Seorang pria tampan duduk dengan sangat tenang di sebuah kursi kebesaran miliknya. Tatapannya yang tegas dan aura kemisteriusannya membuat siapa saja yang berada di dekatnya memilih mundur dari pada berhadapan dengan sesosok pria tampan tersebut. Banyak sekali para pria berbadan besar yang berada di sisinya setiap saat. Para pria berbadan besar itu adalah body guard pribadi pria tampan dengan sejuta pesona itu.
Revan Antonely William adalah nama pria itu, seorang lintah darat terkemuka di kota ini, atau kaum milenial sering menyebutnya dengan Mafia kelas kakap yang paling di segani dan juga di takuti. Revan adalah nama sapaannya, pria kesepian yang sama sekali tak memiliki keluarga besar. Sang Ayah memiliki pekerjaan yang sama sepertinya, seorang Mafia. Sedangkan Sang Ibu melarikan diri saat ia masih bayi, maka dari itu, Revan sama sekali tak pernah melihat wanita yang telah melahirkannya di dunia ini sepanjang hidupnya.
Sekarang Revan tinggal sendirian, kadang kalanya sang Ayah menengoknya di rumah besar dan megah ini, namun hal itu tak mampu membuat Revan menjadi bahagia, ia membutuhkan seseorang untuk mengisi hatinya yang kesepian. Masalah wanita, jangan pernah ragukan Revan, sudah tak terhitung lagi berapa banyak wanita yang sudah memanaskan ranjangnya.
Namun, wanita itu hanya Revan butuhkan semalam, tidak untuk selamanya. Revan sendiri masih mencari sesosok wanita yang cocok untuknya, wanita yang akan mengikat janji suci pernikahannya bersama dengannya nanti, wanita yang akan menemani hari-harinya, wanita yang mampu membuatnya jatuh cinta dan juga wanita yang akan melahirkan anak-anaknya nanti. Ia membutuhkan satu wanita, hanya satu.
"Apa jadwal ku hari ini ?" tanya Revan pada salah satu body guard kepercayaannya, Max. Max nampak sedikit berpikir, mengingat apa saja jadwal yang akan di lakukan oleh sang bos besarnya.
"Anda harus datang ke rumah seseorang yang sudah meminjam uang sejak tahun lalu dan sampai sekarang belum di lunasi tuan. Bahkan bunganya dari hutang itu sudah sangatlah besar." jelas Max dengan suara sopan pada Revan.
Revan mengangguk mengerti. Ia lantas bangkit dari duduknya dan berjalan keluar dari ruangan kerjanya, di ikuti oleh beberapa body guard yang selalu menemaninya setiap saat untuk menjaga keamanannya dan melayaninya dengan baik. Menjadi seorang mafia tentu saja bahaya terus saja mengincar, baik itu dari kepolisian ataupun dari rival mafia yang lain. Maka dari itu, Revan mempekerjakan banyak sekali body guard untuk menjaganya.
"Kita pergi ke rumah itu sekarang!" tegas Revan dan langsung di angguki oleh para body guardnya.
Di sisi lain Suasana di kantin kampus sangatlah ramai saat ini, Lala duduk di salah satu kursi di kantin, meminum segelas es jeruk yang tadi ia pesan. Tubuhnya yang basah kini sudah mulai mengering walaupun tak benar-benar kering. Lala mengumpati Salsa dan Nindy dalam hati, dua mahasiswi itu benar-benar sangatlah menyebalkan.
"Andai gue kaya, gue bakalan sewa orang buat bunuh tuh cewek alay dua!" gerutu Lala sembari memukul pelan meja yang berada di depannya dengan tangannya yang mengepal dengan keras.
"Lo lagi nge-gerutuin siapa?" tanya seseorang yang berada di balik tubuh Lala. Tanpa Lala menengok siapa yang bicara, ia lantas menghembuskan nafasnya dengan kasar.
"Siapa lagi kalau bukan duo singa itu, Salsa sama Nindy. Mereka itu harus di musnahkan dari dunia ini." jawab Lala dengan kesal tanpa menoleh ke arah sumber suara untuk melihat siapa yang barusan bertanya.
