Pagi hari Arga memutuskan untuk tinggal berdua dengan Rania, karena mereka sudah menikah. Kedua orang tuanya membiarkannya saja, karena merasa tak ada yang salah dengan keputusan tersebut. Beda dengan Viona yang justru malah semakin tak suka dengan Rania.
"Abis ngegoda Mas Arga, sekarang kamu mau rebut dia dari keluarganya. Cih, kamu memang benar-benar perempuan yang nggak benar. Kak Salsa jauh lebih baik daripada kamu!" geram Viona saat ada kesempatan dia menghadang Rania.
"Aku tidak menggodanya dan aku juga tidak tahu kenapa semua ini bisa terjadi," jawab Rania membela diri.
"Halah, alasan terus. Mana ada nikah kilat, tapi kamu tidak melakukan sesuatu?!" lanjut Viona menyulut emosi.
"Tapi kenyataannya memang begitu. Aku tidak menggoda Pak Arga dan aku tidak melakukan apapun!" jelas Rania bersikeras, tapi memang begitulah kebenarannya.
Dia tak ingat pernah melakukan apapun, selain tiba-tiba terbangun di sebelah dosennya itu dalam keadaan dipergoki oleh kedua ibu mereka. Entahlah kenapa semua orang rasanya terus-terusan menyalahkannya demikian, padahal dia tak salah.
"Siapa yang percaya dengan jala-ng sepertimu. Tampang boleh lugu, tapi kamu memang pro dalam urusan merebut. Buktinya sekarang, tiada angin tiada hujan. Kamu tiba-tiba saja sudah menjadi istri dari yang seharusnya kakak iparmu sendiri!" balas Viona dengan sinis.
Rania terdiam, dia kehilangan kata untuk menjawab. Merasa terpojok dan juga sesak yang di tiba-tiba datang karena merasa disudutkan.
"Apa lagi yang kamu tunggu, masih mau mengobrol dengan Viona?"
Arga tiba-tiba datang dan menghampiri keduanya. Kemudian karena tak mendapatkan jawaban dari dua perempuan tersebut, laki-laki itu segera menarik istrinya.
"Ayo. Kita harus pergi. Kalau urusan mengobrol kalian bisa lanjutkan lain kali," kata Arga menyarankan, tapi sekaligus tak mau dibantah.
Viona segera mengepalkan tangan melihat kepergian keduanya. Dia benar-benar benci Rania sekarang ini. Sangat benci sampai dirinya sangat muak padanya.
"Hari ini kamu bisa selamat Rania, tapi lain waktu lihat saja. Aku pasti akan memberi perhitungan pada perempuan kegatalan seperti kamu!" geram Viona.
Sebenarnya kebencian itu bermula ketika satu tahun lalu, ketika Viona menyukai seorang laki-laki bernama Gama. Sayangnya Gama justru menyukai Rania. Perasaan tak terima terlebih setelah cintanya ditolak, membuat benci itu muncul sejak hari itu dan bertumbuh sampai sekarang ini.
Namun perasaan itu malah bertolak belakang pada Salsa. Viona suka perempuan itu walaupun dia adalah saudara kandung Rania. Selain karena sudah menjadi calon kakak ipar yang baik, Salsa terkenal dengan sikap suka membantu Viona dalam urusan apapun dan mereka hampir seperti saudara sendiri.
*****
Sebelum ke rumah pribadinya, ditengah jalan Rania memohon untuk ke rumah orang tuanya. Ingin mengambil barang dan juga hal lainnya. Arga setuju saja walaupun tak bicara dan dia bahkan langsung mengemudikan mobilnya ke arah rumah orang tua Rania.
Setelah sampai Rania langsung masuk dan menuju kamarnya, sementara Arga menunggu di ruangan depan.
Rumah memang sepi, karena hari yang masih pagi orang rumah pasti sudah pergi bekerja. Orang yang berada di rumah saat itu hanyalah beberapa pembantu saja.
Namun, lima menit kemudian terdengar suara mesin mobil yang memasuki pekarangan. Tak lama berselang Salsa muncul di balik pintu masuk.
Kedua bola mata Salsa langsung bertatapan, bertemu pandang dengan Arga. Saling menghunus dan menatap tajam.
"Ngapain ke sini, apa belum puas menyelingkuhi ku?" tanya Salsa ketus.
