Arga melipat tangan di depan dada, mengintimidasi istrinya dengan tatapan tajamnya. Rania sangat takut melihatnya yang demikian, tapi mau gimana lagi. Rania memang harus menghadapinya.
"Baru seminggu menikah, tapi kamu sudah menunjukkan belangmu, Rania. Rupanya bukan cuma perempuan jala-ng yang sudah menjebakku tidur di ranjangmu, tapi juga matre dan suka keluyuran tak jelas!" tuduh Arga dengan kejamnya.
Rania akan membuka mulut dan bersuara untuk membela diri, tapi kemudian Arga tak membiarkannya. Pria itu kembali berbicara tanpa memberikan celah sama sekali untuk Rania.
"Apa saja yang sudah kamu beli, sampai menghabiskan nominal uang setara harga satu buah mobil? Gila! Aku pikir kamu itu lugu, tapi ternyata kamu lebih ahli dari kakakmu!" seru Arga melanjutkan.
"Pak, ak--"
"Cih!! Seharusnya aku tak sekaget itu. Walau bagaimanapun kalian itu kan saudara. Jelas saja tak beda jauh. Satunya peng--"
"Uangmu aku pakai untuk membayar tagihan gaun pengantin!" sela Rania akhirnya bisa menyela.
Arga terkaget dan menatap Rania dengan tak percaya, sembari menuntut penjelasan.
"Maksudmu?"
"Tante, maksudnya ibunya Bapak nuntut supaya kita mengadakan resepsi. Dia mengajakku ke butik hari ini dan kemarin ketemu WO," jelas Rania dengan sedikit kesal.
"Kenapa kamu bilang sekarang?" tanya Arga menuntut.
Rania segera membulatkan matanya sambil menghela nafasnya dengan jengah. 'Saya mau bilang dari tadi Bapak, tapi Bapak aja yang nyerocos terus, marah sambil nuduh orang sembarangan!" batin Rania kesal dan gemas sekaligus.
"Kenapa Mommy tidak memberitahuku?!" tanya Arga lagi dan Rania cuma mengangkat bahunya acuh. "Sial. Kamu juga jadi istri cuek sekali. Untuk hal sepenting itu, kamu tidak bicara kepadaku!"
'Yaiyalah. Siapa juga yang mau bicara sama orang menyebalkan seperti Bapak?!' batin Rania menjawab, tapi kemudian Rania cuma diam dan tak mengungkapkan isi hatinya.
"Kenapa malah diam sih. Ch, dasar perempuan pembawa bencana!" geram Arga sambil mendengus kasar.
'Cih, daripada Bapak? Cih, dosen pencabut nyawa!' jawab Rania membatin, tapi tentu saja Rania tak berani menyampaikannya secara langsung, karena segan dan juga menakuti dosennya.
Blam.
Pintu ditutup dengan cukup pelan dan hati-hati. Menjaga agar orang yang di dalam kamar supaya tak mendengar atau menyadari keberadaannya. Ah, ya. Tanpa pasangan baru itu ketahui, ada Laura di depan pintu kamar mereka dan baru saja selesai menguping.
"Sial. Kok mereka baikan sih? Perempuan tua yang sudah bau tanah itu juga apa-apaan. Marah, tapi malah buat resepsi. Breng-sek!! Kenapa begini jadinya?!" geram Laura tak terima. "Jala-ng itu juga apa-apaan sih, sok menye-menye manja sama tuan Arga. Apa coba maksudnya, mau menggodanya lagi apa?!"
Laura merasa pusing tiba-tiba menyerangnya, tak bisa bertahan di sana. Dengan hati-hati diapun turun ke bawah dan langsung mengurus makan siang untuk majikannya itu.
Tinggal menyajikan saja, karena beberapa menit lalu dia sudah selesai memasak. Itulah kenapa dia punya kesempatan untuk menguping ketika Rania tiba.
Sekarang walaupun nampaknya Laura kesal, tapi rupanya dia belum menyerah. Dia memikirkan sesuatu dan tersenyum miring ketika mendapatkan ide yang briliant.
