Malam hari kembali tiba dan itu menjadi masalah lagi bagi Rania. Pasalnya setelah sempat berdebat dengan Arga, dia kembali harus tinggal sekamar. Rania tak mau dan tentu saja menolaknya mentah-mentah.
"Kamu berani membantah?!" geram Arga sambil menatap tajam dan mengintimidasi dengan dinginnya.
Melipat tangan di depan dada, sembari mengeluarkan aura mendominasi yang membuat Rania segera merinding dan meringis takut. Seolah tak puas dengan itu Arga mendekatinya dan memangkas jarak diantara mereka.
"Ak-aku tidak bermaksud be-begitu Pak," jawab Rania sambil meneguk ludahnya kasar. "Aku hanya memastikan ka-kalau kita tidak mungkin tidur bersama. Kamu laki-laki sementara, aku perempuan Pak. Kita orang asing jadi kita tak mungkin sekamar," jawab Rania hati-hati dan sedikit gugup karenanya.
Arga meremas telapak tangannya sendiri, kemudian brakk ... dia mendorong dam langsung menghimpit istrinya ke tembok. "Coba saja tidur di kamar lain, kamu tidak akan bisa!" jelasnya dengan tegas dan membuat kerutan langsung terlihat di jidat Rania.
Puas mengatakan hal itu Arga berlanjut dan segera mencengkram rahang Rania dengan mudahnya. Dia semakin menekan Rania, bermaksud supaya perempuan dihadapannya segera sadar akan posisinya.
Namun karena tak kunjung membuahkan hasil, Arga menyerah dan sedikit menghempaskan wajah Rania ke kanan. "Kita bukan orang asing!" tegasnya dengan dingin, sebelum kemudian berlalu dari sana entah kenapa.
Rania tertegun dan segera meluruh terduduk karena merasa lemas. Seperginya Arga dia segera meringkuk memeluk lututnya dengan frustasi. Setelah beberapa saat merasa tenang, barulah kemudian Rania mencari kamar untuk dirinya sendiri tidur malam itu.
Dia memang takut, tapi sepertinya ketakutannya pada perbuatan akan diapa-apakan suaminya lebih menakutkan, daripada ancaman lewat kata-katanya.
Cklek-clekk!
Kening Rania mengerut merasa bingung dengan pintu yang sepertinya terkunci. Dia kecewa, tapi kemudian tak menyerah dan segera mencoba membuka kunci kamar lainnya. Sayangnya, selain kamar yang sudah lebih dahulu Arga tempati, semua kamar di rumah itu terkunci. Jadi Arga benar-benar tak main-main dengan ucapannya. Rania memang tak bisa tidur di kamar lain di rumah itu.
"Tidak masalah. Aku bisa tidur di ruang tamu!" seru Rania yang kemudian langsung melakukan ucapannya. Dia sangat keras kepala dan segera tidur di sofa.
Arga yang ternyata menunggunya di kamar pun jadi kesal, tapi kemudian diapun acuh tak acuh.
"Dasar keras kepala dan pembangkang. Baru sehari menjadi istri sudah berani melawan begini!" geramnya kesal.
*****
Keesokan hari berikutnya, Laura dipanggil oleh nyonya besarnya Andini. Seperti pucuk dicintai ulam pun tiba, kabar baik segera menghampiri Laura. Padahal baru semalam dia memimpikan bisa seatap pagi dengan Arga dan paginya langsung terwujud. Pasalnya Andini memintanya agar ikut pindah ke rumah Arga anaknya, sebab dia pikir anaknya itu butuh asisten rumah tangga dan memang tak mungkin secepat itu didapatkan.
"Kamu bekerja di sana saja, dan tolong bantu anak-menantuku itu," jelasnya dengan penuh harap.
Andini masih marah dan kecewa, tapi sepertinya lagi-lagi jiwa keibuan membuatnya tak tega. Setelah merasa dikecewakan, rupanya dia masih tak bisa berhenti untuk memperdulikan.
