Tidak perlu menunda-nunda lagi. Ketiganya hari ini siap untuk melaksanakan misi menjadi detektif untuk mencari siapa pacar sang adik. Berbekal informasi yang mereka dapatkan kemarin, siang ini ketiganya sudah berkumpul untuk menyelidiki. Bahkan Rama yang belum boleh banyak bergerak, memaksa ikut misi ini. Dasar keras kepala!
Rasya kembali bertukar shift dan Raihan menyerahkan pekerjaannya pada bawahannya. Meski harus melalaikan pekerjaan, tapi demi adik perempuan satu-satunya, mereka tidak peduli.
Ketiganya menunggu Raika di dalam toko roti dekat kantor adiknya bekerja. Mengabaikan dua pelayan toko perempuan yang memandang kagum dan terpesona pada ketiganya. Mereka tidak peduli, yang mereka pikirkan saat ini adalah mengetahui siapa lelaki yang berani memacari adik kesayangan mereka.
Rama melirik arloji di tangan kirinya. "Harusnya sepuluh menit lagi Adek keluar kantor, Kak," lapor Rama pada kedua kakaknya yang mengangguk.
Mata ket
Aidan datang lima belas menit kemudian. Lelaki itu masuk ke ruangan Bu Dina. Raika segera menegakkan tubuhnya kala melihat sosok Aidan. Rasa cemas perempuan itu sedikit berkurang ketika Aidan tersenyum padanya. Ternyata ada Rudi yang sedang duduk di kursi sebelah Hani.“Aman, Dan?” tanya Hani penasaran.Aidan menganggukan kepalanya seraya mempertahankan senyumnya yang berubah tipis.“Emang lo kenapa, Dan?” tanya Rudi seraya menelisik kondisi Aidan.“Tadi waktu makan siang, kita diikutin sama kakak-kakaknya Raika.” Hani menyahut mewakili Aidan.“Serius?” Rudi menganga tidak percaya setengah tersenyum. Lelaki itu menoleh pada Raika yang sudah meringis malu. “Beneran, Neng?”“Iya, A. Sebelum keluar mall saya sempet lihat mereka juga. Kalau A Aidan nggak ngomong kayaknya saya nggak akan sadar,” balas Raika. “Aa beneran nggak apa-apa?” tanya perempuan itu pelan.
Raika menyanggupi permintaan Aidan. Perempuan itu akan membicarakannya dengan sang ayah di rumah nanti. Di antara semua lelaki yang pernah dan hampir menjadi pacarnya, tak ada yang berani bertemu dengan ayahnya lebih dulu. Bahkan sepertinya ide itu tidak pernah terlintas di pikiran para lelaki itu.Namun, Aidan sudah memikirkannya (walau awalnya itu ide Rudi). Bahkan lelaki itu seperti sudah siap untuk bertemu dengan ayahnya. Ah, Raika semakin jatuh hati saja pada lelaki ini. Setiap tindakannya untuk hubungan mereka selalu membuat Raika tersentuh dan semakin yakin pada Aidan.“Raika mana?” tanya Aidan ketika memasuki ruangan gadis itu sore harinya.Hanya ada Hani, sementara hari ini Bu Dina memang izin untuk tidak masuk ke kantor. Ada keperluan yang tidak bisa ditinggalkannya.“Tadi sih bilangnya ke gudang,” jawab Hani.Aidan hanya menganggukan kepalanya dan memberikan laporan pada Hani.“Hmm.. Dan..” pang
Raika pulang bekerja seperti biasa. Di ruang tamu ada dua kakaknya, Raihan dan Rama. Raika mengucapkan salam dan menyalami keduanya. Gadis itu tak bertanya apa pun dan segera duduk di sofa. Matanya menilik duduk Rama yang terlihat kurang nyaman.Suara pintu di belakangnya membuat Raika menoleh. Ada Shinta yang sepertinya bersiap untuk pergi.“Mau ke mana, Bu?” tanya Raika.“Mau ke rumah Bah Sapri. Tadi Rama ngeluh lagi pinggangnya sakit,” jawab Shinta.Belagu banget sih pake ikut-ikutan nguntit segala. Olok Raika dalam hatinya.“Aku aja, Bu, yang ke rumah Bah Saprinya.” Ketika Raika hendak berdiri, sang Ibu menghalanginya.“Udah, nggak apa-apa, Ibu perginya bareng Raihan kok. Adek istirahat aja.”Raika kembali duduk dan menatap kakak keduanya yang berdiri. Lelaki itu mengusap rambutnya dan pergi bersama Shinta.“Pinggang Kak Rama sakit lagi? Bukannya kemarin Kakak b
