Risa geram, kedua tangan mengepal kuat. “Dasar pembohong! Kamu bilang kita berdua akan menikah! Tapi, sejauh ini kamu hanya membual semata! Aku masih sabar menghadapimu! Masih sabar mau menjalin hubungan terlarang ini meski sudah punya calon suami! Tapi, apa-apan tadi itu? Kenapa kamu tidak jujur kepadaku?! Kenapa kamu tidak bilang sudah punya wanita lain di sisimu?!” Risa memukul-mukul dadanya yang keras dan kokoh, menangis sesenggukan parah. Shouhei tidak memberikan perlawanan, membiarkan sang wanita seperti itu untuk sementara. “Keluar!” bentak Risa marah, mendorongnya agar keluar dari ruangan, “aku tidak mau melihatmu lagi! Pergi!” Shouhei menahan Risa dalam pelukannya, tidak mengatakan apa pun. Wajahnya sangat dingin. “Kenapa kamu begitu jahat mempermainkanku! Kenapa?! Sudah lama aku mencari pasangan hidup! Sudah lama aku menginginkan pria yang mencintaiku dengan tulus, dan aku juga ingin mencintainya sepenuh hati, tapi apa ini semua?! Benar –benar jahat!” gugunya dengan bibi
Minggu keesokan harinya. Risa Abdullah bangun dengan perasaan gamang, duduk dengan bahu lemas menatap selimut di tubuhnya. Dengan perasaan seperti sedang bermimpi, dia menoleh ke arah sofa di mana sang bos galak dan mesum-mesumnya itu tidur semalam. “Oh... dia sudah pergi rupanya...” gumam Risa dengan perasaan sendu. Adegan ini sudah benar-benar menjadi gambaran akan masa depannya sebagai wanita simpanan untuk hari-hari berikutnya. Mata wanita ini bengkak parah. Sudah seperti ditempeli lemak tambahan saja. Setelah melihat kondisinya yang mengenaskan di depan cermin wastafel, hatinya jatuh dengan cepat. Sama sekali tidak ada niat untuk keluar dari kamar, meski Adnan berencana mengajaknya jalan-jalan seharian sebagai kencan mereka berdua demi memperbaiki hubungan yang retak. Tapi, dia merasa tidak mau bertemu siapa pun sekarang. Dengan perasaan kacau, Risa kembali baring ke kasurnya sambil mengopres matanya menggunakan minuman kaleng dingin secara bergantian beberapa saat. Sudah pu
Saat siang hari, Adnan membujuk Risa agar menghentikan sikapnya yang sudah mirip ulat kepompong. Selama dia menemani Risa Abdullah yang ngambek karena matanya bengkak, entah kenapa segala amarahnya sebelum dia datang ke tempat ini perlahan runtuh. “Ingin makan apa lagi? Aku akan memesankan apa pun yang kamu inginkan. Bagaimana kalau kentang goreng? Enak dimakan sebagai cemilan untuk nonton film,” jelas Adnan yang kini duduk di dekat Risa sambil memeluknya dengan satu lengan. Di sisinya, Risa masih membungkus dirinya dengan selimut, tidak berminat sama sekali menonton tayangan film aksi di TV. Kentang goreng.... Risa termenung memikirkan banyak hal, wajahnya datar sudah seperti tidak punya jiwa sama sekali. Kentang goreng adalah hal yang akan memicu otaknya untuk memikirkan pria kejam itu. Kenapa dia sangat sial dan beruntung di saat yang sama bertemu dengan Shouhei? Hati Risa berdarah, tapi dia tidak bisa menangis tanpa ada alasan yang jelas di depan Adnan. Sayangnya, air mata
Di pesawat menuju ibukota. ‘Ini tidak seperti yang kamu pikirkan, Risa Abdullah! Kamu harus percaya kepada Shouhei!’ ‘Kamu salah paham! Aku tidak bermaksud menipumu! Shouhei punya alasan untukmu!’ ‘Dia benar-benar menyukaimu, Risa! Jangan dengarkan yang lain!’ Kalimat Clara terngiang berkali-kali dalam benak Risa sejak dia menaiki pesawat. Matanya mengarah keluar jendela, menatap kosong langit gelap di luar sana. Risa tertawa dingin. Lelucon macam apa itu? Entah Clara diperdaya oleh Shouhei, atau malah berbohong kepadanya, dia tidak bisa melanjutkan pembicaraan mereka kala itu, langsung pergi dari sana setelah mendengar hal tidak masuk akal darinya. “Kamu masih tidak enak badan?” tanya Adnan yang duduk di sebelah, meliriknya yang bersandar lemah di lengannya. “Um. Sedikit.” Wanita itu hanya membalasnya ogah-ogahan, menarik selimutnya lebih erat ke tubuhnya. Yang sakit adalah hatinya, bukan tubuhnya. “Oh, ya, aku lupa memberitahumu, hari Sabtu tanggal 8 nanti adalah hari per