Rania masih kuliah, pasti fokus pada pendidikannya, sementara Arga pasti sibuk dengan pekerjaannya. Andini pikir inilah solusinya. Pembantu untuk meringankan pekerjaan rumah tangga untuk pengantin baru itu.
Akan tetapi setelah mengatakan dam Laura dengan gampangnya setuju, Andini tiba-tiba saja merasa ganjil.
"Eh, tapi jangan deh Laura!" seru Andini kemudian berubah pikiran.
Laura segera kecewa dan tak terima. Dia seperti diterbangkan kemudian dihempaskan ke tanah begitu saja.
"Kenapa Nya?" tanya Laura heran.
"Kamu tetap bantu mereka saja, tapi jangan tinggal di sana. Kamu tetap disini saja. Tiap hari Budi supir di rumah ini akan mengantarkan mu ke sana, dan apabila kamu sudah selesai dengan pekerjaanmu kamu bisa memanggilnya dan pulang ke sini lagi," jelas Andini setelah mempertimbangkan.
Ah, ya. Itu sudah benar. Membantu pengantin baru, tapi tanpa menggangu keduanya. Andini pikir itu sudah keputusan yang terbaik.
Laura segera kembali ke kamarnya, setelah menemui sang nyonya. Mengumpat di sana dengan gusar karena merasa dipermainkan.
"Dasar tua bangka, pandai sekali membuatku serasa terbang ke awan, tapi setelahnya dengan keji malah menghempaskan ku!" kesal Laura.
"Sial, tapi baiklah. Ini tak buruk juga, setidaknya aku masih bisa bertemu dengan tuan Arga!" seru Laura melanjutkan ucapannya.
"Setidaknya, walaupun kesempatannya tipis, tapi masih ada dan aku bisa menggunakannya dengan baik untuk merebut tuan Arga!"
*****
Tak mau menyia-nyiakan waktu, Laura yang sudah diperintah untuk melakukan tugasnya membereskan pekerjaan di rumah Arga, segera berangkat dan langsung ke sana untuk bertugas. Dia begitu bersemangat, tapi tentu saja itu semua dengan alasan karena demi bisa melayani orang yang disukai olehnya.
Sampai di sana, Laura yang sudah diberi kunci cadangan, segera masuk rumah dan menemukan Rania masih ketiduran di sofa.
'Wah-wah, sepertinya aku beruntung sekali hari ini! Nyonya jala-ng ini sepertinya sudah tidur semalam disini, artinya mereka nggak ngapa-ngapain dong semalam. Bagus sekali itu. Hm, tapi lain kali jangan cuma pisah kamar, pisah rumah sekalian!' batin Laura kesenangan.
Puas menatap Rania yang di sofa, dia segera ke dapur. Melakukan kejadian barusan dan pura-pura tak mau ikut campur, walaupun sebetulnya dia tentu saja akan mencampuri nantinya. Memberi luka di pernikahan tuan dan majikannya, kemudian menaburi garam untuk lebih menghancurkannya.
"Aku pastikan kalian akan berpisah secepatnya dan aku akan menggantikan posisinya jala-ng itu secepatnya. Menjadi istri dari tuan Arga!" seru Laura yang saat ini sudah sedang memasak.
Masakannya tak berselang lama pun jadi dan Arga yang biasa bangun pagi, tiba di dapur dan segera mengerutkan dahi. Heran dengan kehadirannya di sana.
"Kamu di sini?" tanya Arga bingung.
"Iya Tuan. Nyonya besar menugaskan saya mulai hari ini untuk membereskan rumah ini juga, tapi tak bisa menginap karena saya tetap dituntut tinggal di sana," jelas Laura melemah diakhir kalimatnya.
