Aidan datang lima belas menit kemudian. Lelaki itu masuk ke ruangan Bu Dina. Raika segera menegakkan tubuhnya kala melihat sosok Aidan. Rasa cemas perempuan itu sedikit berkurang ketika Aidan tersenyum padanya. Ternyata ada Rudi yang sedang duduk di kursi sebelah Hani.
“Aman, Dan?” tanya Hani penasaran.
Aidan menganggukan kepalanya seraya mempertahankan senyumnya yang berubah tipis.
“Emang lo kenapa, Dan?” tanya Rudi seraya menelisik kondisi Aidan.
“Tadi waktu makan siang, kita diikutin sama kakak-kakaknya Raika.” Hani menyahut mewakili Aidan.
“Serius?” Rudi menganga tidak percaya setengah tersenyum. Lelaki itu menoleh pada Raika yang sudah meringis malu. “Beneran, Neng?”
“Iya, A. Sebelum keluar mall saya sempet lihat mereka juga. Kalau A Aidan nggak ngomong kayaknya saya nggak akan sadar,” balas Raika. “Aa beneran nggak apa-apa?” tanya perempuan itu pelan.
Raika menyanggupi permintaan Aidan. Perempuan itu akan membicarakannya dengan sang ayah di rumah nanti. Di antara semua lelaki yang pernah dan hampir menjadi pacarnya, tak ada yang berani bertemu dengan ayahnya lebih dulu. Bahkan sepertinya ide itu tidak pernah terlintas di pikiran para lelaki itu.Namun, Aidan sudah memikirkannya (walau awalnya itu ide Rudi). Bahkan lelaki itu seperti sudah siap untuk bertemu dengan ayahnya. Ah, Raika semakin jatuh hati saja pada lelaki ini. Setiap tindakannya untuk hubungan mereka selalu membuat Raika tersentuh dan semakin yakin pada Aidan.“Raika mana?” tanya Aidan ketika memasuki ruangan gadis itu sore harinya.Hanya ada Hani, sementara hari ini Bu Dina memang izin untuk tidak masuk ke kantor. Ada keperluan yang tidak bisa ditinggalkannya.“Tadi sih bilangnya ke gudang,” jawab Hani.Aidan hanya menganggukan kepalanya dan memberikan laporan pada Hani.“Hmm.. Dan..” pang
Raika pulang bekerja seperti biasa. Di ruang tamu ada dua kakaknya, Raihan dan Rama. Raika mengucapkan salam dan menyalami keduanya. Gadis itu tak bertanya apa pun dan segera duduk di sofa. Matanya menilik duduk Rama yang terlihat kurang nyaman.Suara pintu di belakangnya membuat Raika menoleh. Ada Shinta yang sepertinya bersiap untuk pergi.“Mau ke mana, Bu?” tanya Raika.“Mau ke rumah Bah Sapri. Tadi Rama ngeluh lagi pinggangnya sakit,” jawab Shinta.Belagu banget sih pake ikut-ikutan nguntit segala. Olok Raika dalam hatinya.“Aku aja, Bu, yang ke rumah Bah Saprinya.” Ketika Raika hendak berdiri, sang Ibu menghalanginya.“Udah, nggak apa-apa, Ibu perginya bareng Raihan kok. Adek istirahat aja.”Raika kembali duduk dan menatap kakak keduanya yang berdiri. Lelaki itu mengusap rambutnya dan pergi bersama Shinta.“Pinggang Kak Rama sakit lagi? Bukannya kemarin Kakak b
Raika sudah memberitahu Aidan jika ayahnya setuju untuk bertemu. Atas saran sang ayah, ketiganya akan bertemu di restoran dekat rumah bibi Raika. Tempat yang aman karena tidak akan dicurigai oleh kakak-kakak Raika. Aidan pun menyetujuinya tanpa banyak bertanya.“Bae,” panggil Aidan ketika keduanya sudah selesai makan siang.Raika hanya menjawab dengan senyumnya sembari menatap Aidan.Aidan berdeham kemudian berkata, "Kamu tahu kan kalau hubungan kita ini bukan untuk main-main?" Raika menganggukkan kepala tanpa bicara.Aidan meraih kedua tangan Raika yang ada di atas meja. Perlahan ia mengusap lembut punggung tangan kekasihnya. Raika cukup terkejut sekaligus deg-degan. Meski mereka sudah resmi menjadi sepasang kekasih, tapi kontak fisik yang mereka lakukan cukup jarang terjadi.Lelaki itu menatap Raika serius. Hubungan mereka memang belum lama, tapi entah bagaimana lelaki itu merasa yakin pada Raika. Aidan pun tak mengira perasa
Kakak-kakak Raika uring-uringan. Mereka masih mencari cara untuk menemukan siapa lelaki yang menjadi kekasih adiknya itu. Rama sempat ingin menyimpan kamera kecilnya lagi di kamar Raika. Sayang, adiknya itu kembali mengunci kamarnya. Dan Rama tidak berani untuk menanyakan hal itu, bisa-bisa sang adik akan mencurigainya.Rencana mengikuti adiknya sempat terpikirkan juga. Namun, lagi-lagi rencana itu tak bisa dilaksanakan karena jadwal kerja Rasya dan Raihan cukup padat. Sedangkan Rama masih harus banyak istirahat untuk pemulihan. Mereka tak ingin kejadian kemarin terulang kembali.Akhirnya, hanya ada satu cara. Meski tak yakin akan berhasil, setidaknya mereka harus mencobanya. Yaitu, dengan menanyai kedua sahabat sang adik, Khalif dan Kiran."Eh? Raika punya pacar, Kak?" Khalif terdengar kaget saat Rama menanyakannya di telepon."Kamu emang nggak tahu?" tanya Rama sedikit curiga. Bagaimana pun keduanya adalah sahabat dekat, tidak mungkin Khalif tidak tahu."Nggak, Kak. Kak Rama tahu se
