Leon tersenyum puas mendengar ucapan Tuan Lim. Dia tidak peduli lagi ke mana mereka akan membawa wanita-wanita itu setelah ini. Baginya satu urusan telah selesai. Kini tinggal bagaimana dia menyelesaikan misi selanjutnya.
Seorang pria bertubuh gempal dengan mata sipit mendekati Tuan Lim. Di tangannya tampak sebuah koper berwarna hitam. Tuan Lim pun menyambut dengan koper itu dan langsung membukanya di hadapan Leon. Tampak lembaran uang berwarna merah muda tersusun di dalamnya dengan rapi.Leon tersenyum puas dengan apa yang dilihatnya. Tidak sia-sia pekerjaannya yang begitu menguras emosi dan tenaga."Ini uang dengan jumlah yang sudah kita sepakati, Tuan Leon. Saya juga sudah menambahkan bonus cuma-cuma di dalamnya. Selamat menikmatinya, Tuan Leon," ucap pria bermata sipit dengan tubuh sedikit gemuk itu.Leon menyambut koper yang diserahkan Tuan Lim dengan bangga. Untuk kesekian kalinya dia menerima uang yang begitu besar dari Tuan Lim sebagai bentuk jual beli. Beberapa anak buah Leon ikut tersenyum puas melihat uang yang diterima Leon--bos mereka.Wanita-wanita dengan pakaian seksi di salah satu sisi kapal berdiri dengan rasa bercampur aduk. Mereka tampak cemas dan penuh tanda tanya ke mana mereka akan di bawa orang-orang itu. Beberapa di antara mereka saling berbisik. Namun, tatap dengan raut wajah penuh ketakutan.Setelah serah terima Leon dengan Tuan Lim, mereka pun saling berjabat tangan dengan puas. Leon menghampiri wanita-wanita yang sudah berpenampilan cantik itu. Sebuah senyum puas tampak di bibir Leon pada mereka."Selamat berjuang, Nona-nona cantik. Hidup kalian akan jauh lebih baik dari sebelumnya. Selamat menikmati hidup kalian selanjutnya!" ucap Leon sembari melambaikan tangan ke arah mereka. Leon menatap lekat satu persatu wajah mereka yang tampak cantik dengan polesan make-up.Para wanita itu menatap sinis penuh dendam. Sebagian lagi melihat Leon dengan mata berkaca-kaca. Mereka mengutuki perbuatan Leon yang menjual mereka pada orang asing.Begitu besar penyesalan mereka kenapa harus sampai terperdaya dengan bujuk rayu Leon yang menjanjikan sebuah pekerjaan yang lebih baik di kota.Pria dengan jambang tipis itu segera melangkah pergi dengan angkuh. Diikuti oleh Max dan juga dua orang bodyguardnya yang bertubuh gempal. Leon tidak peduli lagi bagaimana nasib mereka selanjutnya. Dia sudah cukup puas dengan sejumlah uang yang sudah di tanganya.Leon pun segera memasuki mobil mewahnya. Mereka pun berlalu pergi meninggalkan salah satu sudut pelabuhan. Mereka tertawa puas dengan hasil kerjanya. Tidak peduli ada tangis pilu yang kini dirasakan wanita-wanita yang ditinggalkannya.***Sementara itu, di salah satu ruangan rumah berlantai dua. Tampak Clarissa dan Farah berjalan dengan sempoyongan menuju ruangan lainnya. Salah satu pria dengan tubuh tinggi besar mengiringi langkah mereka tampa empati."CAPATAN JALANNYA, DASAR WANITA MANJA!" teriak pria itu sambil dengan wajah geram.Clarissa terusa saja melangkah membimbing langkah Farah yang berjalan gontai. Sepertinya beberapa bagian tubuhnya terasa sakit, karena pukulan dari Ricard.Berkali-kali Farah tersimpuh dengan tubuhnya yang terlihat lemah. Clarissa begitu miris dengan apa yang dilihatnya. Tidak ada yang bisa dilakukannya selain pasrah dengan nasib mereka ke depannya.Mereka pun sampai ke sebuah ruangan yang terlihat lebih luas dari sebelumnya. Di mana ruangan itu terdiri dari