"Pacar gue mana sih? Kenapa pergi gitu aja padahal kan baru datang, dia ngomong apa ke elo Lan?" tanya Mery pada Arlan.
"Gue gak tau, Ry, boro-boro ngomong dia aja tadi buru-buru. Lagian dia kan udah bilang ke elo gak bakalan datang," jawab Arlan lalu menyeruput kuah baksonya. Sekarang mereka berada di kantin SMA Nishida, sengaja Arlan mengajak cewek itu ke sini sekedar melepas penat atau mengisi tenaga.
Karena berjuang sendiri itu sakit apalagi dia yang kamu tunggu-tunggu tidak ada.
"Kalau pacar gue niat gitu kenapa dia datang, Lan? Seharusnya dia nggak kasih gue harapan gini," tukas Mery pahit.
"Mungkin aja niatnya bukan itu terus ada urusan mendadak, dia pasti juga pengen nemenin lo. Positif thinking aja, Ry." Kali ini Kevin yang bersuara sambil mengaduk orange juice di depannya. "Sempet tadi dia motret lo, gue yakin dah Aldevan kangen tapi masih gengsi. Lagian lo olimpiadenya udah selesai. Kita tunggu hasilnya dua puluh menit lagi. Kok gue yang ja
HATCHI!! Mery bersin dalam perjalanannya menuju kantin bersama Aldevan, cewek itu tampak sakit dengan hidung yang memerah dan wajah sedikit pucat. Berulang kali pula Aldevan melihat Mery menggosok hidungnya. "Dibilangin enggak usah hadir malah ngeyel, absen sehari aja apa susah sih, Ry?" Aldevan mengusap punggung Mery, padahal sudah berulang kali dia meminta cewek itu absen hari ini. Namun tetap saja, reaksinya keras kepala. "Aku harus jadi anak teladan tau, sakit gini mah kecil pacar. Sekalian ketemu kamu juga, entar kangen." Mery cengar-cengir. Aldevan terkekeh di tempat. "Selain di sekolah kita juga bisa ketemu di tempat lain, aku bisa jenguk kamu ke rumah atau temenin kamu seharian." Mery tersenyum menatap Aldevan, sorot matanya penuh kebahagiaan. Rasanya senang sekali usai melewati masalah-masalah dalam hubungan mereka. "Ketemu di sekolah sama di rumah, 'kan beda. Kalau di sekolah aku masih bisa jalan ke sana kemari, kalau
Ruangan bernuansa putih menyambut kedatangan Mery, dengan kekhawatiran tinggi dia tetap memijakkan kaki di ruangan itu. Pada langkah pertama ia hanya menemukan keheningan ketika masuk ruangan, namun ketika masuk lebih dalam, dia dikejutkan dengan dua orang yang sedang duduk berjarak sekitar setengah meter di hadapan bu Martha. Dua orang itu adalah Riko-–papanya dengan setelan kantor dan Marina-–bundanya. "Duduk." Bu Martha mempersilahkan Mery duduk, belum juga cewek itu menarik kursi Marina lebih dulu memeluknya. "Bunda kangen sayang, bunda kangen sama kamu, maafin bunda… " Mery yang baru saja dipeluk tidak bisa berbuat apa-apa, pelukan bundanya begitu erat. Wajar, karena setelah enam tahun mereka akhirnya bertemu. "Bunda… " Rasanya hangat, Mery enggan melepaskan pelukannya meski ada rasa sakit menjalari dadanya. Mery masih teringat betapa tega Marina meninggalkannya pada umur 10 tahun karena perceraiannya dengan Riko. "Maafin
Nickey meringis ketika kain kasa yang sudah bercampur obat merah menyentuh bagian bibirnya yang sobek. Perlahan luka itu bersih dari darah. Dan hanya menyisakan lebam biru serta bagian kulit yang tergores. "Apa kata gue?" gumam seseorang di sebelahnya. Nickey hanya melirik sinis orang itu, kemudian kembali membersihkan lukanya sendiri. Mungkin ini pilihan yang salah dengan membiarkan berandalan itu memukul dirinya. Tapi Nickey tidak punya pilihan lain, selain merasakan setiap pukulan menyakitkan itu mendarat di rahang dan perutnya. Seperti sudah biasa, tapi ini untuk ketiga kalinya semenjak dirinya menjadi mah
Salah satu hal yang Nayra paling benci ialah rasa penasarannya yang belum terjawab. Termasuk rasa penasarannya pada cowok berkacamata tadi. Namun lagi-lagi ia harus kehilangan moment untuk berbicara pada cowok itu.Daripada berlama-lama menunggu, Nayra memilih kembali menyantap buburnya. Namun dengan raut wajah cemberut yang membuat Friska mengernyit."Habis dari toilet kan lo, bukan dari kuburan?" tanya Friska mengada.Nayra menggeleng. "Dari toilet lah.""Ya tapi mukanya biasa aja. Atau lo habis ngeliat gebetan pacaran sama orang lain di toilet?" Friska memicing curiga, sedangkan Nayra hanya terkekeh menanggapinya.Yang benar saja, Nayra juga sama sekali tidak memiliki seseorang di hatinya."Kamu mah, sembarangan ngomongnya. Yang namanya gebetan atau... apalah itu, aku nggak punya," ujar Nayra tersenyum tulus, seolah meyakinkan Friska.Friska mengibaskan tangannya di udara."Ah, terserah lo. Tapi gue yakin, suatu saat nan
