Malam sudah tiba, Jacob menguap beberapa kali, matanya sudah sayu dan terlihat sangat lelah. Lima jam sudah dirinya menunggu kehadiran Lala di cafe tempat gadis itu bekerja, namun Lala tidak kunjung datang. Tadi ia sudah sempat bertanya pada pemilik cafe, Hani. Namun wanita itu bilang Lala akan datang, namun sampai sekarang kekasihnya itu belum juga muncul."Maaf, kami akan segera tutup." peringat Hani, Jacob menatap ke arah Hani dengan tatapan dingin. "Lo bilang Lala bakal dateng ke sini? Mana? Sampai kalian tutup dia gak dateng?" omel Jacob, ia merasa tertipu dengan penjelasan Hani beberapa jam yang lalu."Maaf, biasanya Lala tidak pernah absen dalam bekerja, dan juga aku tidak tahu kalau dia tidak bekerja hari ini karena dia tidak ijin terlebih dahulu." jelas Hana sembari mengelap salah satu meja di sana. Helaan nafas kasar Jacob terdengar, ia lantas bangkit dari duduknya, pinggangnya terasa pegal saat berdiri, mungkin itu akibat dari ia terlalu lama duduk. "Berikan nomor ponselnya
Keluarga Wijaya masih berada di Apartemen mahal pemberian Revan, saat ini mereka berada di ruang makan, makanan yang tersaji di meja sangat banyak, sayuran, buah-buahan dan juga daging. Semua itu tadi di antar oleh salah satu petugas layanan jasa antar makanan yang di bayar oleh Revan. Mereka tidak langsung memakannya, mereka hanya menatap semua makanan mahal dan terlihat sangat menggiurkan itu dengan tatapan kosong. Ada yang tertinggal, ada yang terasa ganjal dan ada yang tidak biasa, dan semua itu karena tidak adanya Lala di tengah-tengah mereka."Ayah sudah ada rencana buat ngeluarin kakak dari sana?" tanya Erik menatap sendu ke arah Heru, gelengan kepala Heru membuat Erik membuang nafasnya dengan kasar. Mereka saling bungkam, tidak seperti biasanya yang selalu saja ramai memperebutkan makanan."Bagaimana ini? Kita tidak ada cara untuk membuat putri kita kembali." lirih Norma, wanita paruh baya itu terlihat sangat sedih, wajahnya serta hidungnya merah dan juga matanya bengkak karen
Lala mengerjap-ngerjapkan matanya berkali-kali saat matanya terkena cahaya matahari yang masuk lewat fentilasi jendela kamar besar dan mewah itu. Lala bangkit dari baringnya, ia berada di kamar asing ini, bukan kamar sempit yang penuh dengan buku pelajaran dan juga cucian kotor. Lala turun dari ranjang, memakai sepatu hak tinggi milik ibunya, ia jadi teringat kembali pada keluarganya, sejak semalam ia sulit tidur, memikirkan bagaimana keadaan Ayahnya, apa luka yang berada di wajahnya sudah sembuh atau belum. Ia bahkan juga memikirkan kalimat yang di ucapkan Revan semalam, ia sekarang merasa gila, ia bahkan sangat mempercayai kalimat pria itu yang mengatakan akan selalu membahagiakannya. Di hati Lala ia sangat-sangat percaya kalimat Revan, namun otaknya menyuruhnya untuk tidak mempercayainya. Revan adalah orang asing bagi Lala, bagaimana bisa Lala mempercayai pria mafia itu ?Lala berjalan ke arah pintu, memutat knopnya lantas membukanya, pintu itu tidak terkunci. Lala melangkahkan kak
