Waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore, Heru membuka pintu rumahnya yang tidak terkunci lantas masuk ke dalamnya. Pemandangan pertama yang di lihat Heru adalah putra bungsunya, Erik sedang sibuk mengerjakan tugas sekolahnya di meja ruang tamu dengan sibuk. Dengan langkah yang gontai, Heru berjalan mendekat ke arah Erik lantas mendudukan bokongnya di sofa ruang tamu.
"Ayah mau Erik buatin teh hangat?" tawar Erik, Heru tersenyum manis ke arah putranya lantas menggeleng. "Lanjutkan belajarmu, Ayah bisa panggil Ibumu untuk membuatkan Ayah teh." jawab Heru sembari memijit lengan kanannya dengan menggunakan tangan kirinya. Erik mengangguk dan kembali sibuk mengerjakan PR sekolahnya.
"SAYANG! BUATKAN AKU TEH!" teriak Heru dengan keras untuk memberi tahu Norma yang berada di dalam rumah.
"IYA!" Norma yang mendengar teriakan suaminya lantas bangkit dari duduknya, ia sedang mencuci pakaian dengan manual di belakang rumah. Dengan cepat Norma meninggalkan cuciannya lantas berjalan masuk ke dalam dapur dan membuatkan teh hangat untuk suami tercintanya. Hanya butuh waktu 5 menit saja, teh hangat buatan Nirma sudah siap, wanita berusia 42 tahun itu dengan hati-hati berjalan ke arah ruang tamu untuk memberikan teh hangat buatannya pada Heru suaminya.
"Teh nya udah jadi, di minum." ucap Norma dengan lembut sembari menyodorkan teh hangat di hadapan suaminya. Dengan hati-hati Heru menerima secangkir teh hangat itu, tak lupa ia juga mengucapkan terima kasih pada Norma yang sudah membuatkan dirinya teh hangat kesukaannya. Dengan pelan Heru menyeruput teh hangat tersebut, belum ada lima detik, teh yang berada di dalam mulutnya itu semburkan ke udara, membuat Norma berdecak sebal karena cipratan teh itu mengenai daster bunga-bunga yang ia kenakan.
"Kenapa hambar?" tanya Heru sembari punggung tangannya mengelap ujung bibirnya yang basah karena air teh.
"Gula habis!" balas Norma dengan ketus lantas melenggang pergi dari hadapan sang suami. Baru lima langkah Norma beranjak, pintu rumahnya di dobrak oleh seseorang hingga rusak, membuat Heru, Norma dan Erik terkejut bukan main. Heru yang awalnya duduk kini bangkit dari duduknya lantas berjalan mendekat ke arah pintu, melihat siapa orang yang berani mendobrak kasar pintu rumahnya.
Heru mematung di tempat saat melihat lima orang pia berbadan kekar di ambang pintu, salah satunya adalah bos dari empat pria berbadan kekar itu. Heru sudah tahu siapa mereka, mereka adalah Revan beserta anak buahnya.
Revan Antonio, Mafia garang paling di takuti, terkenal sangat licik dan juga kejam. Ia tidak segan membunuh siapapun yang tidak bisa menbayar semua hutang mereka padanya. Bahkan beberapa di antara mereka ada yang rela memberikan anak atau istri untuk di jual pada pria tersebut. Revan tidak membutuhkan mereka, mereka akan di jual kembali dalam perdagangan manusia di luar negeri. Selain bisnis mengenai hutang piutang, ia juga berbisnis dalam hal keamanan, semua barang haram dan ilegal di bawah kuasanya bisa lolos begitu saja.
Heru meminjam uang pada Revan setahun yang lalu sebanyak 100 juta, dan selama satu tahun ia belum melunasinya, Heru sekarang merasa sangat tidak nyaman, ia merasakan bahaya akan menimpanya sebentar lagi.
"Tuan Revan, silahkan masuk." ucap Norma dengan sangat lembut, sama seperti Heru, Norma juga sudah mengetahui siapa mereka semua.
"Tidak perlu repot-repot, aku hanya ingin kau membayar hutangmu sekarang, dan jangan lupakan bunganya. Jika di jumlahkan semua menjadi 800 juta." jelas Revan dengan suara dingin dan wajah datarnya, menambah kesan menyeramkan pada sesosok Revan.
