"Kak, apa yang kamu lakukan? Lepaskan aku!" pekik Vida mencoba mendorong Davin agar menjauh dari tubuhnya.
Sayangnya Davin tidak mengindahkan pekikan Vida, dia malah membungkam mulut Vida dengan ciuman bertubi-tubi dan memagutnya dengan rakus, hingga hanya ada suara lenguhan tertahan yang keluar dari mulut Vida yang terbungkam.
Vida berusaha keras menolak, dengan terus mendorong kuat tubuh tegap suaminya. Tapi sungguh menyedihkan ketika tenaga Vida tidak cukup kuat untuk melawan Davin, kini kedua tangan Vida malah dikunci di atas kepala hingga dia tak bisa berkutik. Bahkan tangan Davin semakin berani menjelajahi setiap jengkal tubuh Vida yang ramping.
Vida benar-benar merasa sangat terhina, dia merasa sedang dilecehkan suaminya sendiri, di belakang orang lain yang jelas bisa melihat dan mendengar apa yang terjadi di jok mobil belakang.
Tidak tahan lagi, Vida langsung menggigit bibir Davin, hingga Davin tersentak dan melepaskan pagutannya.
"B4jingan! Apa yang sedang kamu lakukan padaku? Br3ngsek!" Vida meluapkan emosi di dasar hati yang sempat tertahan oleh bungkaman Davin.
Davin malah semakin marah dengan pekikan Vida, bahkan dia juga membalas gigitan Vida hingga bibir tipis itu sedikit berdarah. Tangannya kembali bergerilya menjamah tubuh bagian depan Vida dengan kasar, dimana kemeja yang dikenakan Vida sudah terkoyak dan menampakan isi di dalamnya.
Pedih, terhina, dan sangat direndahkan, membuat Vida tak bisa mengontrol isak tangis, tatkala Davin masih sibuk menikmati tubuh bagian atasnya dengan penuh minat tanpa sentuhan cinta, bahkan dia sama sekali tak terusik oleh suara isak tangis Vida.
Deru napas yang tersengal yang disertai isakan, masih terdengar menggema di telinga Iko yang sedang mengemudi dengan tenang, sama sekali tidak melihat ataupun sekedar melirik dari spion dalam mobil, apa yang dilakukan bosnya kepada sang istri.
Dia tidak mau ikut campur dengan urusan rumahtangga bosnya. Bahkan dia terlihat tidak peduli meski suara dari jok belakang cukup membuat pori-pori meremang. Perhatiannya terus fokus pada jalan raya yang cukup padat pada siang hari yang terik, namun AC di dalam mobil cukup menyamankan suhu udara hingga dia tidak sampai kepanasan, meski kegiatan di belakang terdengar begitu panas.
"Itu adalah hukuman untukmu, jika kamu tidak tahu diri," pekik Davin setelah puas membuat Vida merasa terhina.
Tangannya bergerak kasar melepas kuncian di tangan Vida, seakan memberi kesempatan pada tangan ramping itu berayun cepat menyapa wajahnya yang rupawan.
Plak!
"Kamu yang tidak tahu diri! Bagaimana kamu bisa memperlakukan aku seperti ini di depan sekretarismu?" Vida benar-benar tidak bisa menahan suara tinggi yang dilingkupi emosi setelah menampar Davin.
Davin tidak bergeming, seakan tidak merasakan sakit sedikitpun akibat tamparan Vida, dia masih melempar sorot mata tajam sembari berucap dingin.
"Memang kenapa? Kamu adalah istriku, aku bebas menjamahmu jika aku ingin, dan itu legal. Tidak seperti yang kamu lakukan."
Sampai detik ini, Vida masih belum mengerti kesalahan apa yang membuat Davin begitu marah, hingga memberinya hukuman memalukan di dalam mobil, dimana ada sekretarisnya yang sedang mengemudi di depan.
"Memang apa yang telah aku lakukan?" pekik Vida karena tidak merasa melakukan kesalahan.
Kilat mata tajam Davin kembali menghujam, kemudian berucap dingin penuh penekanan.