Norma, Heru dan Erik sudah berada di halaman rumah Revan, langkah mereka terhenti saat di hadang oleh tiga orang penjaga dengan tubuh kekar. Heru menelan salivanya susah payah, penjaga ini adalah salah satu orang yang memukulinya hingga babak belur waktu itu, Max."Mau apa kalian ke sini ?" tanya Max dengan nada tegas dan juga dengan ekspresi dingin. Tubuh Heru menegang, namun ia harus menyembunyikan ketakutannya itu. Di tegapkan tubuh krempengnya yang sudah renta, lantas berkata, "kami sudah ada janji dengan Tuan Revan," ujar Heru dengan mantap, berbeda dengan dadanya yang bergemuruh hebat karena ketakutan. Max tak langsung percaya, di rogohnya saku celana yang ia kenakan, mengambil ponsel dari dalam sakunya lantas menghubungi seseorang. Nampak sangat jelas di mata Heru, Max sedang berbincang bertanya apa Revan mengundang keluarga Wijaya.Melihat Max yang tengah sibuk, membuat Norma dan Erik dengan cepat memukul kepala dua penjaga lainnya dengan teflon dan centong kayu yang mereka ba
Revan berjalan mendekat ke arah Lala, menarik lengan gadis itu dengan kasar ke belakang tubuhnya. Netra elangnya menatap tajam ke arah keluarga Wijaya dengan bergantian, dari mulai wajah polos Erik, Norma hingga wajah babak belur Heru akibat ulah anak buahnya atas perintahnya kemarin. Cengkraman Revan pada lengan Lala mengencang, seolah-olah pria gagah itu mencari sebuah kekuatan lewat cengkraman itu, Lala bisa merasakannya, itu bukan cengkraman kekerasan, rasanya berbeda."Pernikahan akan di langsungkan besok lusa," ucap Revan tiba-tiba, sontak ucapannya barusan membuat keluarga Wijaya menjadi terkejut, besok lusa itu terlalu cepat bagi mereka."Tidak ada penolakan atau nyawa kalian akan melayang hari ini juga!" sambung Revan dengan cepat saat ia melihat Heru hendak memprotes ucapannya barusan. Lala menatap Ayahnya dengan sendu lantas menganggukan kepalanya pelan, mengisyaratkan Ayahnya untuk menyetujuinya demi kebaikan bersama."Baiklah, besok lusa." putus Heru pada akhirnya menyetu
Sepertinya Jacob sekarang memiliki hobi baru, yaitu menunggu kekasihnya yang di pacarinya dua hari yang lalu. Setelah jam kuliahnya selesai, Jacob lantas mencari Lala ke seluruh penjuru kampus, tidak peduli dengan rasa pegal yang ia rasakan di ke dua kakinya. Dan sekarang, pemuda tampan itu berada di cafe tempat Lala bekerja, sudah dua jam lamanya ia berada di sana namun belum ada tanda-tanda kedatangan Lala untuk bekerja. Hani melirik sekilas ke arah Jacob, ia rasa ia harus memberikan penghargaan untuk pemuda itu karena sudah setia pada Lala. Jujur saja, Hani juga bingung sekaligus heran dengan sikap Lala, gadis itu tak pernah seperti ini sebelumnya. Bahkan tadi pagi dirinya menyempatkan dirinya untuk pergi ke rumah Lala, namun ia tidak menemukan siapa-siapa di sana, rumah sederhana itu sangat sepi tak berpenghuni. Yang ada di dalam pikiran Hani saat ini adalah, apakah Lala dan keluarganya sudah pindah dari kota ini? Kalau iya kenapa Lala tidak memberitahu dirinya? Lala sangat keterl
Lala melihat dirinya di pantulan cermin besar yang berada di hadapannya. Dirinya terlihat sangat cantik dengan sebuah dress pernikahan berwarna putih dengan bagian bawahnya mengembang. Lala tersenyum kecil saat melihat dirinya sendiri di cermin, ia akui, dirinya sangat cantik saat memakai gaun pengantin ini. Gaun mahal dan terlihat sangat mewah. Namun senyumannya itu tak berlangsung lama, karena beberapa detik kemudian senyuman itu lenyap dari bibir tipisnya, di gantikan dengan sebuah ekspresi sedihnya. Besok dirinya akan menikah, meninggalkan status pacarannya dengan Jacob dan resmi menjadi istri Revan. Lala bahkan baru ingat bahwa dirinya memiliki seorang kekasih, Jacob. Dirinya merindukan pria tampan itu, apa yang sedang di lakukan Jacob saat ini, apakah pemuda itu mencarinya? Atau sama sekali tidak peduli? Lala tidak tidak tau. Tapi jujur saja, ia merindukan pria itu. Lala tersentak kaget dan melupakan lamunannya tentang Jacob saat merasakan sepasang lengan kekar memeluk pinggangn