"Maaf Tuan, tapi saya belum bisa melunasinya sekarang. Tapi saya janji bakal melunasinya dengan segera. Beri kami waktu beberapa Minggu tuan." balas Heru sembari menundukan kepalanya, tak berani menatap Revan yang saat ini tengah menatapnya dengan tajam.
"Hajar dia!" perintah Revan pada para anak buahnya yang beranggotakan empat orang. Empat body guard itu lantas berjalan masuk ke dalam rumah dan langsung memukuli Heru dengan membabi buta. Suara tangisan Norma dan Erik terdengar menggema di rumah sederhana itu, mereka tak bisa melakukan apa pun saat melihat Heru terkapar di lantai dan masih di pukuli empat orang itu secara bergantian. Sedangkan Revan, ia berjalan masuk ke dalam rumah, mengamati setiap inci dari ruang tamu yang sempit, hingga akhirnya langkahnya terhenti saat melihat sebuah foto keluarga Heru terpasang di dinding. Revan tersenyum miring, merasa sangat iri dengan keluarga Heru yang serba kekuarangan namun keluarga mereka masih tetap bersama dan nampak sangat bahagia.
"Keluarga yang harmonis." komentar Revan pada sebuah foto berbingkai tersebut. Netra Revan menatap ke arah foto seorang gadis manis yang sedang tersenyum di foto, seorang gadis dengan rambut panjang yang menjuntai dan juga senyuman yang sangat manis, cantik. Entah dengan sengaja atau tidak, Revan menarik ke dua ujung bibirnya membentuk sebuah senyuman yang sangat manis saat melihat foto Lala di sana.
"Hentikan!" ucap Revan pada ke empat body guardnya yang sedang sibuk memukuli Heru tanpa ampun. Ke-empat body guard itu lantas menghentikan pukulan mereka, dan berdiri tegap menghadap ke arah Revan. Kondisi Heru sangatlah mengenaskan, sudut bibirnya robek, pelipisnya berdarah, hidung mengeluarkan darah dan seluruh wajahnya bonyok.
"Siapa dia?" tanya Revan pada Norma yang sibuk menangis sembari memeluk Erik. Norma mengikuti arah telunjuk Revan yang menyentuh kaca bingkai foto keluarga mereka, lebih tepatnya lagi, Revan menunjuk ke arah foto Lala yang tengah tersenyum manis di foto itu.
"Dia putri kami, namanya Latania Wijaya, sapaannya Lala." jawab Norma di sela-sela isakan tangisnya. Revan kembali menarik ke dua ujung bibirnya, membentuk sebuah senyuman yang sangat manis dan juga menawan. Ia lantas berjalan mendekat ke arah Heru yang terduduk di lantai sembari menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya.
"Kita buat kesepakatan!" Revan berjongkok di depan Heru lantas meraih dagu Heru dengan kasar dengan menggunakan jari telunjuknya agar pria berusia 48 tahun itu menatap ke arahnya.
"Hutangmu akan lunas jika Kau memberikan putrimu padaku. Kau hanya cukup, memberikan restu padaku untuk menikahi putrimu, setelah itu, semua hutangmu akan lunas. Bahkan aku akan memberikan uang yang banyak untukmu. Bagaimana? Kau setuju?" sebuah senyuman licik tercetak jelas di bibir tebal Revan, air mata Heru mengalir dengan derasnya.
"Tidak! Saya mohon, jangan bawa-bawa putri saya Tuan, saya mohon." Heru dengan susah payahnya mengucapkan sederetan kalimat itu, mengingat bahwa sudut bibirnya robek dan mengeluarkan banyak darah. Rahang Revan mengeras, ia sangat tidak suka dan membenci sebuah penolakan. Revan dengan kencang mencekik leher Heru dengan sangat kejam, membuat Heru kesulitan bernafas, Norma dan Erik semakin mengencangkan suara tangisannya.
"Nikahkan aku dengan putrimu atau aku akan membunuhmu sekarang juga?!" ancam Revan dengan menekan setiap kata yang ia ucapkan. Norma melepaskan pelukannya pada tubuh Erik lantas meraih lengan Revan lalu ia memeluk lengan kekar itu dengan sangat erat.