"Jangan berlagak bodoh Vida, kamu pikir aku tidak tahu setiap hari kamu berboncengan dengan laki-laki itu. Bahkan tadi kalian sempat bersuap-suapan durian dipinggir jalan tanpa malu sedikitpun. Sadarlah bahwa kamu adalah istriku." Tanpa sadar Davin mengklaim Vida dengan tegas.
Vida terkesiap mendengar tuduhan Davin. Dia tidak menyangka jika Davin akan mengawasi setiap gerak-geriknya, padahal jelas-jelas dia berniat menyingkirkannya, bukankah itu sangat berlebihan?
Tapi Vida masih merasa tidak bersalah, dia memang tidak ada hubungan apa-apa dengan Erick, sejak dulu mereka bersahabat, dan apa yang dia lakukan masih dalam batas wajar-wajar saja, tanpa menyalahi apapun.
"Itu bukan sepenuhnya salahku, siapa yang melarang ku pergi ke kampus tanpa menggunakan motor? Sekarang aku jadi sulit keluar dari kampus jika aku memerlukan sesuatu." Vida mencoba membela diri, meski suaranya tersengal karena emosinya yang masih memuncak, hingga begitu sulit untuk mengendalikan nada.
"Itu bukan alasan, Vida. Apa kamu tidak mempunyai teman perempuan?" Davin menghardik tanpa meninggalkan tatapan tajam yang menusuk.
Jelas Vida tidak terima dengan pertanyaan Davin yang begitu mengintimidasi. "Kak, apa kamu harus seribet ini mengurusku? Bukankah kita akan bercerai?"
"Karena itu kendalikan sikapmu selama menjadi istriku! Jangan sampai kamu mempermalukan keluarga Wijaya dengan kelakuanmu!"
Rasanya percuma berdebat dengan Davin yang sepertinya tidak mau mendengar penjelasan darinya. Vida menghapus sisa air mata, kemudian merapatkan kemeja krem yang diporak-porandakan suaminya. Dia segera membuang padangan ke jalan raya melalui jendela kaca mobil.
Hening.
Tak ada suara apapun selain deru mesin mobil dan isak tangis Vida. Langit cerah yang tadinya bersinar indah, mendadak berubah menjadi kelabu, seolah menggambarkan hati Vida yang kelam diselimuti mendung hitam. Terdiam, merasakan bibir yang bengkak dan kebas akibat pagutan Davin yang tidak tanggung-tanggung.
Hujan pun akhirnya hadir mendinginkan hati yang tengah panas. Setelah membisu cukup lama, Davin mulai memiringkan wajah, menatap Vida yang masih sedikit terisak dan tidak mau menatapnya.
Perlahan tangannya bergerak meraih tubuh Vida agar segera menghadapnya. Meski mendapatkan penolakan kasar dari Vida, tapi tentu saja dia lebih memaksa, hingga perempuan cantik yang wajahnya memerah itu terpaksa menurut untuk mendongakkan wajah.
Dengan lembut Davin meraih helaian rambut lurus Vida dan menyelipkan pada daun telinga, sembari berucap pelan tanpa menggunakan nada menekan.
"Kita akan makan siang dengan klien. Aku tidak akan memaksamu untuk tersenyum. Tapi jika itu bisa kamu lakukan, aku akan sangat senang, jangan menangis lagi."
Hati Vida belum bisa menerima kelembutan Davin, dia masih terlalu kesal. Dan mungkin akan selalu kesal jika masih bersama Davin. Jadi hanya diam tanpa memberi tanggapan, bahkan manik hitam indahnya selalu menjauh dari wajah tampan Davin, dia terus membuang pandangan ke arah lain.
Davin masih melihat emosi yang terpendam di wajah Vida, tapi dia tidak peduli, fokusnya malah tertuju pada luka di bibir Vida akibat gigitannya tadi. Ibu jarinya menyentuh lembut bibir dengan rona merah muda alami, yang kini ternoda oleh bercak merah yang menyedihkan. Dadanya tergelitik dan berdebar, seakan luka itu telah menyentuh hati. Bahkan dia tidak bisa menahan diri untuk mengecup sekilas bibir tipis Vida, meski pada akhirnya Davin malah menyesal.
