Alana menutup resleting tasnya kemudian menyandang benda itu di bahunya. Dia berusaha mengingat-ingat apakah ada sesuatu yang tertinggal, namun dia yakin semua barang sudah berada dalam tasnya.“Mungkin hanya perasaanku saja.”Dia mencari-cari Braden dan pemuda itu ternyata sudah berada di halaman depan, sedang bersandar di kap mobil sambil setengah melamun. Dia bahkan tidak menyadari kedatangan Alana. “Ayo kita berangkat.” Seru Alana.Braden hanya meliriknya singkat sebelum masuk dan duduk di bangku pengemudi. Belum sampai keluar gerbang, ketika Alana menyadari bukunya tertinggal di kamar. “Tunggu! Bukuku ketinggalan.” Alana langsung saja keluar dan sudah hampir berlari kalau tidak ingat dengan kakinya yang belum lama cedera.“Maaf menunggu.” Alana berusaha mengatur napasnya yang sedikit tersengal karena berjalan tergesa-gesa. “Ayo.”Sepanjang perjalanan, Braden hanya diam. Tidak ada percakapan sama sekali. Suasana mendadak berubah canggung dan tidak nyaman, mengingatkan Alana dengan
“Jangan pergi.” Braden meraih tangan Alana. “Kumohon, tetaplah di sini. Temani aku sebentar saja.”“Aku tidak akan ke mana-mana.” kata Alana. “Apa kau butuh sesuatu? Kau mau kuambilkan minum?”Braden menggelengkan kepalanya. “Aku hanya ingin kau tetap di sini.”Mereka duduk diam bersandar di tempat tidur dengan tangan saling menggenggam. Hanya ada keheningan yang tenang di sana. Satu-satunya suara yang bisa terdengar adalah detak jarum jam dan dengkuran halus Mikha.“Dia adalah ayah terbaik yang bisa kau bayangkan.” Braden mendekatkan foto yang tengah dipegangnya untuk diamati Alana. Alana membayangkan, kalau sudah dewasa Braden pasti akan terlihat sangat mirip dengan ayahnya.“Dia selalu penuh perhatian pada Mama dan kami anak-anaknya. Papa tidak pernah mengeluh. Papa juga tidak pernah bertengkar dengan Mama. Dia selalu ada untuk kami. Dia mencintai kami.” Braden menghela napas.“Papa tidak pernah ingin kami bersedih. Jadi, dia selalu menyimpan semua masalah untuk dirinya sendiri. Di
“Kau mau pergi ke makam ayahmu?” tanya Alana, dan Braden terlihat ragu. “Aku bisa menemanimu kalau kau mau.”Braden menatap Alana, “Sungguh?” kemudian dia menunduk memandangi tangannya. “Tapi aku takut. Ini sudah sangat lama. Aku pernah mengunjungi makamnya sekali, sebulan setelah Papa meninggal. Dan aku tidak sanggup menatap pusara itu. Dan setelahnya, aku tidak pernah datang lagi.”“Tidak perlu takut. Ada aku di sini.” Alana meremas tangan Braden, sebagai bentuk dukungan. “Aku akan ada di sampingmu.”Braden kembali menatap Alana, dan gadis itu melihat tekad namun juga kebimbangan di mata Braden.“Terima kasih, Alana.”“Aku senang bisa ada untukmu.”“Sebenarnya, sangat memalukan aku menangis seperti tadi.” Ujar Braden, yang kemudian memalingkan muka karena malu.Alana memegang sisi wajah Braden yang berpaling, “Hei ... Siapa pun berhak menangis. Menangis adalah luapan perasaan. Dan itu bukan sesuatu yang memalukan. Menangis tidak mengurangi harga dirimu sebagai lelaki.”Braden menata
“Kami akan pergi selama tiga hari. Kalian tidak apa-apa kan, kami tinggal sendiri?” tanya Steve.“Tentu saja. Kalian tidak perlu mengkhawatirkan kami.” Jawab Adrian.“Adrian, jaga adik-adikmu. Dan kau Braden, jangan menjahili Alana. Mama tidak mau kalian bertengkar selama kami pergi.” pesan Sherly pada kedua putranya.“Kami akan baik-baik saja.” Braden meyakinkan ibunya.Alana menggenggam tangan Sherly. “Ya, Mama tidak perlu khawatir. Kami bisa menjaga diri kami.”Sherly mengangguk. “Dan kalian berdua, jangan pulang malam. Terutama kau, Braden. Mama khawatir kalau Alana sendirian di rumah.” Sherly kembali mengingatkan kedua putranya.“Kalau ada apa-apa, segera hubungi kami.” Kata Steve sambil memasukkan barang bawaan terakhir ke bagasi mobil.Steve dan Sherly akan menghadiri sebuah acara di luar kota. Alana sudah membayangkan, pasti rumah akan terasa sepi tanpa keberadaan mereka. Meski di rumah ada Mbok Ijah dan Mbak Murni, tetap saja dia akan merasa kesepian.***Alana melongokkan ke
