"Vid, motor lo kemana sih? Sekarang gak pernah bawa motor kalau ke kampus?" tanya Erick sembari membelah durian yang berukuran sebesar kepala manusia.
"Dijual," jawab Vida singkat tanpa menoleh pada Erick, lantas membuka mulut untuk memakan buah yang baunya sangat menyengat itu.
"Serius lo? Apa toko roti bokap lo, bangkrut? Hingga sampai jual motor segala." Lagi Erick bertanya, sembari mengunyah duriannya.
"Mau tau aja, apa mau tau banget?" Vida malah balik bertanya dengan mimik wajah yang menyebalkan, mengundang Erick untuk menipiskan bibir karena kesal.
"Bisa tidak, tanpa memberi gue wajah menyebalkan itu?"
Vida hanya terkekeh melihat wajah jengkel Erick, begitu juga dengan Rion yang mulai ikut berkelakar.
"Bagaimana mau bawa motor? Orang pulang pergi dijemput pakai mobil mewah sekarang."
Mata Erick melebar mengingat kebenaran yang diucapkan Rion, jiwa penasarannya meronta.
"Bener juga kata Rion. Siapa sih yang antar jemput lo setiap hari, Vid? Jangan-jangan lo cuma pura-pura kismin di depan kita, tapi sebenarnya lo adalah sultan."
"Kepo banget sih lo sama hidup gue, makan aja durian ini biar lo kenyang."
Vida segera mengulurkan tangan menyumpal mulut Erick dengan durian, mengundang Rion tergelak lebar. Selama ini Vida memang tidak suka mengumbar kehidupan pribadinya kepada siapapun, kali ini pun juga begitu. Diam, tanpa memberi tahu perihal suaminya itu akan lebih baik.
"Jujur saja, Vid. Itu yang antar jemput lo setiap hari, pacar lo 'kan?"
Pertanyaan Rion kembali membuat mata Erick melebar, berharap Vida tidak berkata 'ya' karena sebenarnya dia menyukai Vida.
"Vid, bener gak tu yang dikatakan Rion. Itu bukan pacar lo 'kan?" Desak Erick penasaran.
"Bukan," 'tapi suami sementara,' lanjut Vida dalam hati.
"Gak caya! Kalau gak ada hubungan apa-apa mana mungkin mau antar jemput lo setiap hari. Jujur saja deh, jangan mengelak lagi," desak Rion dengan nada mencibir.
"Emang itu penting ya, gue aja males ngomongin masalah dia," jawab Vida acuh dengan kilat mata sedikit menerawang.
Melihat wajah Vida yang tiba-tiba meredup Erick jadi khawatir terjadi sesuatu dengan Vida. "Kenapa? Lo, gak sedang dalam masalah kan?"
"Iya Vid, bilang saja kalau lo sedang ada masalah, mungkin kita bisa membantu?" Rion juga bersimpati.
Vida senang melihat kepedulian teman-temannya, hanya saja tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya pada mereka. Mengatakan ditiduri seseorang, kemudian akan ditendang setelah dinikahi, bukankah itu seperti bahan lelucon yang menyedihkan?
Vida mendesah kasar dan menjawab lemas. "Gue dijodohin sama seseorang."
Erick terkesiap dengan pengakuan Vida. Ada kekecewaan yang tiba-tiba menyeruak, menyambangi ulu hati. Jakunnya bergerak perlahan menelan rasa pahit melalui tenggorokannya. Semakin berkecil hati ketika mendengar Rion berseloroh.
"Ya baguslah, seharusnya lo seneng dijodohin sama orang kaya. Ntar hidup lo bakalan terjamin sampai anak cucu," tukas Rion dengan entengnya.
"Masalahnya bukan itu." Alis Vida berkerut saat menjawab.
"Terus apa masalahnya?"
Lagi-lagi Vida mendesah kasar. "Sepertinya dia tidak menyukai perjodohan ini. Dia cuma terpaksa menuruti keinginan neneknya."
"Oh begitu. Memang kenapa dia tidak menyukai perjodohan ini? Apa dia sudah mempunyai kekasih?"
Seketika mata Vida melebar, lantas mengerjap dua kali saat hatinya berbisik.
'Benar apa yang dikatakan Rion. Kenapa aku tidak berpikir sampai sana? Tapi ... Kalau kak Davin sudah mempunyai kekasih, kenapa dia meniduriku saat itu?'