Bukannya marah, Arga malah tersenyum devil menatap mantan tunangannya itu. Dia terlihat tak tersinggung atau dikatai demikian. Laki-laki itu bahkan terlihat begitu tenang.
"Selingkuh?" jawab Arga malah bertanya balik, seperti tengah mempermainkan Salsa. "Berarti kita sudah satu sama dong?" lanjut Arga dengan santainya.
"Apa maksudnya, Ga?" tanya Salsa tak terima. "Kamu sudah sangat keterlaluan. Bisa-bisanya meniduri adikku sendiri dan dipergoki oleh ibuku dan ibumu?!" geram Salsa sembari mengepalkan tangan dengan erat.
Arga masih terus santai dan masih sama tenangnya. "Terus apa denganmu? Liburan dan bahkan menginap di kamar yang sama di Bali. Aku bahkan hampir saja percaya kalian ke sana untuk urusan pekerjaan, tapi nyatanya untuk perselingkuhan!"
"Ckckck. Sudahlah ... berhenti berlagak sok suci begitu. Setidaknya aku langsung menikahi adikmu setelah memilikinya, lalu bagaimana denganmu? Apakah Andre akan menikahimu atau jangan-jangan kalian saat itu cuma bisnis saja. Kamu jual diri dan si bajing-an itu membeli tubuhmu?!" balas Arga dengan sengit.
Dia sebetulnya sudah lama muak dengan Salsa, tapi karena selama ini karena cinta dia diam saja, tapi kemudian Laura pembantunya datang dengan foto-foto perselingkuhan Salsa. Arga memang sudah tahu perselingkuhannya, tapi walaupun begitu, fotonya seperti pemicu yang membalikkan perasaannya dan juga logikanya.
Lama-lama Arga terpancing dan tak tahan. Sampai pada malam itu, sebetulnya dia ingin menghajar Salsa dan menuntutnya. Pergi ke apartemen tunangannya itu, tapi naasnya malah menemukan Rania.
Tak bisa menyerah, Arga pun terbersit ide yang lebih buruk untuk memberi perhitungan pada Salsa. Dengan memiliki Rania malam itu, tapi tentu saja dengan bantuan obat yang dia suntikkan supaya gadis itu tak bangun dan memudahkan rencananya.
"Apa maksudmu, aku ke Bali dengan Andre memang hanya untuk urusan bekerja!" tegas Salsa dengan yakin.
Arga mengangguk saja. "Bekerjasama untuk melancarkan bisnis perlendi-ran," jawabnya santai, membuat Salsa marah dan tak terima.
"Cukup, Ga. Kamu yang sudah berse-"
"Pak," interupsi Rania tiba-tiba datang ke sana dan memanggil suaminya.
Spontan Salsa pun menghentikan ucapannya. Dia menatap adiknya dan bertambah marah setelahnya.
"Kamu sudah selesai, ayo pulang!"
Arga langsung menghampiri Rania lalu tanpa persetujuan Rania, dia merangkul Rania di hadapan Salsa untuk memanasi mantannya itu. Setelah puas, barulah kemudian pergi dari hadapan Salsa begitu saja.
"Sial. Kenapa Arga tahu hubunganku dengan Andre. Bedebah, siapa yang berani membocorkan ini? Apakah Rania, tapi untuk apa di selama ini terlihat biasa saja pada Arga, tidak ada gelagat untuk merebut Arga?" Salsa tiba-tiba merasa pusing.
Menghampiri sofa sambil memegang keningnya yang sakit, kemudian menghempaskan diri ke sofa dan menyandar penuh ke sana.
"Apanya yang bukan Rania, buktinya dia memang mengambil Arga dariku. Cih, ini pasti kerjaannya. Buktinya selama ini dia sudah kerap kali memonopoli ayah dan ibu dariku, kali ini pun pasti demikian!" yakinkan Salsa pada dirinya sendiri.
Selama ini dia memang sangat cemburu pada adiknya, karena merasa orang tuanya lebih menyayangi Rania ketimbang dirinya.
"Dasar perempuan munafik. Luarnya aja keliatan baik, tapi dalamnya busuk!" kesalnya muak pada adiknya sendiri.
*****
Di kediaman orang tua Arga, ada Laura yang terlihat bingung. Ketika seharian sudah berlalu, tapi tak menemukan tuannya Arga di rumah.
