Alana sudah mulai bisa berjalan meski harus tertatih-tatih karena kakinya masih terasa nyeri. Tetapi Sherly masih melarangnya untuk berangkat kuliah, karena khawatir dengan keadaan gadis itu. Sherly juga membatasi aktivitas Alana dan gadis itu harus duduk diam sepanjang hari hingga dia merasa bosan setengah mati.“Tapi kemarin aku sudah tidak masuk, Ma. Dan aku bosan hanya duduk di rumah terus.”Sherly melotot dengan galak, yang sangat jarang sekali dia lakukan. “Kaki kamu belum sembuh benar. Mama tidak akan biarkan kamu melangkah barang sejengkal pun keluar dari rumah ini!”Alana bersandar di sofa dengan cemberut. Dan dia bertambah kesal karena Braden menertawakannya. “Kau tidak akan bisa membantah Mama. Sudahlah, kau di rumah saja. Lagi pula kakimu belum sembuh benar.”Jadi Alana hanya bisa duduk manis di sofa ruang tengah seperti tuan putri, sehingga dia bisa meminta bantuan semua orang yang ada di rumah saat dia sedang membutuhkan sesuatu.Sedangkan Sherly tidak pernah berada jauh
“Hai,” sapa Eric. “Bagaimana keadaanmu? Kakimu sudah lebih baik?” tanya Eric sambil memeluk Alana singkat, sehingga mendapatkan pelototan dari Braden.“Ya. Sudah semakin baik.” Jawab Alana. “Aku sekarang sudah bisa berjalan.”“Duduklah, Tante akan buatkan minuman untukmu.” Kata Sherly yang kemudian pergi ke dapur.Eric tahu Braden tengah menahan kekesalannya, sehingga dia menambahkan. “Baru dua hari tidak bertemu saja aku sudah sangat merindukanmu.”“Mau apa kau ke sini?” tanya Braden galak.“Ah, hai. Apa kabar?” Eric memeluk Braden singkat, membuat pemuda berjengit tidak nyaman. Eric melepaskan pelukannya sebelum Braden mendorongnya menjauh.“Apa yang kau lakukan?” Braden mundur satu langkah, seolah takut Eric akan memeluknya lagi.Eric mendecakkan lidah. “Kenapa kau galak sekali? Kau tetap saja tidak berubah rupanya.”Braden sudah bersiap melontarkan kata-kata kasar sebagai balasan saat Alana berkata, “Jangan terlalu keras pada Eric.”“Kau membelanya?” Braden menatap Alana tidak per
“Apa yang kau lakukan?” tanya Alana dengan ngeri pada Braden yang tengah mencengkeram kerah baju Eric dengan sangat erat.“Braden!” tegur Sherly pada putranya. Wanita itu terlihat syok dengan apa yang disaksikannya.Braden menatap kedua wanita itu dengan terkejut. “Haha ... Kau sudah selesai rupanya. Kenapa mandimu cepat sekali?” Braden seketika melepaskan cengkeramannya pada baju Eric.“Aku tidak ingin kalian menunggu lama. Jadi aku mandi dengan cepat. Lagi pula sekarang kan aku tinggal di lantai bawah.” Kata Alana beralasan. Yang sebenarnya terjadi adalah karena dia khawatir meninggalkan mereka berdua saja. “Jadi, apa yang kau lakukan?” tanya Alana lagi.“Oh, ini― Em, aku sedang mengajarkan teknik bela diri pada Eric.“ Braden mencari-cari alasan, sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Teknik bela diri? Teknik beladiri macam apa itu?” tanya Alana sangsi.Sherly masih menatap keduanya dengan mata membelalak. “Kalian tidak sedang berkelahi, kan?”“Tidak, kami tidak sedang berke
“Apa yang kau lakukan? Turunkan aku!” Alana meminta diturunkan, tetapi permintaan itu diabaikan oleh Braden. “Braden, kau membuatku malu. Sekarang semua orang memandangi kita!”“Kakinya terluka!” ujar Braden dengan suara keras pada semua orang yang memandangi mereka dengan bertanya-tanya. Kemudian, pandangan semua orang beralih ke kaki Alana yang terbalut perban. Mereka tidak lagi memndangi Alana dan Braden dengan aneh setelah itu.“Astaga, aku malu. Ku mohon, turunkan aku!” Alana meronta, namun Braden makin mengeratkan cengkeraman tangannya. “Aku bisa berjalan sendiri. Kau tidak perlu menggendongku seperti bayi!”“Diamlah, kalau kau tidak ingin jatuh! Aku sudah berjanji pada Mama akan menjagamu. Dan kalau kau malu, sembunyikan saja mukamu.”Dengan terpaksa Alana menuruti apa kata Braden. Dia menyembunyikan wajahnya di dada pemuda itu, tetapi telinganya tetap mendengar bisik-bisik dari orang-orang di sekitar mereka. “Sialan, kau! Tetap saja aku malu!”“Aku melakukan ini demi kebaikanm