"Kalau lo sendiri gimana, Vid? Lo, setuju dengan perjodohan itu?" Pertanyaan Erick meretakkan lamunan Vida.
Vida sedikit terkesiap. Sejak Davin menyatakan bahwa dia tidak menginginkannya, sebenarnya dia sudah menyerah dan tidak ingin berhubungan dengan Davin, dia bertahan hanya demi ayahnya. Dia takut Davin benar-benar menghancurkan usaha ayahnya yang sudah dibangun selama bertahun-tahun. Jadi dia menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaan Erick.
Erick tersenyum lega, tapi begitu mendengar Rion kembali berkelakar dia jadi kesal.
"Jangan sampai disia-siain, Vid. Dari mobil yang dia kendarai jelas dia orang kaya, jangan sampai nyesel gara-gara nolak cowok tajir macam dia."
Plak.
Tangan Erick tak tahan mengeplak lengan Rion karena jengkel. "Geblek, bisa diem gak? Ngapain sih lo dorong-dorong Vida jadi perempuan materialistis? Serah dia lah mau apa enggak, lagian apa enaknya menikah atas dasar paksaan? Yang ada hidup bakalan tertekan. Menikah itu harus berdasarkan suka sama suka biar nyaman jalaninya."
"Kenapa jadi elu yang emosi sih, Rick? Gue 'kan ngomongnya sama Vida," keluh Rion, aneh saja melihat reaksi Erick yang berlebihan.
"Ya iyalah, Vida kan sahabat kita, liat dia sedih gara-gara dijodohin, kita itu harus saling support, gak menjeruskan ke lembah kesedihan."
"Halah, lebai ...."
Melihat kedua temannya malah jadi berantem sendiri gara-gara masalahnya, Vida jadi tertawa sendiri. "Sudah-sudah, gak perlu berantem. Makasih atas kepedulian kalian, tapi agar persahabatan kita tidak putus, pinjem dulu seratus."
Rion dan Erick yang tadinya bersungut-sungut jadi tergelak gara-gara ucapan viral yang dilontarkan Vida.
"Jangankan seratus, Vid. Apapun gue kasih buat lo. Nih, durian terakhir gue, biar lo aja yang makan." Erick mengulurkan tangannya untuk menyuapi Vida.
Vida menerima dengan senang hati, karena dia memang suka dengan buah yang baunya sangat menyengat itu. Dia tidak tahu jika ada mata yang menyipit tajam penuh amarah, di balik mobil warna hitam yang terparkir tidak jauh dari tempatnya makan durian.
Kebetulan Davin memang sedang lewat di jalan itu karena akan makan siang dengan koleganya. Dia yang sejak awal sudah curiga dengan kedekatan Vida dan Erick begitu terbakar ketika melihat Vida begitu bahagia suap-suapan durian di pinggir jalan.
Perempuan yang ternoda biasanya cenderung mengejar dan menuntut, tapi Vida malah selalu berusaha menjauh seakan dia tidak membutuhkan Davin dalam hidupnya.
Davin jadi berpikir, mungkin Vida telah mengetahui bahwa nenek Rumi akan mewariskan harta kekayaan kepadanya jika Davin menceraikannya sekarang. Mungkin saja Vida sengaja mempermainkannya setelah berhasil masuk ke dalam keluarga Wijaya.
Harga diri Davin sebagai seorang suami terasa diinjak-injak oleh Vida. Dia sudah tidak punya kesabaran untuk mengabaikan Vida.
"Mbak Vida, Anda sudah ditunggu pak Davin di dalam mobil."
Vida cukup terkejut melihat sekretaris suaminya tiba-tiba mendatanginya. "Ada apa, Pak? Apa ada masalah?"
"Saya kurang tau, Mbak. Saya cuma disuruh pak Davin untuk memanggil, Anda. Silahkan menuju mobil." Sekretaris Davin melambaikan tangan pada mobil hitam mengkilap yang terparkir tidak jauh dari tempat Vida duduk.
'Pakai mobil lain, pantas saja aku tidak mengenalinya,' gerutu Vida dalam hati.
Entah kenapa perasaan Vida jadi tidak enak. Terlebih ini belum waktunya pulang kuliah, dua jam lagi dia masih ada kelas, untuk apa Davin tiba-tiba menjemputnya?