Dia mengiba dan berharap Arga akan kasihan dengan dirinya yang bolak-balik setiap hari karena pekerjaannya. Dengan begitu dia mau majikan kesayangannya itu akan mengusut dan memerintahkannya untuk tinggal di rumahnya yang sekarang. Sayang sekali harapan itu tak jadi dan berganti dengan kecewa.
"Oh, yasudah," jawab Arga cuek. "Hm, sekarang pergilah bangunkan Rania di ruang tengah, dia sepertinya tidur di sana karena terlalu keras kepala," lanjut Arga yang mau tak mau segera melakukan tugasnya.
Selang sepuluh menit kemudian, Rania tiba di sana. Melihat istrinya tiba, Arga terlihat acuh tak acuh saja. Dia tak menyapa, tapi malah makan dengan dinginnya.
Sementara Rania, bukannya ikut duduk di depan meja makan, perempuan itu malah langsung ke pantry. Mempersiapkan sesuatu lalu mengambil roti serta bahan lainnya. Segala memanggangnya dan membuat sarapannya sendiri. Mengabaikan sarapan yang sudah dibuatkan Laura dengan penuh cinta itu. Yah, walaupun cintanya cuma dibuatkan khusus Arga.
'Dasar perempuan menyebalkan. Jelas-jelas sudah ada sarapan di atas meja, tapi malah mau yang lain!' geram Arga membatin sambil mengepalkan tangan.
Menyadari hal itu, Laura segera tersenyum. Dia senang mendapati gestur kemarahan yang tuannya tunjukkan. 'Bagus juga jala-ng ini tak sudi makan masakanku, aku takkan tersinggung apalagi sepertinya Tuan Arga marah padanya!' seru Laura membatin sambil menatap puas.
Tak berapa saat, roti panggang untuk sarapan yang dibuatkan oleh Rania khusus untuk dirinya sendiri pun jadi. Dia menghidangkannya di piring dan langsung membawanya ke meja makan, kemudian bersiap untuk menyantapnya. Akan tetapi hal tidak terduga tiba-tiba terjadi.
"Pak, itu untukku!" rengek Rania segera. Jujur saja dia sangat kelaparan sekarang, sebab sudah melewatkan makan malamnya.
Arga tak menjawab selain hanya menatap datar Rania, lalu dengan tampang tak berdosa segera menyantapnya. Mau tak mau, Rania yang melihat Arga sudah menggigitnya. Segera membuatkan yang baru, tapi sayang hal yang sama kembali terjadi. Arga merebutnya dan kembali memakannya lebih dahulu.
"Ih, Bapak kok gitu sih, sudah nggak merebut sarapanku terus, masih saja tak kenyang-kenyang!" protes Rania cukup kesal dan tanpa takut mengeluarkan ekspresi tak sukanya.
Arga tak peduli, dia hanya terus memakan apa yang ingin di makan dengan dinginnya. Setelah kenyang pada roti ke tiga, dia lanjut merebut susu yang ternyata juga Rania buatkan, dan kembali minum dengan acuhnya. Pergi dari sana ketika sudah puas dan masih tak buka suara pada istrinya.
"Ishhh! Dasar menyebalkan!" gerutu Rania kesal, tapi setelahnya diapun lega seperginya sang suami. Karena setelah itu dia pun bisa menyantap sarapan buatannya yang ke empat.
"Perut apaan itu, ngaret banget, sampai tiga roti masuk!" gerutunya kesal sambil terus makan dan sesekali menyela untuk mengatai suaminya.
Sementara itu Laura yang rupanya sejak tadi di dapur untuk memantau interaksi kedua majikannya, segera mengeram kesal di sana.
'Sial. Ini pertama kalinya tuan Arga tidak menghabiskan masakan buatanku yang enak itu. Mana dia cuma makan tiga suapan doang lagi, dan malah bersemangat memakan roti mura-han buatan jala-ng itu!' geram Laura membatin tak terima.
