"Ayah...," panggil Elisa sambil cemberut pada ayahnya yang sedang duduk di depan TV. Ia lalu menyerahkan selembar kertas yang merupakan fomulir pendaftaran kegiatan ekstrakurikuler.
"Apa ini, Sa?" tanya ayahnya sambil menerima kertas dari Elisa itu.
Elisa duduk sebelum menjawab pertanyaan ayahnya itu. "Formulir pendaftaran ekskul, Yah," jawabnya sambil tetap cemberut.
"Oh... Terus kok kamu cemberut gitu, Sa?" tanya ayahnya heran.
"Mahal Yah, iurannya...," jawab Elisa dengan nada sedih.
"Iya, Ayah udah dikasih tau waktu nyerahin berkas. Nggak apa-apa, udah dikasih sekolah sama fasilitasnya gratis, masa ekskul juga mau gratis?" Ayahnya menenangkan Elisa. Untuk beasiswa di sana, semua biaya sekolah, termasuk SPP, buku, seragam, biaya ujian, dan lain sebagainya memang digratiskan. Tapi khusus untuk ekstrakurikuler, mereka harus tetap membayar.
"Terus jadinya kamu mau ikut apa?" tanya ayahnya.
"Tuh, udah Elisa centang," jawab Elisa s
Alex mengambil handphone yang diletakkannya di samping komputernya setelah mendengar nada pesan notifikasi masuk. Ia segera membukanya dan melihat beberapa pesan notifikasi yang memang ia diamkan sedari tadi saking asyiknya ia bergumul dengan musiknya.Ada beberapa notifikasi masuk dari beberapa media sosial miliknya. Ia pun membuka pesan notifikasi dari website komunitas sekolah. Ada beberapa notifikasi baru yang menginformasikan tentang nama beberapa follower barunya. Alex tak membacanya dengan seksama dan langsung melewatinya. Ia memang tak pernah menaruh perhatian pada siapa saja yang mengikutinya di sosial media mana pun.Ia melanjutkan membaca pesan notifikasi yang berisi pesan pribadi yang masuk di akunnya itu. Di inbox-nya terdapat beberapa pesan baru yang masuk. Dilihat dari namanya, rata-rata pengirim pesan itu adalah perempuan. Biasanya ia akan menerima banyak pesan dari teman seangkatan ataupun kakak kelas perempuan. Tapi semenjak ia naik kelas dan me
Hari Senin pagi. Elisa berjalan memasuki ruangan kelasnya yang sudah terdapat beberapa teman-teman perempuannya sedang mengobrol bersama. Ia pun duduk di kursinya, yang di sebelahnya sudah terdapat Aurora yang sedang bermain handphone.Ia memperhatikan sekumpulan teman-teman perempuannya yang sedang mengobrol bersama itu. Ada Sonya, Michelle, Monik, Niken serta dua orang yang lain. Elisa mendengarkan obrolan teman-temannya itu dari kejauhan."Kemarin berangkatnya pagi, malemnya udah pulang." Sonya seperti sedang menceritakan sesuatu."Ke Singapore pulangnya cuma beli sepatu ini?" tanya Monik sambil menunjuk sepatu Sonya yang terlihat baru, dan mahal. Belinya di Singapura kemarin hari Minggu."Nggaklah... Sama beli baju-baju juga. Mama aku juga belanja tas Prada, yang limited edition. Adanya cuma di sana," jawab Sonya."Nggak dikirim aja Son, daripada jauh-jauh ke sana?" tanya Niken yang sepertinya kurang memahami tentang dunia fashion."Ngga