"Pak Iko, bilang sama kak Davin, aku masih ada kelas, nanti kalau sudah selesai, aku akan menghubungi kak Davin sendiri." Vida mencoba menerangkan.
"Saya tahu. Mungkin ada hal penting yang ingin pak Davin bicarakan, jadi jangan membuatnya menunggu terlalu lama," desak sekretaris Davin dengan sangat sopan.
Vida mengembuskan napas kasar, sepertinya dia tak dapat menghindar. Wajahnya beralih pada Erick dan Rion yang sejak tadi hanya menyimak. "Guys, gue cabut dulu ya, sepertinya ada hal penting."
Apa yang bisa dilakukan Rion dan Erick selain mengangguk.
Vida segera masuk ke mobil setelah Iko membukakan pintu. Terlihat Davin duduk dengan tenang juga wajah dingin yang tampak lurus menatap ke depan, seakan tak ingin menyambut kedatangan Vida yang sudah duduk di sebelahnya.
Vida juga enggan bertanya, lagipula Davin yang mendatanginya, bukankah dia yang harus mengatakan maksud kedatangannya terlebih dulu. Vida tampak acuh dan memilih memperhatikan Iko yang mulai melajukan mobil.
Tapi siapa sangka jika tiba-tiba Davin menarik tangannya dengan gerakan menyentak, hingga Vida jatuh ke pelukannya. Tanpa permisi Davin langsung menyerangnya dengan ciuman bertubi-tubi yang sangat mengejutkan. Bahkan Davin menarik kemeja yang dikenakan Vida dengan kasar, hingga semua kancingnya terlepas dan menampakan kacamata hitam yang melekat di tubuh bagian depan Vida.
"Kak, apa yang kamu lakukan?"
"Kak, apa yang kamu lakukan? Lepaskan aku!" pekik Vida mencoba mendorong Davin agar menjauh dari tubuhnya.Sayangnya Davin tidak mengindahkan pekikan Vida, dia malah membungkam mulut Vida dengan ciuman bertubi-tubi dan memagutnya dengan rakus, hingga hanya ada suara lenguhan tertahan yang keluar dari mulut Vida yang terbungkam.Vida berusaha keras menolak, dengan terus mendorong kuat tubuh tegap suaminya. Tapi sungguh menyedihkan ketika tenaga Vida tidak cukup kuat untuk melawan Davin, kini kedua tangan Vida malah dikunci di atas kepala hingga dia tak bisa berkutik. Bahkan tangan Davin semakin berani menjelajahi setiap jengkal tubuh Vida yang ramping.Vida benar-benar merasa sangat terhina, dia merasa sedang dilecehkan suaminya sendiri, di belakang orang lain yang jelas bisa melihat dan mendengar apa yang terjadi di jok mobil belakang.Tidak tahan lagi, Vida langsung menggigit bibir Davin, hingga Davin tersentak dan melepaskan pagutannya."B4jingan! Apa yang sedang kamu lakukan padaku
"Apa masih ada berkas yang harus ditandatangani?" tanya Davin sembari mengulurkan berkas yang sudah dia sahkan pada sekretarisnya."Tidak, Pak. Ini yang terakhir. Tapi nanti pukul 18.00 ada pertemuan dengan perwakilan dari perusahaan LT," terang Iko datar."Batalkan saja. Suasana hati istriku sedang buruk, bukankah aku harus menghiburnya sekarang?" tanya Davin yang dibumbui sedikit humor.Iko terkekeh.Memang tidak ada yang Davin tutup-tutupi dari sekretarisnya, bisa dibilang Iko adalah orang yang sangat Davin percaya. Hingga masalah percintaan pun kadang dia curhat dengan Iko, membuat sekretarisnya itu tak segan memberi saran meski tak diminta."Tapi, Pak. Apa tidak sebaiknya Anda memberi tahu Fani perihal nyonya? Takutnya dia akan salah paham jika mendengar dari orang lain."Jari Davin yang sedari tadi memutar-mutar bolpoin seketika berhenti. Hidung mbangirnya mengela napas panjang, dan mengembuskan perlahan, jelas ada beban yang sengaja dia pendam. Kemudian berucap lirih."Aku tida
