Kecupan-kecupan itu terus menyapu leher Vida tanpa ampun mengabaikan pekikan dari mulut kecil yang berusaha menolak."Kak, hentikan! Jika kita tidak pernah melakukan kesalahan, maka kita tidak perlu mengulanginya lagi." Vida berusaha keras mendorong tubuh Davin meski hasilnya nihil.Davin masih tidak mengindahkan pekikan Vida, dan melanjutkan aktivitasnya menambah bercak merah keunguan yang belum hilang sejak Davin menghukum Vida di mobil tempo hari.Vida sungguh tidak menyukai ketidakberdayaannya, begitu rapuh, layaknya perempuan lemah, di saat Davin memaksakan kehendak dan tidak mau menghargainya. Kilat embun menyapa manik hitam yang terpaku dengan binar kesedihan."Kak, hentikan! Aku akan mematuhi apa yang kamu katakan, asal kamu tidak menyentuhku." Suara Vida tak lagi lantang, kala bulir kristal ikut hadir menyertai kepedihan.Gerakan Davin terhenti merasakan cairan hangat yang luruh menyentuh pipi, dia terpaku untuk beberapa detik, tapi salah satu sudut bibir manis itu malah ter
Meja kokoh berbentuk U terlihat jelas di mata Davin yang duduk dengan tenang pada kursi kebesaran kala memimpin rapat, namun kilat matanya tampak kosong dengan jari telunjuk mengetuk-ngetuk pelan meja yang berlapis kaca hitam di depannya, jelas pikiran Davin sedang tidak fokus terhadap kepala divisi keuangan yang tengah melaporkan hasil kinerjanya. Kesibukan membuat Davin tak lagi bisa mengantar jemput Vida beberapa hari ini, hingga rasa rindu itu hadir mengusik ketenangan. Kepala divisi keuangan sudah menyelesaikan laporannya, dan kini berdiri dengan sedikit gemetar menunggu tanggapan dari Davin selaku pimpinannya, menunggu pria itu memberinya tatapan dingin ketika mengoreksi kesalahan yang harus dia perbaiki. Tapi menunggu cukup lama Davin tak kunjung bergerak menyentuh berkas yang sudah dia serahkan tepat di depan Davin, hingga alisnya mulai mengernyit bingung melihat sikap pimpinannya. Kepala divisi lain juga tampak celingukan melihat sikap diam Davin, detik berlalu begitu saja
Senyum Davin mengembang saat dia menutup panggilan. Perlahan dia menurunkan ponsel yang menempel di sisi telinga. Entah mengapa tiba-tiba hatinya berdebar dan bergemuruh dengan berisik, seakan puluhan kembang api tengah meletus di dalam sana. Tapi senyumnya luruh seketika, kala dia menyadari sesuatu tak lazim tengah terjadi padanya. 'Cih ... Sangat menjengkelkan! Bahkan dia juga merusak jantungku.' Davin menyimpan ponselnya ke dalam saku, dan berbalik mendapati Iko yang berdiri tegak dengan ekspresi datar, kemudian sedikit membungkuk penuh hormat kepadanya. "Kamu ingin melaporkan sesuatu?" Davin membuka pertanyaan. "Benar, Pak. Tapi sepertinya Anda sudah mengetahuinya." Davin memutar bola mata. Mendengar nada bicara Iko, Davin yakin sekretarisnya sudah cukup lama menunggu. Meski ruangan Davin cukup luas, namun ruangan itu terasa sunyi dan senyap. Dalam keadaan tenang, mustahil Iko tidak mendengar suara Vida dari ujung telepon. Davin menaikan kedua alis, kemudian bertanya. "Dia ad