beberapa kamar. Empat orang wanita dengan berpakaian seksi tampak menatap mereka dengan sinis. Namun, Clarissa tidak menghiraukan pandangan sinis dari mereka. Dia harus segera mencari tempat istirahat, agar Farah bisa sekadar merebahkan tubuhnya di sana."Di sana kamar kalian. Jangan sekali-kali membuat keributan!" perintah pria dengan tubuh tinggi itu.Clarissa dan Farah pun langsung menuju kamar yang ditunjuk untuk mereka tempati. Sebuah kamar yang hanya berukuran 5×5 meter. Di sana terdapat sebuah tempat tidur berukuran kecil yang hanya bisa ditempati oleh dua orang. Clarissa meletakkan tasnya begitu saja, dia lebih mementingkan keadaan Farah aman terlebih dahulu.Kepala Clarissa terasa sangat pusing. Dia tidak tahu di mana posisinya saat ini. Yang dia tahu, saat turun dari mobil box yang membawa Meraka tiba-tiba saja sudah berada di depan rumah mewah berpagar tembok yang begitu tinggi.Masih terngiang jelas di ingatannya, bagaiamana sang ibu menaruh harapan besar, agar nantinya dia menjadi seorang yang sukses di kota dengan pekerjaan yang dijanjikan.Mata Clarissa berkaca-kacaengingat hal itu. Dia tidak ingin dipusingkan dengan mengingat hal itu. Baginya bagaiamana caranya agar bisa aman tinggal di tempat itu. Dia tidak peduli lagi dengan cita-cita yang pernah muncul di benaknya."Mbak Farah? Apa Mbak masih merasa sakit?" tanya Clarissa sambil mengurut lengan Farah dengan lembut."Seluruh tubuh saya terasa remuk, entahlah apa saya bisa bertahan atau tidak," ujar Farah sambil mengernyitkan dahinya menahan sakit.Clarissa ikut mengernyitkan dahinya, membayangkan apa yang kini dirasakan Farah. Namun, tidak ada yang bisa dilakukannya pada Farah. Apalagi dia tidak mempunyai obat-obatan apa pun."Mbak Farah yang sabar ya? Kita tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah dan terus berdoa semoga Tuhan memberikan jalan keluar terhadap masalah yang kita hadapi," ucap Clarissa memberikan motivasi pada wanita dengan kulit kecoklatan itu.Baru saja hendak merebahkan tubuhnya di ranjang berukuran kecil itu, teriakan seseorang di luar kamar mengejutkan mereka."Hey, buka pintunya sekarang juga! Seenak saja kalian bisa tinggal di sini dengan gratis. Beruntung kalian tidak dibuang di jalanan, karena memilih tidak ikut mereka ke luar negeri, kami kan yang rugi!" bantak Leon sembari menendang pintu kamar dengan kasar.Clarissa pun langsung berdiri penuh ketakutan. Melihat Leon sudah berdiri di depannya ada rasa trauma yang tiba-tiba muncul di benakknya. Bagitu juga dengan Farah juga langsung duduk di atas ranjang."Apa yang harus kami lakukan?" tanya Clarissa memberanikan diri.Sebenarnya begitu besar ketakutan Clarissa, jika terjadi hal yang sama seperti apa yang dialami Farah. Namun, dia tidak punya jalan lain selain harus tetap terlihat santai meskipun penuh katakutan.Leon segera menarik tangan Clarissa dengan kasar. Hingga tubuhnya terseret di lantai. Clarissa hanya bisa merintih menahan perih saat kakinya tersentuh lantai dengan kasar. Farah hanya meringis manutup matanya tidak tega melihat pemandangan yang ada di depannya."Tunggu, kamu bisa kan minta aku baik-baik? Jangan kasar seperti itu pada wanita?" tanya clarissa sembari bangkit dari duduknya.Leon manatap nanar pada wanita cantik di depannya. Dia merasa Clarissa bukanlah wanita sembarangan yang bisa diperlakukannya semena-mena. Apalagi dengan ucapannya yang menjadi sebuah tantangan