"Kamu ada kelas sampai jam berapa hari ini?" tanya Arga pagi ketika saat ini mereka sedang sarapan."Sore," jawab Rania seadanya."Hm." Arga berdehem dan mengangguk.'Cuma hm, doang. Dasar batu es!' gerutu Rania membatin.Sementara itu, seperti biasanya Laura sudah merencanakan sesuatu pagi ini. Dia sudah memasukkan sesuatu ke dalam makanan Rania dan kali ini berhasil karena Rania sudah meminumnya. Perlu diketahui reaksinya tidak akan langsung, tapi bisa sejak satu atau dua jam kemudian.Sehingga Rania tak merasakan apapun dan barulah bereaksi ketika dia sudah di kampus. Rania izin ke toilet pada dosennya dan setelah setengah jam kemudian dia tak kembali. Melati sahabatnya yang khawatir langsung izin juga untuk melihatnya."Ran, kamu kenapa?" tanya Melati begitu mereka bertemu."Aku nggak tahu, Mel. Perut aku nyeri dan aku s
"Ibu, udah. Rania pulang aja ya Bu ..." pamit Rania dengan sopan dan ibunya pun menganggukkan kepala, sambil mengusap puncak kepala anaknya."Yasudah pulanglah, Nak. Akan tetapi sebelum itu, ingatlah untuk jangan melakukan kesalahan yang sama, jangan kecewakan lagi Ibumu ini, Nak. Jadilah istri yang baik untuk suamimu, Nak Arga," ujar Ibunya Renita menasehati.Wanita paruh baya itupun mengantarkan putrinya sampai ke depan, lalu meminta sopirnya mengantar pulang anaknya.Begitu sampai di rumah, Rania meluncur ke sofa favoritnya tempat biasa dijadikan tempat tidurnya. Rania ke sana tanpa memperdulikan Laura atau bahkan menyapa asistennya rumah tangganya."Nyonya biasa aja dong. Kalau lewat nggak usah ninggalin jejak, saya kan udah capek ngepel. Walaupun saya pembantu harusnya Nyonya tahu dirilah, kita sesama manusia jangan perlakuan saya seburuk ini!" ujar Laura sedikit berteriak.
Arga tak bisa tenang sekalipun dokter sudah mendiagnosa keadaan Rania sudah stabil. Perasaan Arga masih cemas walaupun dia tahu kehamilan Rania benar adanya dan juga tidak ada yang perlu dikhawatirkan, selain beberapa hal yang perlu diperhatikan.Dia takut kalau Rania tidak bisa menerima keadaannya. Mengingat bagaimana istrinya itu menolak tidur sekamar dengannya dan karena semua kamar lainnya tidak bisa dibuka, Rania bersikeras memilih di sofa yang di ruang tengah. Kenyataan tersebut membuat Arga takut. Perempuan itu mungkin saja berbuat sesuatu hal yang buruk dan melukai calon anak mereka.Menggenggam telapak tangan Rania lalu mengusapnya halus, Arga tak ada hentinya menatap Rania yang masih tak sadarkan diri."Apa kamu sebaiknya tidak tahu Rania?" tanya Arga yang tentu saja tidak akan mendapatkan jawaban apapun."Ya, kamu sepertinya memang tidak perlu tahu, Ran. Setidaknya sampai kan
Arga kembali ke kamar Rania untuk melihat istrinya itu. Dia mengerutkan dahi ketika menemukan wajah tak bersemangat yang Rania tunjukkan."Kamu kesal sama mommy tadi, kamu tidak suka?" tanya Arga menebak dan kemudian dia malah menjawab sendiri. "Tidak usah dipikirkan. Orang tua memang begitu. Banyak aturannya, tapi percayalah mommy sebetulnya tidak jahat dan dia itu orang tua yang penyayang," jelas Arga entah mengapa lebih cerewet dari biasanya.Rania menggelengkan kepala dan mengerucutkan bibirnya, sebelum kemudian mendesah kasar."Bukan itu," jawab Rania sambil mencoba bangkit untuk duduk.Arga yang melihatnya demikian, sedikit khawatir dan mendekat untuk membantu. "Lalu apa?" tanyanya dengan perhatian."Kuliahku. Hm, aku baru lihat chat dari grup kalau tugas dari Bapak luar biasa banyak. Sedalam lautan dan sebesar gunung, tapi jangka waktu menyelesaikannya cuma s
