HATCHI!!
Mery bersin dalam perjalanannya menuju kantin bersama Aldevan, cewek itu tampak sakit dengan hidung yang memerah dan wajah sedikit pucat. Berulang kali pula Aldevan melihat Mery menggosok hidungnya.
"Dibilangin enggak usah hadir malah ngeyel, absen sehari aja apa susah sih, Ry?"
Aldevan mengusap punggung Mery, padahal sudah berulang kali dia meminta cewek itu absen hari ini. Namun tetap saja, reaksinya keras kepala.
"Aku harus jadi anak teladan tau, sakit gini mah kecil pacar. Sekalian ketemu kamu juga, entar kangen." Mery cengar-cengir.
Aldevan terkekeh di tempat. "Selain di sekolah kita juga bisa ketemu di tempat lain, aku bisa jenguk kamu ke rumah atau temenin kamu seharian."
Mery tersenyum menatap Aldevan, sorot matanya penuh kebahagiaan. Rasanya senang sekali usai melewati masalah-masalah dalam hubungan mereka.
"Ketemu di sekolah sama di rumah, 'kan beda. Kalau di sekolah aku masih bisa jalan ke sana kemari, kalau
Ruangan bernuansa putih menyambut kedatangan Mery, dengan kekhawatiran tinggi dia tetap memijakkan kaki di ruangan itu. Pada langkah pertama ia hanya menemukan keheningan ketika masuk ruangan, namun ketika masuk lebih dalam, dia dikejutkan dengan dua orang yang sedang duduk berjarak sekitar setengah meter di hadapan bu Martha. Dua orang itu adalah Riko-–papanya dengan setelan kantor dan Marina-–bundanya. "Duduk." Bu Martha mempersilahkan Mery duduk, belum juga cewek itu menarik kursi Marina lebih dulu memeluknya. "Bunda kangen sayang, bunda kangen sama kamu, maafin bunda… " Mery yang baru saja dipeluk tidak bisa berbuat apa-apa, pelukan bundanya begitu erat. Wajar, karena setelah enam tahun mereka akhirnya bertemu. "Bunda… " Rasanya hangat, Mery enggan melepaskan pelukannya meski ada rasa sakit menjalari dadanya. Mery masih teringat betapa tega Marina meninggalkannya pada umur 10 tahun karena perceraiannya dengan Riko. "Maafin
Nickey meringis ketika kain kasa yang sudah bercampur obat merah menyentuh bagian bibirnya yang sobek. Perlahan luka itu bersih dari darah. Dan hanya menyisakan lebam biru serta bagian kulit yang tergores. "Apa kata gue?" gumam seseorang di sebelahnya. Nickey hanya melirik sinis orang itu, kemudian kembali membersihkan lukanya sendiri. Mungkin ini pilihan yang salah dengan membiarkan berandalan itu memukul dirinya. Tapi Nickey tidak punya pilihan lain, selain merasakan setiap pukulan menyakitkan itu mendarat di rahang dan perutnya. Seperti sudah biasa, tapi ini untuk ketiga kalinya semenjak dirinya menjadi mah
Salah satu hal yang Nayra paling benci ialah rasa penasarannya yang belum terjawab. Termasuk rasa penasarannya pada cowok berkacamata tadi. Namun lagi-lagi ia harus kehilangan moment untuk berbicara pada cowok itu.Daripada berlama-lama menunggu, Nayra memilih kembali menyantap buburnya. Namun dengan raut wajah cemberut yang membuat Friska mengernyit."Habis dari toilet kan lo, bukan dari kuburan?" tanya Friska mengada.Nayra menggeleng. "Dari toilet lah.""Ya tapi mukanya biasa aja. Atau lo habis ngeliat gebetan pacaran sama orang lain di toilet?" Friska memicing curiga, sedangkan Nayra hanya terkekeh menanggapinya.Yang benar saja, Nayra juga sama sekali tidak memiliki seseorang di hatinya."Kamu mah, sembarangan ngomongnya. Yang namanya gebetan atau... apalah itu, aku nggak punya," ujar Nayra tersenyum tulus, seolah meyakinkan Friska.Friska mengibaskan tangannya di udara."Ah, terserah lo. Tapi gue yakin, suatu saat nan