Kesibukan kantor masih terlihat ketika jari-jari kokoh menari dengan lihai di atas keyboard berwarna hitam. Mata tajam yang dibingkai dengan kacamata anti radiasi masih tampak fokus menatap perangkat lunak di depannya dengan teliti, ketika laki-laki yang mengenakan setelan jas rapi menyambanginya."Pak, ini dokumen yang harus Anda sahkan."Perlahan Davin menegakkan wajah menatap Iko sekilas, kemudian meraih dokumen yang baru saja diserahkan padanya.Sembari membubuhkan tanda tangan, Davin bertanya. "Bagaimana kabarnya?"Mata Iko melebar mendengar pertanyaan atasannya, kemudian mengerjap beberapa kali. Ini sudah terjeda beberapa jam, apakah Davin masih memikirkan istrinya?Lama Iko tidak menjawab, membuat Davin kembali menegakkan wajah, tatapan davin dingin seperti menuntut jawaban darinya."Nyonya masih menunggu, Pak. Satu antrian lagi adalah giliran perusahaan FN," terang Iko sedikit menarik napas, karena tatapan Davin terlihat begitu tajam.Begitu mendengar jawaban Iko wajah Davin t
Ucapan Davin seakan memecahkan masalah Fino, senyum lebar hinggap di bibirnya, kemudian menatap Vida. "Vida, aku harap kamu tidak mengecewakan pak Davin," ucapnya mantap, sangat percaya diri dan malah membuat Vida terbengong untuk beberapa detik. "Tapi, Pak ...." Vida ingin menunjukan keberatannya, tapi segera disangkal oleh Fino. "Tidak ada tapi-tapian, Vida. Kamu adalah harapan perusahaan FN saat ini, jangan kecewakan aku." Fino sama sekali tidak ingin menerima bantahan, dan segera pamit undur diri untuk menyelesaikan urusan pribadinya yang mendesak. Davin tersenyum tenang, tapi detik berikutnya wajahnya terlihat dingin dan tegas ketika menatap Vida. "Jelaskan padaku kenapa aku harus melirik desain dari perusahaanmu? Bukankah tema sudah ditentukan, dan bukan aku yang menilai setiap desain yang mengikuti kompetisi. Kamu ingin meraup keuntungan dariku, dengan statusmu sebagai istriku?" Davin tidak ingin berbasa-basi, pengalamannya di dunia bisnis tentu saja bisa membaca setiap per
"Hah?" Vida terkesiap dan mendongak menatap suaminya yang jauh lebih tinggi darinya, membeku cukup lama menilik wajah tampan yang hanya berjarak beberapa mili darinya.Terkejut? Tentu saja, 'jadi semua kemarahan kak Davin hanya perkara makan siang? Sejak kapan dia memperhatikanku dengan begitu detail?'"Apa kamu kurang kerjaan? Hingga harus menguntitku sepanjang waktu? Sungguh sangat menjengkelkan mempunyai suami yang mengidap gangguan narsistik sepertimu. Asal kamu tahu aku tidak, emmh ...." Omelan Vida tercekat karena terbungkam oleh ciuman Davin.Menolak? Sudah pasti diusahakan, tapi tetap saja tangan kokoh Davin lebih mendominasi, ketika menekan kepala bagian belakang Vida dengan kuat. Ciuman itu begitu dalam, hingga Vida terengah-engah ketika Davin melepaskannya.Beberapa detik Vida terdiam, untuk menstabilkan pernapasan, setelah bisa bernapas dengan baik kekesalan kembali hadir, hingga tak bisa menahan diri untuk memukul dada bidang suaminya dengan jengkel."Berhenti memaksakan k
Mata pekat itu sudah menjelaskan sebab musabab kemarahan Vida. Tidak ingin menjeda lebih lama Davin segera berdiri dan menghampiri Vida yang mengemasi barang-barangnya dengan grusa-grusu. Paras cantik yang tadinya seperti anak kucing yang menggemaskan kini berubah menjadi suram diliputi kemarahan, membuat Davin tak bisa menahan diri untuk menarik tangan Vida guna mencegahnya pergi."Vida, jangan berlagak seperti istri yang cemburu, ingat perjanjian kita, bahwa kamu tidak akan mempermasalahkan hubunganku dengan Fani selama kita menjalani perjanjian kontrak pernikahan." Davin menarik pergelangan tangan Vida, sungguh tak rela jika istrinya pergi."Karena itu, jangan berlagak seperti suami yang perhatian kepadaku. Kamu sudah melihat desain arsitektur perusahan kami, aku anggap urusan kita sudah selesai hari ini, aku harus kembali ke kantor." Vida menebarkan tatapan dingin dan menusuk seakan hanya ada kebencian, kebencian, dan kebencian di manik hitamnya yang berkilat indah.Tidak ingin ban