"Rasakan kamu jala-ng! Habis ini semoga kamu muntaber, tapi jika tak bisa setidaknya kamu pasti akan mencret. Hahaha, mampus kamu jala-ng!" seru Laura tersenyum senang.
Tak berselang lama pasangan suami istri yang baru menikah itupun tiba, dan langsung ke meja makan untuk makan siang bersama. Anehnya Rania cuma diam saja. Setelah mengambil makanan untuk suaminya dia cuma dia dan menonton.
"Kamu tidak makan?" tanya Arga heran.
"Udah, tadi sama Tante," jawab Rania memberitahu.
Arga tak menjawab dan bahkan dengan acuhnya dia malah langsung makan. Hampir menghabiskan semua menu di meja makan. Walaupun hati Laura busuk, tapi masakannya memang enak, dan Arga memang selalu makan dalam porsi banyak.
'Pak Arga udah keliatan cocok jadi kuli. Makannya banyak bangat lagi. Gila, apa perutnya nggak kembung ya?' Rania masih bingung dengan fakta laki-laki yang menjadi suaminya itu.
'Tapi dia tidak gemuk, ya. Badannya berotot dan sepertinya bagian perutnya juga tidak membuncit?' Rania lanjut membatin, sambil kemudian reflek menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Berhenti menggaruk, nanti rambutmu jatuh ke makananku!" peringat Arga dengan tak mau dibantah.
Rania pun menurut dan mengangguk setuju, tapi kemudian dia merasa bosan. Memikirkan sesuatu dan terbersit untuk membuatkan jus untuk dirinya. Rania pun bangkit dan bergegas melakukannya.
Selesai, dia membawa jusnya ke meja makan. Baru saja mau meminumnya, tapi malah didahului oleh Arga.
"Pak!" rengek Rania kesal dan tak terima.
Arga tak perduli, dengan santainya dia malah enak-enakan terus meneguknya.
"Kebiasaan. Bapak suka sekali merebut makananku!!" geram Rania dengan kesal dan kembali bangkit dengan terpaksa membuat minuman baru.
"Daripada kamu, sudah merebut saya dari kakakmu!" sarkas Arga menohok.
Rania cuma bisa mengerucut bibirnya, sambil menahan hatinya supaya teguh walaupun rasanya cukup nyeri dikatai demikian. Lanjut membuat jus dan berusaha mengabaikannya.
Kemudian ketika sudah jadi, Rania dengan konyol menjulurkan lidahnya ke dalam gelas yang sudah di isi jus. Bermaksud agar Arga jijik dan tak mau mengambil jusnya lagi.
"Aku baru tahu, ternyata kamu siluman hewan yang menggonggong. Suka menjilat rupanya!" seru Arga mengejek, tapi kemudian dengan tak terduga, dia kembali merebut jus milik Rania lagi. Tidak meminumnya habis, dan hanya mencicipi.
"Lebih enak dari yang tadi, tapi sayangnya perutku sudah cukup kenyang," ujar Arga dengan santai.
Anehnya Rania yang justru tidak bisa santai. Matanya membulat dan masih dalam keterkejutannya. Masih belum pulih, tiba-tiba Arga menyodorkan jusnya dan memaksanya minum sampai haus.
"Daripada kamu mangap-mangap kemasukan lalat, lebih baik jusnya, bukan?" ujar Arga sambil menyeringai dan tersenyum miring.
*****
Nafas Arga sudah tak bisa tenang, ngos-ngosan dan wajahnya terlihat lemas. Terhitung lima kali sudah dia bolak-balik ke kamar mandi hanya untuk membuang isi perutnya. Rasanya melilit dan juga sangat mulas.
"Pak Arga, kamu baik--"
Blam!
Belum menjawab, Arga cuma sempat menatap tajam sebelum kemudian membanting pintunya kasar, dan kembali masuk ke dalam.
Lima belas menit kemudian dia keluar dengan wajah yang semakin lemas, Rania menjadi khawatir dan juga mencemaskannya.
"Sebenarnya Bapak kenapa sih, kok bolak-balik terus dari tadi?" tanya Rania terlihat cukup panik.