Memilih berjalan kaki saat pulang dari kampus, rupanya tidak membuat Nayra merasa malu atau dipandang rendah. Memang awalnya ia sedikit malu dan lelah, tetapi seiring berjalannya waktu ia berusaha mengerti, karena faktor ekonomi dan penyakit yang di derita ayahnya hingga harus berhenti bekerja.Satu-satunya orang yang selalu menemani perjalanannya ialah Friska. Gadis berambut pendek seleher itu tidak pernah absen menemaninya. Entah itu dalam keadaan hujan atau panas terik yang menyengat kulit.Rumah mereka juga sejalur, bahkan satu komplek tetapi rumah Friska terletak di ujung. Langkah yang lumayan cepat memungkinkan mereka tidak menyita lama sampai di pertigaan jalan.Nayra mendongak, menatap langit yang mulai ditutupi awan mendung. "Kayaknya mau hujan."Friska ikut mendongak. "Ah, gue lupa bawa payung. Lo ada?" Kali ini menatap Nayra."Nggak ada, payungnya aku biarin dirumah. Biar ayah--""Iya-iya tau. Biar ayah bisa pakai," po
Perlu kalian tau, jika Nayra termasuk gadis yang memiliki tingkat penasaran tinggi. Apalagi saat ia menemukan sesuatu yang memiliki hubungan di masa lalu. Sebuah gelang yang ia temukan tadi buktinya, Nayra memungut gelang itu sebelum pergi, karena ia tahu milik siapa.Entah dorongan darimana ia merasa ada hal yang aneh, terutama ketika memasuki rumah kosong tadi. Oke, sekarang ia tidak ingin terlalu memusingkan hal itu. Ia hanya ingin fokus pada gelang yang di temukannya tadi.Setelah membersihkan diri Nayra menatap sebentar dirinya di cermin, menyisir rambut dan memoleskan sedikit bedak bayi. Wajahnya yang putih membuatnya tidak perlu waktu lama untuk duduk di depan cermin.Alih-alih memikirkan, akhirnya Nayra memilih mengambil gelang itu di laci nakas, lalu duduk bersila di atas kasurnya."Bukannya ini punya kamu ya? Tapi kenapa ada di rumah tadi? Emang kamu pernah ke sana?" gum
Nickey yakin jika keputusannya saat ini tepat, mengubah sedikit penampilan untuk seseorang yang selama ini ia tunggu. Mulai dari mengubah gaya rambutnya, gaya pakaiannya dan satu paling penting, meninggalkan sepasang kacamata bulat yang selama beberapa hari lalu sangat menganggu penglihatannya.Mungkin selama ini semua orang menilai Nickey dengan persepsinya yang cupu. Faktanya, sifat Nickey justru berbanding terbalik. Semuanya palsu, bahkan kacamatanya sama sekali tidak memiliki tingkat minus apapun.Berbeda ketika di kampusnya dulu, Nickey bebas melakukan apa pun, semau-maunya, tanpa ada halangan. Karena dulu Nickey dikenal dengan cowok yang notebenenya berandalan dan suka membolos.Nickey menatap dirinya di cermin, menyisir rambutnya ke samping, kemudian meraih kaos lengan pendek yang sudah ia siapkan di atas kasur. Kaos itu berwarna senada, dan terlihat kontras dengan jeans biru malam yang ia kenakan. Juga, kaos itu cukup memperlihatkan lengan kekar Ni
Andai Nickey mengetahui lebih dulu kejadian tadi, ia tidak akan membiarkan Danu menolong gadis itu. Alhasil, Nickey hanya bisa memandang Nayra dari kejauhan. Tampak dari arah yang berlawanan gadis itu berjalan mendekat, sambil membawa tumpukan buku bersama bu Mawar di sebelahnya. Harusnya, Nickey lebih mengamati gadis itu lagi. Dan kini Nickey berdiri di rooptof lantai atas kampus, secara diam-diam kamera ponselnya mengarah pada dua orang yang sedang berjalan di koridor lantai bawah. "Kamu cantik, Nayra." Nickey mengucapkan itu bersamaan setelah ponselnya berhasil memotret si gadis. Memang itulah kenyataannya, Nayra terlihat sangat cantik apalagi saat ia tersenyum. Nickey mengamati lagi hasil fotonya, tapi adanya bu Mawar di foto itu membuat Nickey berdecak sekali. Ah, sayangnya Nayra sudah menjauh dari pandangannya ketika Nickey ingin memotretnya ulang gadis itu. Tidak masalah, Nickey masih memiliki banyak waktu untuk membawa Nayra meng