'Shit!' Sembari meluruskan duduknya Davin mengumpat dalam hati.
Dia pikir Vida telah merusak otaknya hingga dia tak mampu menahan diri dan sangat menginginkannya. Dia segera membuang napas bersamaan dengan perasaan aneh yang muncul secara tiba-tiba.
"Apa masih ada berkas yang harus ditandatangani?" tanya Davin sembari mengulurkan berkas yang sudah dia sahkan pada sekretarisnya."Tidak, Pak. Ini yang terakhir. Tapi nanti pukul 18.00 ada pertemuan dengan perwakilan dari perusahaan LT," terang Iko datar."Batalkan saja. Suasana hati istriku sedang buruk, bukankah aku harus menghiburnya sekarang?" tanya Davin yang dibumbui sedikit humor.Iko terkekeh.Memang tidak ada yang Davin tutup-tutupi dari sekretarisnya, bisa dibilang Iko adalah orang yang sangat Davin percaya. Hingga masalah percintaan pun kadang dia curhat dengan Iko, membuat sekretarisnya itu tak segan memberi saran meski tak diminta."Tapi, Pak. Apa tidak sebaiknya Anda memberi tahu Fani perihal nyonya? Takutnya dia akan salah paham jika mendengar dari orang lain."Jari Davin yang sedari tadi memutar-mutar bolpoin seketika berhenti. Hidung mbangirnya mengela napas panjang, dan mengembuskan perlahan, jelas ada beban yang sengaja dia pendam. Kemudian berucap lirih."Aku tida
Senyum seringai yang sangat menyebalkan tersungging dari bibir Davin kala meletakan sepiring nasi goreng pada meja makan."Aku tidak biasa melayani seseorang, tapi aku merendahkan tanganku yang agung untuk membuat nasi goreng, kamu tidak ingin memberi penghargaan?" ucap Davin datar meski masih terkesan sombong.Vida tidak bergeming, hatinya menolak menerima apapun pemberian Davin. Dia malah berbalik hendak meninggalkannya. Tapi langsung tersentak ketika Davin menariknya dengan cepat."Lepaskan aku!" Vida mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Davin."Jangan menguji kesabaran ku, Vida. Kemasi barangmu dan ayo kita pulang," ucap Davin dingin dengan nada menekan."Jangan memaksaku. Aku tidak akan bergerak, meski kamu mengancam ingin menghancurkan toko ayahku. Aku tahu kamu hanya menggertak. Aku ingin bercerai." Nada yang dilontarkan Vida tak kalah dingin dengan ucapan Davin.Tapi alis Vida segera mengeryit kala melihat senyum penuh arti yang terbit di sudut bibir Davin.Davin melepaska
Davin dapat melihat dengan jelas perubahan di raut wajah Vida. Namun dia tidak peduli, pada kenyataannya dia memang mencintai Fani dan berniat menikahinya. Dia tidak masalah jika Vida mengetahui itu, lagipula Vida juga sudah tahu jika dia tidak menginginkannya, mereka hanya menjalani pernikahan sampai kontrak yang ditentukan selesai.Sementara Vida sendiri masih memikirkan ucapan laki-laki di depannya. Ingin bersikap acuh, tapi ternyata status istri yang dia sandang cukup mempengaruhi emosinya, istri mana yang tidak geram ketika mengetahui ada perempuan lain di kehidupan suaminya?Vida berdecak kesal dalam hati membayangkan jika itu benar, berarti Davin sama sekali tak layak untuk dipertahankan, Vida hanya berharap semoga dia tidak hamil agar segera terbebas dari Davin.Lamunan Vida berangsur-angsur menghilang ketika mendengar laki-laki yang tadinya menyapa kembali berkelakar, bahkan ucapannya kini berpindah menyerang Vida yang sebenarnya tidak ingin terlibat dengan siapapun di tempat