Laura pun inisiatif membuatkan kopi seperti biasanya, untuk mengecek keberadaan Arga di ruang kerjanya. Alasan mengantarkannya mungkin membuatnya bisa membuatnya masuk ke dalam.
Akan tetapi baru saja akan pergi, Andini tiba-tiba saja mencegatnya. "Kopinya buat siapa, Laura?"
"Buat tuan Arga, Nya ...." jawab Laura adanya.
Kening Andini langsung mengerut dan terlihat bingung. "Arga? Tapi dia sudah pindah sejak tadi pagi. Apakah dia kemari lagi?" tanya Andini heran.
Laura meneguk ludahnya kasar, kemudian mencari alasan lain untuk mengelak.
"Oh, maaf Nya. Saya nggak tahu tuan Arga sudah pindah. Saya cuma berniat melakukan apa yang sudah jadi rutinitas saya selama ini. Biasanya jam segini tuan Arga suka dibuatkan kopi," jelas Laura dengan cerdas supaya Andini tak curiga.
Ah, ya. Hal itu pun berhasil dan terbukti ketika perempuan paruh baya itu mengangguk. Tak lama setelahnya, Andini pergi, dan kemudian Laura segera meminum kopi buatannya sendiri.
"Sial. Kenapa aku malah bertambah sial begini. Sudah direbut, jala-ng itu bahkan masih berani menjauhkanku dari tuan Arga. Aku yang berjuang, tapi mengapa dia yang malah enak-enakan begini!" geram Laura tak terima.
Dia kesal sekali, tapi mau bagaimana lagi, diapun tak berdaya melakukan apapun setelahnya mengetahuinya. Selain hanya merutuk dan menggerutu kesal.
"Pokoknya aku harus melakukan sesuatu. Aku harus membawa tuan Arga ke rumah ini lagi, atau aku yang akan ke rumah barunya untuknya!" putusnya rupanya tak bisa menyerah.
*****
Malam hari kembali tiba dan itu menjadi masalah lagi bagi Rania. Pasalnya setelah sempat berdebat dengan Arga, dia kembali harus tinggal sekamar. Rania tak mau dan tentu saja menolaknya mentah-mentah."Kamu berani membantah?!" geram Arga sambil menatap tajam dan mengintimidasi dengan dinginnya.Melipat tangan di depan dada, sembari mengeluarkan aura mendominasi yang membuat Rania segera merinding dan meringis takut. Seolah tak puas dengan itu Arga mendekatinya dan memangkas jarak diantara mereka."Ak-aku tidak bermaksud be-begitu Pak," jawab Rania sambil meneguk ludahnya kasar. "Aku hanya memastikan ka-kalau kita tidak mungkin tidur bersama. Kamu laki-laki sementara, aku perempuan Pak. Kita orang asing jadi kita tak mungkin sekamar," jawab Rania hati-hati dan sedikit gugup karenanya.Arga meremas telapak tangannya sendiri, kemudian brakk ... dia mendorong dam langsung menghimpit istrinya ke tembok. "Coba saja tidur di kamar lain, kamu tidak akan bisa!" jelasnya dengan tegas dan membua
"Kamu kemana sih, dua hari ini. Mabuk kebawa bolos, Ran?" tanya Melati bingung. "Beruntung aja Pak Arga nggak masuk dua hari lalu. Jika tidak, mati kamu. Bisa ngulang di mata kuliahnya," lanjut Melati mengingatkan."Itu malah lebih bagus," ceplos Rania asal."Apa?" kaget Melati tak percaya dengan ucapan sahabatnya."Maksudnya baguskan, Pak Arga nggak masuk jadi aku aman dan tidak terancam nilai di mata kuliahnya," jawab Rania segera meralat kalimatnya.Melati segera mengangguk-anggukkan kepalanya. "Aku pikir maksud kamu bagus mengulang mata kuliah Pak Arga, karena kan lumayan artinya bisa ketemu doi lagi di semester depan," jelas Melati.Membuat Rania segera mendengus kasar. "Gila kamu! Seandainya Pak Arga dosen pencabut nyawa itu tidak membawakan mata kuliah wajib, aku tidak akan sudi mengambil kelasnya!" ujar Rania penuh penegasan."Yang benar?" tanya Melati menggoda dan mencoba bercanda. "Padahal beliau ganteng loh, kaya lagi. Seandainya dia bukan calon suami kak Salsa kakakmu, aku