Selama sakit, Rania selalu dicekcoki makanan sehat oleh Arga. Sekarang ketika dia sudah merasa sehat. Hal serupa masih saja terjadi dan Rania agak keberatan dengan itu."Bubur lagi?" ujar Rania dengan tak percaya. "Aku sudah makan ini selama sakit, Pak dan aku sudah bosan. Lagipula aku sudah sehat dan gigiku cukup baik untuk mengunyah makan yang lebih berat," gerutu Rania protes."Makan itu, atau lebih baik kamu di rumah saja dan tidak usah ke kampus!" tegas Arga dingin tak terbantahkan."Ch, harusnya ini bukan masalah yang berat kalau saja buburnya ini ada suwiran ayamnya dan bukan lagi potongan brokoli dan juga wortel. Bubur ayam, rasa rumput. Cih, apa enaknya, enek yang ada!" gerutu Rania terus-menerus.Arga tidak mengatakan apapun dan hal itu membuat Rania makin sebal saja."Apaan sih, Bapak. Aku dipaksa makan beginian sementara Bapak sendiri enak-enakan makan a
"Tuh, kan. Kamu libur lagi, tapi kali ini memang jelas sih. Kamu habis sakit bukan?" tanya Melati menebak."Ya, tapi bukankah aku sudah mengatakan itu waktu kemarin. Kamu chat aku loh, dan aku beritahu kamu lewat pesan chat itu. Jangan lupa," jawab Kania mengingatkan."Yah, tapi kamu aneh bangat. Walaupun begitu tetap aja ada yang terasa ganjil dari kamu. Apa ada yang kamu sembunyikan?" tanya Melati penasaran.Rania menundukkan kepala sambil memikirkan masalahnya, dan juga memikirkan apakah dia sudah siap memberitahu Melati sahabatnya tentang hal itu. Tak lama berselang dia segera mengangkat kepalanya dan menatap sahabatnya."Aku tidak bermaksud menyembunyikan apapun, tapi kamu benar memang sudah terjadi sesuatu denganku dan itu berhubungan dengan malam saat aku mabuk, dan pulang dari pesta ulang tahunnya Selvi," ujar Rania sambil kemudian geleng-geleng kepala. "Tapi maaf sekali Mel, ak
Pulang bersama adalah hal yang Arga katakan padanya di ruangan, setelah mereka makan bersama. Namun, mereka tak bisa langsung pergi, sebab Arga rupanya masih punya jadwal mengajar beberapa jam lagi. Alhasil, Rania pun terpaksa harus menunggu.Dia langsung keluar ruangan Arga begitu empunya pergi. Sungkan menunggu di dalam, Rania putuskan menunggu di luar."Lama bangat kamu di dalam, ngapain aja sama Pak Arga?"Tiba-tiba Selvi muncul dan menatapnya sinis. Temannya satu ini memang terlihat tidak suka padanya walaupun pas dia ulang tahun beberapa waktu lalu, tapi tetap saja mengundang Rania. Kebenciannya tidak hilang dan undangan cuma formalitas agar dirinya terlihat baik."Dari kapan kamu di sana?" tanya Rania tak mau kalah."Cih, ditanya malah balik nanya?" gerutu Selvi terlihat sebal."Pertanyaan kamu nggak berbobot. Aku di dalam mau ngapain aja
"Kok kita ke sini sih, Pak?" tanya Rania heran dan tanpa sadar dia melupakan panggilan barunya.Arga tentu saja memelototinya untuk mengingatkan dan Rania yang akhirnya tersadar pun meralat ucapannya. "Maksudnya Mas," cicitnya sambil meralat. "Inikan apartemen dan bukannya rumahnya Mas?" lanjut Rania bertanya.Sebenarnya sudah sejak sampai dia menanyakan itu, tapi baru setelah masuk dia berani mengutarakannya. Harusnya Rania pikir mereka langsung ke rumah, karena Arga tak memberikan aba-aba apapun termasuk pemberitahuan. Ditambah sesampainya di sana mereka gampangnya masuk ke salah satu unit setelah Arga menekan pin untuk akses masuknya."Lagian kok bisa sih, Mas tahu pin masuk ke sini? Mas kenal dekat sama pemiliknya atau sangat akrab, atau ini punya adiknya Mas Viona?"Arga tidak menjawab pertanyaannya itu, tapi malah balik bertanya, "bagaimana menurutmu apartemen ini, apakah terlalu
"Jangan melewati batas!" seru Rania dengan tegas, sambil menaruh guling di tengah tempat tidur.Sebenarnya dia bisa saja tidur di sofa, tapi setelah memasak tadi, tubuhnya jadi lumayan penat dan juga agak terasa ngilu. Akan tidak akan enak jika di sofa walaupun empuk karena di sana sempit. Sementara kalau meminta suaminya yang tidur di sana Arga pasti menolak karena pria itu pasti tidak mau."Jangan melewati batas Mas!" peringat Rania ketika melihat Arga mau melewati batas.Namun karena diperingati begitu. Arga bukannya menurut dia malah kesal dan menatap Rania tajam. "Aku tidak mau!"Brukk!!Arga dengan dingin tiba-tiba saja melemparkan bantal gulingnya secara sembarang."Kalau kamu keberatan dengan hal itu, silahkan saja, tapi aku tidak akan melakukannya. Tidak batasan diantara kita Rania dan sadarlah akan posisimu sekarang!" geram Arga yang a