Senyum seringai yang sangat menyebalkan tersungging dari bibir Davin kala meletakan sepiring nasi goreng pada meja makan."Aku tidak biasa melayani seseorang, tapi aku merendahkan tanganku yang agung untuk membuat nasi goreng, kamu tidak ingin memberi penghargaan?" ucap Davin datar meski masih terkesan sombong.Vida tidak bergeming, hatinya menolak menerima apapun pemberian Davin. Dia malah berbalik hendak meninggalkannya. Tapi langsung tersentak ketika Davin menariknya dengan cepat."Lepaskan aku!" Vida mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Davin."Jangan menguji kesabaran ku, Vida. Kemasi barangmu dan ayo kita pulang," ucap Davin dingin dengan nada menekan."Jangan memaksaku. Aku tidak akan bergerak, meski kamu mengancam ingin menghancurkan toko ayahku. Aku tahu kamu hanya menggertak. Aku ingin bercerai." Nada yang dilontarkan Vida tak kalah dingin dengan ucapan Davin.Tapi alis Vida segera mengeryit kala melihat senyum penuh arti yang terbit di sudut bibir Davin.Davin melepaska
Davin dapat melihat dengan jelas perubahan di raut wajah Vida. Namun dia tidak peduli, pada kenyataannya dia memang mencintai Fani dan berniat menikahinya. Dia tidak masalah jika Vida mengetahui itu, lagipula Vida juga sudah tahu jika dia tidak menginginkannya, mereka hanya menjalani pernikahan sampai kontrak yang ditentukan selesai.Sementara Vida sendiri masih memikirkan ucapan laki-laki di depannya. Ingin bersikap acuh, tapi ternyata status istri yang dia sandang cukup mempengaruhi emosinya, istri mana yang tidak geram ketika mengetahui ada perempuan lain di kehidupan suaminya?Vida berdecak kesal dalam hati membayangkan jika itu benar, berarti Davin sama sekali tak layak untuk dipertahankan, Vida hanya berharap semoga dia tidak hamil agar segera terbebas dari Davin.Lamunan Vida berangsur-angsur menghilang ketika mendengar laki-laki yang tadinya menyapa kembali berkelakar, bahkan ucapannya kini berpindah menyerang Vida yang sebenarnya tidak ingin terlibat dengan siapapun di tempat
"Sampai kapan kamu akan menunjukan wajah buruk mu itu kepadaku?" tanya Davin sesampainya di ruang bawah tanah hotel untuk mengambil mobil. Vida yang memang sudah uring-uringan sejak keluar dari ballroom, sama sekali tidak mau menjawab dia terus berjalan cepat menuju mobil. Tapi sesampainya di depan mobil, dia malah berbalik menghampiri Davin, dan memukul dada bidang itu secara bertubi-tubi tanpa mengucapkan apa-apa, meski air mata tiba-tiba tumpah ruah di pipinya. Sementara Davin sendiri sama sekali tidak berusaha menghindar ataupun mencegah apa yang dilakukan Vida. Dia terlihat pasrah menerima setiap pukulan dari tangan ramping istrinya, yang tengah meluapkan emosi yang sudah dia tahan sejak berada di acara lelang. Puas memukul Davin, Vida segera masuk ke dalam mobil sembari menyeka air mata, meski belum berucap apa-apa. Davin hanya dapat mengela napas panjang dan mengembuskan perlahan, mendapati amukan Vida yang masih tampak kekanak-kanakan. Dia juga mendapati Vida yang masih men
"Katakan apa yang kamu inginkan," ucap Davin setelah dia duduk dengan nyaman di depan laki-laki yang mengancamnya sesampainya di kafe merah. "Davin, kenapa kamu sangat terburu-buru? Aku yakin istrimu yang sedang kesal tadi tidak akan menunggu kepulangan mu." Laki-laki yang mengundang Davin tampak tersenyum remeh. "Dion, aku tidak punya waktu untuk berbicara omong kosong denganmu. Katakan yang kamu inginkan." Tidak ada keramahtamahan di wajah Davin ketika berucap. Pria yang bernama Dion terkekeh menangkap kekhawatiran di wajah pria tampan yang dia tekan. "Apa kamu takut?" tanyanya pelan dengan nada mencibir. Kini senyum seringai terbit di bibir manis Davin, dan berkata. "Jangan terlalu percaya diri, aku hanya khawatir kamu akan kecewa karena aku tidak datang. Tapi ternyata aku hanya menyia-nyiakan waktu saja." Davin beranjak dari duduknya, hendak pergi. Tapi langkahnya terhenti ketika Dion membuka suara. "Berikan proyek desain hotel yang ada di Bali untukku." Salah satu alis Dav