Semburat kuning keemasan baru saja masuk ke peraduan saat Vida hendak pulang dari kantor tempat dia magang."Vid, lo gak dijemput kan? Biar gue anter lo pulang ya?" Erick yang juga magang di perusahaan FN, benar-benar berharap bisa mengantar Vida pulang kali ini.Namun segera ditolak oleh Vida. Dia benar-benar tidak ingin Erick terlibat dengan masalahnya bersama Davin. "Gak perlu, Rick. Gue naik taksi aja. Lo pulang sana.""Yaelah, Vid. Napa sih lo nolak terus sekarang? Lo alergi naik motor? Mentang-mentang sekarang sering dijemput pakai mobil mewah?" cibir Erick berharap pertahanan Vida mengendur dan mau diboncengin."Ya enggaklah, masa pembalap alergi naik motor. Gue tu lagi nahan diri, paling nggak sampai seminggu lagi. Ah, gak sabar menunggu hari itu tiba." Mata indah Vida berkilat seakan sedang membayangkan sesuatu."Emang seminggu lagi ada apa, Vid?" Erick terlihat penasaran."Ada deh ... Pokoknya setelah FN menang dalam kompetisi desain di Bali, gue juga berharap hidup gue bisa
Matahari sudah condong ke barat kala Vida kembali ke rumah sakit. Hari yang sangat melelahkan, tapi juga dengan cepat terselesaikan meski dibumbui dengan kekerasan fisik. Paras cantik Vida menunjukan kelegaan saat sinar lampu menerpa wajah ayunya yang tak menunjukan senyuman.Dia berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan ekspresi datar, namun masih memperlihatkan keanggunan. Diikuti Mee Noi dan Pam di belakangnya yang berjalan tanpa berucap. Senyum baru tercipta kala Nia mengatakan jika Davin sudah dipindahkan ke ruang rawat inap, dan sekarang dia sudah sadar.Vida sangat tidak sabar untuk menemui suaminya, detak jantung yang tadinya tenang, tiba-tiba saja menunjukan lonjakan, mungkin karena rasa senang yang meluap dari dasar hati. Vida segera masuk ke ruang rawat inap suaminya, dan menemukan laki-laki tersebut setengah berbaring dengan bantal yang tinggi, saat wajah tampan itu tersenyum lemah kepadanya.Sungguh tak ingin menangis, tapi tetap saja air mata bahagia itu bertumpuk mem
"Sebenarnya apa yang kamu inginkan, ha? Sedari tadi kamu hanya membuang-buang waktuku, membuatku semakin muak melihatmu. Seharusnya yang mati hari ini adalah kamu, bukan Davin!" Seru Fani sembari mencengkeram kerah pakaian Vida.Vida kembali menyeringai sengit mengejek Pam dengan bertanya santai. "Jadi benar-benar kamu pelakunya?""Memangnya kalau iya kenapa, ha? Apa yang bisa kamu lakukan? Lagipula orang yang ku suruh untuk menembak mu juga sudah mati, dia tidak akan bisa bersaksi bahwa aku memang yang merencanakan pembunuhan ini," timpal Fani dengan geram dan melotot ke arah Vida, tangannya masih mencekeram pakaian Vida.Seketika terdengar suara tawa Vida yang renyah, dilanjutkan perkataan Vida yang santai. "Jadi setelah gagal membunuhku, kamu malah membunuh orang yang kamu suruh, begitu?"Fani sungguh tak suka melihat tawa Vida yang terdengar mengejek. Dia pun tak bisa mengendalikan tangan untuk menampar Vida dengan keras, hingga wajah Vida menoleh ke samping dengan paksa. Tapi kali
