Alana menggeliat dan mengerjapkan mata. Dia merasa begitu nyaman dan hangat, sehingga tidak ingin beranjak dari tempat tidurnya yang nyaman. Tetapi dia merasa aneh.Alana merasakan embusan udara hangat di tengkuknya dan selimut melilit tubuhnya dengan terlalu erat. Tidak, bukan selimut, melainkan sebuah lengan yang kini memeluk tubuhnya. Dan kini Alana menyadari seseorang tengah berbaring rapat tepat di belakangnya.Darah Alana serasa membeku. Siapa ini? Apa aku bermimpi? Batinnya.Kemudian dia mendengar suara lirih Darren yang tercekat. “Kak Alana―”Karena posisi Alana menghadap tembok, maka dia menoleh ke belakang untuk melihat Darren. Dia berusaha memutar tubuh tetapi agak kesulitan. Dan ketika akhirnya dia bisa mengubah posisi, justru Alana mendapati hal yang paling tak terduga. Dia mendapati wajah Eric yang tengah memejamkan mata hanya berjarak dua inchi dari mukanya sendiri.Dengan refleks, Alana bangun terduduk dan berteriak dengan kencang. “Aaaaa!” Alana mencengkeram selimutny
Setelah kehebohan yang terjadi, akhirnya mereka melewatkan waktu sarapan dengan lebih banyak diam. Dan setelah sarapan yang agak canggung itu, akhirnya mereka semua pergi ke danau untuk memancing, seperti rencana awal mereka.Seperti yang dikatakan Eric, tempat itu memang indah. Sinar matahari pagi yang terpantul di atas riak air terlihat berkilauan bagai perak cair. Dan warna langit yang biru cerah terlihat sangat kontras dengan air danau yang berwarna hijau gelap. “Waah, indah sekali.” kata Alana sambil menudungi matanya.“Di sana banyak ikan.” Darren memberi tahu Alana. “Kakek pernah dapat ikan sebesar ini.” Dia menunjukkan ukuran ikan dengan merentangkan kedua telapak tangannya.“Mungkin sekarang kita juga bisa dapat banyak. Cuacanya sangat bagus.” Mike menyahuti dari belakang mereka. Kini pria paruh baya itu sudah kembali ke mode jenakanya, berbeda dengan sebelumnya. “Ayo, cepat. Ikan-ikan itu sudah menunggu untuk ditangkap.”Pria itu berjalan dengan bersemangat sambil memegang e
Di kejauhan, Darren memekik girang saat berhasil mendapatkan seekor ikan. Ikan berwarna hitam keperakan itu menggelepar di udara saat bocah itu menggulung senar pancingnya. “Hahaha. Kakek, lihat ini!”Hari itu mereka mendapat ikan seember penuh. Mike dan Darren tampak puas dengan hasil tangkapan mereka. Mereka berdua tidak bisa berhenti membicarakan acara memancing hari itu yang menurut mereka luar biasa.“Kita akan makan malam ikan bakar hari ini.” Kata Mike sambil memandangi ikan-ikan dalam ember dengan mata berbinar-binar bahagia.“Asyik, ikan bakar.” Darren bersorak gembira.Menjelang malam, mereka mempersiapkan alat panggang di halaman. Mike dan Eric mengeluarkan sebuah meja kayu berukuran sedang beserta lima buah kursi. Mereka akan makan malam di luar. Aroma ikan yang gurih segera saja menguar ke seluruh halaman, membuat siapa pun menjadi lapar.Alana membantu Sania menyiapkan makanan di meja. Sedangkan Eric dan Mike bertugas membakar ikan. Begitu semua ikan-ikan itu matang, mer
Alana jatuh berguling di tanah yang miring dan tidak rata. Untuk beberapa waktu dia merasakan tubuhnya meluncur dengan mengerikan menuruni lereng yang penuh semak belukar. Hingga kemudian tubuhnya menghantam sebuah pohon dan berhenti berguling.Sesaat dia merasakan pandangannya menjadi gelap. Kemudian dia merasakan rasa sakit yang teramat sangat di pergelangan kaki kirinya. “Aargh!” Alana berusaha duduk namun tubuhnya juga sakit. Dia merasakan punggung dan pinggangnya nyeri.“Kak Alana! Kak Alana!” sayup-sayup dia mendengar suara Darren di atas sana. Namun Alana terlalu kesakitan untuk menjawab panggilan anak itu. “Kak Alana.” kini suara Darren terdengan makin jauh.“Darren,” Alana memanggil dengan suara lemah. “Darren!”Terdengar suara gemerisik dedaunan kering dan ranting yang terinjak. “Kak Alana di mana?” suara Darren menjadi lebih dekat lagi, dan tidak lama kemudian Alana mendengar langkah kaki yang berisik tidak jauh dari posisinya meringkuk.“Aku di sini!” Alana berusaha berter