"Ohh--- lo gak suka sama kita?!" tubuh Lala seketika menegang, Lala baru menyadari sesuatu, suara itu adalah suara milik Salsa. Dengan was-was Lala membalikan badannya dan melihat ke arah belakang, benar dugaan Lala, itu adalah suara Salsa. Lala tersenyum kikuk lantas bangkit dari duduknya dan dengan cepat langsung berlari menjauh dari Salsa dan Nindy yang kini tengah menatapnya dengan tajam. Saat Lala mencoba untuk berlari menjauh dari mereka, dengan sengaja Nindy menjagal kaki Lala, membuat tubuh gadis itu terhuyung ke depan dan hampir saja ia mencium keramik yang keras jika tidak ada Jacob yang menahan tubuh mungilnya.
"Kita jodoh atau apa ya, kenapa hari ini kita udah ketemu dua kali. Dan selalu aja lo nyaris jatuh. Untung ada gue." ujar Jacob lengkap dengan senyuman manisnya yang tercetak jelas di bibirnya.
"Maaf." ucap Lala merasa bersalah, Jacob terkekeh melihat ekspresi Lala yang sangat lucu menurutnya.
"Untuk apa minta maaf? Lo gak buat salah." balas Jacob dengan nada suara yang sangat lembut.
"Lala, masalah kita belum selesai!" ucap Nindy dari arah belakang tubuh Lala, dengan cepat Lala berlari ke belakang tubuh kekar Jacob, bersembunyi di balik punggung Jacob.
"Jangan ngumpet lo!" teriak Salsa dengan emosi, bagaimana ia tidak emosi, rasa sakit di kakinya karena di injak Lala masih terasa sampai sekarang.
"Ada apaan nih?" tanya Jacob dengan santai. Salsa dan Nindy berdiri di depan Jacob sembari melipat ke dua tangannya dengan sombong.
"Kita gak ada masalah sama lo Jac, mending lo pergi sana!" usir Nindy, tangan kanannya ia arahkan ke udara, memberi isyarat pada Jacob agar pia tampan itu tak ikut campur dengan urusan mereka.
"Jelas ada urusannya, dia pacar gue!" balas Jacob sembari melirik ke arah Lala yang diam mematung di belakang tubuhnya. Ke dua pipi Lala terasa sangat panas, jantungnya berdetak tak karuan saat Jacob mengatakan bahwa dirinya adalah pacarnya.
"APA?!" teriak Salsa dan Nindy barengan, dua mahasiswi yang suka mengerjai mahasiswi yang lain itu terkejut bukan main. Mereka berdua dengan kompak juga menggelengkan kepalanya.
"Seriusan, kita pacaran!" jelas Jacob dengan santai untuk meyakinkan dua orang gadis di hadapannya ini. Jacob menggeser tubuhnya ke samping lantas menggenggam tangan Lala dengan erat.
"Ayo sayang, kita pergi dari sini. Dan kalian berdua, jangan gangguin pacar gue! Kalo sampai lo pada gangguin pacar gue, gue bakal bikin kalian di D.O dari kampus, camkan itu!" ancam Jacob yang berhasil membuat nyali Salsa dan Nindy menciut, mengingat bahwa Jacob adalah cucu dari pemilik kampus. Jacob dengan lembut menarik tangan Lala agar mau mengikuti langkahnya.
"Nama lo siapa?" tanya Jacob pada Lala dengan nada suara yang sedikit pelan. Lala tak bisa menyembuyikan senyumannya, ia benar-benar sangat bahagia, tangannya di genggam erat oleh Jacob, pria yang sudah mencuri hatinya sejak setahun yang lalu.
"Latania Wijaya, panggil aja Lala." ungkap Lala malu-malu, Jacob melirik sekilas ke arah Lala, gadis itu terlihat sangat manis di mata Jacob.
"Gue Jacob." ujar Jacob mengenalkan dirinya, Lala mengangguk, ia sebenarnya sudah tahu bahwa pria tampan yang saat ini tengah menggengam erat tangannya bernama Jacob Nugroho, cowok most wanted di kampus.
"Gue tau kok." balas Lala, Jacob menghentikan langkahnya saat mereka berada di taman kampus. Jacob melepaskan tangannya yang menggenggam erat tangan Lala, tubuhnya ia hadapkan ke arah Lala lantas menatapnya dengan intens.
"Mulai sekarang, lo pacar gue La!" tegas Jacob, Lala melebarkan matanya, tak percaya dengan apa yang baru saja di katakan oleh Jacob. Apa Jacob baru saja menyatakan cinta padanya? Batin Lala menjerit kesenangan.
