Sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi menembus kegelapan malam. Mobil itu tidak hentinya menyelip di antara pengedara lainnya. Beberapa orang wanita cantik yang berada di dalam mobil itu, tidak hentinya berteriak, mereka ikut merasa begitu deg-degan dengan pekerjaan yang dijanjikan oleh kedua pria bertubuh kekar itu.
Tidak berselang lama, akhirnya mereka sampai juga di sebuah rumah mewah berlantai dua. Sebuah tembok tinggi melingkar di sekeliling bangunan itu. Mobil yang dikendarai Max memasuki pagar yang sudah dibuka oleh seseorang berbadan tegap dengan kulit gelap."Segera turunkan mereka!!" perintah salah seorang pria dengan tatapan tajam seperti elang. Dia adalah Samuel Leonard atau yang biasa dipanggil Leon.Beberapa orang perempuan dengan postur tubuh ideal, segera menuruni mobil berwarna silver. Mereka saling berpandangan, menatap heran ke sekeliling bangunan berlantai dua itu. Mereka sudah mulai merasa ada yang aneh dengan tempat itu. Bahkan, sama sekali tidak mencerminkan sebuah tempat perekrutan sebuah instansi tenaga kerja."Kenapa kita dibawa ke sini?" tanya seorang wanita dengan rambut ikal menjuntai hingga pinggang."Mungkin ini tempat penampungan kita sementara, sebelum diberangkatkan," jawab seorang wanita yang menggunakan dress dengan warna hitam."Aku jadi curiga, jangan-jangan tempat ini bukanlah tempat karantina kita sebelum diberangkatkan," tebak seorang wanita dengan rambut yang diikat dengan karet gelang.Mendengar hal itu, Leon yang baru saja datang dari dalam rumah mewah itu, langsung saja melayangkan tamparan ke wajah wanita itu, hingga membuat di jatuh tersungkur.Wanita dengan tahi lalat di dagunya itu memegangi pipinya. Dia tidak lagi sannggup bicara apapun. Namun, kembali bangkit dengan tatapan nanar ke arah Leon. Seketika Leon pun mendekat ke arah wanita dengan pipinya yang tampak memerah."Kamu cantik juga, Sayang. Akan tetapi, kamu cukup pintar untuk sekadar menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi. Leon pun mengusap wajah lembut wanita itu dengan punggung tangannya. Dia kembali meraba bekas tamparannya dengan begitu manja."Yang lain jangan coba-coba memprovokasi yang lainnya seperti dia, jika tidak ingin terjadi hal buruk pada kalian!" tegas Leon sambil menyeret paksa tangan wanita yang ditempatinya.Wanita itu menjerit kesakitan, dia terus meronta agar bisa terlepas dari cengkraman tangan Leon. Namun, semakin dia berusaha melepaskan, semakin kuat tangan leon mencengkram pergelangan tangannya.Leon sama sekali tidak merasa kasihan dengan rintihan wanita itu. Dia terus menyeretnya ke dalam sebuah kamar yang berukuran cukup luas. Di sana sudah ada tiga orang wanita yang tampak berpakaian begitu seksi.Wanita bernama Clarissa itu segera bangkit dari simpuhnya. Dia terus memegangi lututnya yang tampak memar.Suasana di tempat itu lebih mencekam, dibanding tempat semula mereka ditampung. Leon hanya menyunggingkan senyum angkuhnya, kembali mengangkat dagu Clarissa dengan telunjuknya. Tidak lupa dia melingkarkan tangannya di pinggang wanita itu."TEMPAT LAKNAT APA INI? KE MANA KAMI AKAN DIBAWA?!" tanya Clarissa dengan suara lantang saat Leon baru saja melangkahkan kakinya keluar kamar itu.Seorang wanita yang berdiri di sampingnya, hanya bisa memberi isyarat agar jangan sekali-kali membantah ucapan mereka.Leon sama sekali tidak peduli dengan teriakan wanita itu. Dia meninggalkan Clarissa di kamar itu sambil terus menggedor dari dalam agar dirinya segera dilepaskan. Samar-samar suara Clarissa terdengar semakin jauh.