Acara yang dihadiri oleh bosnya tidak jauh dari hal berbau bisnis tentu saja. Risa Abdullah melihat kumpulan orang-orang yang tengah berdiri di acara itu tengah berbincang satu sama lain sambil memegang minuman dan menikmati kudapan yang ada. Yah, dia berharap apa, sih? Sudah pasti pria kejam itu hanya akan menghadiri acara-acara berkelas seperti ini. Kebun binatang? Pfft. Itu cuma dalih darinya demi menjebak dirinya mentah-mentah. “Selamat datang ke acara ini, Tuan Shiraishi!” sapa seorang pria berjas abu-abu pucat, gendut dan pendek, sedikit botak dengan rambut tipis di sekitar kepalanya, mukanya juga sangat berminyak. Ini membuat Risa Abdullah yang berdiri tepat di belakang kedua pasangan sialan itu menjadi mual. Di depannya, terdengar Shouhei menjawab dengan ramah dan sopan, tapi terdengar nada intimidasi yang kuat di dalamnya. “Terima kasih. Senang bisa menghadiri acara besar seperti ini.” Pria gendut itu tertawa keras sekali, lalu matanya melirik antara dua wanita yang b
Bibir pria berjas hitam mewah ini merapat kesal, mata dinginnya menyipit tajam. Dia pun memperbaiki kalimatnya: “Sekretaris Risa?!” “Ya, Pak Shiraishi. Anda butuh sesuatu?” tanyanya dingin, tidak memberikan tatapan hangat sedikit pun, kaku bagaikan kayu. “Apa kamu cemburu? Atau marah?” “Anda bicara apa, Pak? Saya tidak mengerti sama sekali,” balas Risa sambil tersenyum seadanya. Tidak berlebihan, sangat khas sekretaris kaku. Wajah Shouhei menggelap kelam, tidak enak dipandang. Nada bicaranya langsung berubah dingin dan tajam. “Apa kamu mau mengulang kejadian di ruang tamu kantor Pak Sudirman? Aku bilang duduk, ya, duduk!” Risa menatapnya gelap, tatapan matanya dingin, lalu dengan terpaksa duduk di sofa itu, tapi jaraknya hampir 1 meter. Nadi di pelipis Shouhei berdenyut kesal. “Apa yang kamu lakukan?” “Maaf, Pak. Tidak enak dilihat orang-orang. Anda adalah bos saya. Saya hanya seorang sekretaris pribadi. Jangan sampai membuat orang-orang yang melihat ke arah ini berpikiran lain,
Hawa dingin langsung menusuk hati Risa, memilin sakit ketika melihat kancing kemeja pria itu sudah terbuka sebagian, otaknya bagaikan ditusuk ribuan jarum. Sayangnya, pingsan di tempat ini bukanlah hal yang membanggakan. Jadi, sekali lagi dia mengandalkan ketegaran hatinya menghadapi pria kejam itu. Ketenangan hebat dipaksa hadir di dalam dirinya, tersenyum kecil dan sedikit kaku, tapi kedua tangannya yang gemetar dingin mengepal erat. “Saya baru saja mendapat telepon untuk pulang lebih cepat demi pertemuan penting keluarga saya. Jadwal Anda juga sudah tidak ada yang begitu penting hari ini selain kembali ke kantor. Apakah saya boleh pulang cepat hari ini, Pak Shiraishi?” Shouhei menautkan kening mendengar kata ‘pertemuan penting keluarga’. Baru saja ingin bertanya hal itu lebih jauh, Ayana dengan gaya manja dan centil langsung menahan tubuh Shouhei yang sepertinya sudah ingin meninggalkan tempatnya dengan gerakan gelisah. Tapi, Ayana malah memeluknya erat dengan satu lengan sambil m
Sarah Sabran memasuki kamar dengan sangat bersemangat, menarik tubuh Risa keluar dari kamar dengan senyum lebar di wajahnya, sudah mirip mengantarkan anaknya ke sebuah pelaminan saja. “Ayo, Nak! Mereka sebentar lagi akan tiba! Adnan pasti akan terpana melihatmu malam ini! Ibu sangat yakin! Kalian pasti akan sangat serasi dan tidak ada bandingannya!” Dalam hati, Risa tersenyum kecut. Ini hanyalah awal siksaan untuknya seumur hidup. Bukannya hal yang membahagiakan seperti impian kecilnya memiliki pria yang dicintainya. Bagaimana bisa dia terjebak di antara dua pria seperti ini? Beberapa saat kemudian, suasana di dalam mansion itu sudah mulai ramai oleh beberapa tamu undangan, mereka adalah anggota keluarga dari kedua belah pihak yang akan segera mengadakan pernikahan bulan ini. Suara tawa dan canda terdengar di mana-mana, terlihat banyak makanan melimpah di ruangan yang sudah disulap menjadi sangat megah tersebut. Pakaian mereka pun sangat indah dan begitu menawan. Ini adalah makan m