Davin dapat melihat dengan jelas perubahan di raut wajah Vida. Namun dia tidak peduli, pada kenyataannya dia memang mencintai Fani dan berniat menikahinya. Dia tidak masalah jika Vida mengetahui itu, lagipula Vida juga sudah tahu jika dia tidak menginginkannya, mereka hanya menjalani pernikahan sampai kontrak yang ditentukan selesai.Sementara Vida sendiri masih memikirkan ucapan laki-laki di depannya. Ingin bersikap acuh, tapi ternyata status istri yang dia sandang cukup mempengaruhi emosinya, istri mana yang tidak geram ketika mengetahui ada perempuan lain di kehidupan suaminya?Vida berdecak kesal dalam hati membayangkan jika itu benar, berarti Davin sama sekali tak layak untuk dipertahankan, Vida hanya berharap semoga dia tidak hamil agar segera terbebas dari Davin.Lamunan Vida berangsur-angsur menghilang ketika mendengar laki-laki yang tadinya menyapa kembali berkelakar, bahkan ucapannya kini berpindah menyerang Vida yang sebenarnya tidak ingin terlibat dengan siapapun di tempat
"Sampai kapan kamu akan menunjukan wajah buruk mu itu kepadaku?" tanya Davin sesampainya di ruang bawah tanah hotel untuk mengambil mobil. Vida yang memang sudah uring-uringan sejak keluar dari ballroom, sama sekali tidak mau menjawab dia terus berjalan cepat menuju mobil. Tapi sesampainya di depan mobil, dia malah berbalik menghampiri Davin, dan memukul dada bidang itu secara bertubi-tubi tanpa mengucapkan apa-apa, meski air mata tiba-tiba tumpah ruah di pipinya. Sementara Davin sendiri sama sekali tidak berusaha menghindar ataupun mencegah apa yang dilakukan Vida. Dia terlihat pasrah menerima setiap pukulan dari tangan ramping istrinya, yang tengah meluapkan emosi yang sudah dia tahan sejak berada di acara lelang. Puas memukul Davin, Vida segera masuk ke dalam mobil sembari menyeka air mata, meski belum berucap apa-apa. Davin hanya dapat mengela napas panjang dan mengembuskan perlahan, mendapati amukan Vida yang masih tampak kekanak-kanakan. Dia juga mendapati Vida yang masih men
"Katakan apa yang kamu inginkan," ucap Davin setelah dia duduk dengan nyaman di depan laki-laki yang mengancamnya sesampainya di kafe merah. "Davin, kenapa kamu sangat terburu-buru? Aku yakin istrimu yang sedang kesal tadi tidak akan menunggu kepulangan mu." Laki-laki yang mengundang Davin tampak tersenyum remeh. "Dion, aku tidak punya waktu untuk berbicara omong kosong denganmu. Katakan yang kamu inginkan." Tidak ada keramahtamahan di wajah Davin ketika berucap. Pria yang bernama Dion terkekeh menangkap kekhawatiran di wajah pria tampan yang dia tekan. "Apa kamu takut?" tanyanya pelan dengan nada mencibir. Kini senyum seringai terbit di bibir manis Davin, dan berkata. "Jangan terlalu percaya diri, aku hanya khawatir kamu akan kecewa karena aku tidak datang. Tapi ternyata aku hanya menyia-nyiakan waktu saja." Davin beranjak dari duduknya, hendak pergi. Tapi langkahnya terhenti ketika Dion membuka suara. "Berikan proyek desain hotel yang ada di Bali untukku." Salah satu alis Dav
