Wajah Diana memerah, sudut bibirnya mengembang. Getaran cinta itu memang masih ada bahkan di saat umur mereka yang hampir memasuki usia senja.
"Kamu yakin gak pulang, Mas?" tanya Diana pada Chalid.
"Aku bisa tidur di sofa atau tidur bersama Bayu di kamar tamu," jawab Chalid santai
"Tapi ajudan-ajudan kamu?"
"Mereka akan pulang di saat waktunya memang harus pulang."
Diana mengangguk, lalu beranjak ingin meninggalkan Bayu dan Chalid di ruangan itu.
"Aku ambilkan bantal dan selimut untuk kamu," ujar Diana saat Chalid meraih tangannya mencegah kepergian wanita itu.
Chalid tersenyum, sepertinya masih terbuka kesempatan pada dirinya untuk kembali bersama Diana. Kenangan masa lalu menyelinap masuk di benak Chalid, seandainya dia bisa memutar waktu mungkin kejadian dua puluh dua tahun lalu tak terjadi.
Chalid seorang perwira pada saat itu, pertemuannya dengan Diana yang tak di sangka membawanya pada sebuah asmara yang beg
Apalagi yang membuat dua orang insan bisa terhanyut dalam sesi bercinta yang panas selain daripada rasa rindu dan juga ingin melepaskan satu kebutuhan yang sama-sama diinginkan?Daru sibuk menunduk di antara lipatan kaki istrinya. Mencoba memuaskan wanita itu, sekaligus melepaskan rindu yang membuncah dari dalam dirinya.Kemarin, Ella lebih dari sekadar khawatir. Satu malam ditinggalkan suami yang pergi dan telah berjanji kembali pulang, namun mengingkarinya.Saat menyongsong kedatangan Daru tadi, Ella melihat wajah suaminya sepucat abu, dengan tangan yang buku-bukunya memutih saat mencengkeram tubuhnya ke pelukan. Ia merasakan kekhawatiran suaminya. Seketika itu, Ella merasa sangat beruntung. Betapa beruntungnya mereka sekarang. Bisa saling memiliki setelah menghabiskan begitu banyak waktu dan usaha untuk bisa bersama.Ella lalu kembali mengerang. Ia memang sering tidak tahan jika Daru terlalu lama
Ella sudah basah dan siap berkat ciuman Daru sebelumnya. Daru tidak bergerak perlahan. Lelaki itu tidak membuang-buang waktu , karena ia langsung mendorong lebih dalam dan semakin dalam. Ella mencengkeram tepi meja agar tetap berada di posisinya. Rasa panas dan utuh dari Daru membuatnya gemetar. Kejantanan Daru menyentuh tempat yang belum dijelajahi di dalam tubuhnya. Menunjukkan bagian-bagian baru yang penuh hasrat dari dalam dirinya sendiri. Kenikmatan pun segera menenggelamkannya.“Lebih keras,” desah Ella. “Lebih keras, Mas. Lebih keras lagi,” pinta Ella.Daru menggeram, “ternyata kamu udah suka yang kayak gitu, ya ....” Daru mengangkat Ella sampai ujung jari kakinya berjinjit dan memegangi Ella sembari memompa pinggulnya lebih keras dan lebih cepat. Ella menggigit lengan atasnya untuk menahan pekikan. Daru membuat Ella melayang.Lalu, Daru kembali menjejakkan kaki Ella di la
Yuni menjawab panggilan telepon Bramantya dengan raut cemas. Biasanya Bramantya tidak pernah meneleponnya di jam-jam segitu. Jika hal itu terjadi, artinya sesuatu yang mengkhawatirkan suaminya sedang terjadi. Seruan Bramantya di seberang telepon membuat tubuh Yuni membeku seketika. Bramantya baru saja mengatakan bahwa ia akan mati. Yuni bagai tersambar petir. Ia tak lagi menanyakan alasan apa yang membuat suaminya berkata hal itu. Yuni segera berlari ke lantai dua berganti pakaian, menyambar tasnya dan menelepon supir dari telepon ekstensi. Setengah jam kemudian, Yuni telah berada di mobil dengan wajah cemas. Belasan perkiraan melintas di kepalanya saat itu. Apakah penyakit jantungnya? Ataukah itu hanya sekedar perumpamaan yang digunakan oleh Bramantya? “Bisa cepat sedikit enggak, Pak?” tanya Yuni dari barisan kursi tengah. Tangannya menepuk-nepuk sandaran kursi supirnya
“Bapak Bramantya,” ucap seorang suster sambil menatap Bramantya yang sedang berbaring di ranjang rumah sakit berteknologi tinggi. Keningnya berkerut tampak kebingungan, mengapa orang sehat walafiat seperti Bramantya terbaring di ranjang rumah sakit? Apakah kebanyakan uang? Ah ... sudahlah bukan urusannya dengan kalakuan orang-orang kaya di negara ini. Ludruk.“Iya, itu suami saya, Sus,” jawab Yuni seraya berdiri dari duduknya dan mendekati suster itu dengan tatapan was-was. “Bagaimana hasilnya?”Suster tersebut tersenyum berusaha untuk menyebarkan energi positif pada istri pasiennya itu, ia rasanya ingin berteriak dengan keras pada kedua pasangan itu kalau Bramantya baik-baik saja dan masih beraktivitas dengan normal, namun, urung dia masih membutuhkan pekerjaannya.“Suster, jawab! Bagaimana kondisi suami saya?” tanya Yuni lagi dengan suara penuh kecemasan.“Maaf, saya tidak bisa menjelaskan, Bu. Tapi,
