“Kau!” ujar Alana merengut. “Kupikir kau menolongku dengan tulus.”“Tentu saja. Aku akan melindungimu dengan segenap jiwa ragaku. Tapi itu bukan berarti aku tidak boleh meminta imbalan.”“Itu namanya kau menolong dengan pamrih. Kau mengharapkan balasan atas kebaikanmu.” Kata Alana sebal. “Memangnya, apa yang ingin kau minta?”Eric tersenyum sangat lebar. “Tadinya aku tidak mengharapkan imbalan apa pun. Tapi ini bisa jadi kesempatan yang bagus untukku. Aku harus memanfaatkan setiap peluang yang ada.” Dia diam sejenak. “Kencan. Itu imbalan yan kuinginkan.”Alana mengerang dan menutup mukanya dengan bantal. “Kau serius ingin berkencan denganku? Kau bisa meminta imbalan yang lain. Kenapa harus kencan?”“Terserah padaku mau meminta imbalan apa. Selama itu bukan jenis permintaan yang aneh-aneh dan mustahil kau kabulkan, kenapa tidak?”“Bolehkah kita mengajak Darren?”Muka Eric seketika berubah serius. “Tidak!” ujarnya tegas. “Kita akan berkencan, bukan mengasuh anak.”Alana hanya bisa menat
Steve membawa Alana ke ruang tengah dan mendudukkan gadis itu di sofa. Mbok Ijah dan Mbak Murni langsung menyambutnya, rupanya kedua asisten rumah tangga itu sudah kembali dari kampung.Mbok Ijah mencium kedua pipinya dengan bersemangat. “Pulang-pulang kenapa kakinya jadi begini? Ada-ada saja Non ini.”Semua orang langsung mengerubutinya dan bertanya bagaimana bisa dia sampai terjatuh. Padahal Alana lelah dan ingin beristirahat. Dia meminta papanya menurunkannya di sofa karena ingin melihat dan memeluk Mikha sebelum naik ke latai atas, tetapi rupanya itu adalah sebuah kesalahan.“Dia lelah. Kenapa kalian malah terus menyerangnya dengan berbagai pertanyaan?” Ujar Braden, mengalahkan suara semua orang. Mereka semua langsung terdiam, dan Alana merasa sangat berterima kasih. “Biarkan dia istirahat sekarang.”“Aku merindukan Mikha.” Kata Alana setelah dia memilki kesempatan untuk berbicara.“Biar kuambilkan.” Kata Braden yang langsung berlalu pergi. Tidak lama kemudian, pemuda itu datang
Alana terbangun di tengah malam dan merasakan tenggorokannya sangat kering hingga terasa pahit. Dia kehausan, dan menyadari botol minum di atas nakasnya kosong. Dia mencoba menahan rasa hausnya, tetapi dia benar-benar kehausan hingga tenggorokannya sakit.Alana mempertimbangkan untuk meminta tolong pada Braden, tetapi dia merasa tidak enak. Dia tidak ingin membangunkan pemuda itu. Apalagi dia tahu Braden bisa tidur seperti orang pingsan.“Tapi aku sangat haus.”Jadi dengan terpaksa dia mencari nomor Braden di kontaknya dan menelfon pemuda itu. Baru di deringan kedua dan Braden sudah mengangkatnya. Alana sampai terkejut dengan kesigapan pemuda itu.“Ada apa?” tanya Braden.“Maaf membangunkanmu. Tapi aku sangat haus.” Braden mematikan telfonnya begitu saja, sehingga Alana khawatir pemuda itu marah. “Dia pasti kesal karena aku telah membangunkannya.”Kemudian Alana mendengar pintu kamar Braden terbuka dan pemuda itu masuk ke kamarnya tanpa mengetuk pintu. Braden terlihat masih segar, tid
Alana sudah mulai bisa berjalan meski harus tertatih-tatih karena kakinya masih terasa nyeri. Tetapi Sherly masih melarangnya untuk berangkat kuliah, karena khawatir dengan keadaan gadis itu. Sherly juga membatasi aktivitas Alana dan gadis itu harus duduk diam sepanjang hari hingga dia merasa bosan setengah mati.“Tapi kemarin aku sudah tidak masuk, Ma. Dan aku bosan hanya duduk di rumah terus.”Sherly melotot dengan galak, yang sangat jarang sekali dia lakukan. “Kaki kamu belum sembuh benar. Mama tidak akan biarkan kamu melangkah barang sejengkal pun keluar dari rumah ini!”Alana bersandar di sofa dengan cemberut. Dan dia bertambah kesal karena Braden menertawakannya. “Kau tidak akan bisa membantah Mama. Sudahlah, kau di rumah saja. Lagi pula kakimu belum sembuh benar.”Jadi Alana hanya bisa duduk manis di sofa ruang tengah seperti tuan putri, sehingga dia bisa meminta bantuan semua orang yang ada di rumah saat dia sedang membutuhkan sesuatu.Sedangkan Sherly tidak pernah berada jauh