Akhirnya Rania keluar dari kamar mandi, setelah sebelumnya Arga penuh perjuangan membujuknya. Awalnya dia membuka sedikit celah pintu, hanya sedikit dan bisa dilewati tangannya saja juga handuk dan pakaian yang Arga berikan.Dia bahkan kembali menutup pintunya dengan rapat, dan mengenakan pakaiannya di dalam. Setelah selesai barulah dia berani keluar."Duduk di sini!" perintah Arga sambil menepuk tempat duduk di depan meja rias yang ada di kamar itu.Rania tak langsung menjawab, tapi memanyunkan bibirnya dahulu, dan membuat Arga gemas karena dia malah mematung di tempatnya."Astaga, Rania. Aku mau membantu mengeringkan rambutmu. Kamu mau kepalamu sakit karena tidur dengan rambut yang basah?!""Tapi aku belum mau tidur," jawab Rania dengan polosnya. "Aku lapar dan ingin makan sekarang," lanjutnya dengan tanpa dosa."Iya kita akan makan, tapi sete
"Kok kita ke sini sih, Pak?" tanya Rania heran dan tanpa sadar dia melupakan panggilan barunya.Arga tentu saja memelototinya untuk mengingatkan dan Rania yang akhirnya tersadar pun meralat ucapannya. "Maksudnya Mas," cicitnya sambil meralat. "Inikan apartemen dan bukannya rumahnya Mas?" lanjut Rania bertanya.Sebenarnya sudah sejak sampai dia menanyakan itu, tapi baru setelah masuk dia berani mengutarakannya. Harusnya Rania pikir mereka langsung ke rumah, karena Arga tak memberikan aba-aba apapun termasuk pemberitahuan. Ditambah sesampainya di sana mereka gampangnya masuk ke salah satu unit setelah Arga menekan pin untuk akses masuknya."Lagian kok bisa sih, Mas tahu pin masuk ke sini? Mas kenal dekat sama pemiliknya atau sangat akrab, atau ini punya adiknya Mas Viona?"Arga tidak menjawab pertanyaannya itu, tapi malah balik bertanya, "bagaimana menurutmu apartemen ini, apakah terlalu
Pulang bersama adalah hal yang Arga katakan padanya di ruangan, setelah mereka makan bersama. Namun, mereka tak bisa langsung pergi, sebab Arga rupanya masih punya jadwal mengajar beberapa jam lagi. Alhasil, Rania pun terpaksa harus menunggu.Dia langsung keluar ruangan Arga begitu empunya pergi. Sungkan menunggu di dalam, Rania putuskan menunggu di luar."Lama bangat kamu di dalam, ngapain aja sama Pak Arga?"Tiba-tiba Selvi muncul dan menatapnya sinis. Temannya satu ini memang terlihat tidak suka padanya walaupun pas dia ulang tahun beberapa waktu lalu, tapi tetap saja mengundang Rania. Kebenciannya tidak hilang dan undangan cuma formalitas agar dirinya terlihat baik."Dari kapan kamu di sana?" tanya Rania tak mau kalah."Cih, ditanya malah balik nanya?" gerutu Selvi terlihat sebal."Pertanyaan kamu nggak berbobot. Aku di dalam mau ngapain aja
"Tuh, kan. Kamu libur lagi, tapi kali ini memang jelas sih. Kamu habis sakit bukan?" tanya Melati menebak."Ya, tapi bukankah aku sudah mengatakan itu waktu kemarin. Kamu chat aku loh, dan aku beritahu kamu lewat pesan chat itu. Jangan lupa," jawab Kania mengingatkan."Yah, tapi kamu aneh bangat. Walaupun begitu tetap aja ada yang terasa ganjil dari kamu. Apa ada yang kamu sembunyikan?" tanya Melati penasaran.Rania menundukkan kepala sambil memikirkan masalahnya, dan juga memikirkan apakah dia sudah siap memberitahu Melati sahabatnya tentang hal itu. Tak lama berselang dia segera mengangkat kepalanya dan menatap sahabatnya."Aku tidak bermaksud menyembunyikan apapun, tapi kamu benar memang sudah terjadi sesuatu denganku dan itu berhubungan dengan malam saat aku mabuk, dan pulang dari pesta ulang tahunnya Selvi," ujar Rania sambil kemudian geleng-geleng kepala. "Tapi maaf sekali Mel, ak