Memilih berjalan kaki saat pulang dari kampus, rupanya tidak membuat Nayra merasa malu atau dipandang rendah. Memang awalnya ia sedikit malu dan lelah, tetapi seiring berjalannya waktu ia berusaha mengerti, karena faktor ekonomi dan penyakit yang di derita ayahnya hingga harus berhenti bekerja.Satu-satunya orang yang selalu menemani perjalanannya ialah Friska. Gadis berambut pendek seleher itu tidak pernah absen menemaninya. Entah itu dalam keadaan hujan atau panas terik yang menyengat kulit.Rumah mereka juga sejalur, bahkan satu komplek tetapi rumah Friska terletak di ujung. Langkah yang lumayan cepat memungkinkan mereka tidak menyita lama sampai di pertigaan jalan.Nayra mendongak, menatap langit yang mulai ditutupi awan mendung. "Kayaknya mau hujan."Friska ikut mendongak. "Ah, gue lupa bawa payung. Lo ada?" Kali ini menatap Nayra."Nggak ada, payungnya aku biarin dirumah. Biar ayah--""Iya-iya tau. Biar ayah bisa pakai," po
Perlu kalian tau, jika Nayra termasuk gadis yang memiliki tingkat penasaran tinggi. Apalagi saat ia menemukan sesuatu yang memiliki hubungan di masa lalu. Sebuah gelang yang ia temukan tadi buktinya, Nayra memungut gelang itu sebelum pergi, karena ia tahu milik siapa.Entah dorongan darimana ia merasa ada hal yang aneh, terutama ketika memasuki rumah kosong tadi. Oke, sekarang ia tidak ingin terlalu memusingkan hal itu. Ia hanya ingin fokus pada gelang yang di temukannya tadi.Setelah membersihkan diri Nayra menatap sebentar dirinya di cermin, menyisir rambut dan memoleskan sedikit bedak bayi. Wajahnya yang putih membuatnya tidak perlu waktu lama untuk duduk di depan cermin.Alih-alih memikirkan, akhirnya Nayra memilih mengambil gelang itu di laci nakas, lalu duduk bersila di atas kasurnya."Bukannya ini punya kamu ya? Tapi kenapa ada di rumah tadi? Emang kamu pernah ke sana?" gum
Nickey yakin jika keputusannya saat ini tepat, mengubah sedikit penampilan untuk seseorang yang selama ini ia tunggu. Mulai dari mengubah gaya rambutnya, gaya pakaiannya dan satu paling penting, meninggalkan sepasang kacamata bulat yang selama beberapa hari lalu sangat menganggu penglihatannya.Mungkin selama ini semua orang menilai Nickey dengan persepsinya yang cupu. Faktanya, sifat Nickey justru berbanding terbalik. Semuanya palsu, bahkan kacamatanya sama sekali tidak memiliki tingkat minus apapun.Berbeda ketika di kampusnya dulu, Nickey bebas melakukan apa pun, semau-maunya, tanpa ada halangan. Karena dulu Nickey dikenal dengan cowok yang notebenenya berandalan dan suka membolos.Nickey menatap dirinya di cermin, menyisir rambutnya ke samping, kemudian meraih kaos lengan pendek yang sudah ia siapkan di atas kasur. Kaos itu berwarna senada, dan terlihat kontras dengan jeans biru malam yang ia kenakan. Juga, kaos itu cukup memperlihatkan lengan kekar Ni