Pagi itu Ryan sedang sarapan bersama orang tua dan kakak laki-lakinya. Rumah mereka terlihat sangat bersih dan rapi. Tidak heran, karena mereka adalah keluarga dokter. Papanya merupakan dokter spesialis kulit terkenal yang sudah memiliki acaranya sendiri di TV nasional, Dokter Adiguna Santoso. Beliau juga memiliki jaringan klinik kecantikan yang membuka banyak cabang di berbagai kota, Lotus Skin Care & Clinic. Sedangkan mamanya merupakan seorang dokter spesialis jantung yang bekerja di salah satu jaringan rumah sakit swasta terbesar di Indonesia, Wijaya Medika. Kakaknya sendiri merupakan seorang mahasiswa kedokteran di Singapura, yang saat ini masih dalam liburan semester. "Cuci tangannya dulu," pinta mamanya pada Ryan. "Udah, Ma," jawab Ryan. Makanan yang tersedia di hadapan mereka adalah makanan-makanan sehat dengan gizi seimbang dari sebuah katering healthy food yang memang biasa mereka pesan setiap hari. Selain sangat memperhatikan kebersihan dan apa
Sepulang kegiatan ekstrakurikuler hari itu, Alex langsung pulang ke rumah. Saat memasuki rumah, ia melihat papa, mama, Ericko, dan Katrin serta beberapa pegawai papanya sedang berada di rumah. Malam hari itu, mereka akan menghadiri acara Grand Launching proyek Superblok terbaru mereka, Lunar Land. Mereka semua sedang bersiap-siap untuk acara tersebut di rumah Alex."Ini Alex pulang," kata Katrin tiba-tiba pada papa dan mamanya."Lex, nggak usah les dulu ya. Nanti ikut kita," pinta papanya dengan lugas."Ikut ke acara, Pa?" tanya Alex merujuk pada acara Grand Launching Superblok Lunar Land."Iya, kamu siap-siap sekarang," perintah papanya."Loh, tumben, Pa? Alex kan biasanya nggak pernah ikut?" tanyanya heran.Alex memang tidak pernah mau mengikuti acara-acara perusahaan, grand launching, grand opening, soft launching, soft opening, gathering, apa pun itulah namanya. Ia merasa belum siap disorot media saat ini dan berencana akan mulai menujuk
Alex melihat ke arah pintu masuk dan dilihatnya Pak Teddy Gunawan beserta istrinya memasuki Grand Ballroom, diikuti oleh Steven yang berjalan di belakangnya. Alex mendadak merasa senang bercampur lega karena ada temannya di situ. Orang-orang yang sedang berdiri bersama Alex di situ juga melihat ke arah pintu masuk, penasaran tentang tokoh siapa lagi yang datang."Ma, Pa, Tante, Om, Alex mau ketemu sama teman Alex dulu ya," pamitnya pada mereka, kemudian pergi berjalan menghampiri Steven."Temennya... Anaknya Pak Teddy," terang mama Alex pada Bapak dan Ibu Sutikno yang juga mengenal Pak Teddy Gunawan. Kebetulan Pak Teddy, Papa Steven itu, juga mempunyai saham di PT. Linardi Development.Steven yang tidak tahu bahwa Alex juga berada di sana dibuat sangat terkejut saat Alex menghampirinya. "Loh, Lex? Nih aku nggak salah liat?" tanya Steven merasa tidak percaya."Dipaksa ikut, yaudah," jawab Alex santai."Wah wah wah... nggak nyangka kamu juga ikut ke
"Ya bukanlah!" jawab Alex pada akhirnya, berusaha agar tak terlihat bahwa ia sedang berbohong. Alex pun mengembalikan handphone Ali yang dipegangnya tadi."Beneran, Lex? Aneh loh namanya bisa sama persis," kata Ali curiga."Yaelah, beneran! Papa aku tuh cuma Manajer," jawab Alex berbohong. Omnya yang sering mengambilkannya rapor memang seorang Manajer di salah satu perusahaan milik papanya."Ah, masa sih, Lex?" tanya Ali yang tetap saja merasa tak percaya."Nggak percaya amat sih, Li? Emangnya kamu pernah liat aku sama keluarga Linardi? Nggak mungkin kan kalau emang bener aku anaknya Bambang Linardi, tapi nggak pernah keliatan sekalipun sama keluarganya? Lagipula orang itu juga kayaknya udah usia 20 tahunan makanya dia ikut acara perusahaan." Alex mencoba memberikan alasan yang masuk akal."Iya juga ya," jawab Ali. Untung saja temannya itu bukan anak jenius yang pastinya akan sulit untuk ditipu. Alex pun menunggu reaksi selanjutnya dari Ali.