"Saya mohon Tuan, jangan bunuh suami saya, kami bakal nikahkan anda dengan putri kami. Kami janji." ucap Norma sembari terisak, ia tidak akan rela jika suaminya meninggal di tangan seorang mafia, bukan maksud Norma menggunakan Lala untuk menebus hutang mereka, sebenarnya Norma juga tidak rela jika Lala menikah dengan bos mafia kejam itu, namun ia tak punya pilihan lain. Revan melepaskan cekikannya di leher Heru, dengan cepat Norma memeluk suaminya dengan sangat erat sembari mengelus kepala suaminya dengan lembut, di susul Erik juga yang ikut memeluk ayahnya. Revan bangkit dari jongkoknya dengan senyuman merekah, entah kenapa saat ini ia sangat senang saat mendengar Norma akan merestui hubungannya dengan gadis bernama Lala itu, karena sejujurnya Revan juga belum pernah bertemu langsung dengan Lala, tapi entah kenapa hatinya dengan cepat memilih Lala sebagai pemiliknya, apa ini Cinta? Atau hanya sebuah ambisi?
"Aku akan kembali ke sini besok, persiapkan putrimu untukku, Aku akan membawanya ke istanaku besok. Dan aku berjanji, akan segera menikahinya." jelas Revan, Norma lantas mengangguk patuh. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Revan bersama ke empat body guardnya itu meninggalkan rumah sempit sewaan Heru tersebut. Dan sebelum Revan benar-benar meninggalkan rumah itu, ia juga sempat memperingatkan mereka agar tidak membohongi atau mengingkari janji mereka, karna kalau sampai itu terjadi, Revan berjanji akan membunuh seluruh anggota keluarga mereka dengan tangannya sendiri.
Setelah selesai jam kampusnya, Lala segera menggayuh sepedanya pergi dari parkiran kampus menuju ke cafe tempat ia bekerja yang letaknya tak jauh dari gedung kampusnya. Lala bahkan melupakan janjinya bersama dengan Jacob untuk ketemuan di parkiran setelah jam kuliah selesai, maklum saja, mereka berdua berbeda jurusan. Di tambah lagi dengan Lala yang harus mementingkan pekerjaannya demi keamanan uang jajannya. Hanya butuh waktu 10 menit Lala sampai ke tempat kerjanya, Lala memakirkan sepedanya di parkiran dengan cafe tempat ia bekerja. Dengan cepat Lala lantas masuk ke dalam menuju ke ruang ganti untuk mengganti pakaian yang ia kenakan dengan seragam khusus pelayan. Setelah itu Lala langsung mengepel dan juga membersihkan jendela cafe, terkadang ia juga melayani pelanggan yang memesan makan atau hanya sekedar memesan minuman dingin.Di sisi lain, Jacob sedang duduk di atas kap mobilnya bagian depan sembari bersiul ria, ia sudah sangat merindukan kekasihnya, siapa lagi kalau bukan Lala.
Setelah melihat taxi yang di tumpangi Jacob menghilang karena membelok di sebuah tikungan, Lala bergegas menaruh sepeda kesayangannya di teras rumahnya. Mata Lala memicing heran saat melihat pintu rumahnya rusak parah, bahkan sampai pintunya hampir saja jatuh kalau saja tidak ada satu engsel yang masih menahannya. Lala berjalan masuk ke dalam rumah, kerutan di dahinya semakin kentara saat melihat kondisi ruang tamu rumah yang di sewa Ayahnya sangatlah berantakan, tak serapi biasanya. Lala dengan cepat lebih masuk ke dalam rumah, dan berhenti melangkah saat ia sudah berada di ruang makan, di mana sang Ibu, Ayahnya dan juga Erik saudaranya berada di sana. Lala lantas duduk di kursi yang biasanya menjadi tempat duduknya saat makan. Mata Lala terbelalak kaget saat ia melihat wajah Ayahnya bonyok, bahkan sekarang Heru lebih mirip dengan hantu yang ada di dalam film horror."Ayah kenapa?!" teriak Lala dengan panik sembari bangkit dari duduknya, berlari ke arah Ayah lantas menatap Ayahnya de