Jacob menatap tajam ke arah kertas undangan pernikahan Lala dan Revan. Jangan tanya dari mana Jacob bisa mendapatkannya. Jacob adalah salah satu anak orang paling kaya di negeri ini. Jadi ia bisa melakukan apa pun dengan kekayaan yang ke dua orang tuanya miliki. Hatinya terasa nyeri saat melihat undangan itu, seharusnya yang nama yang tertera di sana bukan nama Revan, melainkan namanya. Hanya dirinya saja yang boleh memiliki Lala. Tidak ada yang boleh memiliki gadis itu kecuali dirinya.Tangan Jacob terulur menarik laci yang berada di sampingnya. Di sana ada sebuah pistol beserta dengan sekotak peluru. Ke dua mata Jacob berkaca-kaca menahan rasa sakit hati yang tengah ia rasakan kini. Perlahan ke dua matanya menatap tajam ke arah jendela kamarnya dengan tatapan kosong berbarengan dengan air matanya yang mengalir dengan deras."Aku akan merebutmu dari pria manapun yang berani mengambilmu dari ku. Lala, kamu tidak akan bisa pergi dariku. Kamu adalah milikku. Milikku!" tegas Jacob dengan
Revan berlari tergesa-gesa di sebuah lorong rumah sakit, rambutnya naik turun akibat derap langkahnya yang yang kencang. Bulir bulir keringat membasahi area keningnya. Revan sekarang sudah jauh lebih dewasa, menjadi ayah dari seorang putri yang sekarang sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik. Usia Becca saat ini sudah menginjak sepuluh tahun, dan hari ini Revan akan kedatangan anggota keluarga baru, Lala saat ini sedang berada di rumah sakit untuk melahirkan buah cintanya dengan Revan yang kedua.Revan menghentikan langkahnya saat ia melihat putrinya, Becca sedang duduk di sebuah kursi samping pintu sebuah kamar. Di sana juga ada Erik dan Norma yang sedang menunggu. Sedangkan Heru sedang mengurus pabrik makanan ringan yang di rintis Revan dengannya. Pabrik yang awalnya rumahan dan kecil, sekarang sudah berubah menjadi pabrik besar dengan mesin mesin canggih yang memproses pembuatan makanan ringan. Bisa di bilang sekarang Revan mendapatkan kesuksesannya kembali. Keluarga mereka juga t
Tangan Revan terulur menghapus air mata Lala yang terus mengalir dengan derasnya. Putri kecilnya juga ikut menangis saat melihat Lala menangis."Ssstt.... Kan buat putri kecil kita juga menangis." ujar Revan dan Lala langsung menghentikan tangisnya lalu menimang bayi kecilnya."Siapa namanya?" tanya Lala dan Revan menggaruk kepalanya yang tiba tiba terasa gatal. Ia tahu pasti bahwa Lala akan memukulnya lagi jika dia beri tahu bahwa putri mereka belum ia beri nama."Siapa namanya?" Lala mengulangi pertanyaannya sembari menatap Revan."Dia belum kuberi nama," jawab Revan.Lala memukuli kepala Revan dengan membabi buta, matanya menatap tajam ke arah sang suami yang sedang mengelus kepalanya yang terasa sakit akibat pukulannya."Dasar ayah tidak waras!" maki Lala dan Revan memasang jengkelnya."Apa? Mau marah?" ujar Lala sembari memberi tatapan devil pada sang suami."Aku menunggumu sadar, Kalo aku kasih nama terus kamunya gak suka gimana? Kamu marah sama aku." tutur Revan dan Lala
