“Apa yang kau lakukan? Turunkan aku!” Alana meminta diturunkan, tetapi permintaan itu diabaikan oleh Braden. “Braden, kau membuatku malu. Sekarang semua orang memandangi kita!”“Kakinya terluka!” ujar Braden dengan suara keras pada semua orang yang memandangi mereka dengan bertanya-tanya. Kemudian, pandangan semua orang beralih ke kaki Alana yang terbalut perban. Mereka tidak lagi memndangi Alana dan Braden dengan aneh setelah itu.“Astaga, aku malu. Ku mohon, turunkan aku!” Alana meronta, namun Braden makin mengeratkan cengkeraman tangannya. “Aku bisa berjalan sendiri. Kau tidak perlu menggendongku seperti bayi!”“Diamlah, kalau kau tidak ingin jatuh! Aku sudah berjanji pada Mama akan menjagamu. Dan kalau kau malu, sembunyikan saja mukamu.”Dengan terpaksa Alana menuruti apa kata Braden. Dia menyembunyikan wajahnya di dada pemuda itu, tetapi telinganya tetap mendengar bisik-bisik dari orang-orang di sekitar mereka. “Sialan, kau! Tetap saja aku malu!”“Aku melakukan ini demi kebaikanm
“Bagus. Pemulihannya berjalan dengan sangat baik.” Kata dokter yang sedang memeriksa kaki Alana, seorang pria paruh baya yang sebagian besar rambutnya sudah beruban. “Tapi harus tetap berhati-hati. Untuk sementara ini, tidak boleh melakukan olahraga dan kegiatan yang bisa menyebabkan cedera lagi seperti melompat atau berlari. Untuk aktifitas seperti itu harus menunggu sampai benar-benar pulih.”“Baik, Dokter.” Alana menangguk dan menyimak.“Salepnya masih ada?”“Masih, Dok.”“Baiklah, kalau begitu tidak perlu saya resepkan obat lagi.”Alana senang karena akhirnya dia bisa berjalan normal lagi. Dia tidak harus dipapah apalagi digendong. Hal itu sungguh sangat merepotkan baginya. Dan terkadang, bisa menjadi sangat memalukan.Alana keluar dari ruang pemeriksaan bersama Sherly yang selalu mendampinginya. Sedangkan Adrian, yang hari itu memaksa menemani mereka sedang menunggu di lorong sambil duduk dan membaca sebuah pamflet dengan mimik muka serius.Adrian mendongak saat mereka keluar. “S
Alana menutup resleting tasnya kemudian menyandang benda itu di bahunya. Dia berusaha mengingat-ingat apakah ada sesuatu yang tertinggal, namun dia yakin semua barang sudah berada dalam tasnya.“Mungkin hanya perasaanku saja.”Dia mencari-cari Braden dan pemuda itu ternyata sudah berada di halaman depan, sedang bersandar di kap mobil sambil setengah melamun. Dia bahkan tidak menyadari kedatangan Alana. “Ayo kita berangkat.” Seru Alana.Braden hanya meliriknya singkat sebelum masuk dan duduk di bangku pengemudi. Belum sampai keluar gerbang, ketika Alana menyadari bukunya tertinggal di kamar. “Tunggu! Bukuku ketinggalan.” Alana langsung saja keluar dan sudah hampir berlari kalau tidak ingat dengan kakinya yang belum lama cedera.“Maaf menunggu.” Alana berusaha mengatur napasnya yang sedikit tersengal karena berjalan tergesa-gesa. “Ayo.”Sepanjang perjalanan, Braden hanya diam. Tidak ada percakapan sama sekali. Suasana mendadak berubah canggung dan tidak nyaman, mengingatkan Alana dengan