"Sampai kapan kamu akan menunjukan wajah buruk mu itu kepadaku?" tanya Davin sesampainya di ruang bawah tanah hotel untuk mengambil mobil. Vida yang memang sudah uring-uringan sejak keluar dari ballroom, sama sekali tidak mau menjawab dia terus berjalan cepat menuju mobil. Tapi sesampainya di depan mobil, dia malah berbalik menghampiri Davin, dan memukul dada bidang itu secara bertubi-tubi tanpa mengucapkan apa-apa, meski air mata tiba-tiba tumpah ruah di pipinya. Sementara Davin sendiri sama sekali tidak berusaha menghindar ataupun mencegah apa yang dilakukan Vida. Dia terlihat pasrah menerima setiap pukulan dari tangan ramping istrinya, yang tengah meluapkan emosi yang sudah dia tahan sejak berada di acara lelang. Puas memukul Davin, Vida segera masuk ke dalam mobil sembari menyeka air mata, meski belum berucap apa-apa. Davin hanya dapat mengela napas panjang dan mengembuskan perlahan, mendapati amukan Vida yang masih tampak kekanak-kanakan. Dia juga mendapati Vida yang masih men
"Katakan apa yang kamu inginkan," ucap Davin setelah dia duduk dengan nyaman di depan laki-laki yang mengancamnya sesampainya di kafe merah. "Davin, kenapa kamu sangat terburu-buru? Aku yakin istrimu yang sedang kesal tadi tidak akan menunggu kepulangan mu." Laki-laki yang mengundang Davin tampak tersenyum remeh. "Dion, aku tidak punya waktu untuk berbicara omong kosong denganmu. Katakan yang kamu inginkan." Tidak ada keramahtamahan di wajah Davin ketika berucap. Pria yang bernama Dion terkekeh menangkap kekhawatiran di wajah pria tampan yang dia tekan. "Apa kamu takut?" tanyanya pelan dengan nada mencibir. Kini senyum seringai terbit di bibir manis Davin, dan berkata. "Jangan terlalu percaya diri, aku hanya khawatir kamu akan kecewa karena aku tidak datang. Tapi ternyata aku hanya menyia-nyiakan waktu saja." Davin beranjak dari duduknya, hendak pergi. Tapi langkahnya terhenti ketika Dion membuka suara. "Berikan proyek desain hotel yang ada di Bali untukku." Salah satu alis Dav
"Vida, setidaknya pakailah, busana yang pantas saat keluar dari dalam kamar." Teguran nenek Rumi menyadarkan Vida yang tengah tertegun menatap laki-laki bermulut kotor, tiba-tiba sudah ada di kediaman Wijaya pagi-pagi begini. Seketika Vida menjadi malu sekaligus kesal melihat tatapan mesum laki-laki yang tak beralih dari tubuhnya yang berbalut busana yang sangat kekurangan bahan. Vida segera berbalik urung mengadu pada nenek Rumi. Dia tidak tahu jika Davin sudah sampai di belakangnya, hingga saat dia berbalik, Vida langsung menubruk tubuh Davin. "Yaaak!" Vida memekik terkejut, dan nyaris jatuh di anak tangga jika tangan Davin tidak cepat meraih pinggangnya. Dengan gerakan slow motion, rambut hitam panjang Vida melambai di udara seiring gerakan tangan Davin yang menyentak menarik ke pelukannya. Beberapa detik Davin dan Vida membeku dengan kilat mata saling menyatu, memicu lengkungan senyum geli di bibir nenek Rumi. Melihat ada kain warna krem mengkilat berbahan satin di tangan k
Davin berdiri hendak meninggalkan Dion yang masih duduk dengan wajah gusar. Tapi mata elangnya mendadak menyipit mendapati Vida yang berjalan riang menuruni tangga. Wajahnya sudah terlihat segar, dengan tubuh ramping yang dibalut busana kasual namun terlihat modis, juga tas ransel warna putih yang melekat di punggungnya. "Kamu ingin pergi kemana?" tanya Davin sembari meraih pergelangan tangan Vida. Tidak mungkin Vida kuliah, disaat ini adalah hari minggu. "Aku ada janji dengan Erick dan Rion ke toko cat." Entah kenapa emosi Davin langsung tersulut begitu mendengar nama dua pria itu disebut. "Tetap di rumah, aku tidak mengizinkanmu pergi!" tegas Davin tak ingin Vida pergi. Tentu saja raut wajah Vida seketika menjadi suram, sudut bibirnya tertarik ke samping karena kesal. "Aku bawa motor sendiri, tidak dijemput Erick." Vida menegaskan. "Aku tetap tidak mengizinkanmu pergi. Katakan saja keperluanmu, aku akan menyuruh seseorang untuk membelikannya untukmu," raut wajah Davin masih te
