Tepat saat jam kosong, Aldevan menemani Mery pergi ke perpustakaan. Bukan hanya itu, ia kini berdiri di salah satu rak buku demi mencarikan cewek itu materi olimpiade.
Rak jejeran buku matematika lebih tepatnya. Aldevan sampai menunduk guna memilih dari sekian banyaknya buku setebal kamus itu.
Sementara cewek itu-Mery, sibuk berkutat dengan buku paket yang ia yakini akan keluar materinya saat olimpiade nanti.
Aldevan menyipit, kala ia menemukan buku paket berwarna biru, yang juga tidak lain adalah paduannya ketika ikut olimpiade dulu.
Oleh karenanya, Aldevan menghampiri Mery di meja tak jauh dari ia berdiri.
"Nih, coba lo pelajari. Gue yakin materinya banyak keluar dari sini," kata Aldevan mengulurkan bukunya.
Mery terperangah, ia diam seribu bahasa. Apakah Aldevan ingin kepalanya tambah pusing?
"Kenapa? Cepetan ambil," ulang Aldevan.
Tidak berani menolak, Mery akhirnya mengambil buku itu. Dalam sekejap matanya me
Hari demi hari terlewati seperti biasanya. Matahari malu-malu menyapa langit biru, menyingsing rembulan dan menyisakan kenangan yang indah setiap malamnya. Setiap mimpi-mimpi yang ada, punya harapan tersendiri di balik ekspetasinya. Perjuangan untuk tidak tidur larut malam hingga pukul dua belas salah satu perjuangan Mery mewujudkan harapan Aldevan. Tidak terhitung lagi berapa coretan penuh angka di kertas putih itu, sambil sesekali mengerjapkan mata atau menahan kantuk yang membuatnya sesekali tertunduk. Dan kini, kejaAldevan itu terulang lagi mengingat waktu olimpiade tinggal menghitung hari. Mery rasa semua materi sudah ia pelajari, semua rumus sudah ia hapal, hanya saja ia ingin memantapkan tiap materi agar tak ada lagi canggung ketika menjawab nanti. Dengan seluruh kemampuannya, Mery akan membuktikan ia pasti bisa. "Susunya diminum dulu ya, Non." Bi Asih datang dengan segelas susu, berjalan menghampiri. "Iya Bi
"Lo gila Al nyuruh gue nemenin Mery saat olimpiade? Dia butuh lo bukan gue bego," ucap Arlan, mereka saat ini sedang berkumpul di rumah Aldevan. "Emang salah gue minta itu ke elo? Anggap aja gue kasih lo waktu berduaan sama Mery," jawab Aldevan sambil menuang air putih. Arlan menggeleng tak habis pikir, Aldevan memang keras kepala di saat seperti ini. Lemah, dan sering membohongi perasaannya sendiri. "Sekarang keadaannya beda, Al , lo penting bagi penyemangat tuh cewek. Dia butuh dukungan lebih terutama dari lo. Kalo gue gak ada artinya, lagian kenapa lo coba hindari dia padahal perasaan lo sendiri butuh banget dia. Kenapa lo bisa seenaknya titipin Mery ke gue gitu aja?" cerca Arlan. Aldevan memutar badan 180° menghadap Arlan, usai meminum air putihnya ia mendekati cowok itu. Ada selama beberapa menit ia terdiam, sampai tangannya menyentuh pundak Arlan seraya tersenyum. "Karena gue yakin lo gak bakal nusuk gue dari belakang, Lan," jawab
Aldevan khawatir, bahkan berkali-kali ia menelpon Hana tapi sama sekali tidak ada jawaban. Kecepatan mobilnya pun kini di atas rata-rata, tak terhitung berapa kali klakson ia bunyikan demi mengusir siapapun yang menghalanginya. Jangan tanya berapa orang pula yang melontarkan sumpah serapah karena aksi Aldevan yang bisa dikatakan ugal-ugalan. Ponsel dalam genggamannya sedari tadi saja terus menghubungkan panggilan dengan nama Hana. Ia tidak perlu berpikir banyak untuk meninggalkan Mery yang tengah berjuang memperebutkan juara di luar sana. Yang terpenting sekarang adalah Hana, Hana, dan Hana. Kalau bisa Aldevan akan mendonorkan jantungnya agar cewek itu kembali hidup sempurna. Namun apa daya? Jika Tuhan lebih dulu memanggilnya sebelum Aldevan benar-benar menebus kesalahannya. Deru napas Aldevan memburu, ponsel yang tadinya dalam genggaman kini terlempar begitu saja. "Kenapa lo gak jawab sih, Na?! Gue mohon angkat sekali aja."