Andai Nickey mengetahui lebih dulu kejadian tadi, ia tidak akan membiarkan Danu menolong gadis itu. Alhasil, Nickey hanya bisa memandang Nayra dari kejauhan. Tampak dari arah yang berlawanan gadis itu berjalan mendekat, sambil membawa tumpukan buku bersama bu Mawar di sebelahnya. Harusnya, Nickey lebih mengamati gadis itu lagi. Dan kini Nickey berdiri di rooptof lantai atas kampus, secara diam-diam kamera ponselnya mengarah pada dua orang yang sedang berjalan di koridor lantai bawah. "Kamu cantik, Nayra." Nickey mengucapkan itu bersamaan setelah ponselnya berhasil memotret si gadis. Memang itulah kenyataannya, Nayra terlihat sangat cantik apalagi saat ia tersenyum. Nickey mengamati lagi hasil fotonya, tapi adanya bu Mawar di foto itu membuat Nickey berdecak sekali. Ah, sayangnya Nayra sudah menjauh dari pandangannya ketika Nickey ingin memotretnya ulang gadis itu. Tidak masalah, Nickey masih memiliki banyak waktu untuk membawa Nayra meng
Jika Nayra memakan dengan lahap buburnya, berbeda dengan Nickey yang menopang dagunya dengan kedua tangan, mengamati dalam diam gadis itu. Banyak sekali pertanyaan yang ingin ia lontarkan, lalu waktu yang ia ingin habiskan. Dan ketika tidak sengaja matanya bertemu tatapan Nayra, secepatnya ia mengalihkan pandangan. Tapi bukan Nayra namanya, jika terlalu mudah di bodohi."Kamu mau?" Nayra menyodorkan buburnya yang sisa sedikit. Kepekaan yang sangat salah.Nickey menggeleng, masih menopang dagunya. "Nggak, aku udah makan tadi. Kamu habisin, biar kenyang.""Oh, yaudah."Nayra melanjutkan memakan buburnya, tersisa sedikit yang membuatnya tidak memerlukan waktu lama. Setelah merasa kenyang, ternyata Nayra melupakan sesuatu, membeli air minum.Nickey yang menyadari gerak-gerak Nayra langsung beranjak dari duduknya, melangkah lebar menuju penjual minuman. Selesai membeli, Nickey kembali lagi ke samping Nayra dan langsung menyodorkan minumannya.
ingga saat ini, Nayra tidak bisa meyakinkan hatinya untuk menceritakan kejadian beberapa jam lalu pada Rifdan, meski tak ada luka yang membekas, tetap saja bayangan tragedi tadi melintasi pikirannya. Nayra perlu waktu untuk melupakan semua itu.Nayra berjalan dengan tangan sedikit gemetar, setelah Nickey memberhentikannya tepat di depan pagar, ia meraih handle pintu yang tidak terkunci."Aku pulang."Tidak ada sahutan, kecuali suara detak jam yang menunjukkan pukul 10.15 malam. Lampu ruang tamu juga masih menyala dan sisa bungkus makanan berserakan dimana-mana. Kebiasaan Rifdan seperti ini sungguh membuat Nayra lelah, namun ia tak dapat menyangkal jika ayahnya berubah depresi ringan sepeninggal ibunya.Perubahan perilaku dan emosi ayahnya juga sering dirasakan Nayra.Seperti sekarang perilaku ayahnya yang terkesan kekanakan. Meracau tidak jelas saat tidur dan sesekali menangis di sela tidurnya, sangat menyayat hati Nayra.Andai ibunya
Ketika hati dibutakan oleh cinta, semuanya terasa kelu untuk diucapkan, ketika mereka baru saja bersama dalam waktu sesingkat ini. Apakah Tuhan juga akan memisahkan kurun waktu sesingkat itu juga?Mereka mendekap, saling tenggelam dalam heningnya kejadian beberapa menit lalu sampai akhirnya mereka menyadari suara langkah kaki menggema menuju ruangan yang mereka pijaki.Nayra berusaha menjauhkan tubuhnya dari Nickey saat cowok itu semakin mengeratkan pelukannya. Tangan yang melingkari bahunya terasa menegang menyesakkan dada Nayra.Nayra mendongak sambil mendorong dada bidang Nickey menjauhi dirinya."Aku pengen tau apa maksudnya, mereka bilang kamu cuma bersandiwara, Nickey." Nayra melirih meski hatinya terasa sesak, ia juga perlu penjelasan. Menjelaskan semua pertanyaan di otaknya.Nickey tercekat, lidahnya kelu berucap. Kepala yang menunduk meyakinkan Nayra mengulang lagi pertanyaannya. Namun dengan nada begitu memohon."Tolong jelasin sem