Lala terbangun dari tidurnya di lantai, semalam ia menangis di pojokan kamar sampai tertidur, dan sekarang ia bangun setelah mendengar suara jam wekernya berbunyi sangat nyaring. Lala bangun dari baringnya di lantai, membuka matanya dengan berat, mata indahnya pagi ini terlihat sembab dan juga bengkak. Dengan langkah pelan, Lala bangkit dari duduknya, berjalan menuju nakas mengambil jam weker lantas mematikan suaranya. Setelah itu ia memulai rutinitasnya setiap pagi, seperti membersihkan tubuhnya dan memilih beberapa buku yang akan di bawanya ke kampus. Tentang masalah semalam, Lala masih belum melupakannya, ia bahkan tidak habis pikir kenapa ke dua orang tuanya bisa bersikap seperti itu.Sekarang Lala duduk di depan meja rias, memoles wajah cantiknya dengan make up tipis, riasan wajahnya yang simple dan sederhana justru malah membuatnya semakin terlihat cantik dan juga manis. Tok tok tok. Suara ketukan pintu kamarnya terdengar, membuat Lala reflek dengan cepat menolehkan kepalanya k
Ke dua kelopak mata Lala terbuka perlahan, ia mengerjap-ngerjapkan matanya berkali-kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retina matanya. Saat Lala membuka matanya, orang yang pertama kali Lala lihat adalah pria asing yang telah membawanya paksa dari ke dua orang tuanya. Saat ini pria itu tengah berdiri di sisi ranjang, netranya fokus menatap ke arah Lala. Menyadari pria itu melihat ke arahnya, Lala dengan cepat bangkit dari baringnya dan langsung memberikan tatapan tajam ke arah pria itu."Kamu sudah bangun?" tanya Revan sembari melipat ke dua tangannya di dada. Lala tak menjawab pertanyaan Revan, ia sibuk melihat-lihat setiap sudut kamar yang sedang ia tempati. Ranjang besar dan empuk, udara di ruangan ini sangat sejuk lantaran adanya AC, tembok bercat putih, sangat luas, nyaman dan juga mewah."Mulai sekarang ini adalah kamarmu!" suara Revan menyadarkan Lala dari kekagumannya pada kamar besar ini, dengan cepat ia menggeleng, ia tidak mau tinggal di sini, walaupun ia mer
Malam sudah tiba, Jacob menguap beberapa kali, matanya sudah sayu dan terlihat sangat lelah. Lima jam sudah dirinya menunggu kehadiran Lala di cafe tempat gadis itu bekerja, namun Lala tidak kunjung datang. Tadi ia sudah sempat bertanya pada pemilik cafe, Hani. Namun wanita itu bilang Lala akan datang, namun sampai sekarang kekasihnya itu belum juga muncul."Maaf, kami akan segera tutup." peringat Hani, Jacob menatap ke arah Hani dengan tatapan dingin. "Lo bilang Lala bakal dateng ke sini? Mana? Sampai kalian tutup dia gak dateng?" omel Jacob, ia merasa tertipu dengan penjelasan Hani beberapa jam yang lalu."Maaf, biasanya Lala tidak pernah absen dalam bekerja, dan juga aku tidak tahu kalau dia tidak bekerja hari ini karena dia tidak ijin terlebih dahulu." jelas Hana sembari mengelap salah satu meja di sana. Helaan nafas kasar Jacob terdengar, ia lantas bangkit dari duduknya, pinggangnya terasa pegal saat berdiri, mungkin itu akibat dari ia terlalu lama duduk. "Berikan nomor ponselnya
Keluarga Wijaya masih berada di Apartemen mahal pemberian Revan, saat ini mereka berada di ruang makan, makanan yang tersaji di meja sangat banyak, sayuran, buah-buahan dan juga daging. Semua itu tadi di antar oleh salah satu petugas layanan jasa antar makanan yang di bayar oleh Revan. Mereka tidak langsung memakannya, mereka hanya menatap semua makanan mahal dan terlihat sangat menggiurkan itu dengan tatapan kosong. Ada yang tertinggal, ada yang terasa ganjal dan ada yang tidak biasa, dan semua itu karena tidak adanya Lala di tengah-tengah mereka."Ayah sudah ada rencana buat ngeluarin kakak dari sana?" tanya Erik menatap sendu ke arah Heru, gelengan kepala Heru membuat Erik membuang nafasnya dengan kasar. Mereka saling bungkam, tidak seperti biasanya yang selalu saja ramai memperebutkan makanan."Bagaimana ini? Kita tidak ada cara untuk membuat putri kita kembali." lirih Norma, wanita paruh baya itu terlihat sangat sedih, wajahnya serta hidungnya merah dan juga matanya bengkak karen
