"Percuma kamu lap pake sapu tangan itu, nodanya udah menempel dan tidak bisa hilang dengan di lap seperti itu," ucap pria itu datar.
"Sekali lagi saya minta maaf, saya akan mengganti kemeja anda, Pak." Anastasya tertunduk tanpa melihat lawan bicara.
"Ah ... sudahlah, Oh ya lain kali jika sedang berbicara, jangan menunduk seperti itu. Gak sopan namanya."
Begitu pria tersebut berbicara seperti itu, RaAnastasya langsung mendongakan kepalanya. Pria tersebut menganga begitu melihat kecantikan Anastasya.
"Bidadari turun dari langit mana ini, cantiknya kebangetan ...," ujarnya dalam hati.
Radeela yang ketakutan, buru-buru beranjak dari sana, ia membuka hellsnya lalu lari tunggang langgang meninggalkan laki-laki yang masih terpana melihat kecantikan parasnya.
Dengan nafas terengah-engah, Anastasya berhasil menemukan kendaraanya, “Sial, kuncinya kan sama bang Dirga,” monolognya, mau tak mau ia pun bersembunyi di samping mobilnya.
“Sayang, ngapain kamu jongkok disana?” Tanya Dirga kebingungan.
“Astaga … abang bikin kaget aja. Aku nungguin kamu, lama banget!” Kilahnya seraya cemberut, padahal dalam hatinya ia khawatir laki-laki yang tadi ia temui yang mendatanginya.
“Yee nyalahin abang, kan kamu sendiri yang pergi gitu aja. Ayo sayang sini bangun.”
Dirga mengulurkan tangannya, Anastasya pun meraih uluran tangan suaminya. Namun, begitu Anastasya lengah, tangannya ia tarik hingga tubuhnya jatuh kepelukan Dirga. Ia peluk erat tubuh Anastasya dan mencium puncak kepala istrinya.
“Abang, malu ih… terekam cctv nanti.”
Anastasya mencoba melepaskan pelukan suaminya, namun sayang pemberontakannya tak membuakan hasil. Anastasya pun hanya bisa pasrah menerima kejahilan suaminya. Dirga mulai mengendurkan pelukannya, perlahan tangannya menyentuh dagu istrinya, wajah mereka semakin mendekat, hingga mengikis jarak diantara mereka. Bibir merah merekah istrinya ia kecup dengan lembut, kecupan itupun berbalas hingga menjadi lumatan yang penuh gairah.
Tit…tit….
“Woi, kalo mau mesum jangan di tempat parkir!! Cari hotel sana!!!” Umpat salah seorang pengendara mobil yang hendak keluar dari parkiran.
Tanpa menoleh ke sumber suara, Dirga mengacungkan jari tengahnya pada pengendara tersebut, sementara Anastasya mendorong tubuh Dirga menjauh.”Tuh, kan bang … Malu tau diliatin orang.”
“Lanjut di dalam yuk, sayang …”
Dirga berbisik pada istrinya, mau tidak mau, Anastasya mengikuti keinginan suaminya. Tidak dinyana, Anastasya pun sudah on fire ketika pemanasan tadi di luar mobilnya. Dirga membukakan pintu mobil dan mempersilahkan istrinya masuk terlebih dahulu, disusul dirinya. Ia menyalakan mesin mobilnya, lalu mengubah posisi jok yang di duduki istrinya.
“Sayang, beneran kita mau lakukan itu disini?”
“Abang sudah gak tahan, sayang. Dirga kecil udah bangun, kamu harus bikin dia tertidur lagi,” ucapnya seraya membuka celana chinonya sebatas lutut.
Anastasya telentang di jok yang sandarannya telah Dirga turunkan. Ia mengangkat dressnya hingga segitiga pengamannya yang terlihat, kakinya ia angkat ke atas dhasboard. Dirga melumat bibir Anastasya dengan penuh hasrat sementara tangannya meraba-raba bagian bawah istrinya, ia masukan jemari tangannya ke dalam segitiga pengaman istrinya.
“Udah basah, sayang …”
“Ehmmm … bang, ahh….”
Anastasya merasakan jemari suaminya memasuki liang surgawi miliknya, ia mendesah merasakan denyut kenikmatan yang kian membuncah. Sementara Dirga terus menginvasi leher dan dua bukit kembar istrinya, semakin menambah sensasi kenikmatatan yang Anastasya rasakan.