"Pacar gue mana sih? Kenapa pergi gitu aja padahal kan baru datang, dia ngomong apa ke elo Lan?" tanya Mery pada Arlan. "Gue gak tau, Ry, boro-boro ngomong dia aja tadi buru-buru. Lagian dia kan udah bilang ke elo gak bakalan datang," jawab Arlan lalu menyeruput kuah baksonya. Sekarang mereka berada di kantin SMA Nishida, sengaja Arlan mengajak cewek itu ke sini sekedar melepas penat atau mengisi tenaga. Karena berjuang sendiri itu sakit apalagi dia yang kamu tunggu-tunggu tidak ada. "Kalau pacar gue niat gitu kenapa dia datang, Lan? Seharusnya dia nggak kasih gue harapan gini," tukas Mery pahit. "Mungkin aja niatnya bukan itu terus ada urusan mendadak, dia pasti juga pengen nemenin lo. Positif thinking aja, Ry." Kali ini Kevin yang bersuara sambil mengaduk orange juice di depannya. "Sempet tadi dia motret lo, gue yakin dah Aldevan kangen tapi masih gengsi. Lagian lo olimpiadenya udah selesai. Kita tunggu hasilnya dua puluh menit lagi. Kok gue yang ja
HATCHI!! Mery bersin dalam perjalanannya menuju kantin bersama Aldevan, cewek itu tampak sakit dengan hidung yang memerah dan wajah sedikit pucat. Berulang kali pula Aldevan melihat Mery menggosok hidungnya. "Dibilangin enggak usah hadir malah ngeyel, absen sehari aja apa susah sih, Ry?" Aldevan mengusap punggung Mery, padahal sudah berulang kali dia meminta cewek itu absen hari ini. Namun tetap saja, reaksinya keras kepala. "Aku harus jadi anak teladan tau, sakit gini mah kecil pacar. Sekalian ketemu kamu juga, entar kangen." Mery cengar-cengir. Aldevan terkekeh di tempat. "Selain di sekolah kita juga bisa ketemu di tempat lain, aku bisa jenguk kamu ke rumah atau temenin kamu seharian." Mery tersenyum menatap Aldevan, sorot matanya penuh kebahagiaan. Rasanya senang sekali usai melewati masalah-masalah dalam hubungan mereka. "Ketemu di sekolah sama di rumah, 'kan beda. Kalau di sekolah aku masih bisa jalan ke sana kemari, kalau
Ruangan bernuansa putih menyambut kedatangan Mery, dengan kekhawatiran tinggi dia tetap memijakkan kaki di ruangan itu. Pada langkah pertama ia hanya menemukan keheningan ketika masuk ruangan, namun ketika masuk lebih dalam, dia dikejutkan dengan dua orang yang sedang duduk berjarak sekitar setengah meter di hadapan bu Martha. Dua orang itu adalah Riko-–papanya dengan setelan kantor dan Marina-–bundanya. "Duduk." Bu Martha mempersilahkan Mery duduk, belum juga cewek itu menarik kursi Marina lebih dulu memeluknya. "Bunda kangen sayang, bunda kangen sama kamu, maafin bunda… " Mery yang baru saja dipeluk tidak bisa berbuat apa-apa, pelukan bundanya begitu erat. Wajar, karena setelah enam tahun mereka akhirnya bertemu. "Bunda… " Rasanya hangat, Mery enggan melepaskan pelukannya meski ada rasa sakit menjalari dadanya. Mery masih teringat betapa tega Marina meninggalkannya pada umur 10 tahun karena perceraiannya dengan Riko. "Maafin
Nickey meringis ketika kain kasa yang sudah bercampur obat merah menyentuh bagian bibirnya yang sobek. Perlahan luka itu bersih dari darah. Dan hanya menyisakan lebam biru serta bagian kulit yang tergores. "Apa kata gue?" gumam seseorang di sebelahnya. Nickey hanya melirik sinis orang itu, kemudian kembali membersihkan lukanya sendiri. Mungkin ini pilihan yang salah dengan membiarkan berandalan itu memukul dirinya. Tapi Nickey tidak punya pilihan lain, selain merasakan setiap pukulan menyakitkan itu mendarat di rahang dan perutnya. Seperti sudah biasa, tapi ini untuk ketiga kalinya semenjak dirinya menjadi mah