Raika sudah memberitahu Aidan jika ayahnya setuju untuk bertemu. Atas saran sang ayah, ketiganya akan bertemu di restoran dekat rumah bibi Raika. Tempat yang aman karena tidak akan dicurigai oleh kakak-kakak Raika. Aidan pun menyetujuinya tanpa banyak bertanya.“Bae,” panggil Aidan ketika keduanya sudah selesai makan siang.Raika hanya menjawab dengan senyumnya sembari menatap Aidan.Aidan berdeham kemudian berkata, "Kamu tahu kan kalau hubungan kita ini bukan untuk main-main?" Raika menganggukkan kepala tanpa bicara.Aidan meraih kedua tangan Raika yang ada di atas meja. Perlahan ia mengusap lembut punggung tangan kekasihnya. Raika cukup terkejut sekaligus deg-degan. Meski mereka sudah resmi menjadi sepasang kekasih, tapi kontak fisik yang mereka lakukan cukup jarang terjadi.Lelaki itu menatap Raika serius. Hubungan mereka memang belum lama, tapi entah bagaimana lelaki itu merasa yakin pada Raika. Aidan pun tak mengira perasa
Kakak-kakak Raika uring-uringan. Mereka masih mencari cara untuk menemukan siapa lelaki yang menjadi kekasih adiknya itu. Rama sempat ingin menyimpan kamera kecilnya lagi di kamar Raika. Sayang, adiknya itu kembali mengunci kamarnya. Dan Rama tidak berani untuk menanyakan hal itu, bisa-bisa sang adik akan mencurigainya.Rencana mengikuti adiknya sempat terpikirkan juga. Namun, lagi-lagi rencana itu tak bisa dilaksanakan karena jadwal kerja Rasya dan Raihan cukup padat. Sedangkan Rama masih harus banyak istirahat untuk pemulihan. Mereka tak ingin kejadian kemarin terulang kembali.Akhirnya, hanya ada satu cara. Meski tak yakin akan berhasil, setidaknya mereka harus mencobanya. Yaitu, dengan menanyai kedua sahabat sang adik, Khalif dan Kiran."Eh? Raika punya pacar, Kak?" Khalif terdengar kaget saat Rama menanyakannya di telepon."Kamu emang nggak tahu?" tanya Rama sedikit curiga. Bagaimana pun keduanya adalah sahabat dekat, tidak mungkin Khalif tidak tahu."Nggak, Kak. Kak Rama tahu se
Untuk pertama kalinya, Aidan akan menemui orang tua dari kekasihnya. Selama ini, jangankan untuk menemui orang tua dari si perempuan. Aidan kebanyakan dikecewakan lebih dulu. Namun, kini Aidan merasa bisa melakukan segalanya. Apalagi ini menyangkut masa depan keduanya. Aidan duduk dengan gugup di depan Bandi. Siap untuk mendengar pertanyaan yang akan diajukan oleh ayah Raika. "Silakan, Pak." "Nak Aidan minta izin Bapak untuk menjalani hubungan dengan Raika. Hubungan kalian ini apakah serius atau cuma pacaran biasa tanpa mikirin masa depan?” tanya Bandi hati-hati, namun telak. Bukannya takut, tapi Aidan menjawabnya dengan mantap. "Sejak awal saya mendekati anak Bapak, saya nggak berniat untuk main-main. Saya serius dengan hubungan saya dan Raika. Begitu juga untuk ke depannya.” Bandi tersenyum puas mendengar jawaban Aidan. Tidak ia sangka, jika lelaki muda di depannya ini terlihat tenang dan penuh percaya diri. Sebelumnya lelaki yang dekat dengan Raika tidak ada yang berani datang