“Ahhh …. Sayang ….”
Anastasya menggigit bibirnya sendiri, menggelinjang merasakan ada sesuatu yang keluar dari miliknya. Dirga tersenyum puas begitu melihat ekspresi istrinya yang sudah mencapai puncak kenikmatan.
“Sekarang giliran abang ya, Sayang …”
Dirga menanggalkan segitiga pengaman istrinya, kaki Anastasya yang semula di atas dashboard, ia turunkan dan dilebarkannya hingga mengkangkang. Dirga memasukan juniornya ke lubang kenikmatan milik istrinya, naik turun hingga mobil yang ia tumpangi sedikit bergoyang. Beruntung malam itu sudah larut dan kaca film mobil mereka tidak tampak dari luar.
“Kamu di atas, sayang … “
Tanpa melepaskan diri satu sama lain, Dirga merubah posisi duduknya, giliran Anastasya yang berada di atas, ia menggoyangkan tubuhnya maju mundur, “Ahh … Sayang … Abang mau keluar…”
“Iya bang, sebentar … aku pun mau keluar lagi …”
Anastasya menjatuhkan dirinya di pelukan Dirga, seraya tersenyum, “Ternyata melakukannya di dalam mobil lebih menantang, sayang.”
“Istrinya abang bisa nakal juga ya … mau dicoba dimana lagi nanti, sayang?”
“Ish… abang, liat nanti aja deh, oh ya bang, aku lepas ya. Sekalian ambil tissue.”
“Iya sayang, tolong ambilkan celana mas juga ya.”
Anastasya menarik dirinya dari junior yang memasuki lembah kenikmatannya, agak sedikit rasa panas kali ini, tidak seperti biasanya. Ia mengambil tissue yang berada di atas dashboard, ia mengambil beberapa lembar dan sisanya ia berikan pada suaminya. Alangkah terkejutnya ia, ketika mengelap bekas senggamanya, ia temukan bercak darah yang tidak biasanya.
“Kenapa, sayang? Kamu terkejut seperti itu?”
“Ah, gak apa-apa bang. Oh ya tissue bekas kamu mana, Bang?”
Anastasya meremas tissue bekasnya dan mengambil tissue bekas lap suaminya, ia membuangnya di kantong keresek yang sudah tersedia disana. Setelah mengenakan kembali pakaiannya, Dirga pindah posisi duduknya ke belakang kemudi. Sepanjang perjalanan, pikiran Anastasya kemana-mana, tidak biasanya dia merasakan nyeri setelah berhubungan.
“Sayang, ko kamu diam aja? Apa terjadi sesuatu?” Tanya Dirga seraya menoleh ke arah istrinya yang sedang melamun.
“Ah … enggak bang. Aku cuman ngantuk aja, udah ampir jam dua belas kan. Gak apa-apa kalau aku tidur, bang?”
“Tidur aja sayang, nanti kalo udah sampai, abang bangunkan.”
Dirga mengelus puncak kepala istrinya dan mengecupnya dengan lembut. Anastasya pun memejamkan kedua matanya dengan sejuta pertanyaan yang bermain di kepalanya.
***
“Sayang, dah nyampe. Bangun yuk,” Dirga mengelus pipi Anastasya dengan lembut.
“Ehmm … udah sampai sayang?” Anastasya menggeliat.
“Udah, tunggu disini. Abang keluar duluan.”
Dirga membuka pintunya dan berjalan keluar memutar arah menuju pintu sebelah kiri mobilnya, “Sini abang pangku, kamu tidur lagi aja.”
Anastasya mengalungkan tangannya di leher suaminya, dipangkunya tubuh istrinya ala bridal style. Dirga memanggil security rumahnya dengan isyarat agar memarkirkan mobilnya ke dalam garasi. Setelah itu, mereka pun masuk ke istana kecilnya. Dibaringkannya RaAnastasya di tempat tidur berukuran king size dengan perlahan.
Dirga membuka hells istrinya dan mengganti gaun yang ia kenakan dengan gaun tidur tipis. Setelah mengganti pakaian istrinya, giliran Dirga yang mengganti pakaiannya dengan boxer dan kaos oblong.
“Nice dream istri abang yang cantik,” ucap Dirga bermonolog seraya mencium kening istrinya dan memeluknya.