"Kamu masih nanya kenapa? Aku sakit perut Rania, dasar perempuan pembawa bencana. Apa yang sudah kamu masukkan dalam jusmu?" geram Arga masih mengomel di sisa tenaga yang semakin menipis.
"Cuma buah, sedikit madu dan gula, Pak. Memangnya apa lagi? Lagian aku juga minum. Jika Bapak pikir ada racun, harusnya aku kena juga," jawab Rania cukup kesal.
"Ssst ... argghhh!" geram Arga kembali mulas. "Panggil dokter," ujarnya lemah.
Rania kurang mendengar, sampai mengerutkan dahi. "Apa?"
"Pengggilkan dokter Rania!!" ujar Arga sedikit berteriak sambil kemudian masuk ke dalam kamar mandi.
Rania melakukannya, menghubungi dokter supaya datang dan memeriksa Arga, tapi kemudian tiba-tiba saja langkahnya kembali ke meja makan dan menatap hidangan di sana.
"Selain minum jus, bukannya Pak Arga makan masakan Laura? Tapi--" Rania menghentikan ucapannya memikirkan sesuatu dan kemudian mendapatkan titik terang yang baginya sangat meyakinkan. "Yang jelas itu bukan karena jus buatanku. Entahlah karena apa atau ulah siapapun itu!" ujar Rania menyeru.
*****
"Kamu apakan anakku, kenapa sampai sakit dan memperihatinkan seperti ini?!" Andini menatap tajam serta mengintimidasi menantunya Rania."Rania tidak memberikan apa-apa, Tan. Tiba-tiba saja Pak Arga bolak-balik ke dalam kamar mandi dan menjadi lemas begitu, tapi Tante juga tak perlu khawatir, dokter bilang dia akan sembuh setelah minum obat dan beristirahat dengan cukup," jelas Rania memberikan pengertian.Namun tentu saja Andini wanita paruh baya itu diam dan percaya. "Kamu pikir aku bodoh, bisa kamu bodohin dengan mudahnya. Ch, bahkan jika bukan Laura yang mengabari, aku takkan tahu Arga bisa sampai begini, dan aku yakin itu pasti karena kecerobohanmu. Kamu pasti sudah memberikan sesuatu yang membuatnya sampai sakit begitu!!" omel Andini marah.Laura yang di sana dan menyaksikan pertengkaran mertua dan menantu itu. Tiba-tiba bibirnya menyeringai kerena memikirkan sesuatu yang menguntungkan untuknya. Dia seperti melihat kesempatan dan tentu saja dia akan menggunakannya dengan baik."M
"Tan, Pak Arga sudah baikan," beritahu Rania ketika Ibu mertuanya masuk ke rumah begitu saja."Saya ke sini bukan untuk itu, tapi Laura!" tegas Andini wanita paruh baya langsung melipat tangan di depan dada. Menatap tajam Laura dengan penuh intimidasinya."Laura?" bingung Rania langsung mengerutkan dahi. "Ada apa dengannya? Selama ini pekerjaannya bagus kok, Tan," jelas Rania sama sekali tak ada niatan untuk menjatuhkan Laura, sekalipun gadis itu sudah pernah bersikap lancang dan keterlaluan.Rania masih bisa memaafkan dan mentolerirnya dan dia pikir mertuanya tak perlu tahu. Siapa tahu saja kejadian dia masuk ke kamar Arga cuma kebiasaan di masa lalu saja, dan Rania tidak mau salah paham atau setidaknya dia harus punya bukti yang akurat dulu."Itu dia. Kamu sendiri mengakui bagaimana bagusnya Laura bekerja, lalu kenapa memecatnya?!" sarkas Andini dengan geram.Rania semakin mengerutkan dahinya dan semakin kebingungan. "Maksudnya, Tan?"Andini tak menjawab, dia mendengus kasar sambil