Lala mengerjap-ngerjapkan matanya berkali-kali saat matanya terkena cahaya matahari yang masuk lewat fentilasi jendela kamar besar dan mewah itu. Lala bangkit dari baringnya, ia berada di kamar asing ini, bukan kamar sempit yang penuh dengan buku pelajaran dan juga cucian kotor. Lala turun dari ranjang, memakai sepatu hak tinggi milik ibunya, ia jadi teringat kembali pada keluarganya, sejak semalam ia sulit tidur, memikirkan bagaimana keadaan Ayahnya, apa luka yang berada di wajahnya sudah sembuh atau belum. Ia bahkan juga memikirkan kalimat yang di ucapkan Revan semalam, ia sekarang merasa gila, ia bahkan sangat mempercayai kalimat pria itu yang mengatakan akan selalu membahagiakannya. Di hati Lala ia sangat-sangat percaya kalimat Revan, namun otaknya menyuruhnya untuk tidak mempercayainya. Revan adalah orang asing bagi Lala, bagaimana bisa Lala mempercayai pria mafia itu ?Lala berjalan ke arah pintu, memutat knopnya lantas membukanya, pintu itu tidak terkunci. Lala melangkahkan kak
Norma, Heru dan Erik sudah berada di halaman rumah Revan, langkah mereka terhenti saat di hadang oleh tiga orang penjaga dengan tubuh kekar. Heru menelan salivanya susah payah, penjaga ini adalah salah satu orang yang memukulinya hingga babak belur waktu itu, Max."Mau apa kalian ke sini ?" tanya Max dengan nada tegas dan juga dengan ekspresi dingin. Tubuh Heru menegang, namun ia harus menyembunyikan ketakutannya itu. Di tegapkan tubuh krempengnya yang sudah renta, lantas berkata, "kami sudah ada janji dengan Tuan Revan," ujar Heru dengan mantap, berbeda dengan dadanya yang bergemuruh hebat karena ketakutan. Max tak langsung percaya, di rogohnya saku celana yang ia kenakan, mengambil ponsel dari dalam sakunya lantas menghubungi seseorang. Nampak sangat jelas di mata Heru, Max sedang berbincang bertanya apa Revan mengundang keluarga Wijaya.Melihat Max yang tengah sibuk, membuat Norma dan Erik dengan cepat memukul kepala dua penjaga lainnya dengan teflon dan centong kayu yang mereka ba
Revan berlari tergesa-gesa di sebuah lorong rumah sakit, rambutnya naik turun akibat derap langkahnya yang yang kencang. Bulir bulir keringat membasahi area keningnya. Revan sekarang sudah jauh lebih dewasa, menjadi ayah dari seorang putri yang sekarang sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik. Usia Becca saat ini sudah menginjak sepuluh tahun, dan hari ini Revan akan kedatangan anggota keluarga baru, Lala saat ini sedang berada di rumah sakit untuk melahirkan buah cintanya dengan Revan yang kedua.Revan menghentikan langkahnya saat ia melihat putrinya, Becca sedang duduk di sebuah kursi samping pintu sebuah kamar. Di sana juga ada Erik dan Norma yang sedang menunggu. Sedangkan Heru sedang mengurus pabrik makanan ringan yang di rintis Revan dengannya. Pabrik yang awalnya rumahan dan kecil, sekarang sudah berubah menjadi pabrik besar dengan mesin mesin canggih yang memproses pembuatan makanan ringan. Bisa di bilang sekarang Revan mendapatkan kesuksesannya kembali. Keluarga mereka juga t
Tangan Revan terulur menghapus air mata Lala yang terus mengalir dengan derasnya. Putri kecilnya juga ikut menangis saat melihat Lala menangis."Ssstt.... Kan buat putri kecil kita juga menangis." ujar Revan dan Lala langsung menghentikan tangisnya lalu menimang bayi kecilnya."Siapa namanya?" tanya Lala dan Revan menggaruk kepalanya yang tiba tiba terasa gatal. Ia tahu pasti bahwa Lala akan memukulnya lagi jika dia beri tahu bahwa putri mereka belum ia beri nama."Siapa namanya?" Lala mengulangi pertanyaannya sembari menatap Revan."Dia belum kuberi nama," jawab Revan.Lala memukuli kepala Revan dengan membabi buta, matanya menatap tajam ke arah sang suami yang sedang mengelus kepalanya yang terasa sakit akibat pukulannya."Dasar ayah tidak waras!" maki Lala dan Revan memasang jengkelnya."Apa? Mau marah?" ujar Lala sembari memberi tatapan devil pada sang suami."Aku menunggumu sadar, Kalo aku kasih nama terus kamunya gak suka gimana? Kamu marah sama aku." tutur Revan dan Lala