*****
"Kamu kemana sih, dua hari ini. Mabuk kebawa bolos, Ran?" tanya Melati bingung. "Beruntung aja Pak Arga nggak masuk dua hari lalu. Jika tidak, mati kamu. Bisa ngulang di mata kuliahnya," lanjut Melati mengingatkan."Itu malah lebih bagus," ceplos Rania asal."Apa?" kaget Melati tak percaya dengan ucapan sahabatnya."Maksudnya baguskan, Pak Arga nggak masuk jadi aku aman dan tidak terancam nilai di mata kuliahnya," jawab Rania segera meralat kalimatnya.Melati segera mengangguk-anggukkan kepalanya. "Aku pikir maksud kamu bagus mengulang mata kuliah Pak Arga, karena kan lumayan artinya bisa ketemu doi lagi di semester depan," jelas Melati.Membuat Rania segera mendengus kasar. "Gila kamu! Seandainya Pak Arga dosen pencabut nyawa itu tidak membawakan mata kuliah wajib, aku tidak akan sudi mengambil kelasnya!" ujar Rania penuh penegasan."Yang benar?" tanya Melati menggoda dan mencoba bercanda. "Padahal beliau ganteng loh, kaya lagi. Seandainya dia bukan calon suami kak Salsa kakakmu, aku
Arga melipat tangan di depan dada, mengintimidasi istrinya dengan tatapan tajamnya. Rania sangat takut melihatnya yang demikian, tapi mau gimana lagi. Rania memang harus menghadapinya."Baru seminggu menikah, tapi kamu sudah menunjukkan belangmu, Rania. Rupanya bukan cuma perempuan jala-ng yang sudah menjebakku tidur di ranjangmu, tapi juga matre dan suka keluyuran tak jelas!" tuduh Arga dengan kejamnya.Rania akan membuka mulut dan bersuara untuk membela diri, tapi kemudian Arga tak membiarkannya. Pria itu kembali berbicara tanpa memberikan celah sama sekali untuk Rania."Apa saja yang sudah kamu beli, sampai menghabiskan nominal uang setara harga satu buah mobil? Gila! Aku pikir kamu itu lugu, tapi ternyata kamu lebih ahli dari kakakmu!" seru Arga melanjutkan."Pak, ak--""Cih!! Seharusnya aku tak sekaget itu. Walau bagaimanapun kalian itu kan saudara. Jelas saja tak beda jauh. Satunya peng--""Uangmu aku pakai untuk membayar tagihan gaun pengantin!" sela Rania akhirnya bisa menyela
"Kamu apakan anakku, kenapa sampai sakit dan memperihatinkan seperti ini?!" Andini menatap tajam serta mengintimidasi menantunya Rania."Rania tidak memberikan apa-apa, Tan. Tiba-tiba saja Pak Arga bolak-balik ke dalam kamar mandi dan menjadi lemas begitu, tapi Tante juga tak perlu khawatir, dokter bilang dia akan sembuh setelah minum obat dan beristirahat dengan cukup," jelas Rania memberikan pengertian.Namun tentu saja Andini wanita paruh baya itu diam dan percaya. "Kamu pikir aku bodoh, bisa kamu bodohin dengan mudahnya. Ch, bahkan jika bukan Laura yang mengabari, aku takkan tahu Arga bisa sampai begini, dan aku yakin itu pasti karena kecerobohanmu. Kamu pasti sudah memberikan sesuatu yang membuatnya sampai sakit begitu!!" omel Andini marah.Laura yang di sana dan menyaksikan pertengkaran mertua dan menantu itu. Tiba-tiba bibirnya menyeringai kerena memikirkan sesuatu yang menguntungkan untuknya. Dia seperti melihat kesempatan dan tentu saja dia akan menggunakannya dengan baik."M