Salah satu hal yang Nayra paling benci ialah rasa penasarannya yang belum terjawab. Termasuk rasa penasarannya pada cowok berkacamata tadi. Namun lagi-lagi ia harus kehilangan moment untuk berbicara pada cowok itu.Daripada berlama-lama menunggu, Nayra memilih kembali menyantap buburnya. Namun dengan raut wajah cemberut yang membuat Friska mengernyit."Habis dari toilet kan lo, bukan dari kuburan?" tanya Friska mengada.Nayra menggeleng. "Dari toilet lah.""Ya tapi mukanya biasa aja. Atau lo habis ngeliat gebetan pacaran sama orang lain di toilet?" Friska memicing curiga, sedangkan Nayra hanya terkekeh menanggapinya.Yang benar saja, Nayra juga sama sekali tidak memiliki seseorang di hatinya."Kamu mah, sembarangan ngomongnya. Yang namanya gebetan atau... apalah itu, aku nggak punya," ujar Nayra tersenyum tulus, seolah meyakinkan Friska.Friska mengibaskan tangannya di udara."Ah, terserah lo. Tapi gue yakin, suatu saat nan
ingga saat ini, Nayra tidak bisa meyakinkan hatinya untuk menceritakan kejadian beberapa jam lalu pada Rifdan, meski tak ada luka yang membekas, tetap saja bayangan tragedi tadi melintasi pikirannya. Nayra perlu waktu untuk melupakan semua itu.Nayra berjalan dengan tangan sedikit gemetar, setelah Nickey memberhentikannya tepat di depan pagar, ia meraih handle pintu yang tidak terkunci."Aku pulang."Tidak ada sahutan, kecuali suara detak jam yang menunjukkan pukul 10.15 malam. Lampu ruang tamu juga masih menyala dan sisa bungkus makanan berserakan dimana-mana. Kebiasaan Rifdan seperti ini sungguh membuat Nayra lelah, namun ia tak dapat menyangkal jika ayahnya berubah depresi ringan sepeninggal ibunya.Perubahan perilaku dan emosi ayahnya juga sering dirasakan Nayra.Seperti sekarang perilaku ayahnya yang terkesan kekanakan. Meracau tidak jelas saat tidur dan sesekali menangis di sela tidurnya, sangat menyayat hati Nayra.Andai ibunya
Ketika hati dibutakan oleh cinta, semuanya terasa kelu untuk diucapkan, ketika mereka baru saja bersama dalam waktu sesingkat ini. Apakah Tuhan juga akan memisahkan kurun waktu sesingkat itu juga?Mereka mendekap, saling tenggelam dalam heningnya kejadian beberapa menit lalu sampai akhirnya mereka menyadari suara langkah kaki menggema menuju ruangan yang mereka pijaki.Nayra berusaha menjauhkan tubuhnya dari Nickey saat cowok itu semakin mengeratkan pelukannya. Tangan yang melingkari bahunya terasa menegang menyesakkan dada Nayra.Nayra mendongak sambil mendorong dada bidang Nickey menjauhi dirinya."Aku pengen tau apa maksudnya, mereka bilang kamu cuma bersandiwara, Nickey." Nayra melirih meski hatinya terasa sesak, ia juga perlu penjelasan. Menjelaskan semua pertanyaan di otaknya.Nickey tercekat, lidahnya kelu berucap. Kepala yang menunduk meyakinkan Nayra mengulang lagi pertanyaannya. Namun dengan nada begitu memohon."Tolong jelasin sem