"Lo ngerti kan? Lopacar gue mulai sekarang! Jangan coba-coba buat selingkuh atau deket sama cowok lain, karena gue tipe cowok yang pencemburu!" peringat Jacob dengan tegas. Lala hanya bisa mengangguk, ingin bertanya tapi suaranya seperti tercekat di tenggorokannya.
"Baiklah sayang, sekarang gue bakal ke kelas dulu, kita ketemu nanti saat selesai kuliah di parkiran, oke?" ujar Jacob sembari tangannya mengacak-acak rambut Lala bagian depan.
Lala mengangguk patuh, tidak ada yang bisa ia katakan, hanya bisa mengangguk. Ia terlalu gugup untuk menjawab dengan kalimat. Jacob tersenyum ke arah Lala lantas berjalan menjauh dari gadis yang baru saja ia pacari itu. Selepas kepergian Jacob Lala menjerit tertahan, ia benar-benar sangat senang, mulai saat ini dia adalah kekasih dari most wanted kampus ini, Jacob Nugroho.
"Demi apa? Gue pacarnya Jacob?" tanya Lala pada dirinya sendiri. "Kok bisa, sih? Padahal kita baru ketemu hari ini. Apa ini yang di namakan jodoh?"
Waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore, Heru membuka pintu rumahnya yang tidak terkunci lantas masuk ke dalamnya. Pemandangan pertama yang di lihat Heru adalah putra bungsunya, Erik sedang sibuk mengerjakan tugas sekolahnya di meja ruang tamu dengan sibuk. Dengan langkah yang gontai, Heru berjalan mendekat ke arah Erik lantas mendudukan bokongnya di sofa ruang tamu."Ayah mau Erik buatin teh hangat?" tawar Erik, Heru tersenyum manis ke arah putranya lantas menggeleng. "Lanjutkan belajarmu, Ayah bisa panggil Ibumu untuk membuatkan Ayah teh." jawab Heru sembari memijit lengan kanannya dengan menggunakan tangan kirinya. Erik mengangguk dan kembali sibuk mengerjakan PR sekolahnya."SAYANG! BUATKAN AKU TEH!" teriak Heru dengan keras untuk memberi tahu Norma yang berada di dalam rumah."IYA!" Norma yang mendengar teriakan suaminya lantas bangkit dari duduknya, ia sedang mencuci pakaian dengan manual di belakang rumah. Dengan cepat Norma meninggalkan cuciannya lantas berjalan masuk ke dalam da
Setelah selesai jam kampusnya, Lala segera menggayuh sepedanya pergi dari parkiran kampus menuju ke cafe tempat ia bekerja yang letaknya tak jauh dari gedung kampusnya. Lala bahkan melupakan janjinya bersama dengan Jacob untuk ketemuan di parkiran setelah jam kuliah selesai, maklum saja, mereka berdua berbeda jurusan. Di tambah lagi dengan Lala yang harus mementingkan pekerjaannya demi keamanan uang jajannya. Hanya butuh waktu 10 menit Lala sampai ke tempat kerjanya, Lala memakirkan sepedanya di parkiran dengan cafe tempat ia bekerja. Dengan cepat Lala lantas masuk ke dalam menuju ke ruang ganti untuk mengganti pakaian yang ia kenakan dengan seragam khusus pelayan. Setelah itu Lala langsung mengepel dan juga membersihkan jendela cafe, terkadang ia juga melayani pelanggan yang memesan makan atau hanya sekedar memesan minuman dingin.Di sisi lain, Jacob sedang duduk di atas kap mobilnya bagian depan sembari bersiul ria, ia sudah sangat merindukan kekasihnya, siapa lagi kalau bukan Lala.