Arga melipat tangan di depan dada, mengintimidasi istrinya dengan tatapan tajamnya. Rania sangat takut melihatnya yang demikian, tapi mau gimana lagi. Rania memang harus menghadapinya."Baru seminggu menikah, tapi kamu sudah menunjukkan belangmu, Rania. Rupanya bukan cuma perempuan jala-ng yang sudah menjebakku tidur di ranjangmu, tapi juga matre dan suka keluyuran tak jelas!" tuduh Arga dengan kejamnya.Rania akan membuka mulut dan bersuara untuk membela diri, tapi kemudian Arga tak membiarkannya. Pria itu kembali berbicara tanpa memberikan celah sama sekali untuk Rania."Apa saja yang sudah kamu beli, sampai menghabiskan nominal uang setara harga satu buah mobil? Gila! Aku pikir kamu itu lugu, tapi ternyata kamu lebih ahli dari kakakmu!" seru Arga melanjutkan."Pak, ak--""Cih!! Seharusnya aku tak sekaget itu. Walau bagaimanapun kalian itu kan saudara. Jelas saja tak beda jauh. Satunya peng--""Uangmu aku pakai untuk membayar tagihan gaun pengantin!" sela Rania akhirnya bisa menyela
"Kamu apakan anakku, kenapa sampai sakit dan memperihatinkan seperti ini?!" Andini menatap tajam serta mengintimidasi menantunya Rania."Rania tidak memberikan apa-apa, Tan. Tiba-tiba saja Pak Arga bolak-balik ke dalam kamar mandi dan menjadi lemas begitu, tapi Tante juga tak perlu khawatir, dokter bilang dia akan sembuh setelah minum obat dan beristirahat dengan cukup," jelas Rania memberikan pengertian.Namun tentu saja Andini wanita paruh baya itu diam dan percaya. "Kamu pikir aku bodoh, bisa kamu bodohin dengan mudahnya. Ch, bahkan jika bukan Laura yang mengabari, aku takkan tahu Arga bisa sampai begini, dan aku yakin itu pasti karena kecerobohanmu. Kamu pasti sudah memberikan sesuatu yang membuatnya sampai sakit begitu!!" omel Andini marah.Laura yang di sana dan menyaksikan pertengkaran mertua dan menantu itu. Tiba-tiba bibirnya menyeringai kerena memikirkan sesuatu yang menguntungkan untuknya. Dia seperti melihat kesempatan dan tentu saja dia akan menggunakannya dengan baik."M
"Tan, Pak Arga sudah baikan," beritahu Rania ketika Ibu mertuanya masuk ke rumah begitu saja."Saya ke sini bukan untuk itu, tapi Laura!" tegas Andini wanita paruh baya langsung melipat tangan di depan dada. Menatap tajam Laura dengan penuh intimidasinya."Laura?" bingung Rania langsung mengerutkan dahi. "Ada apa dengannya? Selama ini pekerjaannya bagus kok, Tan," jelas Rania sama sekali tak ada niatan untuk menjatuhkan Laura, sekalipun gadis itu sudah pernah bersikap lancang dan keterlaluan.Rania masih bisa memaafkan dan mentolerirnya dan dia pikir mertuanya tak perlu tahu. Siapa tahu saja kejadian dia masuk ke kamar Arga cuma kebiasaan di masa lalu saja, dan Rania tidak mau salah paham atau setidaknya dia harus punya bukti yang akurat dulu."Itu dia. Kamu sendiri mengakui bagaimana bagusnya Laura bekerja, lalu kenapa memecatnya?!" sarkas Andini dengan geram.Rania semakin mengerutkan dahinya dan semakin kebingungan. "Maksudnya, Tan?"Andini tak menjawab, dia mendengus kasar sambil