Elisa mengendarai motornya menyusuri jalanan Lunar Residence. Siang itu ia memiliki janji latihan untuk Art Show di rumah Michelle yang memang beralamat di dalam perumahan elit itu. Ia mengendarai motornya sambil mencari nomor rumah Michelle."B-21... B-23...," gumamnya sambil mencari alamat. "Nah ini B-25," gumamnya, akhirnya ia menemukannya. Ia berhenti di sebuah rumah dengan cat berwarna coklat muda, sangat besar terdiri dari 2 lantai. Tembok pagarnya sangat kokoh, terlihat megah, dan tak terlalu tinggi sehingga rumah yang mewah di dalamnya bisa terlihat dari luar.Ia pun turun dari motornya dan berusaha mencari letak tombol bel rumah di depan pagar itu. Akhirnya ia menemukan bel rumah yang letaknya pas di atas sebuah alat yang ditempel di tembok, mirip sebuah panel. Tiba-tiba terdengar sebuah suara entah dari mana itu asalnya."Siapa ya?" Suara seorang wanita bertanya padanya. Elisa yang terkejut kemudian mencari-cari orang yang mengeluarkan suara itu, tapi
Seusai kegiatan ekstrakurikuler, Alex masih berada di dalam ruangan musik sambil memainkan gitarnya sendirian. Tiba-tiba datanglah dua orang teman laki-lakinya memasuki ruangan itu."Hei, Lex. Udah nunggu lama?" tanya temannya yang bertubuh jangkung, Robby."Nggak. Baru aja selesai kok ekskulnya," jawab Alex masih dengan gitar di pangkuannya."Ali mana, Lex?" tanya teman satunya yang bertubuh agak pendek, Ivan."Udah otw katanya sekitar 10 menit yang lalu. Paling ntar lagi juga dateng dia," jawab Alex.Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang sepertinya sedang berlari-lari kecil mendekati ruang musik. Tampaklah Ali membuka pintu ruangan itu dan masuk."Sorry, guys. Macet," kata Ali sambil berjalan menghampiri mereka bertiga.Siang itu mereka berencana latihan untuk acara Art Show yang akan digelar pada hari Sabtu, 3 hari lagi. Mereka bertiga adalah teman sekelas Alex yang membuat sebuah band musik dadakan khusus untuk acara tersebu
Elisa memandang ke arah orang yang menarik tangannya itu dengan wajah terkejut. Dilihatnya Alex sedang memegang tangannya sambil memandang Ryan dengan wajah dingin."Ngapain kamu narik tangan Elisa?" tanya Ryan dengan wajah marahnya."Emangnya kenapa? Elisa bukan pacar kamu kan?" jawab Alex dengan ketus.Ryan terkekeh dibuatnya. "Terus kamu pikir kamu siapanya?" tanya Ryan."Jangan deketin Elisa lagi," pinta Alex tanpa menjawab pertanyan Ryan."Emangnya kenapa? Suka-suka aku dong mau deketin siapa. Kamu juga bukan siapa-siapanya," jawab Ryan dengan santainya.Alex berjalan mendekat ke arah Ryan, bermaksud melakukan sebuah konfrontasi untuk memperingatkan Ryan. "Kamu tau, kamu itu bisa bahayain Elisa," kata Alex dengan tatapan mata tajamnya.Elisa terkejut mendengar perkataan Alex itu. Dari mana Alex tahu kalau kedekatannya dengan Ryan bisa membahayakan keadannya? Ia belum pernah memberitahu Alex alasan sebenarnya di balik Sandra
Elisa merasa heran melihat tas kertas yang ada di hadapannya itu. Ia masih tak percaya ada seseorang yang mengirimkannya sesuatu dengan diam-diam seperti itu. Ia mulai penasaran dengan apa isi tas tersebut karena terasa cukup berat ketika diangkat. Perasaannya bercampur antara penasaran, senang, dan takut. Ia takut kalau-kalau tas itu berisi sesuatu yang buruk, yang dikirimkan oleh seseorang yang tak menyukinya.Ia membuka tas itu dan mengeluarkan sebuah kotak yang berukuran cukup besar berwara merah muda dengan pita biru. Ia membuka kotak itu dan merasa sangat terkejut melihat berbagai macam produk kosmetik yang masih terbungkus rapi dari berbagai merk di dalamnya. Ia melihat sebuah set lengkap peralatan makeup, skin care, dan parfum dari berbagai merk mahal yang tentu saja tak akan dapat dijangkaunya bahkan dengan menabung selama bertahun-tahun sekalipun. Ia masih tak percaya bahwa isi kotak itu semua diperuntukkan baginya. Ia pun melihat sepucuk kartu kecil lagi d