Setelah melihat taxi yang di tumpangi Jacob menghilang karena membelok di sebuah tikungan, Lala bergegas menaruh sepeda kesayangannya di teras rumahnya. Mata Lala memicing heran saat melihat pintu rumahnya rusak parah, bahkan sampai pintunya hampir saja jatuh kalau saja tidak ada satu engsel yang masih menahannya. Lala berjalan masuk ke dalam rumah, kerutan di dahinya semakin kentara saat melihat kondisi ruang tamu rumah yang di sewa Ayahnya sangatlah berantakan, tak serapi biasanya. Lala dengan cepat lebih masuk ke dalam rumah, dan berhenti melangkah saat ia sudah berada di ruang makan, di mana sang Ibu, Ayahnya dan juga Erik saudaranya berada di sana. Lala lantas duduk di kursi yang biasanya menjadi tempat duduknya saat makan. Mata Lala terbelalak kaget saat ia melihat wajah Ayahnya bonyok, bahkan sekarang Heru lebih mirip dengan hantu yang ada di dalam film horror."Ayah kenapa?!" teriak Lala dengan panik sembari bangkit dari duduknya, berlari ke arah Ayah lantas menatap Ayahnya de
Lala terbangun dari tidurnya di lantai, semalam ia menangis di pojokan kamar sampai tertidur, dan sekarang ia bangun setelah mendengar suara jam wekernya berbunyi sangat nyaring. Lala bangun dari baringnya di lantai, membuka matanya dengan berat, mata indahnya pagi ini terlihat sembab dan juga bengkak. Dengan langkah pelan, Lala bangkit dari duduknya, berjalan menuju nakas mengambil jam weker lantas mematikan suaranya. Setelah itu ia memulai rutinitasnya setiap pagi, seperti membersihkan tubuhnya dan memilih beberapa buku yang akan di bawanya ke kampus. Tentang masalah semalam, Lala masih belum melupakannya, ia bahkan tidak habis pikir kenapa ke dua orang tuanya bisa bersikap seperti itu.Sekarang Lala duduk di depan meja rias, memoles wajah cantiknya dengan make up tipis, riasan wajahnya yang simple dan sederhana justru malah membuatnya semakin terlihat cantik dan juga manis. Tok tok tok. Suara ketukan pintu kamarnya terdengar, membuat Lala reflek dengan cepat menolehkan kepalanya k
Ke dua kelopak mata Lala terbuka perlahan, ia mengerjap-ngerjapkan matanya berkali-kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retina matanya. Saat Lala membuka matanya, orang yang pertama kali Lala lihat adalah pria asing yang telah membawanya paksa dari ke dua orang tuanya. Saat ini pria itu tengah berdiri di sisi ranjang, netranya fokus menatap ke arah Lala. Menyadari pria itu melihat ke arahnya, Lala dengan cepat bangkit dari baringnya dan langsung memberikan tatapan tajam ke arah pria itu."Kamu sudah bangun?" tanya Revan sembari melipat ke dua tangannya di dada. Lala tak menjawab pertanyaan Revan, ia sibuk melihat-lihat setiap sudut kamar yang sedang ia tempati. Ranjang besar dan empuk, udara di ruangan ini sangat sejuk lantaran adanya AC, tembok bercat putih, sangat luas, nyaman dan juga mewah."Mulai sekarang ini adalah kamarmu!" suara Revan menyadarkan Lala dari kekagumannya pada kamar besar ini, dengan cepat ia menggeleng, ia tidak mau tinggal di sini, walaupun ia mer
Malam sudah tiba, Jacob menguap beberapa kali, matanya sudah sayu dan terlihat sangat lelah. Lima jam sudah dirinya menunggu kehadiran Lala di cafe tempat gadis itu bekerja, namun Lala tidak kunjung datang. Tadi ia sudah sempat bertanya pada pemilik cafe, Hani. Namun wanita itu bilang Lala akan datang, namun sampai sekarang kekasihnya itu belum juga muncul."Maaf, kami akan segera tutup." peringat Hani, Jacob menatap ke arah Hani dengan tatapan dingin. "Lo bilang Lala bakal dateng ke sini? Mana? Sampai kalian tutup dia gak dateng?" omel Jacob, ia merasa tertipu dengan penjelasan Hani beberapa jam yang lalu."Maaf, biasanya Lala tidak pernah absen dalam bekerja, dan juga aku tidak tahu kalau dia tidak bekerja hari ini karena dia tidak ijin terlebih dahulu." jelas Hana sembari mengelap salah satu meja di sana. Helaan nafas kasar Jacob terdengar, ia lantas bangkit dari duduknya, pinggangnya terasa pegal saat berdiri, mungkin itu akibat dari ia terlalu lama duduk. "Berikan nomor ponselnya
