"Kamu kemana sih, dua hari ini. Mabuk kebawa bolos, Ran?" tanya Melati bingung. "Beruntung aja Pak Arga nggak masuk dua hari lalu. Jika tidak, mati kamu. Bisa ngulang di mata kuliahnya," lanjut Melati mengingatkan.
"Itu malah lebih bagus," ceplos Rania asal.
"Apa?" kaget Melati tak percaya dengan ucapan sahabatnya.
"Maksudnya baguskan, Pak Arga nggak masuk jadi aku aman dan tidak terancam nilai di mata kuliahnya," jawab Rania segera meralat kalimatnya.
Melati segera mengangguk-anggukkan kepalanya. "Aku pikir maksud kamu bagus mengulang mata kuliah Pak Arga, karena kan lumayan artinya bisa ketemu doi lagi di semester depan," jelas Melati.
Membuat Rania segera mendengus kasar. "Gila kamu! Seandainya Pak Arga dosen pencabut nyawa itu tidak membawakan mata kuliah wajib, aku tidak akan sudi mengambil kelasnya!" ujar Rania penuh penegasan.
"Yang benar?" tanya Melati menggoda dan mencoba bercanda. "Padahal beliau ganteng loh, kaya lagi. Seandainya dia bukan calon suami kak Salsa kakakmu, aku yakin kalian pasti cocok banget," lanjut Melati dengan ucapan yang makin menyeleneh.
Sialnya, walaupun candaan, tapi itulah kenyataan. Mereka memang bersama, dan walaupun cocok tak cocok. Arga adalah suaminya Rania.
"Kenapa kalian masih di sini, tidak ada kelas?!" tanya seseorang tiba-tiba, membuat Rania dan Melati langsung menoleh.
'Ini orang, manusia atau apa sih? Kok baru aja di omongin udah muncul aja?' batin Rania sambil kemudian gadis reflek menggaruk pelipisnya sendiri yang tak gatal.
"Ada Pak, ini kami akan ke kelasnya Pak Rey," jawab Melati cari aman.
Anehnya dosen pencabut nyawa itu tak menjawab, atau bahkan sekedar menganggukkan kepala, setelah pertanyaan dijawab. Dia bahkan langsung berlalu begitu saja dengan acuhnya.
"Aku hampir berpikir Pak Arga yang esbatu, iri bicara, hampir tidak akan mengeluarkan suara, jika bukan untuk membahas materinya atau sepentingnya itu saja, sedang tobat dan mencair. Namun sepertinya tidak. Dia cuma mau ngeprank kita aja," jawab Melati yang langsung membuat Rania mengangkat bahunya tak mau memperdulikan itu.
Namun selanjutnya hal yang terjadi adalah sebaliknya. Rania malah memikirkan ucapan Melati. Arga dosen yang dijuluki dosen pencabut nyawa itu, selain galak memang terkenal dingin. Dia hampir tak akan menyapa siapapun yang bertemu dengannya. Pernah beberapa kali mahasiswanya menyapanya yang sedang lewat, tapi Arga bukannya menjawab malah pura-pura tak melihat dan berlalu begitu saja.
Anehnya setelah dua hari berlalu, Rania baru sadar sikap dingin laki-laki itu agak berkurang sejak mereka menikah.
Arga tak dingin saat mereka berdua, tapi lebih kepada cerewet dan hobi mengomelinya. Tidak dingin atau acuh sebagaimana mestinya. Rania kepikiran, tapi ah sudahlah lebih baik dia lupakan saja.
*****
Seminggu berlalu tak ada yang terjadi, selain Arga yang kembali ke sifat asalnya dan Laura semakin gencarnya mencari perhatian Arga. Tak jarang dia curi kesempatan untuk pamer keuletannya dalam bekerja dan juga mengungkit Rania yang pemalas.
Seperti siang ini, dimana Arga pulang ke rumah setelah dari kantor untuk makan siang. Ah, ya. Selain dosen dia adalah pengusaha. CEO dari perusahaan yang diwariskan keluarganya.
"Rania belum pulang?" tanya Arga basa-basi.