Melati menyusul Rania ke kantin, setelah jam perkuliahan Pak Argan berakhir. Memesan sesuatu dan segera menghampiri Rania di mejanya."Kamu kenapa sih, Ran?" tanya Melati langsung ke poin inti tanpa basa-basi.Rania menoleh, tersadar akan kehadirannya dan sedikit mendesah kasar. "Jika maksudmu kenapa aku bisa terlambat, maka jawabannya sudah pasti karena aku telat bangun pagi," jawab Rania seadanya."Sebenarnya itu juga sih, tapi--" Melati menjeda kalimatnya sebentar kemudian seperti memikirkan sesuatu. "Aku perhatikan sejak kejadian mabuk itu, kamu mulai berubah Ran. Suka bolos kuliah dan itu nggak tanggung-tanggung. Tiga sampai seminggu loh?!" ujar Melati sambil menghitung dengan jarinya.Rania menghela nafasnya kasar. Mengingat bagaimana alasan dirinya bisa libur dia menjadi kesal. 'Kamu saja peka itu Mel. Huhh, tapi kenapa ya orang yang malah membuatku terpaksa libur dan bahkan sudah aku rawat sampai sehat, bisa-bisanya keterlaluan mengusirku dari kelasnya secara tidak hormat. Cih
"Kamu ada kelas sampai jam berapa hari ini?" tanya Arga pagi ketika saat ini mereka sedang sarapan."Sore," jawab Rania seadanya."Hm." Arga berdehem dan mengangguk.'Cuma hm, doang. Dasar batu es!' gerutu Rania membatin.Sementara itu, seperti biasanya Laura sudah merencanakan sesuatu pagi ini. Dia sudah memasukkan sesuatu ke dalam makanan Rania dan kali ini berhasil karena Rania sudah meminumnya. Perlu diketahui reaksinya tidak akan langsung, tapi bisa sejak satu atau dua jam kemudian.Sehingga Rania tak merasakan apapun dan barulah bereaksi ketika dia sudah di kampus. Rania izin ke toilet pada dosennya dan setelah setengah jam kemudian dia tak kembali. Melati sahabatnya yang khawatir langsung izin juga untuk melihatnya."Ran, kamu kenapa?" tanya Melati begitu mereka bertemu."Aku nggak tahu, Mel. Perut aku nyeri dan aku s
"Ibu, udah. Rania pulang aja ya Bu ..." pamit Rania dengan sopan dan ibunya pun menganggukkan kepala, sambil mengusap puncak kepala anaknya."Yasudah pulanglah, Nak. Akan tetapi sebelum itu, ingatlah untuk jangan melakukan kesalahan yang sama, jangan kecewakan lagi Ibumu ini, Nak. Jadilah istri yang baik untuk suamimu, Nak Arga," ujar Ibunya Renita menasehati.Wanita paruh baya itupun mengantarkan putrinya sampai ke depan, lalu meminta sopirnya mengantar pulang anaknya.Begitu sampai di rumah, Rania meluncur ke sofa favoritnya tempat biasa dijadikan tempat tidurnya. Rania ke sana tanpa memperdulikan Laura atau bahkan menyapa asistennya rumah tangganya."Nyonya biasa aja dong. Kalau lewat nggak usah ninggalin jejak, saya kan udah capek ngepel. Walaupun saya pembantu harusnya Nyonya tahu dirilah, kita sesama manusia jangan perlakuan saya seburuk ini!" ujar Laura sedikit berteriak.