Untuk pertama kalinya, Aidan akan menemui orang tua dari kekasihnya. Selama ini, jangankan untuk menemui orang tua dari si perempuan. Aidan kebanyakan dikecewakan lebih dulu. Namun, kini Aidan merasa bisa melakukan segalanya. Apalagi ini menyangkut masa depan keduanya. Aidan duduk dengan gugup di depan Bandi. Siap untuk mendengar pertanyaan yang akan diajukan oleh ayah Raika. "Silakan, Pak." "Nak Aidan minta izin Bapak untuk menjalani hubungan dengan Raika. Hubungan kalian ini apakah serius atau cuma pacaran biasa tanpa mikirin masa depan?” tanya Bandi hati-hati, namun telak. Bukannya takut, tapi Aidan menjawabnya dengan mantap. "Sejak awal saya mendekati anak Bapak, saya nggak berniat untuk main-main. Saya serius dengan hubungan saya dan Raika. Begitu juga untuk ke depannya.” Bandi tersenyum puas mendengar jawaban Aidan. Tidak ia sangka, jika lelaki muda di depannya ini terlihat tenang dan penuh percaya diri. Sebelumnya lelaki yang dekat dengan Raika tidak ada yang berani datang
Raika lesu. Dia tak bertenaga hari ini. Belum ada dua hari, gadis itu sudah merindukan Aidan. Padahal kemarin malam mereka bahkan melakukan panggilan video. Namun, bukannya mengurangi rasa rindu malah rindunya semakin bertambah.Melalui video, lelaki itu bahkan terlihat semakin tampan. Wajahnya yang menampakkan bakal kumis dan janggut hampir membuat Raika meneteskan air liurnya. Oke, itu berlebihan. Tapi, Aidan memang setampan itu di mata Raika.“Kasian amat yang ditinggal Ayangnya. Lemes, ya, Bu, nggak ada semangat,” olok Hani membuat Raika tersenyum malu. “Lusa juga balik.”“Beda, ya, kalau masih masa pacaran mah. Kangeen mulu bawaannya. Tapi, Neng, kalau udah nikah mah bawaannya kesel mulu sama pasangan. Apalagi kalau ada yang diributin. Suka males pulang ke rumah,” timpal Bu Dina diselingi curhat terselubung.Hani dan Raika malah tertawa. Ingin bersimpati, tapi raut wajah yang ditunjukan oleh Bu Dina justru tak menunjukan kekesalan.“Pengalaman pribadi, ya, Bu?” tanya Hani.“Penga
Hari-hari berikutnya giliran Rama dan Raihan yang membuntuti adik mereka. Namun, sama seperti pengintaian Rasya, keduanya gagal menemukan lelaki yang menjadi pacar sang adik. Raika seperti biasa pergi bersama Hani dan Bu Dina untuk makan siang di tempat yang berbeda. Namun, lelaki yang mereka cari tidak pernah muncul.“Cowok itu nggak ada?” tanya Rasya ketika giliran Raihan mengintai selesai.Raihan menggelengkan kepala yakin. “Apa cowok itu emang jarang ketemu sama Adek, ya? Kamu dan Rama kemarin juga nggak lihat cowok itu muncul, kan.”Rasya menghela napasnya. Memikirkan ucapan Raihan, tapi entah mengapa lelaki itu merasa ada yang mengganjal. Tapi, apa?“Bisa jadi, sih. Tapi, menurut aku mereka pasti sering makan siang, Rai. Aku yakin, waktu makan siang adalah kesempatan mereka bisa ketemu di luar,” simpul Rasya.Saat ini keduanya sedang berada di kamar. Membicarakan hal ini di ruang tamu hanya akan membuat ibu mereka curiga.Raihan menganggukkan kepala ikut menyimpulkan. “Kamu bene
Aidan sudah sampai di Jakarta. Tak lupa lelaki itu mengabari Raika. Ia tak ingin kekasihnya itu merasa khawatir.Perjalanan menuju Jakarta hampir memakan waktu enam jam. Aidan lupa, jika hari sabtu adalah waktu di mana orang-orang senang menghabiskan waktu di luar rumah. Bahkan saat di tol, mobil yang dikemudikan oleh supir keluarganya ini tak bergerak selama satu jam. Macet total.Aidan sampai di rumahnya saat adzan maghrib berkumandang. Setelah mengucapkan terima kasih pada supirnya, Aidan masuk ke rumah dalam keadaan lelah. Padahal bukan dia yang mengemudi.Aidan duduk di sofa ruang depan setelah mengucapkan salam. Seorang pembantu datang dengan membawa minuman hangat untuk Aidan.“Makasih, Mbok,” ujar Aidan.“Sama-sama, Den.”Sang pembantu kembali ke dapur. Paman Aidan, Faris, datang menyambut ponakannya. Aidan segera berdiri dan menyalami pamannya.“Macet banget, ya, Lek?” Tanya sang paman melihat raut lelah Aidan. Keduanya kembali duduk di sofa berseberangan.“Banget, Paman. Di