Pukul tiga pagi Anastasya terbangun, ia tersenyum pada suami yang terelelap disampingnya, “Makasih sayang udah gantiin gaun aku.”
Begitu Anastasya turun dari ranjang dan hendak melangkahkan kakinya, ia merasakan denyut yang aneh pada kemaluannya. Nyeri dan seperti ada darah yang keluar padahal baru seminggu kemarin ia selesai menstruasi. Benar saja, begitu sampai di toilet, ia melihat bercak darah di celana dalamnya.
“Darah apa ini? Masa menstruasi lagi? Besok aja deh aku periksa, sekalian ketemuan sama Arini.”
Dengan tertatih, Anastasya kembali ke tempat tidurnya. Kali ini ia merasakan panas di pinggulnya. Karena tidak ingin membuat suaminya khawatir, ia pun menahan sakitnya.
Keesokan paginya,
“Sayang, kamu kenapa? Kamu sakit?” Tanya Dirga yang melihat istrinya gelisah.
“Kayanya gak enak badan, bang. Pinggul aku sakit banget, rencananya aku mau ke kliniknya Arini.”
“Ya udah kalo gitu, tapia bang gak bisa anter kamu. Hari ini ada meeting penting, sayang.”
“Gak apa-apa bang, dianter Pak Saswi aja nanti. Maaf ya bang, hari ini aku gak bisa nyiapin pakaian sama sarapan kamu.”
“Gak apa-apa sayang, Bi Marni udah bikin sarapan, nanti abang suruh bawa kemari aja ya. Abang berangkat dulu, I love you.”
Dirga mengecup kening dan bibir istrinya yang masih terbaring. Anastasya tersenyum dan melambaikan tangan pada suaminya. Begitu Dirga berangkat, ia bertukar pesan dengan Arini untuk temu janji.
Tok… tok…tok
“Bu, ini sarapannya. Saya bawa masuk ya,” ucap bi Marni dibalik pintu.
“Iya bi, masuk,” teriak Anastasya seraya duduk bersandar. “Nasi goreng, bi? Aku lagi gak nafsu makan, bawa lagi aja ya bi. Oh ya, bawain aja buah sama air putih.”
“Baik, bu. Di meja adanya buah pir bu, gak apa-apa?”
“Iya gak apa-apa, makasih ya bi.” Bi Marni pun beranjak dari sana dan menyiapkan pesanan majikannya.
Setelah selesai sarapan, Anastasya bersiap-siap menuju klinik sahabatnya, Arini . Arini adalah dokter obgyn sekaligus sahabatnya sejak zaman putih abu. Anastasya meminta Pak Saswi untuk mengantarnya ke klinik yang tidak jauh dari tempat tinggalnya.
“Pak, nanti bapak pulang aja ya. Saya mau ngobrol-ngobrol dulu dengan teman saya. Pulangnya biar saya naik taksi aja. Makasih ya pak.”
Arini berpesan pada supirnya, ia tidak ingin pak Saswi menunggu lama disana karena ada banyak hal yang ia hendak ia kerjakan saat itu. Setelah supirnya pergi, ia menghubugi suaminya dan sahabatnya bahwa ia sudah sampai di tujuan.
Anastasya berjalan ke ruangan yang bercat putih, ia mengetuk pintu dan menyapa sahabatnya begitu diizinkan masuk.
“Anastasya Anastasya … makin cantik aja nih. Suami lo gak ikut?” Ucap Arini tanpa basa basi.
“Arini Tungga Dewi, dokter spesialis termuda calon istri pengusaha batu bara. Gue kanggennn.”
Arini berdiri dan menyambut sahabatnya dengan hangat, bak sahabat yang jarang bertemu, mereka berpelukan melepas rindu.
“Suami gue ada meeting penting makanya gak bisa nemenin. Rin, gue mau konsul ma elu.”
“Iya, yang punya laki super sibuk. Konsul apaan? Oh ya, duduk dulu biar enak ceritanya. Kebetulan udah gue kosongin jam praktek gue hanya buat elu.”
“Bisa aja lu, ntar gue bayar mahal dong kalo gara-gara gue sampai lu tutup nih klinik.”
“Tenang, ada dokter Evan. Kolega gue di klinik ini. Dia ganteng banget tau gak sih lo, udah muda, mapan, single lagi. Sayang gue udah gak single and already to mingle.”