Kecupan-kecupan itu terus menyapu leher Vida tanpa ampun mengabaikan pekikan dari mulut kecil yang berusaha menolak."Kak, hentikan! Jika kita tidak pernah melakukan kesalahan, maka kita tidak perlu mengulanginya lagi." Vida berusaha keras mendorong tubuh Davin meski hasilnya nihil.Davin masih tidak mengindahkan pekikan Vida, dan melanjutkan aktivitasnya menambah bercak merah keunguan yang belum hilang sejak Davin menghukum Vida di mobil tempo hari.Vida sungguh tidak menyukai ketidakberdayaannya, begitu rapuh, layaknya perempuan lemah, di saat Davin memaksakan kehendak dan tidak mau menghargainya. Kilat embun menyapa manik hitam yang terpaku dengan binar kesedihan."Kak, hentikan! Aku akan mematuhi apa yang kamu katakan, asal kamu tidak menyentuhku." Suara Vida tak lagi lantang, kala bulir kristal ikut hadir menyertai kepedihan.Gerakan Davin terhenti merasakan cairan hangat yang luruh menyentuh pipi, dia terpaku untuk beberapa detik, tapi salah satu sudut bibir manis itu malah ter
Matahari sudah condong ke barat kala Vida kembali ke rumah sakit. Hari yang sangat melelahkan, tapi juga dengan cepat terselesaikan meski dibumbui dengan kekerasan fisik. Paras cantik Vida menunjukan kelegaan saat sinar lampu menerpa wajah ayunya yang tak menunjukan senyuman.Dia berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan ekspresi datar, namun masih memperlihatkan keanggunan. Diikuti Mee Noi dan Pam di belakangnya yang berjalan tanpa berucap. Senyum baru tercipta kala Nia mengatakan jika Davin sudah dipindahkan ke ruang rawat inap, dan sekarang dia sudah sadar.Vida sangat tidak sabar untuk menemui suaminya, detak jantung yang tadinya tenang, tiba-tiba saja menunjukan lonjakan, mungkin karena rasa senang yang meluap dari dasar hati. Vida segera masuk ke ruang rawat inap suaminya, dan menemukan laki-laki tersebut setengah berbaring dengan bantal yang tinggi, saat wajah tampan itu tersenyum lemah kepadanya.Sungguh tak ingin menangis, tapi tetap saja air mata bahagia itu bertumpuk mem
"Sebenarnya apa yang kamu inginkan, ha? Sedari tadi kamu hanya membuang-buang waktuku, membuatku semakin muak melihatmu. Seharusnya yang mati hari ini adalah kamu, bukan Davin!" Seru Fani sembari mencengkeram kerah pakaian Vida.Vida kembali menyeringai sengit mengejek Pam dengan bertanya santai. "Jadi benar-benar kamu pelakunya?""Memangnya kalau iya kenapa, ha? Apa yang bisa kamu lakukan? Lagipula orang yang ku suruh untuk menembak mu juga sudah mati, dia tidak akan bisa bersaksi bahwa aku memang yang merencanakan pembunuhan ini," timpal Fani dengan geram dan melotot ke arah Vida, tangannya masih mencekeram pakaian Vida.Seketika terdengar suara tawa Vida yang renyah, dilanjutkan perkataan Vida yang santai. "Jadi setelah gagal membunuhku, kamu malah membunuh orang yang kamu suruh, begitu?"Fani sungguh tak suka melihat tawa Vida yang terdengar mengejek. Dia pun tak bisa mengendalikan tangan untuk menampar Vida dengan keras, hingga wajah Vida menoleh ke samping dengan paksa. Tapi kali