"Vida, setidaknya pakailah, busana yang pantas saat keluar dari dalam kamar." Teguran nenek Rumi menyadarkan Vida yang tengah tertegun menatap laki-laki bermulut kotor, tiba-tiba sudah ada di kediaman Wijaya pagi-pagi begini. Seketika Vida menjadi malu sekaligus kesal melihat tatapan mesum laki-laki yang tak beralih dari tubuhnya yang berbalut busana yang sangat kekurangan bahan. Vida segera berbalik urung mengadu pada nenek Rumi. Dia tidak tahu jika Davin sudah sampai di belakangnya, hingga saat dia berbalik, Vida langsung menubruk tubuh Davin. "Yaaak!" Vida memekik terkejut, dan nyaris jatuh di anak tangga jika tangan Davin tidak cepat meraih pinggangnya. Dengan gerakan slow motion, rambut hitam panjang Vida melambai di udara seiring gerakan tangan Davin yang menyentak menarik ke pelukannya. Beberapa detik Davin dan Vida membeku dengan kilat mata saling menyatu, memicu lengkungan senyum geli di bibir nenek Rumi. Melihat ada kain warna krem mengkilat berbahan satin di tangan k
Davin berdiri hendak meninggalkan Dion yang masih duduk dengan wajah gusar. Tapi mata elangnya mendadak menyipit mendapati Vida yang berjalan riang menuruni tangga. Wajahnya sudah terlihat segar, dengan tubuh ramping yang dibalut busana kasual namun terlihat modis, juga tas ransel warna putih yang melekat di punggungnya. "Kamu ingin pergi kemana?" tanya Davin sembari meraih pergelangan tangan Vida. Tidak mungkin Vida kuliah, disaat ini adalah hari minggu. "Aku ada janji dengan Erick dan Rion ke toko cat." Entah kenapa emosi Davin langsung tersulut begitu mendengar nama dua pria itu disebut. "Tetap di rumah, aku tidak mengizinkanmu pergi!" tegas Davin tak ingin Vida pergi. Tentu saja raut wajah Vida seketika menjadi suram, sudut bibirnya tertarik ke samping karena kesal. "Aku bawa motor sendiri, tidak dijemput Erick." Vida menegaskan. "Aku tetap tidak mengizinkanmu pergi. Katakan saja keperluanmu, aku akan menyuruh seseorang untuk membelikannya untukmu," raut wajah Davin masih te
Kecupan-kecupan itu terus menyapu leher Vida tanpa ampun mengabaikan pekikan dari mulut kecil yang berusaha menolak."Kak, hentikan! Jika kita tidak pernah melakukan kesalahan, maka kita tidak perlu mengulanginya lagi." Vida berusaha keras mendorong tubuh Davin meski hasilnya nihil.Davin masih tidak mengindahkan pekikan Vida, dan melanjutkan aktivitasnya menambah bercak merah keunguan yang belum hilang sejak Davin menghukum Vida di mobil tempo hari.Vida sungguh tidak menyukai ketidakberdayaannya, begitu rapuh, layaknya perempuan lemah, di saat Davin memaksakan kehendak dan tidak mau menghargainya. Kilat embun menyapa manik hitam yang terpaku dengan binar kesedihan."Kak, hentikan! Aku akan mematuhi apa yang kamu katakan, asal kamu tidak menyentuhku." Suara Vida tak lagi lantang, kala bulir kristal ikut hadir menyertai kepedihan.Gerakan Davin terhenti merasakan cairan hangat yang luruh menyentuh pipi, dia terpaku untuk beberapa detik, tapi salah satu sudut bibir manis itu malah ter
Meja kokoh berbentuk U terlihat jelas di mata Davin yang duduk dengan tenang pada kursi kebesaran kala memimpin rapat, namun kilat matanya tampak kosong dengan jari telunjuk mengetuk-ngetuk pelan meja yang berlapis kaca hitam di depannya, jelas pikiran Davin sedang tidak fokus terhadap kepala divisi keuangan yang tengah melaporkan hasil kinerjanya. Kesibukan membuat Davin tak lagi bisa mengantar jemput Vida beberapa hari ini, hingga rasa rindu itu hadir mengusik ketenangan. Kepala divisi keuangan sudah menyelesaikan laporannya, dan kini berdiri dengan sedikit gemetar menunggu tanggapan dari Davin selaku pimpinannya, menunggu pria itu memberinya tatapan dingin ketika mengoreksi kesalahan yang harus dia perbaiki. Tapi menunggu cukup lama Davin tak kunjung bergerak menyentuh berkas yang sudah dia serahkan tepat di depan Davin, hingga alisnya mulai mengernyit bingung melihat sikap pimpinannya. Kepala divisi lain juga tampak celingukan melihat sikap diam Davin, detik berlalu begitu saja