Melati menyusul Rania ke kantin, setelah jam perkuliahan Pak Argan berakhir. Memesan sesuatu dan segera menghampiri Rania di mejanya."Kamu kenapa sih, Ran?" tanya Melati langsung ke poin inti tanpa basa-basi.Rania menoleh, tersadar akan kehadirannya dan sedikit mendesah kasar. "Jika maksudmu kenapa aku bisa terlambat, maka jawabannya sudah pasti karena aku telat bangun pagi," jawab Rania seadanya."Sebenarnya itu juga sih, tapi--" Melati menjeda kalimatnya sebentar kemudian seperti memikirkan sesuatu. "Aku perhatikan sejak kejadian mabuk itu, kamu mulai berubah Ran. Suka bolos kuliah dan itu nggak tanggung-tanggung. Tiga sampai seminggu loh?!" ujar Melati sambil menghitung dengan jarinya.Rania menghela nafasnya kasar. Mengingat bagaimana alasan dirinya bisa libur dia menjadi kesal. 'Kamu saja peka itu Mel. Huhh, tapi kenapa ya orang yang malah membuatku terpaksa libur dan bahkan sudah aku rawat sampai sehat, bisa-bisanya keterlaluan mengusirku dari kelasnya secara tidak hormat. Cih
"Kamu ada kelas sampai jam berapa hari ini?" tanya Arga pagi ketika saat ini mereka sedang sarapan."Sore," jawab Rania seadanya."Hm." Arga berdehem dan mengangguk.'Cuma hm, doang. Dasar batu es!' gerutu Rania membatin.Sementara itu, seperti biasanya Laura sudah merencanakan sesuatu pagi ini. Dia sudah memasukkan sesuatu ke dalam makanan Rania dan kali ini berhasil karena Rania sudah meminumnya. Perlu diketahui reaksinya tidak akan langsung, tapi bisa sejak satu atau dua jam kemudian.Sehingga Rania tak merasakan apapun dan barulah bereaksi ketika dia sudah di kampus. Rania izin ke toilet pada dosennya dan setelah setengah jam kemudian dia tak kembali. Melati sahabatnya yang khawatir langsung izin juga untuk melihatnya."Ran, kamu kenapa?" tanya Melati begitu mereka bertemu."Aku nggak tahu, Mel. Perut aku nyeri dan aku s
"Ibu, udah. Rania pulang aja ya Bu ..." pamit Rania dengan sopan dan ibunya pun menganggukkan kepala, sambil mengusap puncak kepala anaknya."Yasudah pulanglah, Nak. Akan tetapi sebelum itu, ingatlah untuk jangan melakukan kesalahan yang sama, jangan kecewakan lagi Ibumu ini, Nak. Jadilah istri yang baik untuk suamimu, Nak Arga," ujar Ibunya Renita menasehati.Wanita paruh baya itupun mengantarkan putrinya sampai ke depan, lalu meminta sopirnya mengantar pulang anaknya.Begitu sampai di rumah, Rania meluncur ke sofa favoritnya tempat biasa dijadikan tempat tidurnya. Rania ke sana tanpa memperdulikan Laura atau bahkan menyapa asistennya rumah tangganya."Nyonya biasa aja dong. Kalau lewat nggak usah ninggalin jejak, saya kan udah capek ngepel. Walaupun saya pembantu harusnya Nyonya tahu dirilah, kita sesama manusia jangan perlakuan saya seburuk ini!" ujar Laura sedikit berteriak.