untuknya meminta secara baik-baik."Leon, lepaskan dia. Biarkan dia menjadi urusanku. Sana pergilah menyelesaikan urusanmu yang lain!" perintah Ricard yang tiba-tiba saja datang ke ruangan itu.Clarissa pun terkejut, kini keringat dingin mulai bercucuran di tubuhnya. Dia tidak bisa mambayangkan jika pria penuh tato itu akan menyentuh tubuhnya dan memperlakukannya sama dengan Farah.Leon melepaskan pergelangan tangan Clarissa. Dia hanya bisa mengangguk mendengar perintah sang paman dan memilih pergi. Dia sama sekali tidak melihat ke arah Clarissa yang meringis kesakitan sambil memegangi pergelangan tangannya. "Bangun kamu! perintah Ricard pada Clarissa yang masih tersimpuh di lantai. "Saya merasa beruntung Leon berhasil mendapatkan wanita cantik dan cerdas seperti kamu. Untuk itu saya tidak akan melukai kamu, tapi akan menjadikan kamu sebagai wanita spesial," bisik Ricard tepat di telinga wanita dengan tubuh ideal itu. Clasissa hanya bisa mematung mendengar penuturan pria bertato itu. Dia tidak mengerti dengan ucapan pria dengan tampang sedikit sangar itu. Sementara Farah yang bersandar di pintu, menatap ke arah Farah dengan padangan iba. Dia khawatir jika Ricard memperlakukan hal yang sama pada wanita itu. "Kamu ikut saya!" perintah Ricard sambil melangkah pelan. Wanita dengan tubuh yang tampak seksi itu tidak bisa menolak, dia pun mengikuti Ricard ke mana
Keesokan harinya, Leon dan beberapa anak buahnya sudah bersiap meninggalkan rumah berlantai dua yang sering mereka sebut markas. Rasa penasaran dengan misi yang akan dijalankannya begitu besar. Bahkan, semalaman nyaris saja matanya tidak bisa terpejam menunggu pagi datang. Saat baru bangun, Leon harus dikejutkan oleh suara tembakan dari ruang isolasi. Dia sudah bisa menduga itu adalah suara tembakan yang biasa dilakukan Ricard pada seseorang yang menurutnya tidak lagi berguna. Namun, Leon merasa penasaran siapa yang telah ditembak oleh Ricard di tempat itu. Bukankah hanya ada beberapa wanita yang masih tertinggal di sana. Pria yang memiliki tubuh ideal itu, segera menuju ruangan yang terdapat di lantai dasar bangunan itu. Dia ingin tahu siapa yang ditembak sang paman. Tidak berapa lama, Leon Melihat ke sekeliling ruangan yang pengap udara itu. Namun, tidak ada siapa-siapa di sana. Leon pun menuju kamar yang terdapat di sebelah ruangan. Dilihatnya seorang wanita terkapar bersimbah d
Clarissa hanya bisa pasrah pada nasibnya. Dia terus memegangi pangkal lengannya yang tampak memerah. Pria dengan tubuh dipenuhi tato itu menatapnya penuh birahi dengan sorot mata yang tajam. Lagi-lagi, wanita dengan kulit putih itu hanya bisa menekuk lututnya ke dada. Kedua tangannya dilingkarkan ke lutut dengan dagu yang bertumpu pada keduanya. Tampak jelas ketakutan di raut wajahnya. "Kamu cukup menggoda dari wanita lainnya. Saya senang kamu memilih tingga dari pada mereka. Kepintaran kamu membuatku semakin merasa penasaran. Apa kamu itu wanita yang juga pintar soal ranjang?" Clarissa bergidik ngeri mendengar penuturan Ricard. Dia sungguh tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggu ke mana takdir memnbawanya. Ricard terus mengelilingi ranjangnya, sembari menatap nanar ke arah Clarissa. Sekali-kali tangannya menyentuh kaki mulus wanita dengan dress hingga betis itu. Clarissa tidak mengerti hal apa yang dilakukan oleh pria itu padanya. Semakin dia menjarak, semakin Ricard mendekati.