“Jangan pergi.” Braden meraih tangan Alana. “Kumohon, tetaplah di sini. Temani aku sebentar saja.”“Aku tidak akan ke mana-mana.” kata Alana. “Apa kau butuh sesuatu? Kau mau kuambilkan minum?”Braden menggelengkan kepalanya. “Aku hanya ingin kau tetap di sini.”Mereka duduk diam bersandar di tempat tidur dengan tangan saling menggenggam. Hanya ada keheningan yang tenang di sana. Satu-satunya suara yang bisa terdengar adalah detak jarum jam dan dengkuran halus Mikha.“Dia adalah ayah terbaik yang bisa kau bayangkan.” Braden mendekatkan foto yang tengah dipegangnya untuk diamati Alana. Alana membayangkan, kalau sudah dewasa Braden pasti akan terlihat sangat mirip dengan ayahnya.“Dia selalu penuh perhatian pada Mama dan kami anak-anaknya. Papa tidak pernah mengeluh. Papa juga tidak pernah bertengkar dengan Mama. Dia selalu ada untuk kami. Dia mencintai kami.” Braden menghela napas.“Papa tidak pernah ingin kami bersedih. Jadi, dia selalu menyimpan semua masalah untuk dirinya sendiri. Di
“Kau mau pergi ke makam ayahmu?” tanya Alana, dan Braden terlihat ragu. “Aku bisa menemanimu kalau kau mau.”Braden menatap Alana, “Sungguh?” kemudian dia menunduk memandangi tangannya. “Tapi aku takut. Ini sudah sangat lama. Aku pernah mengunjungi makamnya sekali, sebulan setelah Papa meninggal. Dan aku tidak sanggup menatap pusara itu. Dan setelahnya, aku tidak pernah datang lagi.”“Tidak perlu takut. Ada aku di sini.” Alana meremas tangan Braden, sebagai bentuk dukungan. “Aku akan ada di sampingmu.”Braden kembali menatap Alana, dan gadis itu melihat tekad namun juga kebimbangan di mata Braden.“Terima kasih, Alana.”“Aku senang bisa ada untukmu.”“Sebenarnya, sangat memalukan aku menangis seperti tadi.” Ujar Braden, yang kemudian memalingkan muka karena malu.Alana memegang sisi wajah Braden yang berpaling, “Hei ... Siapa pun berhak menangis. Menangis adalah luapan perasaan. Dan itu bukan sesuatu yang memalukan. Menangis tidak mengurangi harga dirimu sebagai lelaki.”Braden menata
“Kami akan pergi selama tiga hari. Kalian tidak apa-apa kan, kami tinggal sendiri?” tanya Steve.“Tentu saja. Kalian tidak perlu mengkhawatirkan kami.” Jawab Adrian.“Adrian, jaga adik-adikmu. Dan kau Braden, jangan menjahili Alana. Mama tidak mau kalian bertengkar selama kami pergi.” pesan Sherly pada kedua putranya.“Kami akan baik-baik saja.” Braden meyakinkan ibunya.Alana menggenggam tangan Sherly. “Ya, Mama tidak perlu khawatir. Kami bisa menjaga diri kami.”Sherly mengangguk. “Dan kalian berdua, jangan pulang malam. Terutama kau, Braden. Mama khawatir kalau Alana sendirian di rumah.” Sherly kembali mengingatkan kedua putranya.“Kalau ada apa-apa, segera hubungi kami.” Kata Steve sambil memasukkan barang bawaan terakhir ke bagasi mobil.Steve dan Sherly akan menghadiri sebuah acara di luar kota. Alana sudah membayangkan, pasti rumah akan terasa sepi tanpa keberadaan mereka. Meski di rumah ada Mbok Ijah dan Mbak Murni, tetap saja dia akan merasa kesepian.***Alana melongokkan ke
Saat Alana kembali, Braden sudah setengah tertidur. Dia tertidur dengan posisi setengah terduduk dengan kepala terkulai di atas tumpukan bantal yang tinggi. Braden membuka mata karena menyadari kedatangan Alana.“Kenapa kau tidak memakai selimut?” Alana menyelimuti kaki Braden.“Aku kepanasan tadi. Kenapa kau lama sekali?”“Karena cuaca panas, jadi aku mandi sekalian. Aku juga harus mengisi mangkuk makanan dan minuman Mikha.”Alana membersihkan meja belajar Braden yang berantakan dan penuh barang. “Kau tidak perlu membereskan kamarku.” Ujar Braden.“Aku melakukannya karena aku butuh memakai meja ini.” Alana meletakkan laptop dan sebuah buku catatan di meja yang kini sudah bersih.“Kau mau apa?”“Kau tidak mau ditinggal, jadi aku akan mengerjakan tugas di sini.” Alana duduk dan mulai menyanggul rambutnya yang panjang agar tidak mengganggu. Braden terus mengamati aktivitas gadis itu, dan hal itu membuatnya tenang.Braden tertidur beberapa kali dan saat terbangun, dia melihat Alana masih