"Tan, Pak Arga sudah baikan," beritahu Rania ketika Ibu mertuanya masuk ke rumah begitu saja."Saya ke sini bukan untuk itu, tapi Laura!" tegas Andini wanita paruh baya langsung melipat tangan di depan dada. Menatap tajam Laura dengan penuh intimidasinya."Laura?" bingung Rania langsung mengerutkan dahi. "Ada apa dengannya? Selama ini pekerjaannya bagus kok, Tan," jelas Rania sama sekali tak ada niatan untuk menjatuhkan Laura, sekalipun gadis itu sudah pernah bersikap lancang dan keterlaluan.Rania masih bisa memaafkan dan mentolerirnya dan dia pikir mertuanya tak perlu tahu. Siapa tahu saja kejadian dia masuk ke kamar Arga cuma kebiasaan di masa lalu saja, dan Rania tidak mau salah paham atau setidaknya dia harus punya bukti yang akurat dulu."Itu dia. Kamu sendiri mengakui bagaimana bagusnya Laura bekerja, lalu kenapa memecatnya?!" sarkas Andini dengan geram.Rania semakin mengerutkan dahinya dan semakin kebingungan. "Maksudnya, Tan?"Andini tak menjawab, dia mendengus kasar sambil
Melati menyusul Rania ke kantin, setelah jam perkuliahan Pak Argan berakhir. Memesan sesuatu dan segera menghampiri Rania di mejanya."Kamu kenapa sih, Ran?" tanya Melati langsung ke poin inti tanpa basa-basi.Rania menoleh, tersadar akan kehadirannya dan sedikit mendesah kasar. "Jika maksudmu kenapa aku bisa terlambat, maka jawabannya sudah pasti karena aku telat bangun pagi," jawab Rania seadanya."Sebenarnya itu juga sih, tapi--" Melati menjeda kalimatnya sebentar kemudian seperti memikirkan sesuatu. "Aku perhatikan sejak kejadian mabuk itu, kamu mulai berubah Ran. Suka bolos kuliah dan itu nggak tanggung-tanggung. Tiga sampai seminggu loh?!" ujar Melati sambil menghitung dengan jarinya.Rania menghela nafasnya kasar. Mengingat bagaimana alasan dirinya bisa libur dia menjadi kesal. 'Kamu saja peka itu Mel. Huhh, tapi kenapa ya orang yang malah membuatku terpaksa libur dan bahkan sudah aku rawat sampai sehat, bisa-bisanya keterlaluan mengusirku dari kelasnya secara tidak hormat. Cih
"Kamu ada kelas sampai jam berapa hari ini?" tanya Arga pagi ketika saat ini mereka sedang sarapan."Sore," jawab Rania seadanya."Hm." Arga berdehem dan mengangguk.'Cuma hm, doang. Dasar batu es!' gerutu Rania membatin.Sementara itu, seperti biasanya Laura sudah merencanakan sesuatu pagi ini. Dia sudah memasukkan sesuatu ke dalam makanan Rania dan kali ini berhasil karena Rania sudah meminumnya. Perlu diketahui reaksinya tidak akan langsung, tapi bisa sejak satu atau dua jam kemudian.Sehingga Rania tak merasakan apapun dan barulah bereaksi ketika dia sudah di kampus. Rania izin ke toilet pada dosennya dan setelah setengah jam kemudian dia tak kembali. Melati sahabatnya yang khawatir langsung izin juga untuk melihatnya."Ran, kamu kenapa?" tanya Melati begitu mereka bertemu."Aku nggak tahu, Mel. Perut aku nyeri dan aku s
"Ibu, udah. Rania pulang aja ya Bu ..." pamit Rania dengan sopan dan ibunya pun menganggukkan kepala, sambil mengusap puncak kepala anaknya."Yasudah pulanglah, Nak. Akan tetapi sebelum itu, ingatlah untuk jangan melakukan kesalahan yang sama, jangan kecewakan lagi Ibumu ini, Nak. Jadilah istri yang baik untuk suamimu, Nak Arga," ujar Ibunya Renita menasehati.Wanita paruh baya itupun mengantarkan putrinya sampai ke depan, lalu meminta sopirnya mengantar pulang anaknya.Begitu sampai di rumah, Rania meluncur ke sofa favoritnya tempat biasa dijadikan tempat tidurnya. Rania ke sana tanpa memperdulikan Laura atau bahkan menyapa asistennya rumah tangganya."Nyonya biasa aja dong. Kalau lewat nggak usah ninggalin jejak, saya kan udah capek ngepel. Walaupun saya pembantu harusnya Nyonya tahu dirilah, kita sesama manusia jangan perlakuan saya seburuk ini!" ujar Laura sedikit berteriak.