Renya, David dan Renata baru saja pulang dari salah satu store perabotan rumah tangga. Sudah satu minggu ini mereka menempati sebuah rumah kontrakan yang jauh dari kota, demi mencari aman untuk keluarga kecilnya. Renya menikmati waktunya merawat anak semata wayangnya, menikmati waktunya bersama David."Sayang, meja ini mau di taruh dimana?" tanya David pada Renya saat meja berbentuk lingkaran dengan kaki seperti jaring-jaring itu datang beserta dua stool berbentuk bulat."Di ruang tamu, Sayang ... di alasin karpet warna merah itu ya.""Kesannya minimalis, Sayang," ujar David melipat tangannya di dada, memperhatikan hadir dekorasinya."Kan kita gak terima tamu," kekeh Renya. "Jadi ini lebih seperti pemanis ... pasang pigura itu di dindingnya ya." Renya memberikan kecupan pada pipi David."Ibu ... Rena, lapar.""Rena lapar? Ok ... ayo kita ke dapur, kita lihat di dapur ada apa." Renya menggenggam tangan gadis kecil itu.Renya memb
Tubuh Bramantya mengejang dan bergerak tak tentu arah, jemarinya mengepal seolah menahan kejang dan rasa sakit di dadanya. Dada Bramantya terasa panas, dicubit, terhimpit dan seperti dipukul dengan palu godam yang sangat besar. Bibir Bramantya seolah berusaha berteriak dan meminta tolong, namun tidak ada satu patah kata pun terucap dari mulutnya yang keluar hanya erangan kesakitan bercampur dengan napasnya yang tersedat. Pandangan matanya berputar, tidak fokus semuanya samar-samar. Bramantya berusaha menggapai-gapai apa pun yang bisa dia gapai, walaupun sesungguhnya yang ingin dia gapai adalah Yuli, Renya dan Renata cucu yang baru pertama kali ia lihat setelah sekian lama. “Ah … ah … a ….” Hanya suara itu yang bisa Bramantya ucapkan, tubuhnya tidak dapat lagi dia kendalikan sayup-sayup terdengar suara mesin yang memantau detak jantungnya berbunyi seakan mengejek diri
With me, without meSudah seminggu semenjak Bramantya masuk rumah sakit, semenjak itu pula Renya bolak balik mengunjungi Bramantya yang koma. Hatinya hancur saat melihat keadaan ayahnya yang dulu sangat berkuasa, kuat dan penuh dengan kesombongan berubah ringkih dan hanya bisa terbujur kaki di atas tempat tidur, tak berdaya."Hai ... Pa, belum bangun? Bangun yuk, Pa, ini udah pagi," ucap Renya seraya mengusap bahu Bramantya sepelan dan selembut mungkin. "Bangun, Pa, Renya rindu Papa," isak Renya tanpa sadar.Bramantya hanya diam membisu, hanya suara mesin dan napas yang pelan saja yang menunjukkan kehidupannya. Bramantya koma sudah seminggu ini, Dokter benar-benar sudah melakukan tugasnya dengan baik dan mengupayakan agar Bramantya kembali sadar dengan berbagai pengobatan dan cara yang ada. Namun, Tuhan sepertinya masih menginginkan Bramantya te
Anneke berjalan mondar-mandir di ruang keluarga, sesekali dia mengusap layar gawainya. Masih ada rasa tak percaya pada dirinya akan berita yang di dengarnya. Beberapa kali dia menghubungi Daru namun tak ada jawaban dari anak lelakinya yang sudah tiga hari tidak pulang ke rumah.Anneke hanya ingin memastikan berita yang dia lihat, yang didengarnya bahkan terakhir dia baca di internet. Perasaan Anneke tak menentu, bagaimana mungkin orang yang menjebloskan Daru ke penjara, kini di non-aktifkan dari jabatannya. Belum lagi Daru yang bebas dari penjara karena bantuan seseorang. Ah, Anneke tidak dapat berpikir, dia hanya ingin Daru pulang dan menjelaskan semua padanya. "Angkat dong, Ru ... Mama mau bicara,"gunam Anneke, menekan lagi layar gawainya.Nada sambung itu pun bersambut, Daru mengangkat teleponnya. "Iya, Ma," sapa Daru di seberang sana. "Kamu kemana sih? Di telpon gak diangkat, susah banget kayaknya Mama mau ngomong sama kamu .... Kenapa? Takut