“Bagus. Pemulihannya berjalan dengan sangat baik.” Kata dokter yang sedang memeriksa kaki Alana, seorang pria paruh baya yang sebagian besar rambutnya sudah beruban. “Tapi harus tetap berhati-hati. Untuk sementara ini, tidak boleh melakukan olahraga dan kegiatan yang bisa menyebabkan cedera lagi seperti melompat atau berlari. Untuk aktifitas seperti itu harus menunggu sampai benar-benar pulih.”“Baik, Dokter.” Alana menangguk dan menyimak.“Salepnya masih ada?”“Masih, Dok.”“Baiklah, kalau begitu tidak perlu saya resepkan obat lagi.”Alana senang karena akhirnya dia bisa berjalan normal lagi. Dia tidak harus dipapah apalagi digendong. Hal itu sungguh sangat merepotkan baginya. Dan terkadang, bisa menjadi sangat memalukan.Alana keluar dari ruang pemeriksaan bersama Sherly yang selalu mendampinginya. Sedangkan Adrian, yang hari itu memaksa menemani mereka sedang menunggu di lorong sambil duduk dan membaca sebuah pamflet dengan mimik muka serius.Adrian mendongak saat mereka keluar. “S
Alana menutup resleting tasnya kemudian menyandang benda itu di bahunya. Dia berusaha mengingat-ingat apakah ada sesuatu yang tertinggal, namun dia yakin semua barang sudah berada dalam tasnya.“Mungkin hanya perasaanku saja.”Dia mencari-cari Braden dan pemuda itu ternyata sudah berada di halaman depan, sedang bersandar di kap mobil sambil setengah melamun. Dia bahkan tidak menyadari kedatangan Alana. “Ayo kita berangkat.” Seru Alana.Braden hanya meliriknya singkat sebelum masuk dan duduk di bangku pengemudi. Belum sampai keluar gerbang, ketika Alana menyadari bukunya tertinggal di kamar. “Tunggu! Bukuku ketinggalan.” Alana langsung saja keluar dan sudah hampir berlari kalau tidak ingat dengan kakinya yang belum lama cedera.“Maaf menunggu.” Alana berusaha mengatur napasnya yang sedikit tersengal karena berjalan tergesa-gesa. “Ayo.”Sepanjang perjalanan, Braden hanya diam. Tidak ada percakapan sama sekali. Suasana mendadak berubah canggung dan tidak nyaman, mengingatkan Alana dengan
“Jangan pergi.” Braden meraih tangan Alana. “Kumohon, tetaplah di sini. Temani aku sebentar saja.”“Aku tidak akan ke mana-mana.” kata Alana. “Apa kau butuh sesuatu? Kau mau kuambilkan minum?”Braden menggelengkan kepalanya. “Aku hanya ingin kau tetap di sini.”Mereka duduk diam bersandar di tempat tidur dengan tangan saling menggenggam. Hanya ada keheningan yang tenang di sana. Satu-satunya suara yang bisa terdengar adalah detak jarum jam dan dengkuran halus Mikha.“Dia adalah ayah terbaik yang bisa kau bayangkan.” Braden mendekatkan foto yang tengah dipegangnya untuk diamati Alana. Alana membayangkan, kalau sudah dewasa Braden pasti akan terlihat sangat mirip dengan ayahnya.“Dia selalu penuh perhatian pada Mama dan kami anak-anaknya. Papa tidak pernah mengeluh. Papa juga tidak pernah bertengkar dengan Mama. Dia selalu ada untuk kami. Dia mencintai kami.” Braden menghela napas.“Papa tidak pernah ingin kami bersedih. Jadi, dia selalu menyimpan semua masalah untuk dirinya sendiri. Di
“Kau mau pergi ke makam ayahmu?” tanya Alana, dan Braden terlihat ragu. “Aku bisa menemanimu kalau kau mau.”Braden menatap Alana, “Sungguh?” kemudian dia menunduk memandangi tangannya. “Tapi aku takut. Ini sudah sangat lama. Aku pernah mengunjungi makamnya sekali, sebulan setelah Papa meninggal. Dan aku tidak sanggup menatap pusara itu. Dan setelahnya, aku tidak pernah datang lagi.”“Tidak perlu takut. Ada aku di sini.” Alana meremas tangan Braden, sebagai bentuk dukungan. “Aku akan ada di sampingmu.”Braden kembali menatap Alana, dan gadis itu melihat tekad namun juga kebimbangan di mata Braden.“Terima kasih, Alana.”“Aku senang bisa ada untukmu.”“Sebenarnya, sangat memalukan aku menangis seperti tadi.” Ujar Braden, yang kemudian memalingkan muka karena malu.Alana memegang sisi wajah Braden yang berpaling, “Hei ... Siapa pun berhak menangis. Menangis adalah luapan perasaan. Dan itu bukan sesuatu yang memalukan. Menangis tidak mengurangi harga dirimu sebagai lelaki.”Braden menata