Selama sakit, Rania selalu dicekcoki makanan sehat oleh Arga. Sekarang ketika dia sudah merasa sehat. Hal serupa masih saja terjadi dan Rania agak keberatan dengan itu."Bubur lagi?" ujar Rania dengan tak percaya. "Aku sudah makan ini selama sakit, Pak dan aku sudah bosan. Lagipula aku sudah sehat dan gigiku cukup baik untuk mengunyah makan yang lebih berat," gerutu Rania protes."Makan itu, atau lebih baik kamu di rumah saja dan tidak usah ke kampus!" tegas Arga dingin tak terbantahkan."Ch, harusnya ini bukan masalah yang berat kalau saja buburnya ini ada suwiran ayamnya dan bukan lagi potongan brokoli dan juga wortel. Bubur ayam, rasa rumput. Cih, apa enaknya, enek yang ada!" gerutu Rania terus-menerus.Arga tidak mengatakan apapun dan hal itu membuat Rania makin sebal saja."Apaan sih, Bapak. Aku dipaksa makan beginian sementara Bapak sendiri enak-enakan makan a
Arga kembali ke kamar Rania untuk melihat istrinya itu. Dia mengerutkan dahi ketika menemukan wajah tak bersemangat yang Rania tunjukkan."Kamu kesal sama mommy tadi, kamu tidak suka?" tanya Arga menebak dan kemudian dia malah menjawab sendiri. "Tidak usah dipikirkan. Orang tua memang begitu. Banyak aturannya, tapi percayalah mommy sebetulnya tidak jahat dan dia itu orang tua yang penyayang," jelas Arga entah mengapa lebih cerewet dari biasanya.Rania menggelengkan kepala dan mengerucutkan bibirnya, sebelum kemudian mendesah kasar."Bukan itu," jawab Rania sambil mencoba bangkit untuk duduk.Arga yang melihatnya demikian, sedikit khawatir dan mendekat untuk membantu. "Lalu apa?" tanyanya dengan perhatian."Kuliahku. Hm, aku baru lihat chat dari grup kalau tugas dari Bapak luar biasa banyak. Sedalam lautan dan sebesar gunung, tapi jangka waktu menyelesaikannya cuma s
Arga tak bisa tenang sekalipun dokter sudah mendiagnosa keadaan Rania sudah stabil. Perasaan Arga masih cemas walaupun dia tahu kehamilan Rania benar adanya dan juga tidak ada yang perlu dikhawatirkan, selain beberapa hal yang perlu diperhatikan.Dia takut kalau Rania tidak bisa menerima keadaannya. Mengingat bagaimana istrinya itu menolak tidur sekamar dengannya dan karena semua kamar lainnya tidak bisa dibuka, Rania bersikeras memilih di sofa yang di ruang tengah. Kenyataan tersebut membuat Arga takut. Perempuan itu mungkin saja berbuat sesuatu hal yang buruk dan melukai calon anak mereka.Menggenggam telapak tangan Rania lalu mengusapnya halus, Arga tak ada hentinya menatap Rania yang masih tak sadarkan diri."Apa kamu sebaiknya tidak tahu Rania?" tanya Arga yang tentu saja tidak akan mendapatkan jawaban apapun."Ya, kamu sepertinya memang tidak perlu tahu, Ran. Setidaknya sampai kan
"Ibu, udah. Rania pulang aja ya Bu ..." pamit Rania dengan sopan dan ibunya pun menganggukkan kepala, sambil mengusap puncak kepala anaknya."Yasudah pulanglah, Nak. Akan tetapi sebelum itu, ingatlah untuk jangan melakukan kesalahan yang sama, jangan kecewakan lagi Ibumu ini, Nak. Jadilah istri yang baik untuk suamimu, Nak Arga," ujar Ibunya Renita menasehati.Wanita paruh baya itupun mengantarkan putrinya sampai ke depan, lalu meminta sopirnya mengantar pulang anaknya.Begitu sampai di rumah, Rania meluncur ke sofa favoritnya tempat biasa dijadikan tempat tidurnya. Rania ke sana tanpa memperdulikan Laura atau bahkan menyapa asistennya rumah tangganya."Nyonya biasa aja dong. Kalau lewat nggak usah ninggalin jejak, saya kan udah capek ngepel. Walaupun saya pembantu harusnya Nyonya tahu dirilah, kita sesama manusia jangan perlakuan saya seburuk ini!" ujar Laura sedikit berteriak.