"Vida, setidaknya pakailah, busana yang pantas saat keluar dari dalam kamar." Teguran nenek Rumi menyadarkan Vida yang tengah tertegun menatap laki-laki bermulut kotor, tiba-tiba sudah ada di kediaman Wijaya pagi-pagi begini. Seketika Vida menjadi malu sekaligus kesal melihat tatapan mesum laki-laki yang tak beralih dari tubuhnya yang berbalut busana yang sangat kekurangan bahan. Vida segera berbalik urung mengadu pada nenek Rumi. Dia tidak tahu jika Davin sudah sampai di belakangnya, hingga saat dia berbalik, Vida langsung menubruk tubuh Davin. "Yaaak!" Vida memekik terkejut, dan nyaris jatuh di anak tangga jika tangan Davin tidak cepat meraih pinggangnya. Dengan gerakan slow motion, rambut hitam panjang Vida melambai di udara seiring gerakan tangan Davin yang menyentak menarik ke pelukannya. Beberapa detik Davin dan Vida membeku dengan kilat mata saling menyatu, memicu lengkungan senyum geli di bibir nenek Rumi. Melihat ada kain warna krem mengkilat berbahan satin di tangan k
Davin berdiri hendak meninggalkan Dion yang masih duduk dengan wajah gusar. Tapi mata elangnya mendadak menyipit mendapati Vida yang berjalan riang menuruni tangga. Wajahnya sudah terlihat segar, dengan tubuh ramping yang dibalut busana kasual namun terlihat modis, juga tas ransel warna putih yang melekat di punggungnya. "Kamu ingin pergi kemana?" tanya Davin sembari meraih pergelangan tangan Vida. Tidak mungkin Vida kuliah, disaat ini adalah hari minggu. "Aku ada janji dengan Erick dan Rion ke toko cat." Entah kenapa emosi Davin langsung tersulut begitu mendengar nama dua pria itu disebut. "Tetap di rumah, aku tidak mengizinkanmu pergi!" tegas Davin tak ingin Vida pergi. Tentu saja raut wajah Vida seketika menjadi suram, sudut bibirnya tertarik ke samping karena kesal. "Aku bawa motor sendiri, tidak dijemput Erick." Vida menegaskan. "Aku tetap tidak mengizinkanmu pergi. Katakan saja keperluanmu, aku akan menyuruh seseorang untuk membelikannya untukmu," raut wajah Davin masih te
Matahari sudah condong ke barat kala Vida kembali ke rumah sakit. Hari yang sangat melelahkan, tapi juga dengan cepat terselesaikan meski dibumbui dengan kekerasan fisik. Paras cantik Vida menunjukan kelegaan saat sinar lampu menerpa wajah ayunya yang tak menunjukan senyuman.Dia berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan ekspresi datar, namun masih memperlihatkan keanggunan. Diikuti Mee Noi dan Pam di belakangnya yang berjalan tanpa berucap. Senyum baru tercipta kala Nia mengatakan jika Davin sudah dipindahkan ke ruang rawat inap, dan sekarang dia sudah sadar.Vida sangat tidak sabar untuk menemui suaminya, detak jantung yang tadinya tenang, tiba-tiba saja menunjukan lonjakan, mungkin karena rasa senang yang meluap dari dasar hati. Vida segera masuk ke ruang rawat inap suaminya, dan menemukan laki-laki tersebut setengah berbaring dengan bantal yang tinggi, saat wajah tampan itu tersenyum lemah kepadanya.Sungguh tak ingin menangis, tapi tetap saja air mata bahagia itu bertumpuk mem
"Sebenarnya apa yang kamu inginkan, ha? Sedari tadi kamu hanya membuang-buang waktuku, membuatku semakin muak melihatmu. Seharusnya yang mati hari ini adalah kamu, bukan Davin!" Seru Fani sembari mencengkeram kerah pakaian Vida.Vida kembali menyeringai sengit mengejek Pam dengan bertanya santai. "Jadi benar-benar kamu pelakunya?""Memangnya kalau iya kenapa, ha? Apa yang bisa kamu lakukan? Lagipula orang yang ku suruh untuk menembak mu juga sudah mati, dia tidak akan bisa bersaksi bahwa aku memang yang merencanakan pembunuhan ini," timpal Fani dengan geram dan melotot ke arah Vida, tangannya masih mencekeram pakaian Vida.Seketika terdengar suara tawa Vida yang renyah, dilanjutkan perkataan Vida yang santai. "Jadi setelah gagal membunuhku, kamu malah membunuh orang yang kamu suruh, begitu?"Fani sungguh tak suka melihat tawa Vida yang terdengar mengejek. Dia pun tak bisa mengendalikan tangan untuk menampar Vida dengan keras, hingga wajah Vida menoleh ke samping dengan paksa. Tapi kali