***Di salah satu ruangan lainnya, tampak seorang pria dengan angkuhnya bersandar di sofa. Tubuhnya yang cukup tegap membuatnya tampak begitu tangguh. Dia adalah Ricard, seorang mafia yang sangat dikenal di berbagai negara.Leon segera menghampiri pria itu. Wajahnya sedikit ketakutan karena baru saja berurusan dengan wanita yang cukup cerdas."Om, gue nyerah mengurusi wanita-wanita cengeng itu," ucap Leon sambil ikut menyandarkan tubuhnya di sofa."Jangan bilang, lu kayak ini karena kasihan kan?" tebak sang paman yang bangkit dari duduknya."Sebenarnya iya, Om. Gue kadang ingat adik dan nyokap gue," ujar Leon yang tertunduk lesu."Gue sudah bilang berapa kali? Lu enggak usah menjadi orang yang cengeng. Hidup ini akan terus berjalan, jika kita bisa menjadi orang yang berani dan dengan tujuan yang jelas. Kita melakukan semua ini, hanya untuk melampiaskan dendam kita pada orang yang sudah menghabisi nyawa keluarga kita dengan sadis."Leon hanya terdiam, tampak rahangnya menggertak menahan amarah yang begitu besar. Dia seakan baru saja mendapatkan nutrisi untuk kembali bangkit menggencarkan aksinya dengan merekrut wanita-wanita yang butuh pekerjaan.Pria dengan jambang tipis itu kembali berdiri. Dia sama sekali tidak takut seperti apa yang dituduhkan oleh sang paman. Dia bukan pengecut. Bahkan, sudah banyak wanita yang berhasil dikirimnya ke luar negeri sesuai intruksi sang paman.Sang Paman Ricard tersenyum bangga. Dia akhirnya berhasil membuat Leon kembali menyadari kelemahannya yang tidak akan mendapatkan apa-apa. Bahkan, Ricard berusaha menjadikan Leon pria yang berhati baja. Dia tidak ingin Leon terlihat seperti pria pada umumnya. Dia ingin Leon adalah pria yang begitu memesona di mata para wanita. Hal itu akan membuatnya dengan mudah mendapatkan para wanita di luar sana.Ricard sama sekali tidak peduli, jika dia harus mengeluarkan banyak uang untuk membuat Leon merasa nyaman. Dia akan memberikan apa saja yang diinginkan Leon. Bahkan semenjak dirinya ditinggal satu keluarganya yang dibantai dengan sadis. Ricard selalu memberikan yang tebaik untuk keponakannya. Dia tumbuh menjadi pribadi yang keras dan tanpa empati.Semenjak hari itu, leon sama sekali tidak pernah menangis. Dia seolah sudah kebal dengan kehidupan sang paman yang keras."Jangan lupa, lu kirim mereka sekarang juga. Kita akan berangkatkan mereka dengan jalur laut! Nanti di pelabuhan sudah ada yang akan menyambut mereka. Lakukan semua itu hingga beres!!" perintah sang paman--Ricard sambil berlalu pergi dengan sebuah rokok di mulutnya.Leon sama sekali tidak bisa membantah apa-apa. Dia harus mengikuti segala yang diperintahkan oleh Ricard. Apalagi pria dengan tato di leher dan bagian dadanya itu tidak akan segan-segan memberikan pelajaran padanya. Apalagi Ricard sama sekali tidak menyukai pria yang terlihat cengeng dan manja.Ricard sudah berada di ruang penampungan. Sebuah ruangan yang berukuran 10×10 meter. Biasanya mereka akan membiarkan wanita-wanita itu tinggal beberapa jam sebelum dikirim ke luar negeri. Ada sebelas wanita yang akan diberangkatkannya ke kota x yang terletak di luar negeri.Ricard pun tersenyum bangga dengan hasil kerja keponakannya. Dia merasa telah berhasil membuat Leon tumbuh menjadi pria yang tangguh dan berani serta penuh dendam. Hal itulah yang akan terus ditanamkannya pada Leon.Tidak berapa lama, seorang wanita datang ke kamar itu dengan berteriak. Tampak wajah wanita itu begitu memar bekas pukulan. Dia adalah Clarissa. Tanpa ragu lagi, Ricard langsung memberikan pukulan sengan keras ke sisi wajah wanita dengan tubuh yang terlihat indah itu. Dia pun tersungkur tidak sadarkan diri."Masih ada yang ingin mencoba kabur dari sini?" tanya Leon yang tiba-tiba saja datang dari luar.Semua wanita itu pun terdiam. Mereka saling berpandangan dengan wajah penuh ketakutan.Beberapa orang wanita merapatkan posisinya pada wanita lainnya. Sementara itu, Ricard tersenyum bangga pada keponakannya. Apa yang selama ini ditanamkannya pada Leon kini terlihat jelas hasilnya. Leon telah menjadi pria yang tangguh tanpa empati. Dia telah menjadi pria yang keras dengan dendam yang membara. Suara isakan