Hari masih terang, matahari juga bersinar indah, hanya sedikit mendung yang terlihat bergelombang menghiasi langit biru yang tampak cerah. Seorang wanita cantik berlenggang santai di koridor hotel sembari menarik koper di tangannya.Setelah mengotori tangan dengan melenyapkan seseorang, Fani tidak mungkin akan tetap berdiam diri di tempat. Dia harus kembali ke Indonesia untuk menyelamatkan diri. Terlebih Fani juga tak ingin kepulangannya ke tanah air dengan menyandang gelar narapidana tindak pembunuhan, apabila tertangkap oleh polisi setempat, itu hanya akan mencoreng nama baiknya saja. Bagaimana pun dia harus tetap menjadi peri cantik yang baik hati.Sungguh ironi, setelah melakukan kejahatan yang tak terampuni, wajah cantik itu sama sekali tidak menunjukan ketakutan atau tertekan layaknya orang yang baru saja menghilangkan nyawa seseorang. Dia masih terlihat santai kala berjalan keluar dari dalam hotel dan menunggu taksi pesanannya tiba.Bahkan dia sempat tersenyum kala mengingat pe
Koridor rumah sakit masih terlihat senyap di depan ruang emergency. Empat orang yang masih menunggu terdiam menikmati aroma disinfektan yang terasa tebal menyentuh indera penciuman. Tak satupun yang membuka mulut untuk berucap, menciptakan keheningan yang penuh kecemasan.Pipi Vida tak lagi basah, meski manik hitam itu masih berkaca-kaca memandang udara kosong yang diliputi kehampaan. Ingatannya merujuk pada ucapan Davin sebelum dia ambruk setelah berusaha menyelamatkannya.'Sudah aku bilang, aku akan menjadi perisaimu.' Kata tulus itu terngiang dan terasa dalam menyentuh hati, hingga tanpa sadar bulir kristal kembali mengalir dengan pelan membasahi pipi Vida tanpa suara.Selama ini Vida masih menganggap Davin laki-laki arogan yang penuh rayuan, dia tidak pernah berpikir jika dia benar-benar akan membuktikan ucapannya untuk menjadi perisai. Tanpa sadar Vida menyentuh perutnya dan membatin. 'Bagaimana ibu bisa meragukan ayahmu?'Sesaat kemudian seorang perawat tiba memecah keheningan. "
Dor!Suara tembakan melengking jauh menghentikan waktu yang berputar. Vida pun sudah jatuh dalam pelukan Davin saat mendengar suara tembakan yang memekakkan telinga. Dia terdiam cukup lama dalam keheningan dan hangatnya dekapan sang suami, belum mengerti apa yang sedang terjadi, sampai dia mendongak dan mendapati senyuman manis dari seorang Davin."Aku sudah mengatakan, aku akan menjadi perisaimu."Bruk!Davin jatuh berdebum di parkiran, bersamaan dengan mengalirnya cairan berwarna merah dan menebar aroma amis khas darah pada jajaran paving blok. Menghadirkan jeritan panjang Vida yang melaung di udara, kala sadar tembakan telah mengenai punggung suaminya.***Brankar yang didorong tergesa-gesa mengiringi derai tangis Vida yang berjalan setengah berlari sembari terus menggenggam tangan Davin yang hampir kehilangan kesadaran akibat banyak mengeluarkan darah."Tolong, tunggu disini. Kami akan segera melakukan upaya penyelamatan." Seorang perawat menghentikan Vida sesampainya di depan pint
Lenguhan malas terdengar di pagi hari saat Vida masih enggan membuka mata. Tapi ketika ingatannya menunjukan dimana dia berada, dia pun mau tidak mau membuka mata dengan segera. Terlihat mata kelam yang berkilat indah menyambut, begitu jernih layaknya embun yang menetes di dedaunan. Vida yakin suaminya sudah bangun sejak tadi, karena tak sedikitpun dia menangkap kemalasan pada binar wajah yang tersenyum.Tangan Vida bergerak malas menyentuh pipi Davin dan berucap. "Sudah lama bangun?""Uhum ...." Suara yang tercipta dari bibir yang terkatup itu terdengar sangat seksi."Kamu sudah lebih baik?" Kali ini pertanyaan Vida membuat Davin tak bisa menyembunyikan lengkungan senyum dari bibirnya.Namun, Davin segera kembali mengeluarkan suara samar untuk menjawab pertanyaan Vida. "Uhum ....""Baguslah kalau begitu." Hanya tiga kata bernada datar yang keluar dari mulut Vida dan terdengar acuh tak acuh, saat dia kembali menarik tangan dari pipi Davin. Dan itu lebih baik bagi Davin, dari pada Vida