Revan berjalan santai di lorong rumah sakit, dalam gendongannya saat ini ada bayi kecilnya, kaki-kaki mungil bayi itu terus saja bergerak ke udara dalam gendongan Revan. Tangan mungil bayi itu terus saja memukul mukul rahang Revan dengan keras. Senyum bayi itu terus mengembang saat melihat sang ayah terkekeh akibat perbuatannya. Tangan kanan Revan menenteng sebuah tas bayi dengan isi perlengkapan milik putri lucunya.Usia bayi mungil Revan saat ini sudah berusia 2 bulan, berarti sudah 2 bulan juga Lala terbaring koma. Selama 2 bulan itu juga Revan selalu menjaga putri kecilnya yang hingga saat ini ia belum beri nama.Semua anggota keluarga terus memaksa Revan agar memberi nama bayi itu, namun Revan selalu menolaknya, ia akan memberi nama putri kecilnya saat Lala sudah sadar. Revan sangat yakin bahwa Lala akan sadar dari koma, ia benar benar sangat yakin dengan hal itu.Dan mengenai Jacob, Jessica dan si penghianat Max, mereka ada dalam pengawasan Endy. Endy mengurung ke tiga oran
Jari jari Revan bergerak secara perlahan, mata yang menutup selama satu minggu kini sudah mulai terbuka, Revan mengerjap ngerjapkan matanya berkali kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retina matanya.Aroma obat obatnya menyeruak indra penciumannya, orang yang pertama Revan lihat adalah Endy-sang ayah."Syukurlah kau sudah sadar," ucap Endy sembari tersenyum manis ke arah Revan.Pandangan Revan mengedar ke penjuru ruangan yang ia yakini sebagai rumah sakit, ia mencari-cari sesosok yang sudah membuatnya jatuh hati sekaligus jatuh cinta."Di mana Lala?" tanya Revan terdengar seperti sebuah bisikan karena dia benar benar masih lemas. Namun begitu, Endy masih bisa mendengarnya."Lala di rawat di ruangan lain," jelas Endy dan membuat mata Revan melebar."Lala terluka?" tanya Revan dengan ekspresi yang sangat khawatir dan juga cemas."Setelah kamu di tusuk oleh Jacob, Jessica menikam perut Lala," jelas Endy yang membuat Revan mengepalkan tangannya dengan rapat, rahangny
Bulan demi bulan di lewati oleh Lala dan juga Revan, kehidupan rumah tangga mereka selama 8 bulan ini sangat baik, tak ada pengganggu atau masalah besar yang mereka hadapi selama 8 bulan terakhir ini setelah kejadian penyerangan waktu itu. Hanya terkadang ada saja masalah kecil yang mereka hadapi, namun mereka masih bisa menyelesaikannya.Usia kandungan Lala sudah memasuki usia 8 bulan, perut rata Lala kini sudah membesar, emosinya juga kadang meledak dan sang suami Revan lah yang menjadi sasaran amukannya.Sekarang Lala sedang berada di balkon kamarnya sendirian, menikmati semilir angin yang menerpa kulit wajahnya, sangat sejuk. Tak lupa Lala juga mengelus perutnya yang membesar karena ada dua jabang bayi yang ada di dalam.Sikap pengecut Lala yang tak berani mengungkapkan perasaan cintanya pada Revan masih membuat Revan berfikir bahwa Lala belum mencintainya. Namun di hati Lala, nama Revan sudah terukir sangat indah di hatinya.Mata Lala memincing saat ia melihat ada seseorang y