“Eh.. busyet dokter ganjen lo… hehhe…” Canda Anastasya pada sahabatnya yang ia sudah anggap saudaranya sendiri.
“Jadi gimana Dell, lu mau cerita apa. I’m already to listen it.”
“Rin, lu tau kan kalo gue udah nikah ma bang Dirga selama dua tahun. Dan sampai sekarang gue belum hamil juga, sedangkan mertua gue keukeuh pengen nimang cucu.”
Arini mendengar cerita RaAnastasya dengan serius, “Terus…?”
“Gue takut ada apa-apa sama rahim gue, terus kemaren pas berhubungan, gak biasanya keluar plek darah sama nyeri abisnya, pinggul gue juga nyeri banget.”
Anastasya menceritakan semua keluhan yang dirasakannya pada Arini, semetara ia mencatat semua keluhannya. Air muka Arini seketika berubah begitu mendengar semua gejala yang sahabatnya sebutkan, namun ia tidak ingin terlalu dini menyimpulkan.
“Dell, kita skrining penyakit lu ya. Kita pap smear dulu, biar enak gue kasih pengobatannya.”
“Pap smear? Gak bahaya kan Rin?”
“Tenang, aman ko. Pemeriksaan awal aja buat liat ada masalah gak di rahim lu. Lu udah pipis belum? Eh, lu semalem berhubungan ya ma laki lu?”
Anastasya mengangguk, “Iya, dua kali.”
“Ya … gak bisa dong. Nanti deh gue jadwalin ulang, tiga hari dari sekarang ya.”
“Emang penyakit gue apaan, Rin?”
“Belum pasti sih Sya, cuman gejala yang lu sebutin itu mendekati ke arah, tapi lu jangan kaget ya, penyakit ini bisa di obatin ko kalo masih stadium awal.”
“Udah jangan banyak basi-basi, apa penyakit gue!”
***
“Cervical Cancer …,” ucap Arini pelan.“A-apa?? Cervical cancer? Serviks? No… no… pasti salah, pasti ada yang gak bener!”Anastasya berusaha tidak mempercayai semua ucapan sahabatnya itu, ia menolak kenyataan yang baru saja didengarnya."Sya ... baru praduga Sya, kita perlu diagnosis awal buat memastikannya, hari kamis lu kesini lagi. Kita lakukan pap smear ya, lu tenang dulu, oke."Arini berusaha menenangkan Anastasya yang terpukul atas berita yang baru saja didengarnya. Ya, Anastasya tidak bisa berkata apapun, dia tampak shock. Anastasya membenamkan kepalanya di atas meja, menangisi nasibnya yang malang."Gue takut Rin, apa itu sebabnya gue sampai sekarang gak bisa punya anak?""Kita belum yakin seratus persen sebelum tes awal. Denger Sya, gue bakalan selalu ada di samping lo, ingat ... everything gonna be ok."Arini beranjak dari tempat duduknya dan berjalan ke arah Anastasya yang berada di depan meja nya, ia mengelus punggung Anastasya dengan lembut. Merasakan punggung sahabatnya
"Kamu ngomong apa sih? Gak ada! Bagi aku, kamu sudah cukup. Sudah, jangan bahas hal ini lagi, aku gak suka!"Dirga melepaskan pelukannya dan berbalik membelakangi Anastasya."Bang ... Aku ikhlas jika abang mau menikah lagi, aku serius!"Anastasya tetap dengan pendiriannya, ia sadar bahwa kemungkinan untuk memiliki anak relatif kecil, walaupun penyakitnya belum pasti apakah kanker servik atau bukan."Beban di kepalaku sudah cukup banyak, jangan tambah beban lagi Tasya... please.""Maafkan aku bang, aku tidak bermaksud untuk ...""Sst ... cukup, aku mau ke ruang kerja dulu, besok ada meeting penting. Good nite... i love you..."Dirga mengecup kening istrinya lalu pergi dari kamarnya, Anastasya pun terbaring lesu."Bang, seandainya kamu tahu bahwa aku sakit..." gumamnya.Anastasya terjaga, ia menunggu suaminya yang tak kunjung kembali ke dalam kamarnya, sedangkan waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam. Ia pun menyusul Dirga ke ruang kerjanya, ia melihat suaminya tertidur di atas berkas d
