"Jadi masak apa, Bu?" tanya Ella menghampiri Ibu Diana di dapur.
"Ibu cuma ada iga sapi di kulkas, kentang, wortel, daun seledri dan daun bawang, kita bikin sop iga sapi aja, La ... Ayah kamu minta di buatin omelette katanya, nanti biar Ibu yang bikin, kamu bantu Ibu kupas bawang ya," ujar Ibu Diana mengeluarkan sayur dan iga dari dalam kulkas.
"Ini bawang merah dan putih, kamu kupas lalu masukin ke dalam blender kasih lada sedikit," ujar Ibu Diana lagi, wanita itu mulai mengupas kulit kentang dan wortel.
"Begini Bu?" tanya Ella setelah menghaluskan bumbu. Senyum Ella mengembang melihat ibu Diana yang begitu bersemangat memasak untuk seseorang yang selama ini ia tunggu bertahun-tahun dan akhirnya datang dengan cara yang tak pernah ia sangka-sangka.
"La ... kenapa senyum-senyum?" tanya Ibu Diana.
"Hah?"
"Kamu kenapa senyum-senyum sendiri?" Ibu Diana mengulang pertanyaannya.
"Oh ... aku seneng liat Ibu bahagia," ujar Ella. "Dari d
Setelah makan malam yang diselimuti oleh tawa dan kehangatan sebuah keluarga yang utuh, Chalid meminta Daru untuk menemaninya ke balkon depan. Chalid ingin berbincang dengan menantunya itu, lelaki yang akan menjaga putrinya hingga akhir hayatnya."Daru," panggil Chalid sembari menepuk bahu Daru pelan.Daru terdiam saat merasakan tepukkan di bahunya, sebuah tepukkan pelan namun memiliki berjuta makna. Ada rasa hangat, wibawa dan
Wajah Diana memerah, sudut bibirnya mengembang. Getaran cinta itu memang masih ada bahkan di saat umur mereka yang hampir memasuki usia senja. "Kamu yakin gak pulang, Mas?" tanya Diana pada Chalid. "Aku bisa tidur di sofa atau tidur bersama Bayu di kamar tamu," jawab Chalid santai "Tapi ajudan-ajudan kamu?" "Mereka akan pulang di saat waktunya memang harus pulang." Diana mengangguk, lalu beranjak ingin meninggalkan Bayu dan Chalid di ruangan itu. "Aku ambilkan bantal dan selimut untuk kamu," ujar Diana saat Chalid meraih tangannya mencegah kepergian wanita itu. Chalid tersenyum, sepertinya masih terbuka kesempatan pada dirinya untuk kembali bersama Diana. Kenangan masa lalu menyelinap masuk di benak Chalid, seandainya dia bisa memutar waktu mungkin kejadian dua puluh dua tahun lalu tak terjadi. Chalid seorang perwira pada saat itu, pertemuannya dengan Diana yang tak di sangka membawanya pada sebuah asmara yang beg
Apalagi yang membuat dua orang insan bisa terhanyut dalam sesi bercinta yang panas selain daripada rasa rindu dan juga ingin melepaskan satu kebutuhan yang sama-sama diinginkan?Daru sibuk menunduk di antara lipatan kaki istrinya. Mencoba memuaskan wanita itu, sekaligus melepaskan rindu yang membuncah dari dalam dirinya.Kemarin, Ella lebih dari sekadar khawatir. Satu malam ditinggalkan suami yang pergi dan telah berjanji kembali pulang, namun mengingkarinya.Saat menyongsong kedatangan Daru tadi, Ella melihat wajah suaminya sepucat abu, dengan tangan yang buku-bukunya memutih saat mencengkeram tubuhnya ke pelukan. Ia merasakan kekhawatiran suaminya. Seketika itu, Ella merasa sangat beruntung. Betapa beruntungnya mereka sekarang. Bisa saling memiliki setelah menghabiskan begitu banyak waktu dan usaha untuk bisa bersama.Ella lalu kembali mengerang. Ia memang sering tidak tahan jika Daru terlalu lama
Ella sudah basah dan siap berkat ciuman Daru sebelumnya. Daru tidak bergerak perlahan. Lelaki itu tidak membuang-buang waktu , karena ia langsung mendorong lebih dalam dan semakin dalam. Ella mencengkeram tepi meja agar tetap berada di posisinya. Rasa panas dan utuh dari Daru membuatnya gemetar. Kejantanan Daru menyentuh tempat yang belum dijelajahi di dalam tubuhnya. Menunjukkan bagian-bagian baru yang penuh hasrat dari dalam dirinya sendiri. Kenikmatan pun segera menenggelamkannya.“Lebih keras,” desah Ella. “Lebih keras, Mas. Lebih keras lagi,” pinta Ella.Daru menggeram, “ternyata kamu udah suka yang kayak gitu, ya ....” Daru mengangkat Ella sampai ujung jari kakinya berjinjit dan memegangi Ella sembari memompa pinggulnya lebih keras dan lebih cepat. Ella menggigit lengan atasnya untuk menahan pekikan. Daru membuat Ella melayang.Lalu, Daru kembali menjejakkan kaki Ella di la