Alana beruntung karena tidak mengalami retak atau patah tulang setelah kakinya menghantam pohon dengan keras. Dia juga beruntung karena bukan kepalanya yang terbentur, karena hal itu bisa berakibat sangat fatal.Meski begitu, cedera kakinya cukup serius sehingga Alana harus menginstirahatkan kakinya selama setidaknya satu minggu untuk memulihkan ligamen dan persendiannya. Alana memandang perawat yang sedang membebat kakinya dengan muka serius. Alana sudah lebih tenang karena mendapat suntikan pereda nyeri, sehingga tidak lagi merasakan sakit.Dan selama proses pemeriksaan, Eric selalu berdiri di sampingnya dan menggenggam tangannya. Alana merasa tenang dengan keberadaan pemuda itu. Eric juga memunguti ranting dan dedaunan kering yang tersangkut di rambutnya.“Rambutmu terlihat seperti sarang burung.” Kata Eric. “Sarang burung yang cantik.” Eric menambahkan saat melihat raut khawatir di wajah Alana.“Aku pasti jelek sekali sekarang.” kata Alana dengan mata merah setelah menangis.Mau t
“Kau!” ujar Alana merengut. “Kupikir kau menolongku dengan tulus.”“Tentu saja. Aku akan melindungimu dengan segenap jiwa ragaku. Tapi itu bukan berarti aku tidak boleh meminta imbalan.”“Itu namanya kau menolong dengan pamrih. Kau mengharapkan balasan atas kebaikanmu.” Kata Alana sebal. “Memangnya, apa yang ingin kau minta?”Eric tersenyum sangat lebar. “Tadinya aku tidak mengharapkan imbalan apa pun. Tapi ini bisa jadi kesempatan yang bagus untukku. Aku harus memanfaatkan setiap peluang yang ada.” Dia diam sejenak. “Kencan. Itu imbalan yan kuinginkan.”Alana mengerang dan menutup mukanya dengan bantal. “Kau serius ingin berkencan denganku? Kau bisa meminta imbalan yang lain. Kenapa harus kencan?”“Terserah padaku mau meminta imbalan apa. Selama itu bukan jenis permintaan yang aneh-aneh dan mustahil kau kabulkan, kenapa tidak?”“Bolehkah kita mengajak Darren?”Muka Eric seketika berubah serius. “Tidak!” ujarnya tegas. “Kita akan berkencan, bukan mengasuh anak.”Alana hanya bisa menat
Steve membawa Alana ke ruang tengah dan mendudukkan gadis itu di sofa. Mbok Ijah dan Mbak Murni langsung menyambutnya, rupanya kedua asisten rumah tangga itu sudah kembali dari kampung.Mbok Ijah mencium kedua pipinya dengan bersemangat. “Pulang-pulang kenapa kakinya jadi begini? Ada-ada saja Non ini.”Semua orang langsung mengerubutinya dan bertanya bagaimana bisa dia sampai terjatuh. Padahal Alana lelah dan ingin beristirahat. Dia meminta papanya menurunkannya di sofa karena ingin melihat dan memeluk Mikha sebelum naik ke latai atas, tetapi rupanya itu adalah sebuah kesalahan.“Dia lelah. Kenapa kalian malah terus menyerangnya dengan berbagai pertanyaan?” Ujar Braden, mengalahkan suara semua orang. Mereka semua langsung terdiam, dan Alana merasa sangat berterima kasih. “Biarkan dia istirahat sekarang.”“Aku merindukan Mikha.” Kata Alana setelah dia memilki kesempatan untuk berbicara.“Biar kuambilkan.” Kata Braden yang langsung berlalu pergi. Tidak lama kemudian, pemuda itu datang
Alana terbangun di tengah malam dan merasakan tenggorokannya sangat kering hingga terasa pahit. Dia kehausan, dan menyadari botol minum di atas nakasnya kosong. Dia mencoba menahan rasa hausnya, tetapi dia benar-benar kehausan hingga tenggorokannya sakit.Alana mempertimbangkan untuk meminta tolong pada Braden, tetapi dia merasa tidak enak. Dia tidak ingin membangunkan pemuda itu. Apalagi dia tahu Braden bisa tidur seperti orang pingsan.“Tapi aku sangat haus.”Jadi dengan terpaksa dia mencari nomor Braden di kontaknya dan menelfon pemuda itu. Baru di deringan kedua dan Braden sudah mengangkatnya. Alana sampai terkejut dengan kesigapan pemuda itu.“Ada apa?” tanya Braden.“Maaf membangunkanmu. Tapi aku sangat haus.” Braden mematikan telfonnya begitu saja, sehingga Alana khawatir pemuda itu marah. “Dia pasti kesal karena aku telah membangunkannya.”Kemudian Alana mendengar pintu kamar Braden terbuka dan pemuda itu masuk ke kamarnya tanpa mengetuk pintu. Braden terlihat masih segar, tid