"Jangan melewati batas!" seru Rania dengan tegas, sambil menaruh guling di tengah tempat tidur.Sebenarnya dia bisa saja tidur di sofa, tapi setelah memasak tadi, tubuhnya jadi lumayan penat dan juga agak terasa ngilu. Akan tidak akan enak jika di sofa walaupun empuk karena di sana sempit. Sementara kalau meminta suaminya yang tidur di sana Arga pasti menolak karena pria itu pasti tidak mau."Jangan melewati batas Mas!" peringat Rania ketika melihat Arga mau melewati batas.Namun karena diperingati begitu. Arga bukannya menurut dia malah kesal dan menatap Rania tajam. "Aku tidak mau!"Brukk!!Arga dengan dingin tiba-tiba saja melemparkan bantal gulingnya secara sembarang."Kalau kamu keberatan dengan hal itu, silahkan saja, tapi aku tidak akan melakukannya. Tidak batasan diantara kita Rania dan sadarlah akan posisimu sekarang!" geram Arga yang a
Akhirnya Rania keluar dari kamar mandi, setelah sebelumnya Arga penuh perjuangan membujuknya. Awalnya dia membuka sedikit celah pintu, hanya sedikit dan bisa dilewati tangannya saja juga handuk dan pakaian yang Arga berikan.Dia bahkan kembali menutup pintunya dengan rapat, dan mengenakan pakaiannya di dalam. Setelah selesai barulah dia berani keluar."Duduk di sini!" perintah Arga sambil menepuk tempat duduk di depan meja rias yang ada di kamar itu.Rania tak langsung menjawab, tapi memanyunkan bibirnya dahulu, dan membuat Arga gemas karena dia malah mematung di tempatnya."Astaga, Rania. Aku mau membantu mengeringkan rambutmu. Kamu mau kepalamu sakit karena tidur dengan rambut yang basah?!""Tapi aku belum mau tidur," jawab Rania dengan polosnya. "Aku lapar dan ingin makan sekarang," lanjutnya dengan tanpa dosa."Iya kita akan makan, tapi sete
"Kok kita ke sini sih, Pak?" tanya Rania heran dan tanpa sadar dia melupakan panggilan barunya.Arga tentu saja memelototinya untuk mengingatkan dan Rania yang akhirnya tersadar pun meralat ucapannya. "Maksudnya Mas," cicitnya sambil meralat. "Inikan apartemen dan bukannya rumahnya Mas?" lanjut Rania bertanya.Sebenarnya sudah sejak sampai dia menanyakan itu, tapi baru setelah masuk dia berani mengutarakannya. Harusnya Rania pikir mereka langsung ke rumah, karena Arga tak memberikan aba-aba apapun termasuk pemberitahuan. Ditambah sesampainya di sana mereka gampangnya masuk ke salah satu unit setelah Arga menekan pin untuk akses masuknya."Lagian kok bisa sih, Mas tahu pin masuk ke sini? Mas kenal dekat sama pemiliknya atau sangat akrab, atau ini punya adiknya Mas Viona?"Arga tidak menjawab pertanyaannya itu, tapi malah balik bertanya, "bagaimana menurutmu apartemen ini, apakah terlalu
Pulang bersama adalah hal yang Arga katakan padanya di ruangan, setelah mereka makan bersama. Namun, mereka tak bisa langsung pergi, sebab Arga rupanya masih punya jadwal mengajar beberapa jam lagi. Alhasil, Rania pun terpaksa harus menunggu.Dia langsung keluar ruangan Arga begitu empunya pergi. Sungkan menunggu di dalam, Rania putuskan menunggu di luar."Lama bangat kamu di dalam, ngapain aja sama Pak Arga?"Tiba-tiba Selvi muncul dan menatapnya sinis. Temannya satu ini memang terlihat tidak suka padanya walaupun pas dia ulang tahun beberapa waktu lalu, tapi tetap saja mengundang Rania. Kebenciannya tidak hilang dan undangan cuma formalitas agar dirinya terlihat baik."Dari kapan kamu di sana?" tanya Rania tak mau kalah."Cih, ditanya malah balik nanya?" gerutu Selvi terlihat sebal."Pertanyaan kamu nggak berbobot. Aku di dalam mau ngapain aja
"Tuh, kan. Kamu libur lagi, tapi kali ini memang jelas sih. Kamu habis sakit bukan?" tanya Melati menebak."Ya, tapi bukankah aku sudah mengatakan itu waktu kemarin. Kamu chat aku loh, dan aku beritahu kamu lewat pesan chat itu. Jangan lupa," jawab Kania mengingatkan."Yah, tapi kamu aneh bangat. Walaupun begitu tetap aja ada yang terasa ganjil dari kamu. Apa ada yang kamu sembunyikan?" tanya Melati penasaran.Rania menundukkan kepala sambil memikirkan masalahnya, dan juga memikirkan apakah dia sudah siap memberitahu Melati sahabatnya tentang hal itu. Tak lama berselang dia segera mengangkat kepalanya dan menatap sahabatnya."Aku tidak bermaksud menyembunyikan apapun, tapi kamu benar memang sudah terjadi sesuatu denganku dan itu berhubungan dengan malam saat aku mabuk, dan pulang dari pesta ulang tahunnya Selvi," ujar Rania sambil kemudian geleng-geleng kepala. "Tapi maaf sekali Mel, ak