"Belum Tuan, Nyonya sepertinya akan shoping lagi dengan temannya hari ini dan akan pulang terlambat," jawab Laura sengaja berkata demikian agar membuat Rania buruk di mata Arga.
Namun tentu saja Arga takkan percaya begitu saja. "Darimana kamu tahu?" tanya Arga dengan segera.
"Maaf Tuan, bukannya saya lancang, tapi saya perhatikan dua hari ini nyonya memang begitu. Sebelum Tuan pulang, nyonya memang pulang, tapi selalu bawa belanjaan yang banyak dari toko," jelas Laura yang akhirnya diangguki oleh Arga dengan percaya.
"Baiklah, tolong siapkan makan siang dengan segera!" ujar Arga memerintah, sebelum kemudian berlalu dari sana dari hadapan Laura.
'Mati kamu jala-ng! Dengan perlahan karena tak tahan, Arga pasti akan menceraikanmu. Huhh, enak aja. Aku yang susah payah berjuang, menunjukkan perselingkuhan Salsa kakakmu yang lebih jalang itu, tapi kamu yang malah enak-enakan menikmati menjadi istri Arga!' rutuk Laura membatin.
'Huhh, emangnya enak. Laura mau dilawan? Ckckck, habis ini kamu pasti diomeli Arga habis-habisan. Dasar boros!' lanjut Laura masih membatin.
*****
Sementara itu, Agra yang sudah di lantai atas tepatnya di kamarnya. Segera menghubungi Rania lewat teleponnya.
"Dimana kamu?!" tanya Arga tanpa mau repot basabasi ataupun memberi salam begitu teleponnya terhubung.
"Di Mall, Pak. Ada yang Bapak butuhkan?" tanya Rania di seberang sana.
Namun bukannya menjawab perkataan istrinya, Arga malah mengeluarkan serangkaian kata yang tegas tak bisa dibantah.
"Pulang sekarang. Aku tunggu lima belas menit, jika kamu belum di rumah dalam lima belas menit lagi maka jangan salahkan aku!" ujar Arga yang kemudian setelahnya langsung menutup telepon dengan dinginnya begitu saja.
"Cih, kakaknya tukang selingkuh, adiknya malah matre. Baru seminggu menikah, tapi dia sudah menghabiskan banyak uangku setara harga mobil!" geram Arga tak habis pikir.
Sebetulnya Arga tak keberatan akan hal itu, sejak dua hari dia memang mendapatkan tagihan kartu yang langsung diberinya pada Rania sebagai nafkah, akan tetapi setelah mendengar ucapan Laura tentang Rania yang shoping terus, itu membuatnya kesal dan juga marah.
*****
"Tan, maaf ... sepertinya aku harus pulang sekarang. Pak Arga marah," ujar Rania pda mertuanya. Siapa lagi kalau bukan wanita paruh baya yang bernama Andini itu.
Sebenarnya dia shoping ditemani mertua adalah untuk menyiapkan beberapa kebutuhan acara resepsi pernikahannya yang belum sempat dilaksanakan itu. Karena seharusnya bukan dia yang akan menikah, tapi Salsa.
Namun karena kejadiannya begini, dan walaupun masih tak mengerti. Rania tak bisa menolak ajakan mertuanya dan ketika pembayaran dia tak enak dan menggunakan kartu suaminya.
Biarlah dia menghadapi Arga di rumah nantinya, daripada ibu mertuanya Andini yang masih gedeg dan marah padanya.
Andini memang ingin yang terbaik untuk Arga dan Rania, tapi bukan berarti dia sudah memaafkan kesalahan mereka. Bahkan dia masih dengan dingin membiarkan Rania memanggilnya tante ketimbang panggilan sama seperti Arga memanggilnya, walaupun Rania adalah menantunya sekarang.
"Yasudah. Pulang sana. Kalian pasangan tukang selingkuh memang tak terpisahkan. Biarkan saja perempuan tua ini kewalahan mengurus apapun demi kesenangan kalian yang tak punya hati itu!" jawab Andini dengan tak mengenakkan.