“Hai,” sapa Eric. “Bagaimana keadaanmu? Kakimu sudah lebih baik?” tanya Eric sambil memeluk Alana singkat, sehingga mendapatkan pelototan dari Braden.“Ya. Sudah semakin baik.” Jawab Alana. “Aku sekarang sudah bisa berjalan.”“Duduklah, Tante akan buatkan minuman untukmu.” Kata Sherly yang kemudian pergi ke dapur.Eric tahu Braden tengah menahan kekesalannya, sehingga dia menambahkan. “Baru dua hari tidak bertemu saja aku sudah sangat merindukanmu.”“Mau apa kau ke sini?” tanya Braden galak.“Ah, hai. Apa kabar?” Eric memeluk Braden singkat, membuat pemuda berjengit tidak nyaman. Eric melepaskan pelukannya sebelum Braden mendorongnya menjauh.“Apa yang kau lakukan?” Braden mundur satu langkah, seolah takut Eric akan memeluknya lagi.Eric mendecakkan lidah. “Kenapa kau galak sekali? Kau tetap saja tidak berubah rupanya.”Braden sudah bersiap melontarkan kata-kata kasar sebagai balasan saat Alana berkata, “Jangan terlalu keras pada Eric.”“Kau membelanya?” Braden menatap Alana tidak per
“Apa yang kau lakukan?” tanya Alana dengan ngeri pada Braden yang tengah mencengkeram kerah baju Eric dengan sangat erat.“Braden!” tegur Sherly pada putranya. Wanita itu terlihat syok dengan apa yang disaksikannya.Braden menatap kedua wanita itu dengan terkejut. “Haha ... Kau sudah selesai rupanya. Kenapa mandimu cepat sekali?” Braden seketika melepaskan cengkeramannya pada baju Eric.“Aku tidak ingin kalian menunggu lama. Jadi aku mandi dengan cepat. Lagi pula sekarang kan aku tinggal di lantai bawah.” Kata Alana beralasan. Yang sebenarnya terjadi adalah karena dia khawatir meninggalkan mereka berdua saja. “Jadi, apa yang kau lakukan?” tanya Alana lagi.“Oh, ini― Em, aku sedang mengajarkan teknik bela diri pada Eric.“ Braden mencari-cari alasan, sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Teknik bela diri? Teknik beladiri macam apa itu?” tanya Alana sangsi.Sherly masih menatap keduanya dengan mata membelalak. “Kalian tidak sedang berkelahi, kan?”“Tidak, kami tidak sedang berke
“Apa yang kau lakukan? Turunkan aku!” Alana meminta diturunkan, tetapi permintaan itu diabaikan oleh Braden. “Braden, kau membuatku malu. Sekarang semua orang memandangi kita!”“Kakinya terluka!” ujar Braden dengan suara keras pada semua orang yang memandangi mereka dengan bertanya-tanya. Kemudian, pandangan semua orang beralih ke kaki Alana yang terbalut perban. Mereka tidak lagi memndangi Alana dan Braden dengan aneh setelah itu.“Astaga, aku malu. Ku mohon, turunkan aku!” Alana meronta, namun Braden makin mengeratkan cengkeraman tangannya. “Aku bisa berjalan sendiri. Kau tidak perlu menggendongku seperti bayi!”“Diamlah, kalau kau tidak ingin jatuh! Aku sudah berjanji pada Mama akan menjagamu. Dan kalau kau malu, sembunyikan saja mukamu.”Dengan terpaksa Alana menuruti apa kata Braden. Dia menyembunyikan wajahnya di dada pemuda itu, tetapi telinganya tetap mendengar bisik-bisik dari orang-orang di sekitar mereka. “Sialan, kau! Tetap saja aku malu!”“Aku melakukan ini demi kebaikanm
“Bagus. Pemulihannya berjalan dengan sangat baik.” Kata dokter yang sedang memeriksa kaki Alana, seorang pria paruh baya yang sebagian besar rambutnya sudah beruban. “Tapi harus tetap berhati-hati. Untuk sementara ini, tidak boleh melakukan olahraga dan kegiatan yang bisa menyebabkan cedera lagi seperti melompat atau berlari. Untuk aktifitas seperti itu harus menunggu sampai benar-benar pulih.”“Baik, Dokter.” Alana menangguk dan menyimak.“Salepnya masih ada?”“Masih, Dok.”“Baiklah, kalau begitu tidak perlu saya resepkan obat lagi.”Alana senang karena akhirnya dia bisa berjalan normal lagi. Dia tidak harus dipapah apalagi digendong. Hal itu sungguh sangat merepotkan baginya. Dan terkadang, bisa menjadi sangat memalukan.Alana keluar dari ruang pemeriksaan bersama Sherly yang selalu mendampinginya. Sedangkan Adrian, yang hari itu memaksa menemani mereka sedang menunggu di lorong sambil duduk dan membaca sebuah pamflet dengan mimik muka serius.Adrian mendongak saat mereka keluar. “S