"Dirga, istrimu itu kapan hamilnya? Kamu sudah menikah hampir dua tahun tapi belum juga dikasih keturunan, ibu ingin cepat - cepat menimang cucu. Jangan - jangan istrimu itu mandul?!"Dirga hanya bisa menunduk pasrah mendengar ucapan ibunya. Sungguh dilema baginya, ia sangat mencintai istrinya Radella namun ia pun tak mampu melawan ibunya, satu - satunya orang tua yang ia miliki."Mungkin Tuhan belum memberi kepercayaan pada kami, Mah."Dirga memberanikan diri berbicara di depan ibunya. Mama Sri yang tadinya duduk di singgasana kebesarannya, tiba - tiba berdiri dan pergi meninggalkan Dirga."Kamu tidak usah datang ke rumah mama lagi!"Mama Sri masuk ke dalam kamarnya dan menguncinya dari dalam, baru kali ini Dirga berani melawannya. Dirga berjalan ke arah kamar ibunya, ia mengetuk - ngetuk pintu namun ibunya tak bergeming."Mah... Dirga pulang dulu ya. Nanti Dirga kembali lagi kesini. Assalamualaikum."Akhirnya dengan berat hati, Dirga meninggalkan kediaman ibunya. Dengan langkah gont
"Mas Dirga, ya?"Seorang wanita cantik datang menghampiri mereka. Dirga kelabakan, ia mulai gugup, jantungnya berdegup kencang. Sementara, Radeella kebingungan melihat wanita cantik dan seksi menghampiri mejanya."Siapa, bang?" Bisik Anstasya seraya menoleh ke arah wanita cantik tersebut."I-itu temen abang, sayang."Dirga berdiri lalu mengulurkan tangan pada wanita cantik di depannya. Wanita tersebut tersenyum lalu duduk di sebelah Dirga, sedangkan Anastasya duduk di seberang mereka berdua. Dirga memperkenalkan istrinya pada wanita tersebut."Sayang, perkenalkan ini rekan bisnis abang, namanya Tania Gunaldi Prastika.""Panggil saja saya Tania, Mbak Anstasya." Tania mengulurkan tangannya seraya tersenyum manis."Mbak Tania sudah tau nama saya rupanya, bang Dirga pasti sering menceritakan tentang saya ya, mbak?" Celotehnya seraya memberikan tatapan mautnya pada Dirga, suaminya."Hahaha ... Becanda mbak Tasya, kami jarang ketemu secara langsung, komunikasi kami kebanyakan by phone, kebe
"Kamu ngomong apa sih? Gak ada! Bagi aku, kamu sudah cukup. Sudah, jangan bahas hal ini lagi, aku gak suka!"Dirga melepaskan pelukannya dan berbalik membelakangi Anastasya."Bang ... Aku ikhlas jika abang mau menikah lagi, aku serius!"Anastasya tetap dengan pendiriannya, ia sadar bahwa kemungkinan untuk memiliki anak relatif kecil, walaupun penyakitnya belum pasti apakah kanker servik atau bukan."Beban di kepalaku sudah cukup banyak, jangan tambah beban lagi Tasya... please.""Maafkan aku bang, aku tidak bermaksud untuk ...""Sst ... cukup, aku mau ke ruang kerja dulu, besok ada meeting penting. Good nite... i love you..."Dirga mengecup kening istrinya lalu pergi dari kamarnya, Anastasya pun terbaring lesu."Bang, seandainya kamu tahu bahwa aku sakit..." gumamnya.Anastasya terjaga, ia menunggu suaminya yang tak kunjung kembali ke dalam kamarnya, sedangkan waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam. Ia pun menyusul Dirga ke ruang kerjanya, ia melihat suaminya tertidur di atas berkas d
“Cervical Cancer …,” ucap Arini pelan.“A-apa?? Cervical cancer? Serviks? No… no… pasti salah, pasti ada yang gak bener!”Anastasya berusaha tidak mempercayai semua ucapan sahabatnya itu, ia menolak kenyataan yang baru saja didengarnya."Sya ... baru praduga Sya, kita perlu diagnosis awal buat memastikannya, hari kamis lu kesini lagi. Kita lakukan pap smear ya, lu tenang dulu, oke."Arini berusaha menenangkan Anastasya yang terpukul atas berita yang baru saja didengarnya. Ya, Anastasya tidak bisa berkata apapun, dia tampak shock. Anastasya membenamkan kepalanya di atas meja, menangisi nasibnya yang malang."Gue takut Rin, apa itu sebabnya gue sampai sekarang gak bisa punya anak?""Kita belum yakin seratus persen sebelum tes awal. Denger Sya, gue bakalan selalu ada di samping lo, ingat ... everything gonna be ok."Arini beranjak dari tempat duduknya dan berjalan ke arah Anastasya yang berada di depan meja nya, ia mengelus punggung Anastasya dengan lembut. Merasakan punggung sahabatnya