Senyum Davin mengembang saat dia menutup panggilan. Perlahan dia menurunkan ponsel yang menempel di sisi telinga. Entah mengapa tiba-tiba hatinya berdebar dan bergemuruh dengan berisik, seakan puluhan kembang api tengah meletus di dalam sana. Tapi senyumnya luruh seketika, kala dia menyadari sesuatu tak lazim tengah terjadi padanya. 'Cih ... Sangat menjengkelkan! Bahkan dia juga merusak jantungku.' Davin menyimpan ponselnya ke dalam saku, dan berbalik mendapati Iko yang berdiri tegak dengan ekspresi datar, kemudian sedikit membungkuk penuh hormat kepadanya. "Kamu ingin melaporkan sesuatu?" Davin membuka pertanyaan. "Benar, Pak. Tapi sepertinya Anda sudah mengetahuinya." Davin memutar bola mata. Mendengar nada bicara Iko, Davin yakin sekretarisnya sudah cukup lama menunggu. Meski ruangan Davin cukup luas, namun ruangan itu terasa sunyi dan senyap. Dalam keadaan tenang, mustahil Iko tidak mendengar suara Vida dari ujung telepon. Davin menaikan kedua alis, kemudian bertanya. "Dia ad
Matahari sudah condong ke barat kala Vida kembali ke rumah sakit. Hari yang sangat melelahkan, tapi juga dengan cepat terselesaikan meski dibumbui dengan kekerasan fisik. Paras cantik Vida menunjukan kelegaan saat sinar lampu menerpa wajah ayunya yang tak menunjukan senyuman.Dia berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan ekspresi datar, namun masih memperlihatkan keanggunan. Diikuti Mee Noi dan Pam di belakangnya yang berjalan tanpa berucap. Senyum baru tercipta kala Nia mengatakan jika Davin sudah dipindahkan ke ruang rawat inap, dan sekarang dia sudah sadar.Vida sangat tidak sabar untuk menemui suaminya, detak jantung yang tadinya tenang, tiba-tiba saja menunjukan lonjakan, mungkin karena rasa senang yang meluap dari dasar hati. Vida segera masuk ke ruang rawat inap suaminya, dan menemukan laki-laki tersebut setengah berbaring dengan bantal yang tinggi, saat wajah tampan itu tersenyum lemah kepadanya.Sungguh tak ingin menangis, tapi tetap saja air mata bahagia itu bertumpuk mem
"Sebenarnya apa yang kamu inginkan, ha? Sedari tadi kamu hanya membuang-buang waktuku, membuatku semakin muak melihatmu. Seharusnya yang mati hari ini adalah kamu, bukan Davin!" Seru Fani sembari mencengkeram kerah pakaian Vida.Vida kembali menyeringai sengit mengejek Pam dengan bertanya santai. "Jadi benar-benar kamu pelakunya?""Memangnya kalau iya kenapa, ha? Apa yang bisa kamu lakukan? Lagipula orang yang ku suruh untuk menembak mu juga sudah mati, dia tidak akan bisa bersaksi bahwa aku memang yang merencanakan pembunuhan ini," timpal Fani dengan geram dan melotot ke arah Vida, tangannya masih mencekeram pakaian Vida.Seketika terdengar suara tawa Vida yang renyah, dilanjutkan perkataan Vida yang santai. "Jadi setelah gagal membunuhku, kamu malah membunuh orang yang kamu suruh, begitu?"Fani sungguh tak suka melihat tawa Vida yang terdengar mengejek. Dia pun tak bisa mengendalikan tangan untuk menampar Vida dengan keras, hingga wajah Vida menoleh ke samping dengan paksa. Tapi kali