Raika lesu. Dia tak bertenaga hari ini. Belum ada dua hari, gadis itu sudah merindukan Aidan. Padahal kemarin malam mereka bahkan melakukan panggilan video. Namun, bukannya mengurangi rasa rindu malah rindunya semakin bertambah.Melalui video, lelaki itu bahkan terlihat semakin tampan. Wajahnya yang menampakkan bakal kumis dan janggut hampir membuat Raika meneteskan air liurnya. Oke, itu berlebihan. Tapi, Aidan memang setampan itu di mata Raika.“Kasian amat yang ditinggal Ayangnya. Lemes, ya, Bu, nggak ada semangat,” olok Hani membuat Raika tersenyum malu. “Lusa juga balik.”“Beda, ya, kalau masih masa pacaran mah. Kangeen mulu bawaannya. Tapi, Neng, kalau udah nikah mah bawaannya kesel mulu sama pasangan. Apalagi kalau ada yang diributin. Suka males pulang ke rumah,” timpal Bu Dina diselingi curhat terselubung.Hani dan Raika malah tertawa. Ingin bersimpati, tapi raut wajah yang ditunjukan oleh Bu Dina justru tak menunjukan kekesalan.“Pengalaman pribadi, ya, Bu?” tanya Hani.“Penga
Hari-hari berikutnya giliran Rama dan Raihan yang membuntuti adik mereka. Namun, sama seperti pengintaian Rasya, keduanya gagal menemukan lelaki yang menjadi pacar sang adik. Raika seperti biasa pergi bersama Hani dan Bu Dina untuk makan siang di tempat yang berbeda. Namun, lelaki yang mereka cari tidak pernah muncul.“Cowok itu nggak ada?” tanya Rasya ketika giliran Raihan mengintai selesai.Raihan menggelengkan kepala yakin. “Apa cowok itu emang jarang ketemu sama Adek, ya? Kamu dan Rama kemarin juga nggak lihat cowok itu muncul, kan.”Rasya menghela napasnya. Memikirkan ucapan Raihan, tapi entah mengapa lelaki itu merasa ada yang mengganjal. Tapi, apa?“Bisa jadi, sih. Tapi, menurut aku mereka pasti sering makan siang, Rai. Aku yakin, waktu makan siang adalah kesempatan mereka bisa ketemu di luar,” simpul Rasya.Saat ini keduanya sedang berada di kamar. Membicarakan hal ini di ruang tamu hanya akan membuat ibu mereka curiga.Raihan menganggukkan kepala ikut menyimpulkan. “Kamu bene
“Kamu nggak lagi ngelindur kan ngomong kayak gini?” Raihan mendelik tajam pada Rama yang duduk di sampingnya. Sementara Rasya menatap dalam diam, tapi jelas sangat menusuk. Rama menggelengkan kepalanya seraya menatap bergantian pada kedua kakaknya. “Aku nggak lagi ngelindur atau bercanda, Kak. Aku serius sama ucapan aku.” Rasya mendesah setengah gusar. “Apa karena pacar Adek udah pernah nolongin kamu waktu itu, jadi sekarang kamu balas dengan ngedukung mereka?” Rama melipat bibirnya karena ucapan Rasya cukup tepat sasaran. Tak mau menyembunyikannya, lelaki kurus itu pun menganggukkan kepalanya. “Kamu jadi subjektif kalau gitu, Ram. Hanya karena dia pernah nolongin kamu, nggak berarti sekarang kamu harus balas dengan cara kayak gini,” protes Raihan tak terima dengan alasan sang adik. “Itu cuma salah satunya, Kak,” Rama menjeda ucapannya dan melanjutkan, “kemarin dia datang nemuin aku dan kami ngobrol banyak.” Kedua kakaknya tampak terkejut. Tentu saja kejadian itu hal langka bagi
Untuk pertama kali dalam hidupnya, Raika melarikan diri dari rumah. Dari semua adu mulut dan pertengkaran yang pernah terjadi dengan tiga kakaknya, baru kali ini rasanya Raika benar-benar marah. Bahkan keputusan ini tak pernah terbayangkan olehnya. “Mau kemana, Mbak?” tanya sang Supir ramah seraya menatap lewat kaca spion dalam. Raika terdiam. Saat menghentikan taksi barusan ia tak memikirkan ke mana akan pergi. Yang ia tahu, ia hanya ingin pergi dari rumah. Pergi dari kakaknya yang protektif. “Jalan aja dulu, Pak. Nanti saya kasih tahu lagi.” Hanya itu jawaban yang bisa Raika berikan. Gadis itu mengusap pipinya yang basah saat berteriak pada kakaknya tadi. Ia menangis. Sang Supir hanya menganggukkan kepala dan melajukan taksinya keluar komplek perumahan. Raika menatap jalanan melalui jendela mobil seraya menggigit bibir bawahnya menahan marah. “Aku doain jodoh Kak Rasya lebih nyebelin dari aku. Dasar Kakak dzalim…” gumamnya geram kembali menitikan airmata. “Haah… astaghfirullah…