Membuat Rania jadi dilema, antara mau pulang dan tidak. Pulang mertuanya marah, tidak pulang maka urusannya ke suami dingin sekaligus dosen pencabut nyawanya itu. Bisa mati Rania jika mengabaikan Arga, tapi bagaimana juga dengan ibu mertuanya ini.
"Tan, Rania nggak bermak--"
"Sudahlah, sana kamu. Aku tidak melarang atau mencegahmu!" ketus Ibu mertuanya Andini.
Rania akhirnya menghela nafasnya pasrah. Dia bingung dan juga pusing sekarang ini, tapi mau bagaimana lagi. Sepertinya dia memang harus menemui Arga.
"Tante, maafkan aku. Lain kali tidak akan begini dan juga kamu jangan khawatir, sopir Pak Arga akan membereskan semua belanjaannya," bujuk Rania dengan hati-hati.
Andini cuma mengangguk halus kemudian mendengus kasar, dan setelahnya walaupun masih tak mengenakkan Rania tetap memilih pulang dan menemui suaminya.
Namun tentu waktu yang dibutuhkan ke rumah lebih dari lima belas menit. Arga juga pasti marah, tapi Rania harus menghadapi kemarahan itu.
*****
Arga melipat tangan di depan dada, mengintimidasi istrinya dengan tatapan tajamnya. Rania sangat takut melihatnya yang demikian, tapi mau gimana lagi. Rania memang harus menghadapinya."Baru seminggu menikah, tapi kamu sudah menunjukkan belangmu, Rania. Rupanya bukan cuma perempuan jala-ng yang sudah menjebakku tidur di ranjangmu, tapi juga matre dan suka keluyuran tak jelas!" tuduh Arga dengan kejamnya.Rania akan membuka mulut dan bersuara untuk membela diri, tapi kemudian Arga tak membiarkannya. Pria itu kembali berbicara tanpa memberikan celah sama sekali untuk Rania."Apa saja yang sudah kamu beli, sampai menghabiskan nominal uang setara harga satu buah mobil? Gila! Aku pikir kamu itu lugu, tapi ternyata kamu lebih ahli dari kakakmu!" seru Arga melanjutkan."Pak, ak--""Cih!! Seharusnya aku tak sekaget itu. Walau bagaimanapun kalian itu kan saudara. Jelas saja tak beda jauh. Satunya peng--""Uangmu aku pakai untuk membayar tagihan gaun pengantin!" sela Rania akhirnya bisa menyela
"Kamu apakan anakku, kenapa sampai sakit dan memperihatinkan seperti ini?!" Andini menatap tajam serta mengintimidasi menantunya Rania."Rania tidak memberikan apa-apa, Tan. Tiba-tiba saja Pak Arga bolak-balik ke dalam kamar mandi dan menjadi lemas begitu, tapi Tante juga tak perlu khawatir, dokter bilang dia akan sembuh setelah minum obat dan beristirahat dengan cukup," jelas Rania memberikan pengertian.Namun tentu saja Andini wanita paruh baya itu diam dan percaya. "Kamu pikir aku bodoh, bisa kamu bodohin dengan mudahnya. Ch, bahkan jika bukan Laura yang mengabari, aku takkan tahu Arga bisa sampai begini, dan aku yakin itu pasti karena kecerobohanmu. Kamu pasti sudah memberikan sesuatu yang membuatnya sampai sakit begitu!!" omel Andini marah.Laura yang di sana dan menyaksikan pertengkaran mertua dan menantu itu. Tiba-tiba bibirnya menyeringai kerena memikirkan sesuatu yang menguntungkan untuknya. Dia seperti melihat kesempatan dan tentu saja dia akan menggunakannya dengan baik."M