Sore itu sehabis les dan mandi, Alex menghabiskan waktunya berkutat di depan laptopnya, seperti sedang mencari sesuatu di internet. Ia terus saja mengetikkan kata-kata kunci pencarian di Google dan melihat hasil pencarian yang diberikan oleh mesin pencari itu. Ia mengetikkan kata kunci "makeup terbaik untuk remaja" dan melihat hasil yang keluar. Dibukanya website-website resmi yang menjual makeup di halaman itu, dan dibukanya gambar-gambar yang tertera di sana satu per satu.Ia menghela nafas sambil tangannya menyentuh dahinya, merasa seperti sedang kebingungan."Hah... diliat berkali-kali tetep aja nggak ngerti juga," keluhnya pada diri sendiri yang tak kunjung mengerti kegunaan produk-produk makeup yang dilihatnya tadi."Banyak banget sih macemnya," keluhnya lagi dengan alis yang mengernyit memandangi layar laptopnya.Setelah mengetahui bahwa tas kecil Elisa diambil oleh Sandra tadi pagi, ia berniat menggantinya agar Elisa tak merasa sedih lagi. Sebenar
"Elisa pulang!" seru Elisa saat memasuki rumahnya.Wajahnya siang itu tampak sangat lesu dan tak bersemangat. Terbayang peralatan makeup kesayangannya yang dirampas oleh Sandra tadi pagi. Ia terus saja memikirkan bagaimana caranya agar ia bisa membeli peralatan makeup yang baru, sementara ia tak mempunyai cukup tabungan saat ini. Ia pun kemudian menjatuhkan dirinya ke sofa depan TV sambil meghela nafas panjang.Ayahnya berjalan menghampirinya dan melihat wajah lesu anaknya itu."Lah kok mukanya kusut gitu? Ada apa, Sa?" tanya ayahnya sambil duduk di sebelahnya."Nggak ada apa-apa kok, Yah," jawab Elisa berbohong. Tentu saja ayahnya tak langsung percaya."Ah, masa nggak ada apa-apa? Kayaknya kok ada apa-apa gitu?" tanya ayahnya berusaha mencari jawaban yang sebenarnya."Nggak ada apa-apa kok, Yah. Elisa cuma capek aja," jawab Elisa.Ayahnya sejenak memandanginya. Ia tentu tahu bahwa anaknya itu sedang menyimpan suatu permasalahan dalam
Alex berlari dengan panik mencari di mana keberadaan Elisa sebenarnya. Ia mencari di segala ruangan yang mungkin didatangi Elisa, seperti perpustakaan ataupun learning centre, namun tak kunjung menemukannya. Ia merasa semakin panik dan bingung.Sambil mengatur nafasnya yang masih terengah-engah sehabis berlari tadi, ia teringat bahwa terdapat sebuah toilet perempuan lagi di dalam sekolah itu yang belum sempat ia periksa, yaitu toilet di sport hall. Ia pun berlari ke arah toilet tersebut dan berharap bahwa toilet terakhir yang ditujunya itu bisa memberikannya sebuah jawaban.Ia berdiri di depan pintu toilet dan menunggu adanya seseorang yang keluar dari toilet itu. Tapi didengarnya samar-samar seperti ada suara seorang perempuan yang menangis dan bertengkar di dalam toilet itu. Merasa ada yang tak beres, tak ambil pusing dengan apa yang akan dikatakan orang padanya, ia pun memutuskan untuk masuk ke toilet itu dan melihat siapa yang ada di dalamnya.Saat melangkah