Selama sakit, Rania selalu dicekcoki makanan sehat oleh Arga. Sekarang ketika dia sudah merasa sehat. Hal serupa masih saja terjadi dan Rania agak keberatan dengan itu."Bubur lagi?" ujar Rania dengan tak percaya. "Aku sudah makan ini selama sakit, Pak dan aku sudah bosan. Lagipula aku sudah sehat dan gigiku cukup baik untuk mengunyah makan yang lebih berat," gerutu Rania protes."Makan itu, atau lebih baik kamu di rumah saja dan tidak usah ke kampus!" tegas Arga dingin tak terbantahkan."Ch, harusnya ini bukan masalah yang berat kalau saja buburnya ini ada suwiran ayamnya dan bukan lagi potongan brokoli dan juga wortel. Bubur ayam, rasa rumput. Cih, apa enaknya, enek yang ada!" gerutu Rania terus-menerus.Arga tidak mengatakan apapun dan hal itu membuat Rania makin sebal saja."Apaan sih, Bapak. Aku dipaksa makan beginian sementara Bapak sendiri enak-enakan makan a
Arga kembali ke kamar Rania untuk melihat istrinya itu. Dia mengerutkan dahi ketika menemukan wajah tak bersemangat yang Rania tunjukkan."Kamu kesal sama mommy tadi, kamu tidak suka?" tanya Arga menebak dan kemudian dia malah menjawab sendiri. "Tidak usah dipikirkan. Orang tua memang begitu. Banyak aturannya, tapi percayalah mommy sebetulnya tidak jahat dan dia itu orang tua yang penyayang," jelas Arga entah mengapa lebih cerewet dari biasanya.Rania menggelengkan kepala dan mengerucutkan bibirnya, sebelum kemudian mendesah kasar."Bukan itu," jawab Rania sambil mencoba bangkit untuk duduk.Arga yang melihatnya demikian, sedikit khawatir dan mendekat untuk membantu. "Lalu apa?" tanyanya dengan perhatian."Kuliahku. Hm, aku baru lihat chat dari grup kalau tugas dari Bapak luar biasa banyak. Sedalam lautan dan sebesar gunung, tapi jangka waktu menyelesaikannya cuma s
Arga tak bisa tenang sekalipun dokter sudah mendiagnosa keadaan Rania sudah stabil. Perasaan Arga masih cemas walaupun dia tahu kehamilan Rania benar adanya dan juga tidak ada yang perlu dikhawatirkan, selain beberapa hal yang perlu diperhatikan.Dia takut kalau Rania tidak bisa menerima keadaannya. Mengingat bagaimana istrinya itu menolak tidur sekamar dengannya dan karena semua kamar lainnya tidak bisa dibuka, Rania bersikeras memilih di sofa yang di ruang tengah. Kenyataan tersebut membuat Arga takut. Perempuan itu mungkin saja berbuat sesuatu hal yang buruk dan melukai calon anak mereka.Menggenggam telapak tangan Rania lalu mengusapnya halus, Arga tak ada hentinya menatap Rania yang masih tak sadarkan diri."Apa kamu sebaiknya tidak tahu Rania?" tanya Arga yang tentu saja tidak akan mendapatkan jawaban apapun."Ya, kamu sepertinya memang tidak perlu tahu, Ran. Setidaknya sampai kan
"Ibu, udah. Rania pulang aja ya Bu ..." pamit Rania dengan sopan dan ibunya pun menganggukkan kepala, sambil mengusap puncak kepala anaknya."Yasudah pulanglah, Nak. Akan tetapi sebelum itu, ingatlah untuk jangan melakukan kesalahan yang sama, jangan kecewakan lagi Ibumu ini, Nak. Jadilah istri yang baik untuk suamimu, Nak Arga," ujar Ibunya Renita menasehati.Wanita paruh baya itupun mengantarkan putrinya sampai ke depan, lalu meminta sopirnya mengantar pulang anaknya.Begitu sampai di rumah, Rania meluncur ke sofa favoritnya tempat biasa dijadikan tempat tidurnya. Rania ke sana tanpa memperdulikan Laura atau bahkan menyapa asistennya rumah tangganya."Nyonya biasa aja dong. Kalau lewat nggak usah ninggalin jejak, saya kan udah capek ngepel. Walaupun saya pembantu harusnya Nyonya tahu dirilah, kita sesama manusia jangan perlakuan saya seburuk ini!" ujar Laura sedikit berteriak.