Alana menggeliat dan mengucek mata. Dia mengerjap untuk menjernihkan pandangan, lalu dilanda kepanikan sesaat ketika menyadari dia berada di tempat asing. Kemudian dia sadar bahwa dia masih berada di kamar Braden. Braden baru saja keluar dari kamar mandi saat mendapati Alana bangun dengan muka kebingungan. “Aku tertidur semalam. Kenapa kau tidak membangunkanku?” omel Alana.“Aku kan juga sudah tidur. Mana aku tahu kalau kau masih di sini?” Braden beralasan.Alana terus saja menggerutu sambil berjalan keluar, menuju kamarnya sendiri. “Bisa-bisanya aku tidur di sana?” Di luar, dia berpapasan dengan Adrian yang sudah mau berangkat ke kantor. “Kakak sudah mau berangkat?”“Ya, aku harus berangkat lebih awal hari ini. Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan.” Adrian merapikan rambut kusut Alana. “Maaf, aku kemarin pulang terlambat. Saat aku pulang, kalian sudah tidur. Kau jadi merawat Braden sendirian.”“Ah, dia hanya demam. Tidak sakit parah.” Alana memijat lehernya yang sakit, karena sem
Adrian hanya bisa terdiam, saat mendapati bukti-bukti perselingkuhan kekasihnya. Namun, meski semua bukti itu terpampang nyata, pemuda itu masih menolak untuk memercayainya. Dia harus memastikan hal itu secara langsung. Dia harus menemui Greta.Pemuda itu mencari Greta di tempat kerjanya, dan mendapati bahwa gadis itu sedang libur. Dari sini, perasaan Adrian sudah berubah tidak nyaman. Kemudian Adrian pergi menuju rumah gadis itu, berharap dia akan bertemu Greta di sana.Dan betapa hancur hati Adrian, saat mendapati kekasihnya tengah bersama seorang laki-laki yang dilihatnya dalam foto. “A-Adrian!” Greta terkejut dengan kedatangan pemuda itu yang tiba-tiba.“Kau tidak bekerja?” tanya Adrian, masih mencoba untuk berpikir positif.“Aku baru saja pulang,” jawab gadis itu.“Benarkah? Aku baru saja dari tempat kerjamu. Dan mereka bilang hari ini kau sedang libur.”“Ah, i-itu..” Greta menjawab dengan gugup. “Aku—““Siapa kau? Ada perlu apa kau dengan kekasihku?” pria di samping Greta berta
Alana dan Braden mampir ke sebuah tempat yang menjadi pusat street food sebelum pulang. Meski Alana bilang sedang ingin diet, nyatanya mata gadis itu seketika melebar saat melihat aneka jajanan serta mengendus aroma makanan yang menguar di udara sekitar mereka.“Waah, semuanya terlihat enak.” Alana menatap sekelilingnya dengan mata berbinar.“Bukankah tadi kau bilang sedang ingin diet?” Sindir Braden.“Kita kan sudah terlanjur sampai di sini. Jadi, ayo kita keliling,” Alana berjalan di depan dengan diikuti Braden yang membawakan bonekanya.Alana bingung menentukan pilihan, karena semua makanan terlihat sama enaknya. Setelah berkeliling dan melihat sana-sini, akhirnya gadis itu menjatuhkan pilihan pada corndog isi sosis dan keju berukuran besar, souffle cake mini dengan aneka toping, dan segelas boba cokelat.Mereka berjalan sambil menyesap minuman dingin, sedang mencari tempat duduk untuk makan. “Sepertinya itu Kak Greta. Apa aku salah lihat?” Alana berhenti untuk memperhatikan seoran