tangis wanita bernama Clarissa membuat Leon begitu geram. Dia mendekati wanita dengan tatapan nanar penuh birahi. "Kamu memang cantik, Sayang. Namun, kenapa kamu begitu cengeng untuk hal seperti ini?" bisik Leon sambil mengangkat dagu Clarissa dengan ujung jari tengah dan telunjuknya. "KALIAN BIADAB, KALIAN TIDAK PUNYA HATI!" bentak Clarissa dengan pandangan mata yang nanar penuh dendam. Beberapa wanita yang berada di ruangan itu ikut miris mendengar ucapan Clarissa. Mereka begitu takut membayangkan jika terjadi hal yang lebih buruk pada mereka. Leon tidak menghiraukan ucapan wanita dengan rambut yang terurai itu. Dia kembali mendekati sang paman yang sibuk menghi
Suasana di ruangan yang cukup luas itu terasa begitu mencekam. Samar-samar terdengar suara rintihan kecil milik Farah yang baru saja diseret oleh Ricard ke kamar yang cukup kecil itu. Di antara mereka ada yang menutup telinga, karena tidak tega mendengarkan hal yang memilukan itu. Dua orang bodyguard dengan tubuh gempal di depan pintu, tampak menatap mereka dengan nanar. Sebuah pistol di tangan mereka siap melesetkan pelurunya pada siapa yang mencoba membangkang. Leon tampak serius menikmati rokok yang ada di tangannya. Sesekali dia menyentuh layar ponsel yang ada di atas meja. Para wanita yang ada di ruangan itu menatap nanar ke arah Leon. Pandangan mereka menyimpan sebuah dendam yang kelak akan mereka lampiaskan. Begitu juga dengan Clarissa. Wanita itu berusaha bangkit dengan kondisi tubuh yang tampak lemah. Tangan kirinya terus saja memegangi pipi yang masih memerah bekas tamparan dari Leon.Berkali-kali Leon meminta mereka agar diam dan berhenti menangis. Namun, di antara merek
Tidak ada yang berani mendekati kamar berukuran kecil itu. Di mana Farah tampak merangkak pelan dengan tubuh yang penuh lebab. Namun, wanita yang berada di sana merasa sangat miris dengan apa yang terjadi pada Farah. Clarissa yang tadinya duduk bersandar dengan kondisi yang sama tidak tega membiarkan Farah terus meringis meminta tolong. Sementara itu, tidak ada satu pun yang berani mendekatinya. Dia pun segera mendekat, membantu Farah berdiri. Tubuh Farah yang eksotis sebenarnya tidak terlalu menampakkan beberapa luka lebam bekas pukulan dari Ricard. "Nah, gitu dong. Sesama wanita cantik itu harus tolong menolong. Kalian jangan hanya menyelamatkan diri sendiri," celetuk Leon dengan angkuh. Para wanita di ruangan yang cukup besar itu sudah berdandan sebaik mungkin. Mereka mengikuti intruksi Leon agar bisa terjual dengan mahal dan di tempatkan pada bar-bar ternama. Tidak ada jalan lain lagi bagi mereka untuk bisa kabur atau selamat dari cengkraman Ricard dan Leon. Akan tetapi, tida
Leon tersenyum puas mendengar ucapan Tuan Lim. Dia tidak peduli lagi ke mana mereka akan membawa wanita-wanita itu setelah ini. Baginya satu urusan telah selesai. Kini tinggal bagaimana dia menyelesaikan misi selanjutnya. Seorang pria bertubuh gempal dengan mata sipit mendekati Tuan Lim. Di tangannya tampak sebuah koper berwarna hitam. Tuan Lim pun menyambut dengan koper itu dan langsung membukanya di hadapan Leon. Tampak lembaran uang berwarna merah muda tersusun di dalamnya dengan rapi. Leon tersenyum puas dengan apa yang dilihatnya. Tidak sia-sia pekerjaannya yang begitu menguras emosi dan tenaga. "Ini uang dengan jumlah yang sudah kita sepakati, Tuan Leon. Saya juga sudah menambahkan bonus cuma-cuma di dalamnya. Selamat menikmatinya, Tuan Leon," ucap pria bermata sipit dengan tubuh sedikit gemuk itu. Leon menyambut koper yang diserahkan Tuan Lim dengan bangga. Untuk kesekian kalinya dia menerima uang yang begitu besar dari Tuan Lim sebagai bentuk jual beli. Beberapa anak buah
