dalam rumah."IYA!" Norma yang mendengar teriakan suaminya lantas bangkit dari duduknya, ia sedang mencuci pakaian dengan manual di belakang rumah. Dengan cepat Norma meninggalkan cuciannya lantas berjalan masuk ke dalam da
Setelah selesai jam kampusnya, Lala segera menggayuh sepedanya pergi dari parkiran kampus menuju ke cafe tempat ia bekerja yang letaknya tak jauh dari gedung kampusnya. Lala bahkan melupakan janjinya bersama dengan Jacob untuk ketemuan di parkiran setelah jam kuliah selesai, maklum saja, mereka berdua berbeda jurusan. Di tambah lagi dengan Lala yang harus mementingkan pekerjaannya demi keamanan uang jajannya. Hanya butuh waktu 10 menit Lala sampai ke tempat kerjanya, Lala memakirkan sepedanya di parkiran dengan cafe tempat ia bekerja. Dengan cepat Lala lantas masuk ke dalam menuju ke ruang ganti untuk mengganti pakaian yang ia kenakan dengan seragam khusus pelayan. Setelah itu Lala langsung mengepel dan juga membersihkan jendela cafe, terkadang ia juga melayani pelanggan yang memesan makan atau hanya sekedar memesan minuman dingin.Di sisi lain, Jacob sedang duduk di atas kap mobilnya bagian depan sembari bersiul ria, ia sudah sangat merindukan kekasihnya, siapa lagi kalau bukan Lala.
Setelah melihat taxi yang di tumpangi Jacob menghilang karena membelok di sebuah tikungan, Lala bergegas menaruh sepeda kesayangannya di teras rumahnya. Mata Lala memicing heran saat melihat pintu rumahnya rusak parah, bahkan sampai pintunya hampir saja jatuh kalau saja tidak ada satu engsel yang masih menahannya. Lala berjalan masuk ke dalam rumah, kerutan di dahinya semakin kentara saat melihat kondisi ruang tamu rumah yang di sewa Ayahnya sangatlah berantakan, tak serapi biasanya. Lala dengan cepat lebih masuk ke dalam rumah, dan berhenti melangkah saat ia sudah berada di ruang makan, di mana sang Ibu, Ayahnya dan juga Erik saudaranya berada di sana. Lala lantas duduk di kursi yang biasanya menjadi tempat duduknya saat makan. Mata Lala terbelalak kaget saat ia melihat wajah Ayahnya bonyok, bahkan sekarang Heru lebih mirip dengan hantu yang ada di dalam film horror."Ayah kenapa?!" teriak Lala dengan panik sembari bangkit dari duduknya, berlari ke arah Ayah lantas menatap Ayahnya de
Lala terbangun dari tidurnya di lantai, semalam ia menangis di pojokan kamar sampai tertidur, dan sekarang ia bangun setelah mendengar suara jam wekernya berbunyi sangat nyaring. Lala bangun dari baringnya di lantai, membuka matanya dengan berat, mata indahnya pagi ini terlihat sembab dan juga bengkak. Dengan langkah pelan, Lala bangkit dari duduknya, berjalan menuju nakas mengambil jam weker lantas mematikan suaranya. Setelah itu ia memulai rutinitasnya setiap pagi, seperti membersihkan tubuhnya dan memilih beberapa buku yang akan di bawanya ke kampus. Tentang masalah semalam, Lala masih belum melupakannya, ia bahkan tidak habis pikir kenapa ke dua orang tuanya bisa bersikap seperti itu.Sekarang Lala duduk di depan meja rias, memoles wajah cantiknya dengan make up tipis, riasan wajahnya yang simple dan sederhana justru malah membuatnya semakin terlihat cantik dan juga manis. Tok tok tok. Suara ketukan pintu kamarnya terdengar, membuat Lala reflek dengan cepat menolehkan kepalanya k
Ke dua kelopak mata Lala terbuka perlahan, ia mengerjap-ngerjapkan matanya berkali-kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retina matanya. Saat Lala membuka matanya, orang yang pertama kali Lala lihat adalah pria asing yang telah membawanya paksa dari ke dua orang tuanya. Saat ini pria itu tengah berdiri di sisi ranjang, netranya fokus menatap ke arah Lala. Menyadari pria itu melihat ke arahnya, Lala dengan cepat bangkit dari baringnya dan langsung memberikan tatapan tajam ke arah pria itu."Kamu sudah bangun?" tanya Revan sembari melipat ke dua tangannya di dada. Lala tak menjawab pertanyaan Revan, ia sibuk melihat-lihat setiap sudut kamar yang sedang ia tempati. Ranjang besar dan empuk, udara di ruangan ini sangat sejuk lantaran adanya AC, tembok bercat putih, sangat luas, nyaman dan juga mewah."Mulai sekarang ini adalah kamarmu!" suara Revan menyadarkan Lala dari kekagumannya pada kamar besar ini, dengan cepat ia menggeleng, ia tidak mau tinggal di sini, walaupun ia mer