“Alana―” Braden menyaksikan mata Alana berkilat saat gadis itu menatap Leona dengan tajam. Leona mendongak, menatap Alana tidak kalah sengit. Melihat itu Braden buru-buru berdiri dan menempatkan dirinya di antara kedua gadis itu. “Lana, ayo kita pergi saja. Aku baru ingat ada kedai es krim yang lebih enak.” Alana menepis tangan Braden yang tengah memegangi lengannya. “Kenapa kita harus pergi? Kita duluan yang menempati meja ini. Kalau ada yang harus pergi, itu adalah dia!” Alana menunjuk Leona. “Bagaimana kalau aku tidak mau pergi?” Leona menyialngkan kaki dan mengibaskan rambutnya yang kini pendek sebahu. “Ayo kita cari meja lain.” Braden membujuk. “TIDAK!” Kata Alana tegas, masih sambil menatap Leona tanpa berkedip. Will menyadari ketegangan yang mulai terbentuk. “Leona, ayo kita kembali ke meja kita.” “Meja kita sudah ditempati oleh orang lain. Lagi pula aku lebih suka duduk di sini.” Leona berbicara tanpa repot-repot menoleh pada Will. Alana tersenyum miring. “Baiklah kala
Braden sangat kesal ketika melihat Alana yang terus saja tersipu saat mereka makan bersama malam itu. Gadis itu mengaduk-aduk makanan di piringnya dengan pandangan mata menerawang, dengan senyum samar yang terus saja tersungging di wajahnya.“Lana, jangan mainkan makananmu.” Tegur Sherly, membuat Lana bergegas menghabiskan sisa makanannya.‘Apa yang sudah dilakukan bajingan tengik itu? Dia pasti sudah mencekoki Alana dengan omong kosongnya!’ Braden membatin dengan kesal.Saat akhirnya kembali ke kamarnya, Braden menjadi makin kesal. Senyum konyol Alana benar-benar mengganggunya. “Argh, sialan!” Braden mengacak rambutnya. Dia benar-benar ingin menghajar Eric.Dia keluar dan pergi ke kamar Alana. Dia masuk begitu saja tanpa mengetuk pintu. Didapatinya gadis itu mendongak terkejut dengan kedatangannya. “Kenapa kau tidak mengetuk pintu? Benar-benar kebiasan!” Alana tengah duduk di meja belajarnya sambil memangku boneka beruang bertuksedo pemberian Eric.Braden melirik boneka itu dengan ke
“Kenapa kau terus memandangiku?” tanya Alana, karena Eric berkali-kali mencuri pandang ke arahnya.Pemuda itu hanya tersenyum. “Aku hanya senang karena akhirnya bisa pergi denganmu.”Alana jadi salah tingkah. “Fokuslah mengemudi. Kau harus memperhatikan jalan dengan baik.”Akhirnya Eric menuruti apa kata Alana. Alana memperhatikan Eric yang sedikit tegang, berbeda dari biasanya. “Eric, apa kau baik-baik saja? Kau tampak tegang.”“Hahaha. Aku baik-baik saja.” Eric melirik Alana kembali. “Emm, Lana. Bisakah kau bukakan laci itu untukku?” Eric menunjuk laci dashboard yang berada tepat di depan Alana.“Yang ini?” Alana menunjuk.“Ya, benar. Yang itu. Bukalah.”Alana membukanya, dan menemukan sebatang cokelat dengan hiasan pita pink. Alana menatap Eric dengan pandangan bertanya. “Itu untukmu.” Ucap Eric, tanpa berani menatap Alana kali ini.Seketika Alana merasakan panas yang menjalar di leher dan wajahnya. Dia merasa kepanasan, padahal AC tengah menyala. ‘Astaga, ini cuma cokelat. Ada apa
Saat sampai di rumah, Alana menumpahkan kekesalannya pada boneka beruang pemberian Adrian. Alana memukul-mukul kepala beruang malang itu, kemudian menutupnya dengan kantong keresek agar mukanya yang imut itu tidak terlihat oleh pandangan matanya.“Kau memang menyebalkan! Mudah sekali kau meminta maaf. Kau pikir aku bisa melupakannya begitu saja?” Alana meninju beruang itu beberapa kali lagi hingga dia merasa puas. Sebenarnya dia merasa kasihan pada si beruang, tetapi benda itu selalu saja mengingatkannya pada Adrian.Seperti yang dijanjikan pemuda itu, keesokan harinya Greta benar-benar datang ke rumah dan meminta maaf pada Alana. “Maafkan aku, Lana. Aku menyesal, sungguh.” Permintaan maaf Greta tampak tulus, tetapi kini Alana tidak akan tertipu lagi.“Bisakah kita memulai semua kembali dari awal? Sebagai sahabat?” Greta tersenyum manis, seakan mereka berdua benar-benar bisa menjadi sahabat.‘Apa? Sahabat? Cuiih...’ Batin Alana. Dia menduga-duga, pasti Adrian harus menyuap Greta denga