Rasya dan kedua adiknya bergegas keluar rumah mencari Raika. Rasa khawatir, cemas, dan bersalah kini menghantui Rasya. Tak pernah ia menginginkan pertengkaran seperti ini dengan adik bungsunya. Ia hanya ingin melindungi sang adik. Memberi yang terbaik agar adiknya tak tersakiti. Namun, sepertinya semua itu tak sama dengan yang dipikirkan Raika.Tok… tok… tok…Rama mengetuk pintu rumah Khalif dengan sopan walau perasaannya sedang tak karuan saat ini. Saat akan mencari Raika tadi, Rama berpamitan pada Shinta. Wanita paruh baya itu memberitahu Rama jika dirinya sudah menghubungi Khalif melalui ibunya. Semoga saja saat ini sang adik ada di rumah Khalif.“Assalamu’alaikum.”“Walaikumsalam,” sahut suara wanita dari dalam rumah.Seseorang membuka pintu dan terkejut menatap tiga orang lelaki tinggi berdiri di depan rumahnya.“Eh, Rasya, Raihan, Rama? Ada apa ini?” tanya Rini, Ibu Khalif.“Maaf ganggu malem-malem, Tan. Adek ada datang ke sini, nggak?” tanya Rama dengan wajah cemas.“Raika? Ngg
Keluarga Raika baru saja menyelesaikan makan malam. Meski dalam suasana yang canggung, semua keluarga tetap makan seperti biasa. Hanya saja, tak ada obrolan ringan menyenangkan.Rasya baru saja akan melangkah, tapi Raika yang sudah menahan kata-kata di lidahnya sejak tadi sore segera menghampiri sang kakak.“Jadi, maksud Kakak ngundang A Aidan tadi buat bikin malu dia? Sampe-sampe bawa orang yang nggak tahu apa-apa segala.”Rasya menoleh dan menghadap pada Raika. “Karena dia bukan cowok yang pantes buat Adek,” katanya tegas dengan wajah serius.“Apa?”“Kakak udah tahu siapa dia,” ungkap Rasya datar. “Dan Kakak semakin nggak setuju Adek pacaran sama dia.”“Kakak ini apa-apaan sih? Makin ke sini Kakak tuh makin nggak ngaco, tahu, nggak.”Percakapan kakak beradik itu mendapat perhatian dari seluruh keluarga yang ada di ruang makan. Bisa dilihat jika keduanya kembali membahas hal yang sama. Ketidaksetujuan Rasya terhadap hubungan sang adik dan Aidan.Raihan dan Rama hanya saling menatap c
(Si Macan Manja) Dek, maafin kakak, ya 10.54 Raika menatap heran pesan yang dikirim oleh Rama padanya. Perempuan itu hanya mengabaikan pesannya dan kembali bekerja. “Teh, untuk Sewarna kita stop service dulu, ya. Mereka masih ada tunggakan,” beritahu Raika pada Hani. “Oke.” Hani mengacungkan jempolnya. “Rudi sama Aidan udah dikabarin?” tanyanya. “Udah, Teh. Jadi kalau mereka minta service nggak bisa kita kasih dulu.” “Sip.” “Neng, faktur yang kemarin udah beres?” tanya Bu Dina seraya menoleh sekilas pada Raika. Wanita itu sedang sibuk menyiapkan kas kecil untuk teknisi yang akan dinas luar. “Udah, Bu. Ini, Bu.” Raika menyerahkan form faktur pada Bu Dina. “Hah, gila, ya. Kerjaan awal bulan tuh emang paling nyebelin,” keluh Hani. Perempuan itu baru saja menyelesaikan pekerjaannya dan sedikit meregangkan ototnya yang kaku. “Pengennya nyantei terus, ya, Teh,” timpal Raika seraya terkekeh. “Jelas itu.” Hani tertawa pelan kemudian menggerakan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Ponse