Jari-jemari Revan bergerak sedikit demi sedikit, Max yang tengah berdiri di samping ranjang tempat di mana Revan berbaring langsung bergerak mendekat dan melihat bagaimana kondisi sang majikan. Perlahan ke dua mata Revan terbuka, baru saja ia membuka matanya sebentar, ia kembali menutupnya kembali saat cahaya lampu kamar rumah sakit menyambutnya dengan silau. Al hasil ia harus mengerjakan ke dua matanya beberapa kali agar terbiasa dengan cahaya lampu yang masuk ke dalam retina matanya."Tuan sudah sadar? Aku akan panggilkan dokter." Ucap Max lalu hendak bergegas keluar dari kamar, namun belum sempat Max melangkah, lengannya sudah di tahan oleh Revan lalu memberikan sebuah isyarat agar ia tidak perlu memanggilkan dokter dengan cara menggelengkan kepalanya pelan."Di mana Lala?" Tanya Revan dengan lemah saat teringat pada sang istri, terakhir kali ia melihat Lala wanita yang sangat amat ia cintai tersebut dalam kondisi pendarahan. Mungkin itu efek karena ia jatuh saat menggendong Lala
Revan menatap Lala dengan senyuman yang merekah, melihat sang istri begitu bahagia menyantap beberapa menu makanan yang telah ia beli beberapa saat lalu."Kamu mau apa?" Tanya Lala dengan sinis tatkala ia melihat Revan mengambil sepotong pizza miliknya."Makan," jawab Revan dengan santai lalu mengarahkan sepotong pizza tersebut ke arah mulutnya."Jangan di makan!" Larang Lala tiba-tiba, membuat Revan mengurungkan niatnya untuk memakan sepotong pizza berbentuk segitiga tersebut."Kenapa?""Gak boleh, semua makanan di sini punya aku. Siapapun gak boleh minta atau makan, siapapun termasuk kamu!" Larang Lala mendadak jadi egois, ia bahkan merampas sepotong pizza dari tangan suaminya. Revan yang melihat tingkah Lala justru terkekeh geli, merasa lucu dengan sikap baru yang di tunjukkan sang istri padanya semenjak ia mengandung."Ok, aku gak bakalan makan." Putus Revan mengalah. Ia lalu duduk di samping Lala, merengkuh tubuh mungil sang istri ke dalam dekapannya, menemani Lala yang ter
Sepanjang perjalanan dari rumah sakit ke rumah, Revan terus saja menggenggam erat tangan Lala, sesekali ia mengusapnya dengan lembut lalu mengecupnya dengan penuh cinta. Lala yang melihat perlakuan romantis dari sang suami hanya tersenyum manis, cukup bahagia dengan hal kecil yang di lakukan sang suami terhadapnya."Kenapa berhenti?" Tanya Revan tatkala mobil yang ia kendarai tiba-tiba berhenti di tengah jalan."Lampu merah Tuan," balas Max dengan sopan."Terobos!" Titah Revan tidak sabaran. Max hanya mengangguk pelan lalu hendak menginjak pedas, namun dengan cepat Lala melarangnya."Jangan!" Seru Lala dengan cepat, membuat Max mengurungkan niatnya untuk menerobos saat lampu merah menyala."Sayang, nanti bakal lama kalo nungguin." Ucap Revan sembari membelai lembut kepala Lala lalu menari sedikit rambut panjang sang istri untuk ia arahkan ke hidungnya, menghirup aroma wangi dari shampoo yang di gunakan Lala.Dengan wajah yang cemberut, Lala menatap Revan dengan tatapan mata yang
Satu Minggu berlalu, Lala masih saja mengabaikan Revan, walaupun kadang wanita itu merespon suaminya, pastinya kalimat yang keluar dari mulutnya adalah kalimat sindiran yang berupa menghina dirinya sendiri. Hal itu tentunya membuat Revan semakin merasa bersalah karena perbuatan serta ucapan tak sopan yang ia tujukan pada sang istri. Revan berdiri di ambang pintu, menaruh ke dua tangannya di saku celana bahan yang di kenakannya sembari menatap Lala yang tengah duduk termenung di sofa kamar. Terlihat jelas di netra Revan, Lala tengah melamun, tatapan matanya kosong lengkap dengan wajahnya yang pucat.Revan mengetuk pintu dengan punggung jarinya, menyadarkan Lala dari lamunannya lalu melirik sekilas ke arah sang suami. Revan berjalan mendekat dan berhenti tepat di hadapannya lalu berjongkok di lantai.Salah satu tangan Revan terulur, menyentuh wajah sang istri yang langsung di tepis kasar oleh Lala."Kamu pucat, belum makan?" Tanya Revan dengan lembut. Lala mengabaikannya, entah ken