Hari masih terang, matahari juga bersinar indah, hanya sedikit mendung yang terlihat bergelombang menghiasi langit biru yang tampak cerah. Seorang wanita cantik berlenggang santai di koridor hotel sembari menarik koper di tangannya.Setelah mengotori tangan dengan melenyapkan seseorang, Fani tidak mungkin akan tetap berdiam diri di tempat. Dia harus kembali ke Indonesia untuk menyelamatkan diri. Terlebih Fani juga tak ingin kepulangannya ke tanah air dengan menyandang gelar narapidana tindak pembunuhan, apabila tertangkap oleh polisi setempat, itu hanya akan mencoreng nama baiknya saja. Bagaimana pun dia harus tetap menjadi peri cantik yang baik hati.Sungguh ironi, setelah melakukan kejahatan yang tak terampuni, wajah cantik itu sama sekali tidak menunjukan ketakutan atau tertekan layaknya orang yang baru saja menghilangkan nyawa seseorang. Dia masih terlihat santai kala berjalan keluar dari dalam hotel dan menunggu taksi pesanannya tiba.Bahkan dia sempat tersenyum kala mengingat pe
Koridor rumah sakit masih terlihat senyap di depan ruang emergency. Empat orang yang masih menunggu terdiam menikmati aroma disinfektan yang terasa tebal menyentuh indera penciuman. Tak satupun yang membuka mulut untuk berucap, menciptakan keheningan yang penuh kecemasan.Pipi Vida tak lagi basah, meski manik hitam itu masih berkaca-kaca memandang udara kosong yang diliputi kehampaan. Ingatannya merujuk pada ucapan Davin sebelum dia ambruk setelah berusaha menyelamatkannya.'Sudah aku bilang, aku akan menjadi perisaimu.' Kata tulus itu terngiang dan terasa dalam menyentuh hati, hingga tanpa sadar bulir kristal kembali mengalir dengan pelan membasahi pipi Vida tanpa suara.Selama ini Vida masih menganggap Davin laki-laki arogan yang penuh rayuan, dia tidak pernah berpikir jika dia benar-benar akan membuktikan ucapannya untuk menjadi perisai. Tanpa sadar Vida menyentuh perutnya dan membatin. 'Bagaimana ibu bisa meragukan ayahmu?'Sesaat kemudian seorang perawat tiba memecah keheningan. "
Dor!Suara tembakan melengking jauh menghentikan waktu yang berputar. Vida pun sudah jatuh dalam pelukan Davin saat mendengar suara tembakan yang memekakkan telinga. Dia terdiam cukup lama dalam keheningan dan hangatnya dekapan sang suami, belum mengerti apa yang sedang terjadi, sampai dia mendongak dan mendapati senyuman manis dari seorang Davin."Aku sudah mengatakan, aku akan menjadi perisaimu."Bruk!Davin jatuh berdebum di parkiran, bersamaan dengan mengalirnya cairan berwarna merah dan menebar aroma amis khas darah pada jajaran paving blok. Menghadirkan jeritan panjang Vida yang melaung di udara, kala sadar tembakan telah mengenai punggung suaminya.***Brankar yang didorong tergesa-gesa mengiringi derai tangis Vida yang berjalan setengah berlari sembari terus menggenggam tangan Davin yang hampir kehilangan kesadaran akibat banyak mengeluarkan darah."Tolong, tunggu disini. Kami akan segera melakukan upaya penyelamatan." Seorang perawat menghentikan Vida sesampainya di depan pint
Lenguhan malas terdengar di pagi hari saat Vida masih enggan membuka mata. Tapi ketika ingatannya menunjukan dimana dia berada, dia pun mau tidak mau membuka mata dengan segera. Terlihat mata kelam yang berkilat indah menyambut, begitu jernih layaknya embun yang menetes di dedaunan. Vida yakin suaminya sudah bangun sejak tadi, karena tak sedikitpun dia menangkap kemalasan pada binar wajah yang tersenyum.Tangan Vida bergerak malas menyentuh pipi Davin dan berucap. "Sudah lama bangun?""Uhum ...." Suara yang tercipta dari bibir yang terkatup itu terdengar sangat seksi."Kamu sudah lebih baik?" Kali ini pertanyaan Vida membuat Davin tak bisa menyembunyikan lengkungan senyum dari bibirnya.Namun, Davin segera kembali mengeluarkan suara samar untuk menjawab pertanyaan Vida. "Uhum ....""Baguslah kalau begitu." Hanya tiga kata bernada datar yang keluar dari mulut Vida dan terdengar acuh tak acuh, saat dia kembali menarik tangan dari pipi Davin. Dan itu lebih baik bagi Davin, dari pada Vida