Sementara Davin terlihat memiringkan tubuhnya membelakangi Vida. Dan mendadak bibirnya melengkung indah, menunjukan senyum penuh arti saat matanya terbuka lebar.Sejak awal dia memang tidak kehilangan kesadaran, dia memang sengaja berakting untuk melancarkan rencananya, juga demi memicu kemarahan Vida setelah tahu dia sedang dijebak. Sebelum Davin keluar dari restoran, dia sempat bertemu dengan ibu mertuanya."Davin, kamu mau kemana?" Nia yang baru saja ingin mengambil list dari pelanggan dari atas meja mulai bertanya kala melihat Davin lewat.Segera Davin mengerutkan alis dan membatin, 'bukankah ibu yang menyuruhku mengantar pesanan ini? Bagaimana dia tidak tahu aku akan pergi kemana?'"Oh, mau mengantar pesanan ya? Ya sudah, hati-hati di jalan," ucap Nia santai setelah melihat box makanan ukuran sedang di tangan Davin, kemudian dia pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban Davin, setelah mengambil list tersebut.Davin masih berpikir positif, sampai dia bertemu dengan Vida di meja kas
Dengan susah payah Fani membawa Davin ke ranjangnya. Sedikit kesal, dia sudah sering menggunakan obat perangsang tapi tidak seperti ini reaksinya, seharusnya Davin menyerangnya dengan bertubi-tubi, bukannya malah memejamkan mata seperti ini.Fani melihat Davin menggeliat, sembari menggumamkan sesuatu. "Vida ...."Membuat Fani semakin kesal mendengar nama itu, tapi tak lama kemudian bibirnya kembali melengkung, lantas merangkak di tempat tidur dan menjatuhkan diri di atas tubuh Davin yang terkulai di atas kasur. Tak lupa dia mengecup pipi Davin dan berbisik lembut. "Kamu boleh berfantasi dengan istrimu. Tapi malam ini kamu adalah milikku, Davin. Aku akan memuaskan mu."Perlahan Fani kembali menegakkan tubuhnya untuk duduk, jari-jemarinya mulai bergerak lembut membuka setiap kancing kemeja yang dikenakan Davin, kadang dia juga mengelus lembut otot liat yang begitu padat pada dada bidang yang berkulit putih.Fani masih mendengar Davin yang bergumam samar menyebut nama Vida, tapi dia sungg
"Vida, sejak kapan kamu berdiri di situ?" sedikit gugup tapi Pam menutupinya dengan senyuman.Tatapan Vida belum beralih, dan itu terlihat begitu tajam dan dingin, sampai suara samar nan menusuk terdengar dari celah kedua bibir tipis yang tampak bergerak samar. "Kemana kamu menyuruh kak Davin pergi?"Pam terkesiap mendengar pertanyaan Vida, tapi dia masih berusaha menguasai diri dan berlagak tidak mengerti dengan terus tersenyum hangat. "Aku? Kenapa aku menyuruhnya pergi? Berbicara dengannya saja aku enggan. Sudah, ayo kita masuk."Pam segera merangkul Vida dengan santai, tapi langsung mendapat tepisan kasar dari Vida. Kini Pam mulai mendapati kemarahan di wajah cantik yang semakin kentara."Vida ...." Pam menunjukan raut wajah sayu dan sedih melihat kemarahan Vida, bukan dibuat-buat, dia memang sedih melihat Vida seperti itu kepadanya."Aku tanya sekali lagi. Kamu menyuruh kak Davin kemana?" Suara pelan dan dingin Vida kembali membekukan udara yang Pam hirup. Membuatnya sedikit menah