"Iya gue. Danu, penyelamat lo waktu itu."Kalimat itu terdengar untuk kedua kalinya. Nayra mengerjapkan matanya berkali-kali memastikan sosok di hadapannya.Dia yang dianggap baik hanya ilusi belaka. Meski Nayra jarang bertemu lelaki itu. Ia masih tak percaya faktanya. Memang benar, sesuatu yang baik di luar belum tentu baik di dalam. Hanya sandiwara semata.Nayra menghela dalam dan menghembuskan nafasnya perlahan. Tangan dan kakinya masih diikat sehingga ia tak bisa bergerak. Bagaimanapun nanti ia harus bisa keluar dari sini."Lepaskan aku! Emang kamu mau apa?" Nayra menggeram. "Bukannya kamu teman Friska. Kenapa kamu ngelakuin ini?"Danu mendekatkan wajahnya setelah tersenyum sinis, sedikit berjongkok dan menatap lekat-lekat kedua bola mata Nayra. Dengan tangan mencekal dagu Nayra dan mendongakkannya, Danu mencoba menakuti gadis itu."Teman? i not believe friends. Itu cuma omong kosong."Danu menghempas kasar dagu Nayra,
Cowok dengan wajah khawatir berulang kali menekan nomor yang sama. Berkali-kali pula ia memanggil nama itu. Berharap yang dipanggil akan mendengar. Dari kampus yang sepi ini ia tidak melihat siapapun.Pula, berulang kali Nickey memanggilnya. "NAYRA!!"Teriakan itu kembali terdengar di suatu lorong yang sempit. Di belakang kampus. Ia mengenyahkan ketakutannya menelusuri tiap sudut universitas itu. Berkali-kali ia mengerjapkan mata memastikan ada tidaknya keberadaan seseorang di sana.Namun harapan itu pupus ketika ia hanya melihat untaian daun kering bergelantungan diatasnya. Sekali lagi ia mencoba mencari. Tetes demi tetes keringat mengalir di pelipisnya.Nickey yakin gadis itu ada di sini saat suara hentakan dari lantai atas menusuk telinganya.Gedebug gedebugSuara boriton itu membuat Nickey menautkan kedua alisnya. Ia berlari kearah tangga sumber suara.Namun hasilnya tetap sama, ia tak menemukan apapun kecuali satpam y
"Kamu mau pesen yang mana?" Nickey menyodorkan daftar menu pada Nayra.Tidak ada alasan khusus, hanya saja ia ingin menghabiskan setidaknya sedikit waktu saja bersama Nayra. Dan kini mereka berada di salah satu kafe es krim, tidak jauh dari pertigaan jalan menuju rumah Nayra.Nayra mengerjap sekali, menatap daftar menu yang sangat asing di matanya. Yang ia tahu, rasa es krim itu hanya ada dua, coklat dan stoberi. Kolot memang."Atau mau gue pilihin?"Oleh Nickey tangan Friska ditepis, sesaat ingin menjangkau daftar menunya. "Sibuk, biar Nayra yang milih," titah Nickey.Friska mengerucutkan bibir."Apasih lo, gue sahabatnya, yajelas gue paling tau."Nickey hanya memutar bola mata, sedangkan Nayra berdecak berkali-kali."Kalian nggak bisa nggak ribut kalau sehari aja. Itu nggak baik lo kata ayah, harus akur."Senyum Nayra membuat Friska terpaksa menutup mulut rapat-rapat, sementara Nickey tertawa kecil, lalu menatap Na