Malam sudah tiba, Jacob menguap beberapa kali, matanya sudah sayu dan terlihat sangat lelah. Lima jam sudah dirinya menunggu kehadiran Lala di cafe tempat gadis itu bekerja, namun Lala tidak kunjung datang. Tadi ia sudah sempat bertanya pada pemilik cafe, Hani. Namun wanita itu bilang Lala akan datang, namun sampai sekarang kekasihnya itu belum juga muncul."Maaf, kami akan segera tutup." peringat Hani, Jacob menatap ke arah Hani dengan tatapan dingin. "Lo bilang Lala bakal dateng ke sini? Mana? Sampai kalian tutup dia gak dateng?" omel Jacob, ia merasa tertipu dengan penjelasan Hani beberapa jam yang lalu."Maaf, biasanya Lala tidak pernah absen dalam bekerja, dan juga aku tidak tahu kalau dia tidak bekerja hari ini karena dia tidak ijin terlebih dahulu." jelas Hana sembari mengelap salah satu meja di sana. Helaan nafas kasar Jacob terdengar, ia lantas bangkit dari duduknya, pinggangnya terasa pegal saat berdiri, mungkin itu akibat dari ia terlalu lama duduk. "Berikan nomor ponselnya
Keluarga Wijaya masih berada di Apartemen mahal pemberian Revan, saat ini mereka berada di ruang makan, makanan yang tersaji di meja sangat banyak, sayuran, buah-buahan dan juga daging. Semua itu tadi di antar oleh salah satu petugas layanan jasa antar makanan yang di bayar oleh Revan. Mereka tidak langsung memakannya, mereka hanya menatap semua makanan mahal dan terlihat sangat menggiurkan itu dengan tatapan kosong. Ada yang tertinggal, ada yang terasa ganjal dan ada yang tidak biasa, dan semua itu karena tidak adanya Lala di tengah-tengah mereka."Ayah sudah ada rencana buat ngeluarin kakak dari sana?" tanya Erik menatap sendu ke arah Heru, gelengan kepala Heru membuat Erik membuang nafasnya dengan kasar. Mereka saling bungkam, tidak seperti biasanya yang selalu saja ramai memperebutkan makanan."Bagaimana ini? Kita tidak ada cara untuk membuat putri kita kembali." lirih Norma, wanita paruh baya itu terlihat sangat sedih, wajahnya serta hidungnya merah dan juga matanya bengkak karen
Revan berlari tergesa-gesa di sebuah lorong rumah sakit, rambutnya naik turun akibat derap langkahnya yang yang kencang. Bulir bulir keringat membasahi area keningnya. Revan sekarang sudah jauh lebih dewasa, menjadi ayah dari seorang putri yang sekarang sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik. Usia Becca saat ini sudah menginjak sepuluh tahun, dan hari ini Revan akan kedatangan anggota keluarga baru, Lala saat ini sedang berada di rumah sakit untuk melahirkan buah cintanya dengan Revan yang kedua.Revan menghentikan langkahnya saat ia melihat putrinya, Becca sedang duduk di sebuah kursi samping pintu sebuah kamar. Di sana juga ada Erik dan Norma yang sedang menunggu. Sedangkan Heru sedang mengurus pabrik makanan ringan yang di rintis Revan dengannya. Pabrik yang awalnya rumahan dan kecil, sekarang sudah berubah menjadi pabrik besar dengan mesin mesin canggih yang memproses pembuatan makanan ringan. Bisa di bilang sekarang Revan mendapatkan kesuksesannya kembali. Keluarga mereka juga t