Arga tak bisa tenang sekalipun dokter sudah mendiagnosa keadaan Rania sudah stabil. Perasaan Arga masih cemas walaupun dia tahu kehamilan Rania benar adanya dan juga tidak ada yang perlu dikhawatirkan, selain beberapa hal yang perlu diperhatikan.Dia takut kalau Rania tidak bisa menerima keadaannya. Mengingat bagaimana istrinya itu menolak tidur sekamar dengannya dan karena semua kamar lainnya tidak bisa dibuka, Rania bersikeras memilih di sofa yang di ruang tengah. Kenyataan tersebut membuat Arga takut. Perempuan itu mungkin saja berbuat sesuatu hal yang buruk dan melukai calon anak mereka.Menggenggam telapak tangan Rania lalu mengusapnya halus, Arga tak ada hentinya menatap Rania yang masih tak sadarkan diri."Apa kamu sebaiknya tidak tahu Rania?" tanya Arga yang tentu saja tidak akan mendapatkan jawaban apapun."Ya, kamu sepertinya memang tidak perlu tahu, Ran. Setidaknya sampai kan
"Jangan melewati batas!" seru Rania dengan tegas, sambil menaruh guling di tengah tempat tidur.Sebenarnya dia bisa saja tidur di sofa, tapi setelah memasak tadi, tubuhnya jadi lumayan penat dan juga agak terasa ngilu. Akan tidak akan enak jika di sofa walaupun empuk karena di sana sempit. Sementara kalau meminta suaminya yang tidur di sana Arga pasti menolak karena pria itu pasti tidak mau."Jangan melewati batas Mas!" peringat Rania ketika melihat Arga mau melewati batas.Namun karena diperingati begitu. Arga bukannya menurut dia malah kesal dan menatap Rania tajam. "Aku tidak mau!"Brukk!!Arga dengan dingin tiba-tiba saja melemparkan bantal gulingnya secara sembarang."Kalau kamu keberatan dengan hal itu, silahkan saja, tapi aku tidak akan melakukannya. Tidak batasan diantara kita Rania dan sadarlah akan posisimu sekarang!" geram Arga yang a
Akhirnya Rania keluar dari kamar mandi, setelah sebelumnya Arga penuh perjuangan membujuknya. Awalnya dia membuka sedikit celah pintu, hanya sedikit dan bisa dilewati tangannya saja juga handuk dan pakaian yang Arga berikan.Dia bahkan kembali menutup pintunya dengan rapat, dan mengenakan pakaiannya di dalam. Setelah selesai barulah dia berani keluar."Duduk di sini!" perintah Arga sambil menepuk tempat duduk di depan meja rias yang ada di kamar itu.Rania tak langsung menjawab, tapi memanyunkan bibirnya dahulu, dan membuat Arga gemas karena dia malah mematung di tempatnya."Astaga, Rania. Aku mau membantu mengeringkan rambutmu. Kamu mau kepalamu sakit karena tidur dengan rambut yang basah?!""Tapi aku belum mau tidur," jawab Rania dengan polosnya. "Aku lapar dan ingin makan sekarang," lanjutnya dengan tanpa dosa."Iya kita akan makan, tapi sete