"Tan, Pak Arga sudah baikan," beritahu Rania ketika Ibu mertuanya masuk ke rumah begitu saja."Saya ke sini bukan untuk itu, tapi Laura!" tegas Andini wanita paruh baya langsung melipat tangan di depan dada. Menatap tajam Laura dengan penuh intimidasinya."Laura?" bingung Rania langsung mengerutkan dahi. "Ada apa dengannya? Selama ini pekerjaannya bagus kok, Tan," jelas Rania sama sekali tak ada niatan untuk menjatuhkan Laura, sekalipun gadis itu sudah pernah bersikap lancang dan keterlaluan.Rania masih bisa memaafkan dan mentolerirnya dan dia pikir mertuanya tak perlu tahu. Siapa tahu saja kejadian dia masuk ke kamar Arga cuma kebiasaan di masa lalu saja, dan Rania tidak mau salah paham atau setidaknya dia harus punya bukti yang akurat dulu."Itu dia. Kamu sendiri mengakui bagaimana bagusnya Laura bekerja, lalu kenapa memecatnya?!" sarkas Andini dengan geram.Rania semakin mengerutkan dahinya dan semakin kebingungan. "Maksudnya, Tan?"Andini tak menjawab, dia mendengus kasar sambil
Melati menyusul Rania ke kantin, setelah jam perkuliahan Pak Argan berakhir. Memesan sesuatu dan segera menghampiri Rania di mejanya."Kamu kenapa sih, Ran?" tanya Melati langsung ke poin inti tanpa basa-basi.Rania menoleh, tersadar akan kehadirannya dan sedikit mendesah kasar. "Jika maksudmu kenapa aku bisa terlambat, maka jawabannya sudah pasti karena aku telat bangun pagi," jawab Rania seadanya."Sebenarnya itu juga sih, tapi--" Melati menjeda kalimatnya sebentar kemudian seperti memikirkan sesuatu. "Aku perhatikan sejak kejadian mabuk itu, kamu mulai berubah Ran. Suka bolos kuliah dan itu nggak tanggung-tanggung. Tiga sampai seminggu loh?!" ujar Melati sambil menghitung dengan jarinya.Rania menghela nafasnya kasar. Mengingat bagaimana alasan dirinya bisa libur dia menjadi kesal. 'Kamu saja peka itu Mel. Huhh, tapi kenapa ya orang yang malah membuatku terpaksa libur dan bahkan sudah aku rawat sampai sehat, bisa-bisanya keterlaluan mengusirku dari kelasnya secara tidak hormat. Cih
"Kamu ada kelas sampai jam berapa hari ini?" tanya Arga pagi ketika saat ini mereka sedang sarapan."Sore," jawab Rania seadanya."Hm." Arga berdehem dan mengangguk.'Cuma hm, doang. Dasar batu es!' gerutu Rania membatin.Sementara itu, seperti biasanya Laura sudah merencanakan sesuatu pagi ini. Dia sudah memasukkan sesuatu ke dalam makanan Rania dan kali ini berhasil karena Rania sudah meminumnya. Perlu diketahui reaksinya tidak akan langsung, tapi bisa sejak satu atau dua jam kemudian.Sehingga Rania tak merasakan apapun dan barulah bereaksi ketika dia sudah di kampus. Rania izin ke toilet pada dosennya dan setelah setengah jam kemudian dia tak kembali. Melati sahabatnya yang khawatir langsung izin juga untuk melihatnya."Ran, kamu kenapa?" tanya Melati begitu mereka bertemu."Aku nggak tahu, Mel. Perut aku nyeri dan aku s
"Ibu, udah. Rania pulang aja ya Bu ..." pamit Rania dengan sopan dan ibunya pun menganggukkan kepala, sambil mengusap puncak kepala anaknya."Yasudah pulanglah, Nak. Akan tetapi sebelum itu, ingatlah untuk jangan melakukan kesalahan yang sama, jangan kecewakan lagi Ibumu ini, Nak. Jadilah istri yang baik untuk suamimu, Nak Arga," ujar Ibunya Renita menasehati.Wanita paruh baya itupun mengantarkan putrinya sampai ke depan, lalu meminta sopirnya mengantar pulang anaknya.Begitu sampai di rumah, Rania meluncur ke sofa favoritnya tempat biasa dijadikan tempat tidurnya. Rania ke sana tanpa memperdulikan Laura atau bahkan menyapa asistennya rumah tangganya."Nyonya biasa aja dong. Kalau lewat nggak usah ninggalin jejak, saya kan udah capek ngepel. Walaupun saya pembantu harusnya Nyonya tahu dirilah, kita sesama manusia jangan perlakuan saya seburuk ini!" ujar Laura sedikit berteriak.