Saat Alana kembali, Braden sudah setengah tertidur. Dia tertidur dengan posisi setengah terduduk dengan kepala terkulai di atas tumpukan bantal yang tinggi. Braden membuka mata karena menyadari kedatangan Alana.“Kenapa kau tidak memakai selimut?” Alana menyelimuti kaki Braden.“Aku kepanasan tadi. Kenapa kau lama sekali?”“Karena cuaca panas, jadi aku mandi sekalian. Aku juga harus mengisi mangkuk makanan dan minuman Mikha.”Alana membersihkan meja belajar Braden yang berantakan dan penuh barang. “Kau tidak perlu membereskan kamarku.” Ujar Braden.“Aku melakukannya karena aku butuh memakai meja ini.” Alana meletakkan laptop dan sebuah buku catatan di meja yang kini sudah bersih.“Kau mau apa?”“Kau tidak mau ditinggal, jadi aku akan mengerjakan tugas di sini.” Alana duduk dan mulai menyanggul rambutnya yang panjang agar tidak mengganggu. Braden terus mengamati aktivitas gadis itu, dan hal itu membuatnya tenang.Braden tertidur beberapa kali dan saat terbangun, dia melihat Alana masih
Alana menggeliat dan mengucek mata. Dia mengerjap untuk menjernihkan pandangan, lalu dilanda kepanikan sesaat ketika menyadari dia berada di tempat asing. Kemudian dia sadar bahwa dia masih berada di kamar Braden. Braden baru saja keluar dari kamar mandi saat mendapati Alana bangun dengan muka kebingungan. “Aku tertidur semalam. Kenapa kau tidak membangunkanku?” omel Alana.“Aku kan juga sudah tidur. Mana aku tahu kalau kau masih di sini?” Braden beralasan.Alana terus saja menggerutu sambil berjalan keluar, menuju kamarnya sendiri. “Bisa-bisanya aku tidur di sana?” Di luar, dia berpapasan dengan Adrian yang sudah mau berangkat ke kantor. “Kakak sudah mau berangkat?”“Ya, aku harus berangkat lebih awal hari ini. Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan.” Adrian merapikan rambut kusut Alana. “Maaf, aku kemarin pulang terlambat. Saat aku pulang, kalian sudah tidur. Kau jadi merawat Braden sendirian.”“Ah, dia hanya demam. Tidak sakit parah.” Alana memijat lehernya yang sakit, karena sem
“Selamat pagi, Tante.” Sapa Eric. “Tante, saya mohon izin untuk mengajak Alana pergi hari ini.”Sherly tersenyum pada Eric. “Ya, tolong jaga Alana. Dan pulangnya jangan malam-malam, ya.”“Baik, Tante.”Seakan sepakat, Braden dan Adrian mengikuti Alana dan Eric hingga ke mobil. Padahal Alana sudah berusaha agar mereka tidak ikut keluar, tetapi tentu saja mereka tidak akan mensia-siakan kesempatan untuk mengintimidasi Eric. “Kenapa kalian ikut kemari?” Alana bertanya curiga.“Memangnya kami tidak boleh mengantar kalian?” tanya Adrian. “Kami hanya ingin memastikanmu baik-baik saja.”“Ke mana kau akan membawa Alana pergi?” Braden bertanya tanpa basa-basi, begitu mereka berada di luar batas pendengaran Sherly.“Haruskah aku membocorkan tempat kencanku dan Alana? Kau akan merusak kejutannya.” Eric memprotes.Adrian langsung saja terlihat berang. “Kalian akan berkencan? Kau mengajak Alana berkencan?” Pemuda itu baru sadar dengan dandanan Alana yang jauh lebih rapi daripada biasanya.“Aku tid
“Aaaa―” Alana memekik dengan gembira. “Itu― Itu rusa!”Eric tertawa makin keras. Sesuatu yang berwarna cokelat yang sebelumnya Alana duga sebagai batang pohon ternyata adalah beberapa ekor rusa yang tengah merumput. “Ayo kita ke sana.”Alana berusaha tidak berlari atau melompat-lompat, tidak ingin semua rusa itu berlari pergi. Tetapi yang mengejutkan, para rusa itu ternyata sama sekali tidak takut dengan kedatangan mereka.Mereka malah datang dan mengendus-endus kantong plastik yang dibawa Eric. “Kau mau ini? Ayo, makanlah.” Eric mengambil sesuatu dari dalam kantong itu dan menyuapkannya ke mulut si rusa. “Kau mau memberi makan mereka juga?”Eric mengulurkan kantong yang ternyata berisi wortel. Alana mengambil satu dan mencoba membujuk seekor rusa yang tanduknya baru saja tumbuh untuk mendekat ke arahnya. “Eric, lihat! Astaga, mereka lucu sekali.” Dia tertawa saat rusa-rusa itu menggigit wortel yang diulurkannya.Melihat itu, Eric langsung mengeluarkan handphonenya dan memotret Alana