Leon melepaskan pergelangan tangan Clarissa. Dia hanya bisa mengangguk mendengar perintah sang paman dan memilih pergi. Dia sama sekali tidak melihat ke arah Clarissa yang meringis kesakitan sambil memegangi pergelangan tangannya. "Bangun kamu! perintah Ricard pada Clarissa yang masih tersimpuh di lantai. "Saya merasa beruntung Leon berhasil mendapatkan wanita cantik dan cerdas seperti kamu. Untuk itu saya tidak akan melukai kamu, tapi akan menjadikan kamu sebagai wanita spesial," bisik Ricard tepat di telinga wanita dengan tubuh ideal itu. Clasissa hanya bisa mematung mendengar penuturan pria bertato itu. Dia tidak mengerti dengan ucapan pria dengan tampang sedikit sangar itu. Sementara Farah yang bersandar di pintu, menatap ke arah Farah dengan padangan iba. Dia khawatir jika Ricard memperlakukan hal yang sama pada wanita itu. "Kamu ikut saya!" perintah Ricard sambil melangkah pelan. Wanita dengan tubuh yang tampak seksi itu tidak bisa menolak, dia pun mengikuti Ricard ke mana
Keesokan harinya, Leon dan beberapa anak buahnya sudah bersiap meninggalkan rumah berlantai dua yang sering mereka sebut markas. Rasa penasaran dengan misi yang akan dijalankannya begitu besar. Bahkan, semalaman nyaris saja matanya tidak bisa terpejam menunggu pagi datang. Saat baru bangun, Leon harus dikejutkan oleh suara tembakan dari ruang isolasi. Dia sudah bisa menduga itu adalah suara tembakan yang biasa dilakukan Ricard pada seseorang yang menurutnya tidak lagi berguna. Namun, Leon merasa penasaran siapa yang telah ditembak oleh Ricard di tempat itu. Bukankah hanya ada beberapa wanita yang masih tertinggal di sana. Pria yang memiliki tubuh ideal itu, segera menuju ruangan yang terdapat di lantai dasar bangunan itu. Dia ingin tahu siapa yang ditembak sang paman. Tidak berapa lama, Leon Melihat ke sekeliling ruangan yang pengap udara itu. Namun, tidak ada siapa-siapa di sana. Leon pun menuju kamar yang terdapat di sebelah ruangan. Dilihatnya seorang wanita terkapar bersimbah d
Clarissa hanya bisa pasrah pada nasibnya. Dia terus memegangi pangkal lengannya yang tampak memerah. Pria dengan tubuh dipenuhi tato itu menatapnya penuh birahi dengan sorot mata yang tajam. Lagi-lagi, wanita dengan kulit putih itu hanya bisa menekuk lututnya ke dada. Kedua tangannya dilingkarkan ke lutut dengan dagu yang bertumpu pada keduanya. Tampak jelas ketakutan di raut wajahnya. "Kamu cukup menggoda dari wanita lainnya. Saya senang kamu memilih tingga dari pada mereka. Kepintaran kamu membuatku semakin merasa penasaran. Apa kamu itu wanita yang juga pintar soal ranjang?" Clarissa bergidik ngeri mendengar penuturan Ricard. Dia sungguh tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggu ke mana takdir memnbawanya. Ricard terus mengelilingi ranjangnya, sembari menatap nanar ke arah Clarissa. Sekali-kali tangannya menyentuh kaki mulus wanita dengan dress hingga betis itu. Clarissa tidak mengerti hal apa yang dilakukan oleh pria itu padanya. Semakin dia menjarak, semakin Ricard mendekati.
Tidak peduli dengan ketakutan yang dirasakan Clarissa. Ricard pun terus mendekati wanita dengan tubuh yang tampak seksi itu. Matanya tampak memerah penuh biarahi. Senyum yang tersungging di bibirnya seakan seperti singa lapar yang hendak melahap habis santapan di depannya. Gemuruh di dada Clarissa penuh katakutan. Pria bajingan itu kini sudah berada beberapa centi saja di depannya. Tiupan napasnya yang dipenuhi aroma alkohol dan rokok yang bercampur menjadi satu membuat perutnya terasa begitu mual. Ingin rasanya Clarissa mendorong pria itu ke belakang. Namun, seketika seluruh tenaganya terasa hilang bersamaan dengan tangan Ricard yang langsung memegang tangannya dengan erat. Clarissa benar-benar tidak berdaya. Nasibnya sudah di ujung tanduk. Tidak ada yang bisa dilakukannya selain pasrah pada takdir Tuhan. ***Sementara itu, Leon masih berada dalam perjalanan menuju lokasi klinik yang dimaksud sang paman. Mereka terus memacu kendaraanya menembus jalanan yang cukup ramai. "Oh ya, k