Arga tak bisa tenang sekalipun dokter sudah mendiagnosa keadaan Rania sudah stabil. Perasaan Arga masih cemas walaupun dia tahu kehamilan Rania benar adanya dan juga tidak ada yang perlu dikhawatirkan, selain beberapa hal yang perlu diperhatikan.Dia takut kalau Rania tidak bisa menerima keadaannya. Mengingat bagaimana istrinya itu menolak tidur sekamar dengannya dan karena semua kamar lainnya tidak bisa dibuka, Rania bersikeras memilih di sofa yang di ruang tengah. Kenyataan tersebut membuat Arga takut. Perempuan itu mungkin saja berbuat sesuatu hal yang buruk dan melukai calon anak mereka.Menggenggam telapak tangan Rania lalu mengusapnya halus, Arga tak ada hentinya menatap Rania yang masih tak sadarkan diri."Apa kamu sebaiknya tidak tahu Rania?" tanya Arga yang tentu saja tidak akan mendapatkan jawaban apapun."Ya, kamu sepertinya memang tidak perlu tahu, Ran. Setidaknya sampai kan
Arga kembali ke kamar Rania untuk melihat istrinya itu. Dia mengerutkan dahi ketika menemukan wajah tak bersemangat yang Rania tunjukkan."Kamu kesal sama mommy tadi, kamu tidak suka?" tanya Arga menebak dan kemudian dia malah menjawab sendiri. "Tidak usah dipikirkan. Orang tua memang begitu. Banyak aturannya, tapi percayalah mommy sebetulnya tidak jahat dan dia itu orang tua yang penyayang," jelas Arga entah mengapa lebih cerewet dari biasanya.Rania menggelengkan kepala dan mengerucutkan bibirnya, sebelum kemudian mendesah kasar."Bukan itu," jawab Rania sambil mencoba bangkit untuk duduk.Arga yang melihatnya demikian, sedikit khawatir dan mendekat untuk membantu. "Lalu apa?" tanyanya dengan perhatian."Kuliahku. Hm, aku baru lihat chat dari grup kalau tugas dari Bapak luar biasa banyak. Sedalam lautan dan sebesar gunung, tapi jangka waktu menyelesaikannya cuma s
"Jangan melewati batas!" seru Rania dengan tegas, sambil menaruh guling di tengah tempat tidur.Sebenarnya dia bisa saja tidur di sofa, tapi setelah memasak tadi, tubuhnya jadi lumayan penat dan juga agak terasa ngilu. Akan tidak akan enak jika di sofa walaupun empuk karena di sana sempit. Sementara kalau meminta suaminya yang tidur di sana Arga pasti menolak karena pria itu pasti tidak mau."Jangan melewati batas Mas!" peringat Rania ketika melihat Arga mau melewati batas.Namun karena diperingati begitu. Arga bukannya menurut dia malah kesal dan menatap Rania tajam. "Aku tidak mau!"Brukk!!Arga dengan dingin tiba-tiba saja melemparkan bantal gulingnya secara sembarang."Kalau kamu keberatan dengan hal itu, silahkan saja, tapi aku tidak akan melakukannya. Tidak batasan diantara kita Rania dan sadarlah akan posisimu sekarang!" geram Arga yang a
Akhirnya Rania keluar dari kamar mandi, setelah sebelumnya Arga penuh perjuangan membujuknya. Awalnya dia membuka sedikit celah pintu, hanya sedikit dan bisa dilewati tangannya saja juga handuk dan pakaian yang Arga berikan.Dia bahkan kembali menutup pintunya dengan rapat, dan mengenakan pakaiannya di dalam. Setelah selesai barulah dia berani keluar."Duduk di sini!" perintah Arga sambil menepuk tempat duduk di depan meja rias yang ada di kamar itu.Rania tak langsung menjawab, tapi memanyunkan bibirnya dahulu, dan membuat Arga gemas karena dia malah mematung di tempatnya."Astaga, Rania. Aku mau membantu mengeringkan rambutmu. Kamu mau kepalamu sakit karena tidur dengan rambut yang basah?!""Tapi aku belum mau tidur," jawab Rania dengan polosnya. "Aku lapar dan ingin makan sekarang," lanjutnya dengan tanpa dosa."Iya kita akan makan, tapi sete