Tidak peduli dengan ketakutan yang dirasakan Clarissa. Ricard pun terus mendekati wanita dengan tubuh yang tampak seksi itu. Matanya tampak memerah penuh biarahi. Senyum yang tersungging di bibirnya seakan seperti singa lapar yang hendak melahap habis santapan di depannya. Gemuruh di dada Clarissa penuh katakutan. Pria bajingan itu kini sudah berada beberapa centi saja di depannya. Tiupan napasnya yang dipenuhi aroma alkohol dan rokok yang bercampur menjadi satu membuat perutnya terasa begitu mual. Ingin rasanya Clarissa mendorong pria itu ke belakang. Namun, seketika seluruh tenaganya terasa hilang bersamaan dengan tangan Ricard yang langsung memegang tangannya dengan erat. Clarissa benar-benar tidak berdaya. Nasibnya sudah di ujung tanduk. Tidak ada yang bisa dilakukannya selain pasrah pada takdir Tuhan. ***Sementara itu, Leon masih berada dalam perjalanan menuju lokasi klinik yang dimaksud sang paman. Mereka terus memacu kendaraanya menembus jalanan yang cukup ramai. "Oh ya, k
Sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi menembus kegelapan malam. Mobil itu tidak hentinya menyelip di antara pengedara lainnya. Beberapa orang wanita cantik yang berada di dalam mobil itu, tidak hentinya berteriak, mereka ikut merasa begitu deg-degan dengan pekerjaan yang dijanjikan oleh kedua pria bertubuh kekar itu. Tidak berselang lama, akhirnya mereka sampai juga di sebuah rumah mewah berlantai dua. Sebuah tembok tinggi melingkar di sekeliling bangunan itu. Mobil yang dikendarai Max memasuki pagar yang sudah dibuka oleh seseorang berbadan tegap dengan kulit gelap. "Segera turunkan mereka!!" perintah salah seorang pria dengan tatapan tajam seperti elang. Dia adalah Samuel Leonard atau yang biasa dipanggil Leon. Beberapa orang perempuan dengan postur tubuh ideal, segera menuruni mobil berwarna silver. Mereka saling berpandangan, menatap heran ke sekeliling bangunan berlantai dua itu. Mereka sudah mulai merasa ada yang aneh dengan tempat itu. Bahkan, sama sekali tidak mencerm
Beberapa orang wanita merapatkan posisinya pada wanita lainnya. Sementara itu, Ricard tersenyum bangga pada keponakannya. Apa yang selama ini ditanamkannya pada Leon kini terlihat jelas hasilnya. Leon telah menjadi pria yang tangguh tanpa empati. Dia telah menjadi pria yang keras dengan dendam yang membara. Suara isakan tangis wanita bernama Clarissa membuat Leon begitu geram. Dia mendekati wanita dengan tatapan nanar penuh birahi. "Kamu memang cantik, Sayang. Namun, kenapa kamu begitu cengeng untuk hal seperti ini?" bisik Leon sambil mengangkat dagu Clarissa dengan ujung jari tengah dan telunjuknya. "KALIAN BIADAB, KALIAN TIDAK PUNYA HATI!" bentak Clarissa dengan pandangan mata yang nanar penuh dendam. Beberapa wanita yang berada di ruangan itu ikut miris mendengar ucapan Clarissa. Mereka begitu takut membayangkan jika terjadi hal yang lebih buruk pada mereka. Leon tidak menghiraukan ucapan wanita dengan rambut yang terurai itu. Dia kembali mendekati sang paman yang sibuk menghi
Suasana di ruangan yang cukup luas itu terasa begitu mencekam. Samar-samar terdengar suara rintihan kecil milik Farah yang baru saja diseret oleh Ricard ke kamar yang cukup kecil itu. Di antara mereka ada yang menutup telinga, karena tidak tega mendengarkan hal yang memilukan itu. Dua orang bodyguard dengan tubuh gempal di depan pintu, tampak menatap mereka dengan nanar. Sebuah pistol di tangan mereka siap melesetkan pelurunya pada siapa yang mencoba membangkang. Leon tampak serius menikmati rokok yang ada di tangannya. Sesekali dia menyentuh layar ponsel yang ada di atas meja. Para wanita yang ada di ruangan itu menatap nanar ke arah Leon. Pandangan mereka menyimpan sebuah dendam yang kelak akan mereka lampiaskan. Begitu juga dengan Clarissa. Wanita itu berusaha bangkit dengan kondisi tubuh yang tampak lemah. Tangan kirinya terus saja memegangi pipi yang masih memerah bekas tamparan dari Leon.Berkali-kali Leon meminta mereka agar diam dan berhenti menangis. Namun, di antara merek
Tidak ada yang berani mendekati kamar berukuran kecil itu. Di mana Farah tampak merangkak pelan dengan tubuh yang penuh lebab. Namun, wanita yang berada di sana merasa sangat miris dengan apa yang terjadi pada Farah. Clarissa yang tadinya duduk bersandar dengan kondisi yang sama tidak tega membiarkan Farah terus meringis meminta tolong. Sementara itu, tidak ada satu pun yang berani mendekatinya. Dia pun segera mendekat, membantu Farah berdiri. Tubuh Farah yang eksotis sebenarnya tidak terlalu menampakkan beberapa luka lebam bekas pukulan dari Ricard. "Nah, gitu dong. Sesama wanita cantik itu harus tolong menolong. Kalian jangan hanya menyelamatkan diri sendiri," celetuk Leon dengan angkuh. Para wanita di ruangan yang cukup besar itu sudah berdandan sebaik mungkin. Mereka mengikuti intruksi Leon agar bisa terjual dengan mahal dan di tempatkan pada bar-bar ternama. Tidak ada jalan lain lagi bagi mereka untuk bisa kabur atau selamat dari cengkraman Ricard dan Leon. Akan tetapi, tida