Bisa dicap hari ini, hari paling berkesan bagi Nayra. Ia baru saja mendapatkan hasil kerja kerasnya, lebih tepatnya hasil dari penjualan kue yang ia buat. Ternyata benar apa kata orang, hasil tidak akan mengkhianati perjuangan. Apalagi perjuangan itu diiringi dengan niat, maka hasilnya pasti lebih sempurna.Perjuangan Nayra yang rela begadang demi membuat kue hingga larut malam. Sebab itu sekarang ia mulai menguap, rasa kantuk dan matanya terasa sangat berat untuk membuka, menemani perjalanan pulangnya dari kampus. Ia sudah lama menahan hal ini terutama saat pelajaran bu Antik, harus sepenuhnya sadar agar tidak dikenai hukuman beliau.Seperti biasa, Friska juga menemaninya sekarang. Cewek itu memainkan ponsel, meski sesekali tertinggal karena harus mengimbangi langkah Nayra yang lumayan cepat."Jalannya cepetin dikit dong Nay, kaki gue jadi pegel kalo lambat gini," keluh Friska yang berada di depan.Nayra menoleh sambil tersenyum, berusaha menyadarkan dir
Mungkin baru kali ini, Nickey terpaku pada seorang gadis yang tengah memungut sampah di sekitar area kelas. Pemandangan itu membuat Nickey yang baru saja melangkah di ambang pintu kelas mengerutkan keningnya beberapa saat.Tidak seperti biasanya, walaupun Nickey mengetahui hari ini jadwal Nayra piket kelas, setidaknya pekerjaan semacam itu tidak cocok dilakukan perempuan.Biasanya ia mendapati Wira atau Erik yang melakukan itu.Nickey menghampiri. "Ngapain ngelakuin itu sih, Nay? Udah tinggalin. Itu tugas Erik sama Wira."Sepertinya Nickey kesal, ia langsung merebut sampah plastik itu dari tangan Nayra kemudian membuangnya sembarang. Nayra pun menatap Nickey heran. Apa salahnya jika ia melakukan hal itu?"Nickey." Nayra beranjak untuk mengambil sampah itu, tapi tangan Nickey menahannya."Aku bilang nggak usah.""Tapi aku nggak masalah. Sekali-kali dong gantian, mereka juga bosan ngelakuin itu terus."Nickey berdecak, ia t
Sejak dua puluh menit yang lalu, tepatnya setelah Nayra menghabiskan makannya, tangan Rifdan terus berada dalam genggamannya. Nayra berharap Rifdan segera sadar, walau tadi dokter sempat mengatakan Rifdan tengah tidur. Kemungkinan akan bangun sekitar satu jam lagi. Itupun hanya perkiraan, selebihnya Tuhan yang menentukan.Bersama Nickey yang berada di sampingnya, duduk menopang dagu. Sesekali mengusap bahu Nayra."Sabar, ayah pasti sadar," ucap Nickey menenangkan. Tetapi jauh di relung hatinya, Nickey mengkhawatirkan sesuatu yang membuatnya ingin lekas pergi dari tempat ini.Nayra mengangguk halus, tangannya tetap setiap mengusap punggung tangan Rifdan sesekali menciumnya. Rifdan selalu mengatakan kalau sentuhan adalah cara paling ampuh untuk berinteraksi dengan seseorang, meski orang itu sedang tidak sadar.Dan benar saja, beberapa menit kemudian jari Rifdan melakukan pergerakan kecil, yang mungkin tidak disadari mereka yang berada lumayan jauh dar
"Permisi."Suara milik dokter itu lantas membangunkan dua orang yang tengah terlelap. Nickey menegakkan punggung, bangun dari sandaran kursinya meski belum sepenuhnya sadar. Sedangkan mata Nayra perlahan membuka, mengucek-nguceknya sebentar kemudian menatap dokter."Maaf mengganggu," ujar dokter itu. Tampak tidak nyaman karena mengganggu tidur mereka.Nayra ikut berdiri. "Nggak papa dok. Terus keadaan ayah gimana?""Ayah kamu baik-baik saja. Tapi jangan sampai telat memeriksa kesehatannya. Maaf lambat memberitahu, saya tidak tega membangunkan kalian tadi.""Nggak masalah dok," jawab Nickey yang sudah berdiri di samping dokter itu. "Terus kapan ayah Nayra bisa pulang?""Sekitar beberapa hari lagi, kami ingin memantau kesehatannya dulu. Dan Nayra, apa ayah kamu selalu teratur minum obat?"Nayra menggeleng. "Ayah sering lupa, obatnya sekarang juga lagi habis."Dokter itu hanya ber-oh sesaat. "Kalo gitu obatnya dokter s