Arga tak bisa tenang sekalipun dokter sudah mendiagnosa keadaan Rania sudah stabil. Perasaan Arga masih cemas walaupun dia tahu kehamilan Rania benar adanya dan juga tidak ada yang perlu dikhawatirkan, selain beberapa hal yang perlu diperhatikan.Dia takut kalau Rania tidak bisa menerima keadaannya. Mengingat bagaimana istrinya itu menolak tidur sekamar dengannya dan karena semua kamar lainnya tidak bisa dibuka, Rania bersikeras memilih di sofa yang di ruang tengah. Kenyataan tersebut membuat Arga takut. Perempuan itu mungkin saja berbuat sesuatu hal yang buruk dan melukai calon anak mereka.Menggenggam telapak tangan Rania lalu mengusapnya halus, Arga tak ada hentinya menatap Rania yang masih tak sadarkan diri."Apa kamu sebaiknya tidak tahu Rania?" tanya Arga yang tentu saja tidak akan mendapatkan jawaban apapun."Ya, kamu sepertinya memang tidak perlu tahu, Ran. Setidaknya sampai kan
Arga kembali ke kamar Rania untuk melihat istrinya itu. Dia mengerutkan dahi ketika menemukan wajah tak bersemangat yang Rania tunjukkan."Kamu kesal sama mommy tadi, kamu tidak suka?" tanya Arga menebak dan kemudian dia malah menjawab sendiri. "Tidak usah dipikirkan. Orang tua memang begitu. Banyak aturannya, tapi percayalah mommy sebetulnya tidak jahat dan dia itu orang tua yang penyayang," jelas Arga entah mengapa lebih cerewet dari biasanya.Rania menggelengkan kepala dan mengerucutkan bibirnya, sebelum kemudian mendesah kasar."Bukan itu," jawab Rania sambil mencoba bangkit untuk duduk.Arga yang melihatnya demikian, sedikit khawatir dan mendekat untuk membantu. "Lalu apa?" tanyanya dengan perhatian."Kuliahku. Hm, aku baru lihat chat dari grup kalau tugas dari Bapak luar biasa banyak. Sedalam lautan dan sebesar gunung, tapi jangka waktu menyelesaikannya cuma s
Selama sakit, Rania selalu dicekcoki makanan sehat oleh Arga. Sekarang ketika dia sudah merasa sehat. Hal serupa masih saja terjadi dan Rania agak keberatan dengan itu."Bubur lagi?" ujar Rania dengan tak percaya. "Aku sudah makan ini selama sakit, Pak dan aku sudah bosan. Lagipula aku sudah sehat dan gigiku cukup baik untuk mengunyah makan yang lebih berat," gerutu Rania protes."Makan itu, atau lebih baik kamu di rumah saja dan tidak usah ke kampus!" tegas Arga dingin tak terbantahkan."Ch, harusnya ini bukan masalah yang berat kalau saja buburnya ini ada suwiran ayamnya dan bukan lagi potongan brokoli dan juga wortel. Bubur ayam, rasa rumput. Cih, apa enaknya, enek yang ada!" gerutu Rania terus-menerus.Arga tidak mengatakan apapun dan hal itu membuat Rania makin sebal saja."Apaan sih, Bapak. Aku dipaksa makan beginian sementara Bapak sendiri enak-enakan makan a
"Jangan melewati batas!" seru Rania dengan tegas, sambil menaruh guling di tengah tempat tidur.Sebenarnya dia bisa saja tidur di sofa, tapi setelah memasak tadi, tubuhnya jadi lumayan penat dan juga agak terasa ngilu. Akan tidak akan enak jika di sofa walaupun empuk karena di sana sempit. Sementara kalau meminta suaminya yang tidur di sana Arga pasti menolak karena pria itu pasti tidak mau."Jangan melewati batas Mas!" peringat Rania ketika melihat Arga mau melewati batas.Namun karena diperingati begitu. Arga bukannya menurut dia malah kesal dan menatap Rania tajam. "Aku tidak mau!"Brukk!!Arga dengan dingin tiba-tiba saja melemparkan bantal gulingnya secara sembarang."Kalau kamu keberatan dengan hal itu, silahkan saja, tapi aku tidak akan melakukannya. Tidak batasan diantara kita Rania dan sadarlah akan posisimu sekarang!" geram Arga yang a