"Kok kita ke sini sih, Pak?" tanya Rania heran dan tanpa sadar dia melupakan panggilan barunya.Arga tentu saja memelototinya untuk mengingatkan dan Rania yang akhirnya tersadar pun meralat ucapannya. "Maksudnya Mas," cicitnya sambil meralat. "Inikan apartemen dan bukannya rumahnya Mas?" lanjut Rania bertanya.Sebenarnya sudah sejak sampai dia menanyakan itu, tapi baru setelah masuk dia berani mengutarakannya. Harusnya Rania pikir mereka langsung ke rumah, karena Arga tak memberikan aba-aba apapun termasuk pemberitahuan. Ditambah sesampainya di sana mereka gampangnya masuk ke salah satu unit setelah Arga menekan pin untuk akses masuknya."Lagian kok bisa sih, Mas tahu pin masuk ke sini? Mas kenal dekat sama pemiliknya atau sangat akrab, atau ini punya adiknya Mas Viona?"Arga tidak menjawab pertanyaannya itu, tapi malah balik bertanya, "bagaimana menurutmu apartemen ini, apakah terlalu
Pulang bersama adalah hal yang Arga katakan padanya di ruangan, setelah mereka makan bersama. Namun, mereka tak bisa langsung pergi, sebab Arga rupanya masih punya jadwal mengajar beberapa jam lagi. Alhasil, Rania pun terpaksa harus menunggu.Dia langsung keluar ruangan Arga begitu empunya pergi. Sungkan menunggu di dalam, Rania putuskan menunggu di luar."Lama bangat kamu di dalam, ngapain aja sama Pak Arga?"Tiba-tiba Selvi muncul dan menatapnya sinis. Temannya satu ini memang terlihat tidak suka padanya walaupun pas dia ulang tahun beberapa waktu lalu, tapi tetap saja mengundang Rania. Kebenciannya tidak hilang dan undangan cuma formalitas agar dirinya terlihat baik."Dari kapan kamu di sana?" tanya Rania tak mau kalah."Cih, ditanya malah balik nanya?" gerutu Selvi terlihat sebal."Pertanyaan kamu nggak berbobot. Aku di dalam mau ngapain aja
"Tuh, kan. Kamu libur lagi, tapi kali ini memang jelas sih. Kamu habis sakit bukan?" tanya Melati menebak."Ya, tapi bukankah aku sudah mengatakan itu waktu kemarin. Kamu chat aku loh, dan aku beritahu kamu lewat pesan chat itu. Jangan lupa," jawab Kania mengingatkan."Yah, tapi kamu aneh bangat. Walaupun begitu tetap aja ada yang terasa ganjil dari kamu. Apa ada yang kamu sembunyikan?" tanya Melati penasaran.Rania menundukkan kepala sambil memikirkan masalahnya, dan juga memikirkan apakah dia sudah siap memberitahu Melati sahabatnya tentang hal itu. Tak lama berselang dia segera mengangkat kepalanya dan menatap sahabatnya."Aku tidak bermaksud menyembunyikan apapun, tapi kamu benar memang sudah terjadi sesuatu denganku dan itu berhubungan dengan malam saat aku mabuk, dan pulang dari pesta ulang tahunnya Selvi," ujar Rania sambil kemudian geleng-geleng kepala. "Tapi maaf sekali Mel, ak