Hari masih terang, matahari juga bersinar indah, hanya sedikit mendung yang terlihat bergelombang menghiasi langit biru yang tampak cerah. Seorang wanita cantik berlenggang santai di koridor hotel sembari menarik koper di tangannya.Setelah mengotori tangan dengan melenyapkan seseorang, Fani tidak mungkin akan tetap berdiam diri di tempat. Dia harus kembali ke Indonesia untuk menyelamatkan diri. Terlebih Fani juga tak ingin kepulangannya ke tanah air dengan menyandang gelar narapidana tindak pembunuhan, apabila tertangkap oleh polisi setempat, itu hanya akan mencoreng nama baiknya saja. Bagaimana pun dia harus tetap menjadi peri cantik yang baik hati.Sungguh ironi, setelah melakukan kejahatan yang tak terampuni, wajah cantik itu sama sekali tidak menunjukan ketakutan atau tertekan layaknya orang yang baru saja menghilangkan nyawa seseorang. Dia masih terlihat santai kala berjalan keluar dari dalam hotel dan menunggu taksi pesanannya tiba.Bahkan dia sempat tersenyum kala mengingat pe
Koridor rumah sakit masih terlihat senyap di depan ruang emergency. Empat orang yang masih menunggu terdiam menikmati aroma disinfektan yang terasa tebal menyentuh indera penciuman. Tak satupun yang membuka mulut untuk berucap, menciptakan keheningan yang penuh kecemasan.Pipi Vida tak lagi basah, meski manik hitam itu masih berkaca-kaca memandang udara kosong yang diliputi kehampaan. Ingatannya merujuk pada ucapan Davin sebelum dia ambruk setelah berusaha menyelamatkannya.'Sudah aku bilang, aku akan menjadi perisaimu.' Kata tulus itu terngiang dan terasa dalam menyentuh hati, hingga tanpa sadar bulir kristal kembali mengalir dengan pelan membasahi pipi Vida tanpa suara.Selama ini Vida masih menganggap Davin laki-laki arogan yang penuh rayuan, dia tidak pernah berpikir jika dia benar-benar akan membuktikan ucapannya untuk menjadi perisai. Tanpa sadar Vida menyentuh perutnya dan membatin. 'Bagaimana ibu bisa meragukan ayahmu?'Sesaat kemudian seorang perawat tiba memecah keheningan. "
Dor!Suara tembakan melengking jauh menghentikan waktu yang berputar. Vida pun sudah jatuh dalam pelukan Davin saat mendengar suara tembakan yang memekakkan telinga. Dia terdiam cukup lama dalam keheningan dan hangatnya dekapan sang suami, belum mengerti apa yang sedang terjadi, sampai dia mendongak dan mendapati senyuman manis dari seorang Davin."Aku sudah mengatakan, aku akan menjadi perisaimu."Bruk!Davin jatuh berdebum di parkiran, bersamaan dengan mengalirnya cairan berwarna merah dan menebar aroma amis khas darah pada jajaran paving blok. Menghadirkan jeritan panjang Vida yang melaung di udara, kala sadar tembakan telah mengenai punggung suaminya.***Brankar yang didorong tergesa-gesa mengiringi derai tangis Vida yang berjalan setengah berlari sembari terus menggenggam tangan Davin yang hampir kehilangan kesadaran akibat banyak mengeluarkan darah."Tolong, tunggu disini. Kami akan segera melakukan upaya penyelamatan." Seorang perawat menghentikan Vida sesampainya di depan pint
Lenguhan malas terdengar di pagi hari saat Vida masih enggan membuka mata. Tapi ketika ingatannya menunjukan dimana dia berada, dia pun mau tidak mau membuka mata dengan segera. Terlihat mata kelam yang berkilat indah menyambut, begitu jernih layaknya embun yang menetes di dedaunan. Vida yakin suaminya sudah bangun sejak tadi, karena tak sedikitpun dia menangkap kemalasan pada binar wajah yang tersenyum.Tangan Vida bergerak malas menyentuh pipi Davin dan berucap. "Sudah lama bangun?""Uhum ...." Suara yang tercipta dari bibir yang terkatup itu terdengar sangat seksi."Kamu sudah lebih baik?" Kali ini pertanyaan Vida membuat Davin tak bisa menyembunyikan lengkungan senyum dari bibirnya.Namun, Davin segera kembali mengeluarkan suara samar untuk menjawab pertanyaan Vida. "Uhum ....""Baguslah kalau begitu." Hanya tiga kata bernada datar yang keluar dari mulut Vida dan terdengar acuh tak acuh, saat dia kembali menarik tangan dari pipi Davin. Dan itu lebih baik bagi Davin, dari pada Vida