Revan berjalan santai di lorong rumah sakit, dalam gendongannya saat ini ada bayi kecilnya, kaki-kaki mungil bayi itu terus saja bergerak ke udara dalam gendongan Revan. Tangan mungil bayi itu terus saja memukul mukul rahang Revan dengan keras. Senyum bayi itu terus mengembang saat melihat sang ayah terkekeh akibat perbuatannya. Tangan kanan Revan menenteng sebuah tas bayi dengan isi perlengkapan milik putri lucunya.Usia bayi mungil Revan saat ini sudah berusia 2 bulan, berarti sudah 2 bulan juga Lala terbaring koma. Selama 2 bulan itu juga Revan selalu menjaga putri kecilnya yang hingga saat ini ia belum beri nama.Semua anggota keluarga terus memaksa Revan agar memberi nama bayi itu, namun Revan selalu menolaknya, ia akan memberi nama putri kecilnya saat Lala sudah sadar. Revan sangat yakin bahwa Lala akan sadar dari koma, ia benar benar sangat yakin dengan hal itu.Dan mengenai Jacob, Jessica dan si penghianat Max, mereka ada dalam pengawasan Endy. Endy mengurung ke tiga oran
Jari jari Revan bergerak secara perlahan, mata yang menutup selama satu minggu kini sudah mulai terbuka, Revan mengerjap ngerjapkan matanya berkali kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retina matanya.Aroma obat obatnya menyeruak indra penciumannya, orang yang pertama Revan lihat adalah Endy-sang ayah."Syukurlah kau sudah sadar," ucap Endy sembari tersenyum manis ke arah Revan.Pandangan Revan mengedar ke penjuru ruangan yang ia yakini sebagai rumah sakit, ia mencari-cari sesosok yang sudah membuatnya jatuh hati sekaligus jatuh cinta."Di mana Lala?" tanya Revan terdengar seperti sebuah bisikan karena dia benar benar masih lemas. Namun begitu, Endy masih bisa mendengarnya."Lala di rawat di ruangan lain," jelas Endy dan membuat mata Revan melebar."Lala terluka?" tanya Revan dengan ekspresi yang sangat khawatir dan juga cemas."Setelah kamu di tusuk oleh Jacob, Jessica menikam perut Lala," jelas Endy yang membuat Revan mengepalkan tangannya dengan rapat, rahangny
Bulan demi bulan di lewati oleh Lala dan juga Revan, kehidupan rumah tangga mereka selama 8 bulan ini sangat baik, tak ada pengganggu atau masalah besar yang mereka hadapi selama 8 bulan terakhir ini setelah kejadian penyerangan waktu itu. Hanya terkadang ada saja masalah kecil yang mereka hadapi, namun mereka masih bisa menyelesaikannya.Usia kandungan Lala sudah memasuki usia 8 bulan, perut rata Lala kini sudah membesar, emosinya juga kadang meledak dan sang suami Revan lah yang menjadi sasaran amukannya.Sekarang Lala sedang berada di balkon kamarnya sendirian, menikmati semilir angin yang menerpa kulit wajahnya, sangat sejuk. Tak lupa Lala juga mengelus perutnya yang membesar karena ada dua jabang bayi yang ada di dalam.Sikap pengecut Lala yang tak berani mengungkapkan perasaan cintanya pada Revan masih membuat Revan berfikir bahwa Lala belum mencintainya. Namun di hati Lala, nama Revan sudah terukir sangat indah di hatinya.Mata Lala memincing saat ia melihat ada seseorang y
Jari-jemari Revan bergerak sedikit demi sedikit, Max yang tengah berdiri di samping ranjang tempat di mana Revan berbaring langsung bergerak mendekat dan melihat bagaimana kondisi sang majikan. Perlahan ke dua mata Revan terbuka, baru saja ia membuka matanya sebentar, ia kembali menutupnya kembali saat cahaya lampu kamar rumah sakit menyambutnya dengan silau. Al hasil ia harus mengerjakan ke dua matanya beberapa kali agar terbiasa dengan cahaya lampu yang masuk ke dalam retina matanya."Tuan sudah sadar? Aku akan panggilkan dokter." Ucap Max lalu hendak bergegas keluar dari kamar, namun belum sempat Max melangkah, lengannya sudah di tahan oleh Revan lalu memberikan sebuah isyarat agar ia tidak perlu memanggilkan dokter dengan cara menggelengkan kepalanya pelan."Di mana Lala?" Tanya Revan dengan lemah saat teringat pada sang istri, terakhir kali ia melihat Lala wanita yang sangat amat ia cintai tersebut dalam kondisi pendarahan. Mungkin itu efek karena ia jatuh saat menggendong Lala