Hari masih terang, matahari juga bersinar indah, hanya sedikit mendung yang terlihat bergelombang menghiasi langit biru yang tampak cerah. Seorang wanita cantik berlenggang santai di koridor hotel sembari menarik koper di tangannya.Setelah mengotori tangan dengan melenyapkan seseorang, Fani tidak mungkin akan tetap berdiam diri di tempat. Dia harus kembali ke Indonesia untuk menyelamatkan diri. Terlebih Fani juga tak ingin kepulangannya ke tanah air dengan menyandang gelar narapidana tindak pembunuhan, apabila tertangkap oleh polisi setempat, itu hanya akan mencoreng nama baiknya saja. Bagaimana pun dia harus tetap menjadi peri cantik yang baik hati.Sungguh ironi, setelah melakukan kejahatan yang tak terampuni, wajah cantik itu sama sekali tidak menunjukan ketakutan atau tertekan layaknya orang yang baru saja menghilangkan nyawa seseorang. Dia masih terlihat santai kala berjalan keluar dari dalam hotel dan menunggu taksi pesanannya tiba.Bahkan dia sempat tersenyum kala mengingat pe
Koridor rumah sakit masih terlihat senyap di depan ruang emergency. Empat orang yang masih menunggu terdiam menikmati aroma disinfektan yang terasa tebal menyentuh indera penciuman. Tak satupun yang membuka mulut untuk berucap, menciptakan keheningan yang penuh kecemasan.Pipi Vida tak lagi basah, meski manik hitam itu masih berkaca-kaca memandang udara kosong yang diliputi kehampaan. Ingatannya merujuk pada ucapan Davin sebelum dia ambruk setelah berusaha menyelamatkannya.'Sudah aku bilang, aku akan menjadi perisaimu.' Kata tulus itu terngiang dan terasa dalam menyentuh hati, hingga tanpa sadar bulir kristal kembali mengalir dengan pelan membasahi pipi Vida tanpa suara.Selama ini Vida masih menganggap Davin laki-laki arogan yang penuh rayuan, dia tidak pernah berpikir jika dia benar-benar akan membuktikan ucapannya untuk menjadi perisai. Tanpa sadar Vida menyentuh perutnya dan membatin. 'Bagaimana ibu bisa meragukan ayahmu?'Sesaat kemudian seorang perawat tiba memecah keheningan. "
Dor!Suara tembakan melengking jauh menghentikan waktu yang berputar. Vida pun sudah jatuh dalam pelukan Davin saat mendengar suara tembakan yang memekakkan telinga. Dia terdiam cukup lama dalam keheningan dan hangatnya dekapan sang suami, belum mengerti apa yang sedang terjadi, sampai dia mendongak dan mendapati senyuman manis dari seorang Davin."Aku sudah mengatakan, aku akan menjadi perisaimu."Bruk!Davin jatuh berdebum di parkiran, bersamaan dengan mengalirnya cairan berwarna merah dan menebar aroma amis khas darah pada jajaran paving blok. Menghadirkan jeritan panjang Vida yang melaung di udara, kala sadar tembakan telah mengenai punggung suaminya.***Brankar yang didorong tergesa-gesa mengiringi derai tangis Vida yang berjalan setengah berlari sembari terus menggenggam tangan Davin yang hampir kehilangan kesadaran akibat banyak mengeluarkan darah."Tolong, tunggu disini. Kami akan segera melakukan upaya penyelamatan." Seorang perawat menghentikan Vida sesampainya di depan pint