Sementara Davin terlihat memiringkan tubuhnya membelakangi Vida. Dan mendadak bibirnya melengkung indah, menunjukan senyum penuh arti saat matanya terbuka lebar.Sejak awal dia memang tidak kehilangan kesadaran, dia memang sengaja berakting untuk melancarkan rencananya, juga demi memicu kemarahan Vida setelah tahu dia sedang dijebak. Sebelum Davin keluar dari restoran, dia sempat bertemu dengan ibu mertuanya."Davin, kamu mau kemana?" Nia yang baru saja ingin mengambil list dari pelanggan dari atas meja mulai bertanya kala melihat Davin lewat.Segera Davin mengerutkan alis dan membatin, 'bukankah ibu yang menyuruhku mengantar pesanan ini? Bagaimana dia tidak tahu aku akan pergi kemana?'"Oh, mau mengantar pesanan ya? Ya sudah, hati-hati di jalan," ucap Nia santai setelah melihat box makanan ukuran sedang di tangan Davin, kemudian dia pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban Davin, setelah mengambil list tersebut.Davin masih berpikir positif, sampai dia bertemu dengan Vida di meja kas
Dengan susah payah Fani membawa Davin ke ranjangnya. Sedikit kesal, dia sudah sering menggunakan obat perangsang tapi tidak seperti ini reaksinya, seharusnya Davin menyerangnya dengan bertubi-tubi, bukannya malah memejamkan mata seperti ini.Fani melihat Davin menggeliat, sembari menggumamkan sesuatu. "Vida ...."Membuat Fani semakin kesal mendengar nama itu, tapi tak lama kemudian bibirnya kembali melengkung, lantas merangkak di tempat tidur dan menjatuhkan diri di atas tubuh Davin yang terkulai di atas kasur. Tak lupa dia mengecup pipi Davin dan berbisik lembut. "Kamu boleh berfantasi dengan istrimu. Tapi malam ini kamu adalah milikku, Davin. Aku akan memuaskan mu."Perlahan Fani kembali menegakkan tubuhnya untuk duduk, jari-jemarinya mulai bergerak lembut membuka setiap kancing kemeja yang dikenakan Davin, kadang dia juga mengelus lembut otot liat yang begitu padat pada dada bidang yang berkulit putih.Fani masih mendengar Davin yang bergumam samar menyebut nama Vida, tapi dia sungg
"Vida, sejak kapan kamu berdiri di situ?" sedikit gugup tapi Pam menutupinya dengan senyuman.Tatapan Vida belum beralih, dan itu terlihat begitu tajam dan dingin, sampai suara samar nan menusuk terdengar dari celah kedua bibir tipis yang tampak bergerak samar. "Kemana kamu menyuruh kak Davin pergi?"Pam terkesiap mendengar pertanyaan Vida, tapi dia masih berusaha menguasai diri dan berlagak tidak mengerti dengan terus tersenyum hangat. "Aku? Kenapa aku menyuruhnya pergi? Berbicara dengannya saja aku enggan. Sudah, ayo kita masuk."Pam segera merangkul Vida dengan santai, tapi langsung mendapat tepisan kasar dari Vida. Kini Pam mulai mendapati kemarahan di wajah cantik yang semakin kentara."Vida ...." Pam menunjukan raut wajah sayu dan sedih melihat kemarahan Vida, bukan dibuat-buat, dia memang sedih melihat Vida seperti itu kepadanya."Aku tanya sekali lagi. Kamu menyuruh kak Davin kemana?" Suara pelan dan dingin Vida kembali membekukan udara yang Pam hirup. Membuatnya sedikit menah