Keluarga Wijaya masih berada di Apartemen mahal pemberian Revan, saat ini mereka berada di ruang makan, makanan yang tersaji di meja sangat banyak, sayuran, buah-buahan dan juga daging. Semua itu tadi di antar oleh salah satu petugas layanan jasa antar makanan yang di bayar oleh Revan. Mereka tidak langsung memakannya, mereka hanya menatap semua makanan mahal dan terlihat sangat menggiurkan itu dengan tatapan kosong. Ada yang tertinggal, ada yang terasa ganjal dan ada yang tidak biasa, dan semua itu karena tidak adanya Lala di tengah-tengah mereka."Ayah sudah ada rencana buat ngeluarin kakak dari sana?" tanya Erik menatap sendu ke arah Heru, gelengan kepala Heru membuat Erik membuang nafasnya dengan kasar. Mereka saling bungkam, tidak seperti biasanya yang selalu saja ramai memperebutkan makanan."Bagaimana ini? Kita tidak ada cara untuk membuat putri kita kembali." lirih Norma, wanita paruh baya itu terlihat sangat sedih, wajahnya serta hidungnya merah dan juga matanya bengkak karen
Lala mengerjap-ngerjapkan matanya berkali-kali saat matanya terkena cahaya matahari yang masuk lewat fentilasi jendela kamar besar dan mewah itu. Lala bangkit dari baringnya, ia berada di kamar asing ini, bukan kamar sempit yang penuh dengan buku pelajaran dan juga cucian kotor. Lala turun dari ranjang, memakai sepatu hak tinggi milik ibunya, ia jadi teringat kembali pada keluarganya, sejak semalam ia sulit tidur, memikirkan bagaimana keadaan Ayahnya, apa luka yang berada di wajahnya sudah sembuh atau belum. Ia bahkan juga memikirkan kalimat yang di ucapkan Revan semalam, ia sekarang merasa gila, ia bahkan sangat mempercayai kalimat pria itu yang mengatakan akan selalu membahagiakannya. Di hati Lala ia sangat-sangat percaya kalimat Revan, namun otaknya menyuruhnya untuk tidak mempercayainya. Revan adalah orang asing bagi Lala, bagaimana bisa Lala mempercayai pria mafia itu ?Lala berjalan ke arah pintu, memutat knopnya lantas membukanya, pintu itu tidak terkunci. Lala melangkahkan kak
Revan berlari tergesa-gesa di sebuah lorong rumah sakit, rambutnya naik turun akibat derap langkahnya yang yang kencang. Bulir bulir keringat membasahi area keningnya. Revan sekarang sudah jauh lebih dewasa, menjadi ayah dari seorang putri yang sekarang sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik. Usia Becca saat ini sudah menginjak sepuluh tahun, dan hari ini Revan akan kedatangan anggota keluarga baru, Lala saat ini sedang berada di rumah sakit untuk melahirkan buah cintanya dengan Revan yang kedua.Revan menghentikan langkahnya saat ia melihat putrinya, Becca sedang duduk di sebuah kursi samping pintu sebuah kamar. Di sana juga ada Erik dan Norma yang sedang menunggu. Sedangkan Heru sedang mengurus pabrik makanan ringan yang di rintis Revan dengannya. Pabrik yang awalnya rumahan dan kecil, sekarang sudah berubah menjadi pabrik besar dengan mesin mesin canggih yang memproses pembuatan makanan ringan. Bisa di bilang sekarang Revan mendapatkan kesuksesannya kembali. Keluarga mereka juga t