Tangan Revan terulur menghapus air mata Lala yang terus mengalir dengan derasnya. Putri kecilnya juga ikut menangis saat melihat Lala menangis."Ssstt.... Kan buat putri kecil kita juga menangis." ujar Revan dan Lala langsung menghentikan tangisnya lalu menimang bayi kecilnya."Siapa namanya?" tanya Lala dan Revan menggaruk kepalanya yang tiba tiba terasa gatal. Ia tahu pasti bahwa Lala akan memukulnya lagi jika dia beri tahu bahwa putri mereka belum ia beri nama."Siapa namanya?" Lala mengulangi pertanyaannya sembari menatap Revan."Dia belum kuberi nama," jawab Revan.Lala memukuli kepala Revan dengan membabi buta, matanya menatap tajam ke arah sang suami yang sedang mengelus kepalanya yang terasa sakit akibat pukulannya."Dasar ayah tidak waras!" maki Lala dan Revan memasang jengkelnya."Apa? Mau marah?" ujar Lala sembari memberi tatapan devil pada sang suami."Aku menunggumu sadar, Kalo aku kasih nama terus kamunya gak suka gimana? Kamu marah sama aku." tutur Revan dan Lala
Revan berjalan santai di lorong rumah sakit, dalam gendongannya saat ini ada bayi kecilnya, kaki-kaki mungil bayi itu terus saja bergerak ke udara dalam gendongan Revan. Tangan mungil bayi itu terus saja memukul mukul rahang Revan dengan keras. Senyum bayi itu terus mengembang saat melihat sang ayah terkekeh akibat perbuatannya. Tangan kanan Revan menenteng sebuah tas bayi dengan isi perlengkapan milik putri lucunya.Usia bayi mungil Revan saat ini sudah berusia 2 bulan, berarti sudah 2 bulan juga Lala terbaring koma. Selama 2 bulan itu juga Revan selalu menjaga putri kecilnya yang hingga saat ini ia belum beri nama.Semua anggota keluarga terus memaksa Revan agar memberi nama bayi itu, namun Revan selalu menolaknya, ia akan memberi nama putri kecilnya saat Lala sudah sadar. Revan sangat yakin bahwa Lala akan sadar dari koma, ia benar benar sangat yakin dengan hal itu.Dan mengenai Jacob, Jessica dan si penghianat Max, mereka ada dalam pengawasan Endy. Endy mengurung ke tiga oran
Jari jari Revan bergerak secara perlahan, mata yang menutup selama satu minggu kini sudah mulai terbuka, Revan mengerjap ngerjapkan matanya berkali kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retina matanya.Aroma obat obatnya menyeruak indra penciumannya, orang yang pertama Revan lihat adalah Endy-sang ayah."Syukurlah kau sudah sadar," ucap Endy sembari tersenyum manis ke arah Revan.Pandangan Revan mengedar ke penjuru ruangan yang ia yakini sebagai rumah sakit, ia mencari-cari sesosok yang sudah membuatnya jatuh hati sekaligus jatuh cinta."Di mana Lala?" tanya Revan terdengar seperti sebuah bisikan karena dia benar benar masih lemas. Namun begitu, Endy masih bisa mendengarnya."Lala di rawat di ruangan lain," jelas Endy dan membuat mata Revan melebar."Lala terluka?" tanya Revan dengan ekspresi yang sangat khawatir dan juga cemas."Setelah kamu di tusuk oleh Jacob, Jessica menikam perut Lala," jelas Endy yang membuat Revan mengepalkan tangannya dengan rapat, rahangny
Bulan demi bulan di lewati oleh Lala dan juga Revan, kehidupan rumah tangga mereka selama 8 bulan ini sangat baik, tak ada pengganggu atau masalah besar yang mereka hadapi selama 8 bulan terakhir ini setelah kejadian penyerangan waktu itu. Hanya terkadang ada saja masalah kecil yang mereka hadapi, namun mereka masih bisa menyelesaikannya.Usia kandungan Lala sudah memasuki usia 8 bulan, perut rata Lala kini sudah membesar, emosinya juga kadang meledak dan sang suami Revan lah yang menjadi sasaran amukannya.Sekarang Lala sedang berada di balkon kamarnya sendirian, menikmati semilir angin yang menerpa kulit wajahnya, sangat sejuk. Tak lupa Lala juga mengelus perutnya yang membesar karena ada dua jabang bayi yang ada di dalam.Sikap pengecut Lala yang tak berani mengungkapkan perasaan cintanya pada Revan masih membuat Revan berfikir bahwa Lala belum mencintainya. Namun di hati Lala, nama Revan sudah terukir sangat indah di hatinya.Mata Lala memincing saat ia melihat ada seseorang y