"Percuma kamu lap pake sapu tangan itu, nodanya udah menempel dan tidak bisa hilang dengan di lap seperti itu," ucap pria itu datar."Sekali lagi saya minta maaf, saya akan mengganti kemeja anda, Pak." Anastasya tertunduk tanpa melihat lawan bicara."Ah ... sudahlah, Oh ya lain kali jika sedang berbicara, jangan menunduk seperti itu. Gak sopan namanya."Begitu pria tersebut berbicara seperti itu, RaAnastasya langsung mendongakan kepalanya. Pria tersebut menganga begitu melihat kecantikan Anastasya."Bidadari turun dari langit mana ini, cantiknya kebangetan ...," ujarnya dalam hati.Radeela yang ketakutan, buru-buru beranjak dari sana, ia membuka hellsnya lalu lari tunggang langgang meninggalkan laki-laki yang masih terpana melihat kecantikan parasnya.Dengan nafas terengah-engah, Anastasya berhasil menemukan kendaraanya, “Sial, kuncinya kan sama bang Dirga,” monolognya, mau tak mau ia pun bersembunyi di samping mobilnya.“Sayang, ngapain kamu jongkok disana?” Tanya Dirga kebingungan.
"Mas Dirga, ya?"Seorang wanita cantik datang menghampiri mereka. Dirga kelabakan, ia mulai gugup, jantungnya berdegup kencang. Sementara, Radeella kebingungan melihat wanita cantik dan seksi menghampiri mejanya."Siapa, bang?" Bisik Anstasya seraya menoleh ke arah wanita cantik tersebut."I-itu temen abang, sayang."Dirga berdiri lalu mengulurkan tangan pada wanita cantik di depannya. Wanita tersebut tersenyum lalu duduk di sebelah Dirga, sedangkan Anastasya duduk di seberang mereka berdua. Dirga memperkenalkan istrinya pada wanita tersebut."Sayang, perkenalkan ini rekan bisnis abang, namanya Tania Gunaldi Prastika.""Panggil saja saya Tania, Mbak Anstasya." Tania mengulurkan tangannya seraya tersenyum manis."Mbak Tania sudah tau nama saya rupanya, bang Dirga pasti sering menceritakan tentang saya ya, mbak?" Celotehnya seraya memberikan tatapan mautnya pada Dirga, suaminya."Hahaha ... Becanda mbak Tasya, kami jarang ketemu secara langsung, komunikasi kami kebanyakan by phone, kebe
"Dirga, istrimu itu kapan hamilnya? Kamu sudah menikah hampir dua tahun tapi belum juga dikasih keturunan, ibu ingin cepat - cepat menimang cucu. Jangan - jangan istrimu itu mandul?!"Dirga hanya bisa menunduk pasrah mendengar ucapan ibunya. Sungguh dilema baginya, ia sangat mencintai istrinya Radella namun ia pun tak mampu melawan ibunya, satu - satunya orang tua yang ia miliki."Mungkin Tuhan belum memberi kepercayaan pada kami, Mah."Dirga memberanikan diri berbicara di depan ibunya. Mama Sri yang tadinya duduk di singgasana kebesarannya, tiba - tiba berdiri dan pergi meninggalkan Dirga."Kamu tidak usah datang ke rumah mama lagi!"Mama Sri masuk ke dalam kamarnya dan menguncinya dari dalam, baru kali ini Dirga berani melawannya. Dirga berjalan ke arah kamar ibunya, ia mengetuk - ngetuk pintu namun ibunya tak bergeming."Mah... Dirga pulang dulu ya. Nanti Dirga kembali lagi kesini. Assalamualaikum."Akhirnya dengan berat hati, Dirga meninggalkan kediaman ibunya. Dengan langkah gont