Akhirnya Rania keluar dari kamar mandi, setelah sebelumnya Arga penuh perjuangan membujuknya. Awalnya dia membuka sedikit celah pintu, hanya sedikit dan bisa dilewati tangannya saja juga handuk dan pakaian yang Arga berikan.Dia bahkan kembali menutup pintunya dengan rapat, dan mengenakan pakaiannya di dalam. Setelah selesai barulah dia berani keluar."Duduk di sini!" perintah Arga sambil menepuk tempat duduk di depan meja rias yang ada di kamar itu.Rania tak langsung menjawab, tapi memanyunkan bibirnya dahulu, dan membuat Arga gemas karena dia malah mematung di tempatnya."Astaga, Rania. Aku mau membantu mengeringkan rambutmu. Kamu mau kepalamu sakit karena tidur dengan rambut yang basah?!""Tapi aku belum mau tidur," jawab Rania dengan polosnya. "Aku lapar dan ingin makan sekarang," lanjutnya dengan tanpa dosa."Iya kita akan makan, tapi sete
"Kok kita ke sini sih, Pak?" tanya Rania heran dan tanpa sadar dia melupakan panggilan barunya.Arga tentu saja memelototinya untuk mengingatkan dan Rania yang akhirnya tersadar pun meralat ucapannya. "Maksudnya Mas," cicitnya sambil meralat. "Inikan apartemen dan bukannya rumahnya Mas?" lanjut Rania bertanya.Sebenarnya sudah sejak sampai dia menanyakan itu, tapi baru setelah masuk dia berani mengutarakannya. Harusnya Rania pikir mereka langsung ke rumah, karena Arga tak memberikan aba-aba apapun termasuk pemberitahuan. Ditambah sesampainya di sana mereka gampangnya masuk ke salah satu unit setelah Arga menekan pin untuk akses masuknya."Lagian kok bisa sih, Mas tahu pin masuk ke sini? Mas kenal dekat sama pemiliknya atau sangat akrab, atau ini punya adiknya Mas Viona?"Arga tidak menjawab pertanyaannya itu, tapi malah balik bertanya, "bagaimana menurutmu apartemen ini, apakah terlalu
Pulang bersama adalah hal yang Arga katakan padanya di ruangan, setelah mereka makan bersama. Namun, mereka tak bisa langsung pergi, sebab Arga rupanya masih punya jadwal mengajar beberapa jam lagi. Alhasil, Rania pun terpaksa harus menunggu.Dia langsung keluar ruangan Arga begitu empunya pergi. Sungkan menunggu di dalam, Rania putuskan menunggu di luar."Lama bangat kamu di dalam, ngapain aja sama Pak Arga?"Tiba-tiba Selvi muncul dan menatapnya sinis. Temannya satu ini memang terlihat tidak suka padanya walaupun pas dia ulang tahun beberapa waktu lalu, tapi tetap saja mengundang Rania. Kebenciannya tidak hilang dan undangan cuma formalitas agar dirinya terlihat baik."Dari kapan kamu di sana?" tanya Rania tak mau kalah."Cih, ditanya malah balik nanya?" gerutu Selvi terlihat sebal."Pertanyaan kamu nggak berbobot. Aku di dalam mau ngapain aja
"Tuh, kan. Kamu libur lagi, tapi kali ini memang jelas sih. Kamu habis sakit bukan?" tanya Melati menebak."Ya, tapi bukankah aku sudah mengatakan itu waktu kemarin. Kamu chat aku loh, dan aku beritahu kamu lewat pesan chat itu. Jangan lupa," jawab Kania mengingatkan."Yah, tapi kamu aneh bangat. Walaupun begitu tetap aja ada yang terasa ganjil dari kamu. Apa ada yang kamu sembunyikan?" tanya Melati penasaran.Rania menundukkan kepala sambil memikirkan masalahnya, dan juga memikirkan apakah dia sudah siap memberitahu Melati sahabatnya tentang hal itu. Tak lama berselang dia segera mengangkat kepalanya dan menatap sahabatnya."Aku tidak bermaksud menyembunyikan apapun, tapi kamu benar memang sudah terjadi sesuatu denganku dan itu berhubungan dengan malam saat aku mabuk, dan pulang dari pesta ulang tahunnya Selvi," ujar Rania sambil kemudian geleng-geleng kepala. "Tapi maaf sekali Mel, ak