Lenguhan malas terdengar di pagi hari saat Vida masih enggan membuka mata. Tapi ketika ingatannya menunjukan dimana dia berada, dia pun mau tidak mau membuka mata dengan segera. Terlihat mata kelam yang berkilat indah menyambut, begitu jernih layaknya embun yang menetes di dedaunan. Vida yakin suaminya sudah bangun sejak tadi, karena tak sedikitpun dia menangkap kemalasan pada binar wajah yang tersenyum.Tangan Vida bergerak malas menyentuh pipi Davin dan berucap. "Sudah lama bangun?""Uhum ...." Suara yang tercipta dari bibir yang terkatup itu terdengar sangat seksi."Kamu sudah lebih baik?" Kali ini pertanyaan Vida membuat Davin tak bisa menyembunyikan lengkungan senyum dari bibirnya.Namun, Davin segera kembali mengeluarkan suara samar untuk menjawab pertanyaan Vida. "Uhum ....""Baguslah kalau begitu." Hanya tiga kata bernada datar yang keluar dari mulut Vida dan terdengar acuh tak acuh, saat dia kembali menarik tangan dari pipi Davin. Dan itu lebih baik bagi Davin, dari pada Vida
Sementara Davin terlihat memiringkan tubuhnya membelakangi Vida. Dan mendadak bibirnya melengkung indah, menunjukan senyum penuh arti saat matanya terbuka lebar.Sejak awal dia memang tidak kehilangan kesadaran, dia memang sengaja berakting untuk melancarkan rencananya, juga demi memicu kemarahan Vida setelah tahu dia sedang dijebak. Sebelum Davin keluar dari restoran, dia sempat bertemu dengan ibu mertuanya."Davin, kamu mau kemana?" Nia yang baru saja ingin mengambil list dari pelanggan dari atas meja mulai bertanya kala melihat Davin lewat.Segera Davin mengerutkan alis dan membatin, 'bukankah ibu yang menyuruhku mengantar pesanan ini? Bagaimana dia tidak tahu aku akan pergi kemana?'"Oh, mau mengantar pesanan ya? Ya sudah, hati-hati di jalan," ucap Nia santai setelah melihat box makanan ukuran sedang di tangan Davin, kemudian dia pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban Davin, setelah mengambil list tersebut.Davin masih berpikir positif, sampai dia bertemu dengan Vida di meja kas
Dengan susah payah Fani membawa Davin ke ranjangnya. Sedikit kesal, dia sudah sering menggunakan obat perangsang tapi tidak seperti ini reaksinya, seharusnya Davin menyerangnya dengan bertubi-tubi, bukannya malah memejamkan mata seperti ini.Fani melihat Davin menggeliat, sembari menggumamkan sesuatu. "Vida ...."Membuat Fani semakin kesal mendengar nama itu, tapi tak lama kemudian bibirnya kembali melengkung, lantas merangkak di tempat tidur dan menjatuhkan diri di atas tubuh Davin yang terkulai di atas kasur. Tak lupa dia mengecup pipi Davin dan berbisik lembut. "Kamu boleh berfantasi dengan istrimu. Tapi malam ini kamu adalah milikku, Davin. Aku akan memuaskan mu."Perlahan Fani kembali menegakkan tubuhnya untuk duduk, jari-jemarinya mulai bergerak lembut membuka setiap kancing kemeja yang dikenakan Davin, kadang dia juga mengelus lembut otot liat yang begitu padat pada dada bidang yang berkulit putih.Fani masih mendengar Davin yang bergumam samar menyebut nama Vida, tapi dia sungg
"Vida, sejak kapan kamu berdiri di situ?" sedikit gugup tapi Pam menutupinya dengan senyuman.Tatapan Vida belum beralih, dan itu terlihat begitu tajam dan dingin, sampai suara samar nan menusuk terdengar dari celah kedua bibir tipis yang tampak bergerak samar. "Kemana kamu menyuruh kak Davin pergi?"Pam terkesiap mendengar pertanyaan Vida, tapi dia masih berusaha menguasai diri dan berlagak tidak mengerti dengan terus tersenyum hangat. "Aku? Kenapa aku menyuruhnya pergi? Berbicara dengannya saja aku enggan. Sudah, ayo kita masuk."Pam segera merangkul Vida dengan santai, tapi langsung mendapat tepisan kasar dari Vida. Kini Pam mulai mendapati kemarahan di wajah cantik yang semakin kentara."Vida ...." Pam menunjukan raut wajah sayu dan sedih melihat kemarahan Vida, bukan dibuat-buat, dia memang sedih melihat Vida seperti itu kepadanya."Aku tanya sekali lagi. Kamu menyuruh kak Davin kemana?" Suara pelan dan dingin Vida kembali membekukan udara yang Pam hirup. Membuatnya sedikit menah