"Iya gue. Danu, penyelamat lo waktu itu."Kalimat itu terdengar untuk kedua kalinya. Nayra mengerjapkan matanya berkali-kali memastikan sosok di hadapannya.Dia yang dianggap baik hanya ilusi belaka. Meski Nayra jarang bertemu lelaki itu. Ia masih tak percaya faktanya. Memang benar, sesuatu yang baik di luar belum tentu baik di dalam. Hanya sandiwara semata.Nayra menghela dalam dan menghembuskan nafasnya perlahan. Tangan dan kakinya masih diikat sehingga ia tak bisa bergerak. Bagaimanapun nanti ia harus bisa keluar dari sini."Lepaskan aku! Emang kamu mau apa?" Nayra menggeram. "Bukannya kamu teman Friska. Kenapa kamu ngelakuin ini?"Danu mendekatkan wajahnya setelah tersenyum sinis, sedikit berjongkok dan menatap lekat-lekat kedua bola mata Nayra. Dengan tangan mencekal dagu Nayra dan mendongakkannya, Danu mencoba menakuti gadis itu."Teman? i not believe friends. Itu cuma omong kosong."Danu menghempas kasar dagu Nayra,
Cowok dengan wajah khawatir berulang kali menekan nomor yang sama. Berkali-kali pula ia memanggil nama itu. Berharap yang dipanggil akan mendengar. Dari kampus yang sepi ini ia tidak melihat siapapun.Pula, berulang kali Nickey memanggilnya. "NAYRA!!"Teriakan itu kembali terdengar di suatu lorong yang sempit. Di belakang kampus. Ia mengenyahkan ketakutannya menelusuri tiap sudut universitas itu. Berkali-kali ia mengerjapkan mata memastikan ada tidaknya keberadaan seseorang di sana.Namun harapan itu pupus ketika ia hanya melihat untaian daun kering bergelantungan diatasnya. Sekali lagi ia mencoba mencari. Tetes demi tetes keringat mengalir di pelipisnya.Nickey yakin gadis itu ada di sini saat suara hentakan dari lantai atas menusuk telinganya.Gedebug gedebugSuara boriton itu membuat Nickey menautkan kedua alisnya. Ia berlari kearah tangga sumber suara.Namun hasilnya tetap sama, ia tak menemukan apapun kecuali satpam y
"Kamu mau pesen yang mana?" Nickey menyodorkan daftar menu pada Nayra.Tidak ada alasan khusus, hanya saja ia ingin menghabiskan setidaknya sedikit waktu saja bersama Nayra. Dan kini mereka berada di salah satu kafe es krim, tidak jauh dari pertigaan jalan menuju rumah Nayra.Nayra mengerjap sekali, menatap daftar menu yang sangat asing di matanya. Yang ia tahu, rasa es krim itu hanya ada dua, coklat dan stoberi. Kolot memang."Atau mau gue pilihin?"Oleh Nickey tangan Friska ditepis, sesaat ingin menjangkau daftar menunya. "Sibuk, biar Nayra yang milih," titah Nickey.Friska mengerucutkan bibir."Apasih lo, gue sahabatnya, yajelas gue paling tau."Nickey hanya memutar bola mata, sedangkan Nayra berdecak berkali-kali."Kalian nggak bisa nggak ribut kalau sehari aja. Itu nggak baik lo kata ayah, harus akur."Senyum Nayra membuat Friska terpaksa menutup mulut rapat-rapat, sementara Nickey tertawa kecil, lalu menatap Na
Bisa dicap hari ini, hari paling berkesan bagi Nayra. Ia baru saja mendapatkan hasil kerja kerasnya, lebih tepatnya hasil dari penjualan kue yang ia buat. Ternyata benar apa kata orang, hasil tidak akan mengkhianati perjuangan. Apalagi perjuangan itu diiringi dengan niat, maka hasilnya pasti lebih sempurna.Perjuangan Nayra yang rela begadang demi membuat kue hingga larut malam. Sebab itu sekarang ia mulai menguap, rasa kantuk dan matanya terasa sangat berat untuk membuka, menemani perjalanan pulangnya dari kampus. Ia sudah lama menahan hal ini terutama saat pelajaran bu Antik, harus sepenuhnya sadar agar tidak dikenai hukuman beliau.Seperti biasa, Friska juga menemaninya sekarang. Cewek itu memainkan ponsel, meski sesekali tertinggal karena harus mengimbangi langkah Nayra yang lumayan cepat."Jalannya cepetin dikit dong Nay, kaki gue jadi pegel kalo lambat gini," keluh Friska yang berada di depan.Nayra menoleh sambil tersenyum, berusaha menyadarkan dir