Selama sakit, Rania selalu dicekcoki makanan sehat oleh Arga. Sekarang ketika dia sudah merasa sehat. Hal serupa masih saja terjadi dan Rania agak keberatan dengan itu."Bubur lagi?" ujar Rania dengan tak percaya. "Aku sudah makan ini selama sakit, Pak dan aku sudah bosan. Lagipula aku sudah sehat dan gigiku cukup baik untuk mengunyah makan yang lebih berat," gerutu Rania protes."Makan itu, atau lebih baik kamu di rumah saja dan tidak usah ke kampus!" tegas Arga dingin tak terbantahkan."Ch, harusnya ini bukan masalah yang berat kalau saja buburnya ini ada suwiran ayamnya dan bukan lagi potongan brokoli dan juga wortel. Bubur ayam, rasa rumput. Cih, apa enaknya, enek yang ada!" gerutu Rania terus-menerus.Arga tidak mengatakan apapun dan hal itu membuat Rania makin sebal saja."Apaan sih, Bapak. Aku dipaksa makan beginian sementara Bapak sendiri enak-enakan makan a
Arga kembali ke kamar Rania untuk melihat istrinya itu. Dia mengerutkan dahi ketika menemukan wajah tak bersemangat yang Rania tunjukkan."Kamu kesal sama mommy tadi, kamu tidak suka?" tanya Arga menebak dan kemudian dia malah menjawab sendiri. "Tidak usah dipikirkan. Orang tua memang begitu. Banyak aturannya, tapi percayalah mommy sebetulnya tidak jahat dan dia itu orang tua yang penyayang," jelas Arga entah mengapa lebih cerewet dari biasanya.Rania menggelengkan kepala dan mengerucutkan bibirnya, sebelum kemudian mendesah kasar."Bukan itu," jawab Rania sambil mencoba bangkit untuk duduk.Arga yang melihatnya demikian, sedikit khawatir dan mendekat untuk membantu. "Lalu apa?" tanyanya dengan perhatian."Kuliahku. Hm, aku baru lihat chat dari grup kalau tugas dari Bapak luar biasa banyak. Sedalam lautan dan sebesar gunung, tapi jangka waktu menyelesaikannya cuma s
Arga tak bisa tenang sekalipun dokter sudah mendiagnosa keadaan Rania sudah stabil. Perasaan Arga masih cemas walaupun dia tahu kehamilan Rania benar adanya dan juga tidak ada yang perlu dikhawatirkan, selain beberapa hal yang perlu diperhatikan.Dia takut kalau Rania tidak bisa menerima keadaannya. Mengingat bagaimana istrinya itu menolak tidur sekamar dengannya dan karena semua kamar lainnya tidak bisa dibuka, Rania bersikeras memilih di sofa yang di ruang tengah. Kenyataan tersebut membuat Arga takut. Perempuan itu mungkin saja berbuat sesuatu hal yang buruk dan melukai calon anak mereka.Menggenggam telapak tangan Rania lalu mengusapnya halus, Arga tak ada hentinya menatap Rania yang masih tak sadarkan diri."Apa kamu sebaiknya tidak tahu Rania?" tanya Arga yang tentu saja tidak akan mendapatkan jawaban apapun."Ya, kamu sepertinya memang tidak perlu tahu, Ran. Setidaknya sampai kan
"Ibu, udah. Rania pulang aja ya Bu ..." pamit Rania dengan sopan dan ibunya pun menganggukkan kepala, sambil mengusap puncak kepala anaknya."Yasudah pulanglah, Nak. Akan tetapi sebelum itu, ingatlah untuk jangan melakukan kesalahan yang sama, jangan kecewakan lagi Ibumu ini, Nak. Jadilah istri yang baik untuk suamimu, Nak Arga," ujar Ibunya Renita menasehati.Wanita paruh baya itupun mengantarkan putrinya sampai ke depan, lalu meminta sopirnya mengantar pulang anaknya.Begitu sampai di rumah, Rania meluncur ke sofa favoritnya tempat biasa dijadikan tempat tidurnya. Rania ke sana tanpa memperdulikan Laura atau bahkan menyapa asistennya rumah tangganya."Nyonya biasa aja dong. Kalau lewat nggak usah ninggalin jejak, saya kan udah capek ngepel. Walaupun saya pembantu harusnya Nyonya tahu dirilah, kita sesama manusia jangan perlakuan saya seburuk ini!" ujar Laura sedikit berteriak.