Revan menatap Lala dengan senyuman yang merekah, melihat sang istri begitu bahagia menyantap beberapa menu makanan yang telah ia beli beberapa saat lalu."Kamu mau apa?" Tanya Lala dengan sinis tatkala ia melihat Revan mengambil sepotong pizza miliknya."Makan," jawab Revan dengan santai lalu mengarahkan sepotong pizza tersebut ke arah mulutnya."Jangan di makan!" Larang Lala tiba-tiba, membuat Revan mengurungkan niatnya untuk memakan sepotong pizza berbentuk segitiga tersebut."Kenapa?""Gak boleh, semua makanan di sini punya aku. Siapapun gak boleh minta atau makan, siapapun termasuk kamu!" Larang Lala mendadak jadi egois, ia bahkan merampas sepotong pizza dari tangan suaminya. Revan yang melihat tingkah Lala justru terkekeh geli, merasa lucu dengan sikap baru yang di tunjukkan sang istri padanya semenjak ia mengandung."Ok, aku gak bakalan makan." Putus Revan mengalah. Ia lalu duduk di samping Lala, merengkuh tubuh mungil sang istri ke dalam dekapannya, menemani Lala yang ter
Sepanjang perjalanan dari rumah sakit ke rumah, Revan terus saja menggenggam erat tangan Lala, sesekali ia mengusapnya dengan lembut lalu mengecupnya dengan penuh cinta. Lala yang melihat perlakuan romantis dari sang suami hanya tersenyum manis, cukup bahagia dengan hal kecil yang di lakukan sang suami terhadapnya."Kenapa berhenti?" Tanya Revan tatkala mobil yang ia kendarai tiba-tiba berhenti di tengah jalan."Lampu merah Tuan," balas Max dengan sopan."Terobos!" Titah Revan tidak sabaran. Max hanya mengangguk pelan lalu hendak menginjak pedas, namun dengan cepat Lala melarangnya."Jangan!" Seru Lala dengan cepat, membuat Max mengurungkan niatnya untuk menerobos saat lampu merah menyala."Sayang, nanti bakal lama kalo nungguin." Ucap Revan sembari membelai lembut kepala Lala lalu menari sedikit rambut panjang sang istri untuk ia arahkan ke hidungnya, menghirup aroma wangi dari shampoo yang di gunakan Lala.Dengan wajah yang cemberut, Lala menatap Revan dengan tatapan mata yang
Satu Minggu berlalu, Lala masih saja mengabaikan Revan, walaupun kadang wanita itu merespon suaminya, pastinya kalimat yang keluar dari mulutnya adalah kalimat sindiran yang berupa menghina dirinya sendiri. Hal itu tentunya membuat Revan semakin merasa bersalah karena perbuatan serta ucapan tak sopan yang ia tujukan pada sang istri. Revan berdiri di ambang pintu, menaruh ke dua tangannya di saku celana bahan yang di kenakannya sembari menatap Lala yang tengah duduk termenung di sofa kamar. Terlihat jelas di netra Revan, Lala tengah melamun, tatapan matanya kosong lengkap dengan wajahnya yang pucat.Revan mengetuk pintu dengan punggung jarinya, menyadarkan Lala dari lamunannya lalu melirik sekilas ke arah sang suami. Revan berjalan mendekat dan berhenti tepat di hadapannya lalu berjongkok di lantai.Salah satu tangan Revan terulur, menyentuh wajah sang istri yang langsung di tepis kasar oleh Lala."Kamu pucat, belum makan?" Tanya Revan dengan lembut. Lala mengabaikannya, entah ken