Aidan menatap ruko dua lantai itu dengan seksama. Terlihat satu mobil box terparkir di sana dan beberapa motor. Dengan tekad kuat lelaki itu pergi mendekat ke ruko.Mendengar cerita kekasihnya kemarin, Aidan tidak ingin tinggal diam. Ia ingin melakukan sesuatu untuk kekasihnya itu. Apalagi semua ini menyangkut masa depan hubungan keduanya. Aidan tidak bisa mundur.Tidak.Bukan karena Aidan tidak bisa mundur, melainkan karena Aidan tidak ingin mundur begitu saja. Perasaannya pada Raika sudah tak terbendung. Cintanya pada gadis itu membuatnya tak ingin melepaskan Raika.“Permisi,” sapa Aidan pada lelaki yang sedang membereskan beberapa rumput sintetis.“Ya?” balas si pria bertubuh sedikit gemuk itu dengan ramah. “Mau pesen rumput, Mas?”Aidan menggelengkan kepala sambil mengulas senyum tipis. “Bukan, Mas. Saya mau ada perlu sama Kak Rama,” ujar Aidan. “Orangnya ada?”“Oh. Bentar, ya, saya panggilin dulu.”Si pria pergi meninggalkan Aidan yang menunggu di depan ruko. Setelah dua menit, k
Seperti yang ia katakan pada Raihan kemarin, hari ini Rasya akan menjalankan rencananya. Selesai dengan pekerjaannya, Rasya segera meluncurkan motornya ke kawasan kantor Raika bekerja. Dengan semangat baru, lelaki itu siap dengan misinya yang baru juga.“Hati-hati, Chef,” ucap salah satu bawahan Rasya ketika ia berpapasan dengan bawahannya di lahan parkir.“Iya, kalian juga,” balas Rasya ramah seraya menuju motornya.Rasya berhenti tak jauh dari kantor PDP. Lelaki itu menunggu hampir setengah jam sampai seseorang yang ia tunggu keluar. Rasya melihat sang adik sudah keluar dari parkiran dan pergi berlawanan arah dari tempatnya menunggu.Kini, matanya mengawasi mobil yang baru keluar dari lahan parkir. Orang inilah yang sedang ia tunggu. Setelah menunggu kendaraan yang ditumpangi orang tersebut hampir melewati Rasya, lelaki itu segera menghentikan mobil tersebut.Adegan yang cukup berbahaya, tapi Rasya tidak peduli.“Aduh!” pekik orang tersebut. Suara seorang wanita. “Hati-hati dong, Ma
Semua atensi kini beralih pada Bandi yang melangkah memasuki ruang tamu. Shinta, dengan wajah sendu mengikuti di belakang. Anak-anak mereka memang sering bertengkar, tapi tak pernah sampai seperti ini.“Kamu ini apa-apaan sih?! Teriak begitu di depan adik kamu!” bentak Bandi membuat Rasya terdiam seketika. Namun, raut marah lelaki itu masih terpampang di wajahnya.Rama menarik mundur Raika. Lelaki itu membawa Raika pada sang ibu. Sepertinya perselisihan ini akan berlanjut.“Ayah juga apa-apaan? Kenapa Ayah setuju gitu aja Adek pacaran sama cowok itu?” tanyanya dengan nada kecewa pada Bandi.“Emang apa yang bikin Ayah harus nggak setuju sama Aidan? Kamu ini terus aja mengada-ngada tiap Adek punya pacar. Ayah paling nggak ngerti sama sikap kalian yang begini.” Bandi menatap ketiga anak lelakinya bergantian.“Kakak nggak mengada-ngada, Yah. Ayah juga baru ketemu dia sekali, kan? Apa Ayah yakin dia itu cowok yang baik untuk Adek?” Rasya terus mendesak sang ayah tanpa takut.Bandi menggele
Raika masih duduk di sofa dengan tatapan kosong dan pikiran menerawang. Aidan sudah pulang satu jam yang lalu. Pikirannya bermuara pada dua kakaknya saat ini. Raika tahu Rasya dan Raihan sudah kecewa padanya. Gadis itu tak menyangkalnya.Namun, hati Raika sedikit terobati ketika mendengar Rama tidak melarang hubungannya dengan Aidan. Ada perasaan lega di hatinya. Setidaknya, ada satu kakaknya yang mendukung hubungannya dengan Aidan.Melihat anak perempuannya termenung membuat Shinta menghampiri Raika. Bandi sekarang berada di kamarnya untuk tidur siang, beliau tidak mau ambil pusing dengan tingkah kekanak-kanakan anak sulungnya.“Adek masih kepikiran sama yang tadi?” tanya Shinta seraya mengelus lembut punggung Raika.Sedikit tersentak Raika menoleh pada sang ibu dengan senyum lesunya. “Iya, Bu. Gimana kalau Kak Rasya tetep nggak setuju sama hubungan aku dan A Aidan? Ibu kan tahu sendiri kalau Kak Rasya udah nentang nggak ada yang bisa ngalahin, kadang Ayah juga angkat tangan."Shinta