Sandra sedang berbaring di atas sebuah kasur di dalam ruang UKS. Entah mengapa meskipun mengantuk ia tetap tidak bisa tertidur dengan nyenyak di ruangan itu. Tiba-tiba ia mendengar ada suara notifikasi yang menandakan sebuah sebuah pesan masuk di handphone-nya. Ia segera mengambilnya dan membuka pesan yang ternyata dari Melissa, teman dekatnya itu."Duh, ngapain sih Melissa kirim-kirim pesen? Udah tau aku mau tidur," gumam Sandra pada dirinya sendiri dengan perasaan kesal.Saat ia membuka pesan yang dikirim oleh Melissa itu, matanya membelalak lebar karena terkejut. Rasa kantuk seketika hilang saat itu juga, tergantikan oleh sebuh rasa marah. Di layar handphone-nya itu, ia melihat foto Ryan yang sedang duduk berhadapan dengan Elisa di dalam kantin.Apa-apaan ini? Berani-beraninya dia nunjukin kedeketannya sama Ryan di depan anak-anak? Kalo gini caranya satu sekolah bisa tau kalo mantanku sekarang deket sama anak beasiswa! Sandra membatin saat melihat foto terseb
Jam 03.00 pagi. Sandra baru saja pulang syuting dan langsung tidur di kamarnya tanpa mengganti baju dan menghapus makeup-nya karena rasa kantuk berat yang dirasakannya. Ia memang terbiasa mengikuti kegiatan syuting sinetron dari sepulang sekolah sampai larut malam, tak jarang sampai dini hari. Seperti yang saat ini tengah ia alami.Tujuannya menjadi seorang artis bukan untuk mencari uang karena keluarganya sudah sangat berkecukupan. Ia menjadikannya sebagai sebuah hobi dan cita-cita. Itu semua didukung oleh papanya, Tony Halim, yang merupakan pemilik salah satu stasiun TV nasional, HiTV. Sandra bisa menjadi artis pun karena kekuatan pengaruh dari papanya itu. Padahal sebenarnya tujuannya menjadi artis hanyalah untuk mencari popularitas, sehingga kemampuan aktingnya pun tidak terlalu bagus. Karena itu pula, ia jarang didapuk menjadi pemeran utama dalam sinetron maupun film yang dibintnginya. Lagipula bagus ataupun tidak bagus aktingnya, tidak akan ada yang berani menghentikann
Malam itu, papa dan mama Alex pulang lebih awal dari biasanya. Alex yang baru saja turun ke bawah dari kamarnya, melihat mamanya itu seperti sedang keskitan sambil menggaruk-garuk tangannya dan menimbulkan bekas kemerahan pada kedua tangannya. Bi Sum sedang membantu mamanya itu untuk berjalan dan membantunya duduk di ruang keluarga sementara papanya sedang membawakan tas mamanya di belakang mereka."Loh, Mama kenapa, Ma?" tanya Alex berjalan menghampiri mamanya."Nggak tau nih, gatel-gatel semua. Kayaknya alergi," jawab mamanya."Emangnya habis makan apa tadi?" tanya Alex."Kayaknya mama kamu tadi ambil siomay isi udang pas acara," jawab papanya."Mama udah tau alergi udang kok ambil itu sih?" tanya Alex dengan perasaan cemas."Mama nggak tau, kirain isinya cuma ayam. Soalnya halus banget gilingan dagingnya," jawab mamanya sambil meringis menahan gatal dan sakit."Alex, jagain Mama bentar ya. Papa mau telepon Om Adi dulu," pinta papan
Pagi itu, kelas Alex sedang mengikuti pelajaran olahraga. Para siswa di kelas Alex saat itu sedang mempelajari teknik bermain voli di lapangan voli dalam sport hall. Mereka mengikuti pelajaran olah raga dengan sangat asyik dan menikmatinya. Mereka bergantian menggunakan lapangan untuk bermain, dan saat itu Alex belum mendapat giliran untuk bermain sehingga ia pun duduk di pinggir lapangan.Saat itu juga masuklah siswa-siswa dari kelas 11-B ke dalam sport hall menuju ke lapangan basket. Mereka baru saja mempelajari teori basket di kelas sebelum menuju ke sana. Alex sangat hafal bahwa teman-teman yang dilihatnya itu berasal dari kelas 11-B karena ia melihat Martin, Niken, dan tentu saja Joshua."Hei, bro!" Sapa Joshua menghampiri Alex kemudian melakukan high five. Saat itu, Steven sedang bermain voli di lapangan.Joshua pun berlari kembali ke kumpulan kelasnya di lapangan basket. Saat melihat Joshua berlari kembali itu, Alex melihat Elisa yang sedang berdiri denga