Mungkin baru kali ini, Nickey terpaku pada seorang gadis yang tengah memungut sampah di sekitar area kelas. Pemandangan itu membuat Nickey yang baru saja melangkah di ambang pintu kelas mengerutkan keningnya beberapa saat.Tidak seperti biasanya, walaupun Nickey mengetahui hari ini jadwal Nayra piket kelas, setidaknya pekerjaan semacam itu tidak cocok dilakukan perempuan.Biasanya ia mendapati Wira atau Erik yang melakukan itu.Nickey menghampiri. "Ngapain ngelakuin itu sih, Nay? Udah tinggalin. Itu tugas Erik sama Wira."Sepertinya Nickey kesal, ia langsung merebut sampah plastik itu dari tangan Nayra kemudian membuangnya sembarang. Nayra pun menatap Nickey heran. Apa salahnya jika ia melakukan hal itu?"Nickey." Nayra beranjak untuk mengambil sampah itu, tapi tangan Nickey menahannya."Aku bilang nggak usah.""Tapi aku nggak masalah. Sekali-kali dong gantian, mereka juga bosan ngelakuin itu terus."Nickey berdecak, ia t
Sejak dua puluh menit yang lalu, tepatnya setelah Nayra menghabiskan makannya, tangan Rifdan terus berada dalam genggamannya. Nayra berharap Rifdan segera sadar, walau tadi dokter sempat mengatakan Rifdan tengah tidur. Kemungkinan akan bangun sekitar satu jam lagi. Itupun hanya perkiraan, selebihnya Tuhan yang menentukan.Bersama Nickey yang berada di sampingnya, duduk menopang dagu. Sesekali mengusap bahu Nayra."Sabar, ayah pasti sadar," ucap Nickey menenangkan. Tetapi jauh di relung hatinya, Nickey mengkhawatirkan sesuatu yang membuatnya ingin lekas pergi dari tempat ini.Nayra mengangguk halus, tangannya tetap setiap mengusap punggung tangan Rifdan sesekali menciumnya. Rifdan selalu mengatakan kalau sentuhan adalah cara paling ampuh untuk berinteraksi dengan seseorang, meski orang itu sedang tidak sadar.Dan benar saja, beberapa menit kemudian jari Rifdan melakukan pergerakan kecil, yang mungkin tidak disadari mereka yang berada lumayan jauh dar
"Permisi."Suara milik dokter itu lantas membangunkan dua orang yang tengah terlelap. Nickey menegakkan punggung, bangun dari sandaran kursinya meski belum sepenuhnya sadar. Sedangkan mata Nayra perlahan membuka, mengucek-nguceknya sebentar kemudian menatap dokter."Maaf mengganggu," ujar dokter itu. Tampak tidak nyaman karena mengganggu tidur mereka.Nayra ikut berdiri. "Nggak papa dok. Terus keadaan ayah gimana?""Ayah kamu baik-baik saja. Tapi jangan sampai telat memeriksa kesehatannya. Maaf lambat memberitahu, saya tidak tega membangunkan kalian tadi.""Nggak masalah dok," jawab Nickey yang sudah berdiri di samping dokter itu. "Terus kapan ayah Nayra bisa pulang?""Sekitar beberapa hari lagi, kami ingin memantau kesehatannya dulu. Dan Nayra, apa ayah kamu selalu teratur minum obat?"Nayra menggeleng. "Ayah sering lupa, obatnya sekarang juga lagi habis."Dokter itu hanya ber-oh sesaat. "Kalo gitu obatnya dokter s