Sementara Davin terlihat memiringkan tubuhnya membelakangi Vida. Dan mendadak bibirnya melengkung indah, menunjukan senyum penuh arti saat matanya terbuka lebar.Sejak awal dia memang tidak kehilangan kesadaran, dia memang sengaja berakting untuk melancarkan rencananya, juga demi memicu kemarahan Vida setelah tahu dia sedang dijebak. Sebelum Davin keluar dari restoran, dia sempat bertemu dengan ibu mertuanya."Davin, kamu mau kemana?" Nia yang baru saja ingin mengambil list dari pelanggan dari atas meja mulai bertanya kala melihat Davin lewat.Segera Davin mengerutkan alis dan membatin, 'bukankah ibu yang menyuruhku mengantar pesanan ini? Bagaimana dia tidak tahu aku akan pergi kemana?'"Oh, mau mengantar pesanan ya? Ya sudah, hati-hati di jalan," ucap Nia santai setelah melihat box makanan ukuran sedang di tangan Davin, kemudian dia pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban Davin, setelah mengambil list tersebut.Davin masih berpikir positif, sampai dia bertemu dengan Vida di meja kas
Dengan susah payah Fani membawa Davin ke ranjangnya. Sedikit kesal, dia sudah sering menggunakan obat perangsang tapi tidak seperti ini reaksinya, seharusnya Davin menyerangnya dengan bertubi-tubi, bukannya malah memejamkan mata seperti ini.Fani melihat Davin menggeliat, sembari menggumamkan sesuatu. "Vida ...."Membuat Fani semakin kesal mendengar nama itu, tapi tak lama kemudian bibirnya kembali melengkung, lantas merangkak di tempat tidur dan menjatuhkan diri di atas tubuh Davin yang terkulai di atas kasur. Tak lupa dia mengecup pipi Davin dan berbisik lembut. "Kamu boleh berfantasi dengan istrimu. Tapi malam ini kamu adalah milikku, Davin. Aku akan memuaskan mu."Perlahan Fani kembali menegakkan tubuhnya untuk duduk, jari-jemarinya mulai bergerak lembut membuka setiap kancing kemeja yang dikenakan Davin, kadang dia juga mengelus lembut otot liat yang begitu padat pada dada bidang yang berkulit putih.Fani masih mendengar Davin yang bergumam samar menyebut nama Vida, tapi dia sungg
"Vida, sejak kapan kamu berdiri di situ?" sedikit gugup tapi Pam menutupinya dengan senyuman.Tatapan Vida belum beralih, dan itu terlihat begitu tajam dan dingin, sampai suara samar nan menusuk terdengar dari celah kedua bibir tipis yang tampak bergerak samar. "Kemana kamu menyuruh kak Davin pergi?"Pam terkesiap mendengar pertanyaan Vida, tapi dia masih berusaha menguasai diri dan berlagak tidak mengerti dengan terus tersenyum hangat. "Aku? Kenapa aku menyuruhnya pergi? Berbicara dengannya saja aku enggan. Sudah, ayo kita masuk."Pam segera merangkul Vida dengan santai, tapi langsung mendapat tepisan kasar dari Vida. Kini Pam mulai mendapati kemarahan di wajah cantik yang semakin kentara."Vida ...." Pam menunjukan raut wajah sayu dan sedih melihat kemarahan Vida, bukan dibuat-buat, dia memang sedih melihat Vida seperti itu kepadanya."Aku tanya sekali lagi. Kamu menyuruh kak Davin kemana?" Suara pelan dan dingin Vida kembali membekukan udara yang Pam hirup. Membuatnya sedikit menah