“Tidak―” Braden menjatuhkan handphonenya, membuat Adrian makin panik.“Braden, Braden ada apa? Apa Alana baik-baik saja? Halo? Braden, jawab Aku!” Adrian terus berteriak menuntut jawaban, tetapi kini dia sudah diabaikan sepenuhnya oleh sang adik.Braden berlari menyeberangi ruangan, tempat Alana terbaring di lantai dengan muka pucat. Kini ketakutannya benar-benar menjadi nyata. Hal seperti inilah yang dia takutkan sejak awal.“Lana! Lana, bangun!” Braden mengguncang tubuh lemas Alana dengan putus asa dan air mata tertahan. “Kumohon, bangunlah! Lana!”Braden sudah menyelipkan sebelah lengan ke punggung gadis itu dan bersiap mengangkatnya saat Alana membuka mata dan melotot, membuat Braden terperanjat kaget. “Apa yang kau lakukan?” Alana duduk dan menggeliat, kemudian melepas headshet yang menempel di telinganya.“K-Kau tidak pingsan?”“Kau pikir aku pingan? Aku baik-baik saja.”“Astaga, kau membuatku khawatir! Kau tidak tahu betapa khawatirnya aku tadi. Jantungku hampir lepas saat meli
“Apa? Minta maaf?” Alana tertawa. “Dia yang salah kenapa aku yang harus meminta maaf?”“Berhentilah bersikap kekanak-kanakan!”“Kakak menyebutku kekanak-kanakan? Kekasih Kakak yang tidak tahu diri itulah yang bersikap kekanakan. Dia tidak bisa bersikap layaknya orang dewasa! Asal Kakak tahu saja, dia tidak sebaik yang Kakak kira. Kakak hanya sudah terperdaya oleh perangkap busuknya, sehingga tidak bisa melihat seperti apa dirinya yang sesungguhnya!”“Hentikan, Lana. Cukup! Aku tidak akan membiarkan siapa pun berbicara buruk mengenai Greta. Bahkan jika itu adalah kau!”Alana tersentak. Tidak pernah sekali pun Adrian membentaknya. Adrian yang begitu lembut dan baik hati, kini membentak Alana demi membela gadis seperti Greta.“Aku akan mengatakannya sekali lagi padamu. Kau harus meminta maaf pada Greta. Kau harus meminta maaf atas semua tuduhanmu dan karena kau sudah membuat dia menangis karena keisenganmu.”“Tidak!” kata Alana. “Aku tidak akan pernah meminta maaf padanya!”Adrian terlih
Mereka pergi ke sebuah restoran seafood yang berada di tepi pantai. Mereka semua bergembira, menikmati makanan enak serta pemandangan laut yang indah. Bahkan untuk sekali ini Steve tidak mempedulikan tingginya kandungan kolestrol dalam makanannya.Semua orang senang kecuali Greta. Gadis itu makan dalam diam, tampak tidak antusias seperti yang lainnya. Dia juga sesekali melirik Alana dengan penuh kebencian, namun tidak mengatakan apa pun. Setelah makan, mereka mengunjungi dermaga kecil yang berada tidak jauh dari sana.Mengabadikan momen dengan berfoto dan menikmati semilir angin yang sejuk di hari yang cerah itu. “Sayang, bajumu kotor. Kau pasti bersandar entah di mana tadi.” Sherly berusaha menghilangkan noda di baju putih Greta yang bagian punggungnya kotor.“Ah, biar saja Tante. Mungkin karena aku baru saja bersandar di pagar.” Greta tersenyum pada Sherly, tetapi saat dia kembali sendirian, Greta kembali menunjukkan kekesalannya.Mereka kembali ke villa ketika hari sudah malam. Mer