Tangan Revan terulur menghapus air mata Lala yang terus mengalir dengan derasnya. Putri kecilnya juga ikut menangis saat melihat Lala menangis."Ssstt.... Kan buat putri kecil kita juga menangis." ujar Revan dan Lala langsung menghentikan tangisnya lalu menimang bayi kecilnya."Siapa namanya?" tanya Lala dan Revan menggaruk kepalanya yang tiba tiba terasa gatal. Ia tahu pasti bahwa Lala akan memukulnya lagi jika dia beri tahu bahwa putri mereka belum ia beri nama."Siapa namanya?" Lala mengulangi pertanyaannya sembari menatap Revan."Dia belum kuberi nama," jawab Revan.Lala memukuli kepala Revan dengan membabi buta, matanya menatap tajam ke arah sang suami yang sedang mengelus kepalanya yang terasa sakit akibat pukulannya."Dasar ayah tidak waras!" maki Lala dan Revan memasang jengkelnya."Apa? Mau marah?" ujar Lala sembari memberi tatapan devil pada sang suami."Aku menunggumu sadar, Kalo aku kasih nama terus kamunya gak suka gimana? Kamu marah sama aku." tutur Revan dan Lala
Revan berjalan santai di lorong rumah sakit, dalam gendongannya saat ini ada bayi kecilnya, kaki-kaki mungil bayi itu terus saja bergerak ke udara dalam gendongan Revan. Tangan mungil bayi itu terus saja memukul mukul rahang Revan dengan keras. Senyum bayi itu terus mengembang saat melihat sang ayah terkekeh akibat perbuatannya. Tangan kanan Revan menenteng sebuah tas bayi dengan isi perlengkapan milik putri lucunya.Usia bayi mungil Revan saat ini sudah berusia 2 bulan, berarti sudah 2 bulan juga Lala terbaring koma. Selama 2 bulan itu juga Revan selalu menjaga putri kecilnya yang hingga saat ini ia belum beri nama.Semua anggota keluarga terus memaksa Revan agar memberi nama bayi itu, namun Revan selalu menolaknya, ia akan memberi nama putri kecilnya saat Lala sudah sadar. Revan sangat yakin bahwa Lala akan sadar dari koma, ia benar benar sangat yakin dengan hal itu.Dan mengenai Jacob, Jessica dan si penghianat Max, mereka ada dalam pengawasan Endy. Endy mengurung ke tiga oran
Jari jari Revan bergerak secara perlahan, mata yang menutup selama satu minggu kini sudah mulai terbuka, Revan mengerjap ngerjapkan matanya berkali kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retina matanya.Aroma obat obatnya menyeruak indra penciumannya, orang yang pertama Revan lihat adalah Endy-sang ayah."Syukurlah kau sudah sadar," ucap Endy sembari tersenyum manis ke arah Revan.Pandangan Revan mengedar ke penjuru ruangan yang ia yakini sebagai rumah sakit, ia mencari-cari sesosok yang sudah membuatnya jatuh hati sekaligus jatuh cinta."Di mana Lala?" tanya Revan terdengar seperti sebuah bisikan karena dia benar benar masih lemas. Namun begitu, Endy masih bisa mendengarnya."Lala di rawat di ruangan lain," jelas Endy dan membuat mata Revan melebar."Lala terluka?" tanya Revan dengan ekspresi yang sangat khawatir dan juga cemas."Setelah kamu di tusuk oleh Jacob, Jessica menikam perut Lala," jelas Endy yang membuat Revan mengepalkan tangannya dengan rapat, rahangny
Bulan demi bulan di lewati oleh Lala dan juga Revan, kehidupan rumah tangga mereka selama 8 bulan ini sangat baik, tak ada pengganggu atau masalah besar yang mereka hadapi selama 8 bulan terakhir ini setelah kejadian penyerangan waktu itu. Hanya terkadang ada saja masalah kecil yang mereka hadapi, namun mereka masih bisa menyelesaikannya.Usia kandungan Lala sudah memasuki usia 8 bulan, perut rata Lala kini sudah membesar, emosinya juga kadang meledak dan sang suami Revan lah yang menjadi sasaran amukannya.Sekarang Lala sedang berada di balkon kamarnya sendirian, menikmati semilir angin yang menerpa kulit wajahnya, sangat sejuk. Tak lupa Lala juga mengelus perutnya yang membesar karena ada dua jabang bayi yang ada di dalam.Sikap pengecut Lala yang tak berani mengungkapkan perasaan cintanya pada Revan masih membuat Revan berfikir bahwa Lala belum mencintainya. Namun di hati Lala, nama Revan sudah terukir sangat indah di hatinya.Mata Lala memincing saat ia melihat ada seseorang y