Jari-jemari Revan bergerak sedikit demi sedikit, Max yang tengah berdiri di samping ranjang tempat di mana Revan berbaring langsung bergerak mendekat dan melihat bagaimana kondisi sang majikan. Perlahan ke dua mata Revan terbuka, baru saja ia membuka matanya sebentar, ia kembali menutupnya kembali saat cahaya lampu kamar rumah sakit menyambutnya dengan silau. Al hasil ia harus mengerjakan ke dua matanya beberapa kali agar terbiasa dengan cahaya lampu yang masuk ke dalam retina matanya."Tuan sudah sadar? Aku akan panggilkan dokter." Ucap Max lalu hendak bergegas keluar dari kamar, namun belum sempat Max melangkah, lengannya sudah di tahan oleh Revan lalu memberikan sebuah isyarat agar ia tidak perlu memanggilkan dokter dengan cara menggelengkan kepalanya pelan."Di mana Lala?" Tanya Revan dengan lemah saat teringat pada sang istri, terakhir kali ia melihat Lala wanita yang sangat amat ia cintai tersebut dalam kondisi pendarahan. Mungkin itu efek karena ia jatuh saat menggendong Lala
Revan menatap Lala dengan senyuman yang merekah, melihat sang istri begitu bahagia menyantap beberapa menu makanan yang telah ia beli beberapa saat lalu."Kamu mau apa?" Tanya Lala dengan sinis tatkala ia melihat Revan mengambil sepotong pizza miliknya."Makan," jawab Revan dengan santai lalu mengarahkan sepotong pizza tersebut ke arah mulutnya."Jangan di makan!" Larang Lala tiba-tiba, membuat Revan mengurungkan niatnya untuk memakan sepotong pizza berbentuk segitiga tersebut."Kenapa?""Gak boleh, semua makanan di sini punya aku. Siapapun gak boleh minta atau makan, siapapun termasuk kamu!" Larang Lala mendadak jadi egois, ia bahkan merampas sepotong pizza dari tangan suaminya. Revan yang melihat tingkah Lala justru terkekeh geli, merasa lucu dengan sikap baru yang di tunjukkan sang istri padanya semenjak ia mengandung."Ok, aku gak bakalan makan." Putus Revan mengalah. Ia lalu duduk di samping Lala, merengkuh tubuh mungil sang istri ke dalam dekapannya, menemani Lala yang ter
Sepanjang perjalanan dari rumah sakit ke rumah, Revan terus saja menggenggam erat tangan Lala, sesekali ia mengusapnya dengan lembut lalu mengecupnya dengan penuh cinta. Lala yang melihat perlakuan romantis dari sang suami hanya tersenyum manis, cukup bahagia dengan hal kecil yang di lakukan sang suami terhadapnya."Kenapa berhenti?" Tanya Revan tatkala mobil yang ia kendarai tiba-tiba berhenti di tengah jalan."Lampu merah Tuan," balas Max dengan sopan."Terobos!" Titah Revan tidak sabaran. Max hanya mengangguk pelan lalu hendak menginjak pedas, namun dengan cepat Lala melarangnya."Jangan!" Seru Lala dengan cepat, membuat Max mengurungkan niatnya untuk menerobos saat lampu merah menyala."Sayang, nanti bakal lama kalo nungguin." Ucap Revan sembari membelai lembut kepala Lala lalu menari sedikit rambut panjang sang istri untuk ia arahkan ke hidungnya, menghirup aroma wangi dari shampoo yang di gunakan Lala.Dengan wajah yang cemberut, Lala menatap Revan dengan tatapan mata yang
Satu Minggu berlalu, Lala masih saja mengabaikan Revan, walaupun kadang wanita itu merespon suaminya, pastinya kalimat yang keluar dari mulutnya adalah kalimat sindiran yang berupa menghina dirinya sendiri. Hal itu tentunya membuat Revan semakin merasa bersalah karena perbuatan serta ucapan tak sopan yang ia tujukan pada sang istri. Revan berdiri di ambang pintu, menaruh ke dua tangannya di saku celana bahan yang di kenakannya sembari menatap Lala yang tengah duduk termenung di sofa kamar. Terlihat jelas di netra Revan, Lala tengah melamun, tatapan matanya kosong lengkap dengan wajahnya yang pucat.Revan mengetuk pintu dengan punggung jarinya, menyadarkan Lala dari lamunannya lalu melirik sekilas ke arah sang suami. Revan berjalan mendekat dan berhenti tepat di hadapannya lalu berjongkok di lantai.Salah satu tangan Revan terulur, menyentuh wajah sang istri yang langsung di tepis kasar oleh Lala."Kamu pucat, belum makan?" Tanya Revan dengan lembut. Lala mengabaikannya, entah ken