"Kok kita ke sini sih, Pak?" tanya Rania heran dan tanpa sadar dia melupakan panggilan barunya.Arga tentu saja memelototinya untuk mengingatkan dan Rania yang akhirnya tersadar pun meralat ucapannya. "Maksudnya Mas," cicitnya sambil meralat. "Inikan apartemen dan bukannya rumahnya Mas?" lanjut Rania bertanya.Sebenarnya sudah sejak sampai dia menanyakan itu, tapi baru setelah masuk dia berani mengutarakannya. Harusnya Rania pikir mereka langsung ke rumah, karena Arga tak memberikan aba-aba apapun termasuk pemberitahuan. Ditambah sesampainya di sana mereka gampangnya masuk ke salah satu unit setelah Arga menekan pin untuk akses masuknya."Lagian kok bisa sih, Mas tahu pin masuk ke sini? Mas kenal dekat sama pemiliknya atau sangat akrab, atau ini punya adiknya Mas Viona?"Arga tidak menjawab pertanyaannya itu, tapi malah balik bertanya, "bagaimana menurutmu apartemen ini, apakah terlalu
Pulang bersama adalah hal yang Arga katakan padanya di ruangan, setelah mereka makan bersama. Namun, mereka tak bisa langsung pergi, sebab Arga rupanya masih punya jadwal mengajar beberapa jam lagi. Alhasil, Rania pun terpaksa harus menunggu.Dia langsung keluar ruangan Arga begitu empunya pergi. Sungkan menunggu di dalam, Rania putuskan menunggu di luar."Lama bangat kamu di dalam, ngapain aja sama Pak Arga?"Tiba-tiba Selvi muncul dan menatapnya sinis. Temannya satu ini memang terlihat tidak suka padanya walaupun pas dia ulang tahun beberapa waktu lalu, tapi tetap saja mengundang Rania. Kebenciannya tidak hilang dan undangan cuma formalitas agar dirinya terlihat baik."Dari kapan kamu di sana?" tanya Rania tak mau kalah."Cih, ditanya malah balik nanya?" gerutu Selvi terlihat sebal."Pertanyaan kamu nggak berbobot. Aku di dalam mau ngapain aja
"Tuh, kan. Kamu libur lagi, tapi kali ini memang jelas sih. Kamu habis sakit bukan?" tanya Melati menebak."Ya, tapi bukankah aku sudah mengatakan itu waktu kemarin. Kamu chat aku loh, dan aku beritahu kamu lewat pesan chat itu. Jangan lupa," jawab Kania mengingatkan."Yah, tapi kamu aneh bangat. Walaupun begitu tetap aja ada yang terasa ganjil dari kamu. Apa ada yang kamu sembunyikan?" tanya Melati penasaran.Rania menundukkan kepala sambil memikirkan masalahnya, dan juga memikirkan apakah dia sudah siap memberitahu Melati sahabatnya tentang hal itu. Tak lama berselang dia segera mengangkat kepalanya dan menatap sahabatnya."Aku tidak bermaksud menyembunyikan apapun, tapi kamu benar memang sudah terjadi sesuatu denganku dan itu berhubungan dengan malam saat aku mabuk, dan pulang dari pesta ulang tahunnya Selvi," ujar Rania sambil kemudian geleng-geleng kepala. "Tapi maaf sekali Mel, ak
Selama sakit, Rania selalu dicekcoki makanan sehat oleh Arga. Sekarang ketika dia sudah merasa sehat. Hal serupa masih saja terjadi dan Rania agak keberatan dengan itu."Bubur lagi?" ujar Rania dengan tak percaya. "Aku sudah makan ini selama sakit, Pak dan aku sudah bosan. Lagipula aku sudah sehat dan gigiku cukup baik untuk mengunyah makan yang lebih berat," gerutu Rania protes."Makan itu, atau lebih baik kamu di rumah saja dan tidak usah ke kampus!" tegas Arga dingin tak terbantahkan."Ch, harusnya ini bukan masalah yang berat kalau saja buburnya ini ada suwiran ayamnya dan bukan lagi potongan brokoli dan juga wortel. Bubur ayam, rasa rumput. Cih, apa enaknya, enek yang ada!" gerutu Rania terus-menerus.Arga tidak mengatakan apapun dan hal itu membuat Rania makin sebal saja."Apaan sih, Bapak. Aku dipaksa makan beginian sementara Bapak sendiri enak-enakan makan a