Jari-jemari Revan bergerak sedikit demi sedikit, Max yang tengah berdiri di samping ranjang tempat di mana Revan berbaring langsung bergerak mendekat dan melihat bagaimana kondisi sang majikan. Perlahan ke dua mata Revan terbuka, baru saja ia membuka matanya sebentar, ia kembali menutupnya kembali saat cahaya lampu kamar rumah sakit menyambutnya dengan silau. Al hasil ia harus mengerjakan ke dua matanya beberapa kali agar terbiasa dengan cahaya lampu yang masuk ke dalam retina matanya."Tuan sudah sadar? Aku akan panggilkan dokter." Ucap Max lalu hendak bergegas keluar dari kamar, namun belum sempat Max melangkah, lengannya sudah di tahan oleh Revan lalu memberikan sebuah isyarat agar ia tidak perlu memanggilkan dokter dengan cara menggelengkan kepalanya pelan."Di mana Lala?" Tanya Revan dengan lemah saat teringat pada sang istri, terakhir kali ia melihat Lala wanita yang sangat amat ia cintai tersebut dalam kondisi pendarahan. Mungkin itu efek karena ia jatuh saat menggendong Lala
Revan menatap Lala dengan senyuman yang merekah, melihat sang istri begitu bahagia menyantap beberapa menu makanan yang telah ia beli beberapa saat lalu."Kamu mau apa?" Tanya Lala dengan sinis tatkala ia melihat Revan mengambil sepotong pizza miliknya."Makan," jawab Revan dengan santai lalu mengarahkan sepotong pizza tersebut ke arah mulutnya."Jangan di makan!" Larang Lala tiba-tiba, membuat Revan mengurungkan niatnya untuk memakan sepotong pizza berbentuk segitiga tersebut."Kenapa?""Gak boleh, semua makanan di sini punya aku. Siapapun gak boleh minta atau makan, siapapun termasuk kamu!" Larang Lala mendadak jadi egois, ia bahkan merampas sepotong pizza dari tangan suaminya. Revan yang melihat tingkah Lala justru terkekeh geli, merasa lucu dengan sikap baru yang di tunjukkan sang istri padanya semenjak ia mengandung."Ok, aku gak bakalan makan." Putus Revan mengalah. Ia lalu duduk di samping Lala, merengkuh tubuh mungil sang istri ke dalam dekapannya, menemani Lala yang ter
Sepanjang perjalanan dari rumah sakit ke rumah, Revan terus saja menggenggam erat tangan Lala, sesekali ia mengusapnya dengan lembut lalu mengecupnya dengan penuh cinta. Lala yang melihat perlakuan romantis dari sang suami hanya tersenyum manis, cukup bahagia dengan hal kecil yang di lakukan sang suami terhadapnya."Kenapa berhenti?" Tanya Revan tatkala mobil yang ia kendarai tiba-tiba berhenti di tengah jalan."Lampu merah Tuan," balas Max dengan sopan."Terobos!" Titah Revan tidak sabaran. Max hanya mengangguk pelan lalu hendak menginjak pedas, namun dengan cepat Lala melarangnya."Jangan!" Seru Lala dengan cepat, membuat Max mengurungkan niatnya untuk menerobos saat lampu merah menyala."Sayang, nanti bakal lama kalo nungguin." Ucap Revan sembari membelai lembut kepala Lala lalu menari sedikit rambut panjang sang istri untuk ia arahkan ke hidungnya, menghirup aroma wangi dari shampoo yang di gunakan Lala.Dengan wajah yang cemberut, Lala menatap Revan dengan tatapan mata yang
Satu Minggu berlalu, Lala masih saja mengabaikan Revan, walaupun kadang wanita itu merespon suaminya, pastinya kalimat yang keluar dari mulutnya adalah kalimat sindiran yang berupa menghina dirinya sendiri. Hal itu tentunya membuat Revan semakin merasa bersalah karena perbuatan serta ucapan tak sopan yang ia tujukan pada sang istri. Revan berdiri di ambang pintu, menaruh ke dua tangannya di saku celana bahan yang di kenakannya sembari menatap Lala yang tengah duduk termenung di sofa kamar. Terlihat jelas di netra Revan, Lala tengah melamun, tatapan matanya kosong lengkap dengan wajahnya yang pucat.Revan mengetuk pintu dengan punggung jarinya, menyadarkan Lala dari lamunannya lalu melirik sekilas ke arah sang suami. Revan berjalan mendekat dan berhenti tepat di hadapannya lalu berjongkok di lantai.Salah satu tangan Revan terulur, menyentuh wajah sang istri yang langsung di tepis kasar oleh Lala."Kamu pucat, belum makan?" Tanya Revan dengan lembut. Lala mengabaikannya, entah ken