Selama sakit, Rania selalu dicekcoki makanan sehat oleh Arga. Sekarang ketika dia sudah merasa sehat. Hal serupa masih saja terjadi dan Rania agak keberatan dengan itu."Bubur lagi?" ujar Rania dengan tak percaya. "Aku sudah makan ini selama sakit, Pak dan aku sudah bosan. Lagipula aku sudah sehat dan gigiku cukup baik untuk mengunyah makan yang lebih berat," gerutu Rania protes."Makan itu, atau lebih baik kamu di rumah saja dan tidak usah ke kampus!" tegas Arga dingin tak terbantahkan."Ch, harusnya ini bukan masalah yang berat kalau saja buburnya ini ada suwiran ayamnya dan bukan lagi potongan brokoli dan juga wortel. Bubur ayam, rasa rumput. Cih, apa enaknya, enek yang ada!" gerutu Rania terus-menerus.Arga tidak mengatakan apapun dan hal itu membuat Rania makin sebal saja."Apaan sih, Bapak. Aku dipaksa makan beginian sementara Bapak sendiri enak-enakan makan a
Arga kembali ke kamar Rania untuk melihat istrinya itu. Dia mengerutkan dahi ketika menemukan wajah tak bersemangat yang Rania tunjukkan."Kamu kesal sama mommy tadi, kamu tidak suka?" tanya Arga menebak dan kemudian dia malah menjawab sendiri. "Tidak usah dipikirkan. Orang tua memang begitu. Banyak aturannya, tapi percayalah mommy sebetulnya tidak jahat dan dia itu orang tua yang penyayang," jelas Arga entah mengapa lebih cerewet dari biasanya.Rania menggelengkan kepala dan mengerucutkan bibirnya, sebelum kemudian mendesah kasar."Bukan itu," jawab Rania sambil mencoba bangkit untuk duduk.Arga yang melihatnya demikian, sedikit khawatir dan mendekat untuk membantu. "Lalu apa?" tanyanya dengan perhatian."Kuliahku. Hm, aku baru lihat chat dari grup kalau tugas dari Bapak luar biasa banyak. Sedalam lautan dan sebesar gunung, tapi jangka waktu menyelesaikannya cuma s
Arga tak bisa tenang sekalipun dokter sudah mendiagnosa keadaan Rania sudah stabil. Perasaan Arga masih cemas walaupun dia tahu kehamilan Rania benar adanya dan juga tidak ada yang perlu dikhawatirkan, selain beberapa hal yang perlu diperhatikan.Dia takut kalau Rania tidak bisa menerima keadaannya. Mengingat bagaimana istrinya itu menolak tidur sekamar dengannya dan karena semua kamar lainnya tidak bisa dibuka, Rania bersikeras memilih di sofa yang di ruang tengah. Kenyataan tersebut membuat Arga takut. Perempuan itu mungkin saja berbuat sesuatu hal yang buruk dan melukai calon anak mereka.Menggenggam telapak tangan Rania lalu mengusapnya halus, Arga tak ada hentinya menatap Rania yang masih tak sadarkan diri."Apa kamu sebaiknya tidak tahu Rania?" tanya Arga yang tentu saja tidak akan mendapatkan jawaban apapun."Ya, kamu sepertinya memang tidak perlu tahu, Ran. Setidaknya sampai kan
"Ibu, udah. Rania pulang aja ya Bu ..." pamit Rania dengan sopan dan ibunya pun menganggukkan kepala, sambil mengusap puncak kepala anaknya."Yasudah pulanglah, Nak. Akan tetapi sebelum itu, ingatlah untuk jangan melakukan kesalahan yang sama, jangan kecewakan lagi Ibumu ini, Nak. Jadilah istri yang baik untuk suamimu, Nak Arga," ujar Ibunya Renita menasehati.Wanita paruh baya itupun mengantarkan putrinya sampai ke depan, lalu meminta sopirnya mengantar pulang anaknya.Begitu sampai di rumah, Rania meluncur ke sofa favoritnya tempat biasa dijadikan tempat tidurnya. Rania ke sana tanpa memperdulikan Laura atau bahkan menyapa asistennya rumah tangganya."Nyonya biasa aja dong. Kalau lewat nggak usah ninggalin jejak, saya kan udah capek ngepel. Walaupun saya pembantu harusnya Nyonya tahu dirilah, kita sesama manusia jangan perlakuan saya seburuk ini!" ujar Laura sedikit berteriak.