Arga kembali ke kamar Rania untuk melihat istrinya itu. Dia mengerutkan dahi ketika menemukan wajah tak bersemangat yang Rania tunjukkan."Kamu kesal sama mommy tadi, kamu tidak suka?" tanya Arga menebak dan kemudian dia malah menjawab sendiri. "Tidak usah dipikirkan. Orang tua memang begitu. Banyak aturannya, tapi percayalah mommy sebetulnya tidak jahat dan dia itu orang tua yang penyayang," jelas Arga entah mengapa lebih cerewet dari biasanya.Rania menggelengkan kepala dan mengerucutkan bibirnya, sebelum kemudian mendesah kasar."Bukan itu," jawab Rania sambil mencoba bangkit untuk duduk.Arga yang melihatnya demikian, sedikit khawatir dan mendekat untuk membantu. "Lalu apa?" tanyanya dengan perhatian."Kuliahku. Hm, aku baru lihat chat dari grup kalau tugas dari Bapak luar biasa banyak. Sedalam lautan dan sebesar gunung, tapi jangka waktu menyelesaikannya cuma s
Arga tak bisa tenang sekalipun dokter sudah mendiagnosa keadaan Rania sudah stabil. Perasaan Arga masih cemas walaupun dia tahu kehamilan Rania benar adanya dan juga tidak ada yang perlu dikhawatirkan, selain beberapa hal yang perlu diperhatikan.Dia takut kalau Rania tidak bisa menerima keadaannya. Mengingat bagaimana istrinya itu menolak tidur sekamar dengannya dan karena semua kamar lainnya tidak bisa dibuka, Rania bersikeras memilih di sofa yang di ruang tengah. Kenyataan tersebut membuat Arga takut. Perempuan itu mungkin saja berbuat sesuatu hal yang buruk dan melukai calon anak mereka.Menggenggam telapak tangan Rania lalu mengusapnya halus, Arga tak ada hentinya menatap Rania yang masih tak sadarkan diri."Apa kamu sebaiknya tidak tahu Rania?" tanya Arga yang tentu saja tidak akan mendapatkan jawaban apapun."Ya, kamu sepertinya memang tidak perlu tahu, Ran. Setidaknya sampai kan
"Ibu, udah. Rania pulang aja ya Bu ..." pamit Rania dengan sopan dan ibunya pun menganggukkan kepala, sambil mengusap puncak kepala anaknya."Yasudah pulanglah, Nak. Akan tetapi sebelum itu, ingatlah untuk jangan melakukan kesalahan yang sama, jangan kecewakan lagi Ibumu ini, Nak. Jadilah istri yang baik untuk suamimu, Nak Arga," ujar Ibunya Renita menasehati.Wanita paruh baya itupun mengantarkan putrinya sampai ke depan, lalu meminta sopirnya mengantar pulang anaknya.Begitu sampai di rumah, Rania meluncur ke sofa favoritnya tempat biasa dijadikan tempat tidurnya. Rania ke sana tanpa memperdulikan Laura atau bahkan menyapa asistennya rumah tangganya."Nyonya biasa aja dong. Kalau lewat nggak usah ninggalin jejak, saya kan udah capek ngepel. Walaupun saya pembantu harusnya Nyonya tahu dirilah, kita sesama manusia jangan perlakuan saya seburuk ini!" ujar Laura sedikit berteriak.