Yuni menjawab panggilan telepon Bramantya dengan raut cemas. Biasanya Bramantya tidak pernah meneleponnya di jam-jam segitu. Jika hal itu terjadi, artinya sesuatu yang mengkhawatirkan suaminya sedang terjadi. Seruan Bramantya di seberang telepon membuat tubuh Yuni membeku seketika. Bramantya baru saja mengatakan bahwa ia akan mati. Yuni bagai tersambar petir. Ia tak lagi menanyakan alasan apa yang membuat suaminya berkata hal itu. Yuni segera berlari ke lantai dua berganti pakaian, menyambar tasnya dan menelepon supir dari telepon ekstensi. Setengah jam kemudian, Yuni telah berada di mobil dengan wajah cemas. Belasan perkiraan melintas di kepalanya saat itu. Apakah penyakit jantungnya? Ataukah itu hanya sekedar perumpamaan yang digunakan oleh Bramantya? “Bisa cepat sedikit enggak, Pak?” tanya Yuni dari barisan kursi tengah. Tangannya menepuk-nepuk sandaran kursi supirnya
“Bapak Bramantya,” ucap seorang suster sambil menatap Bramantya yang sedang berbaring di ranjang rumah sakit berteknologi tinggi. Keningnya berkerut tampak kebingungan, mengapa orang sehat walafiat seperti Bramantya terbaring di ranjang rumah sakit? Apakah kebanyakan uang? Ah ... sudahlah bukan urusannya dengan kalakuan orang-orang kaya di negara ini. Ludruk.“Iya, itu suami saya, Sus,” jawab Yuni seraya berdiri dari duduknya dan mendekati suster itu dengan tatapan was-was. “Bagaimana hasilnya?”Suster tersebut tersenyum berusaha untuk menyebarkan energi positif pada istri pasiennya itu, ia rasanya ingin berteriak dengan keras pada kedua pasangan itu kalau Bramantya baik-baik saja dan masih beraktivitas dengan normal, namun, urung dia masih membutuhkan pekerjaannya.“Suster, jawab! Bagaimana kondisi suami saya?” tanya Yuni lagi dengan suara penuh kecemasan.“Maaf, saya tidak bisa menjelaskan, Bu. Tapi,
Renya, David dan Renata baru saja pulang dari salah satu store perabotan rumah tangga. Sudah satu minggu ini mereka menempati sebuah rumah kontrakan yang jauh dari kota, demi mencari aman untuk keluarga kecilnya. Renya menikmati waktunya merawat anak semata wayangnya, menikmati waktunya bersama David."Sayang, meja ini mau di taruh dimana?" tanya David pada Renya saat meja berbentuk lingkaran dengan kaki seperti jaring-jaring itu datang beserta dua stool berbentuk bulat."Di ruang tamu, Sayang ... di alasin karpet warna merah itu ya.""Kesannya minimalis, Sayang," ujar David melipat tangannya di dada, memperhatikan hadir dekorasinya."Kan kita gak terima tamu," kekeh Renya. "Jadi ini lebih seperti pemanis ... pasang pigura itu di dindingnya ya." Renya memberikan kecupan pada pipi David."Ibu ... Rena, lapar.""Rena lapar? Ok ... ayo kita ke dapur, kita lihat di dapur ada apa." Renya menggenggam tangan gadis kecil itu.Renya memb
Tubuh Bramantya mengejang dan bergerak tak tentu arah, jemarinya mengepal seolah menahan kejang dan rasa sakit di dadanya. Dada Bramantya terasa panas, dicubit, terhimpit dan seperti dipukul dengan palu godam yang sangat besar. Bibir Bramantya seolah berusaha berteriak dan meminta tolong, namun tidak ada satu patah kata pun terucap dari mulutnya yang keluar hanya erangan kesakitan bercampur dengan napasnya yang tersedat. Pandangan matanya berputar, tidak fokus semuanya samar-samar. Bramantya berusaha menggapai-gapai apa pun yang bisa dia gapai, walaupun sesungguhnya yang ingin dia gapai adalah Yuli, Renya dan Renata cucu yang baru pertama kali ia lihat setelah sekian lama. “Ah … ah … a ….” Hanya suara itu yang bisa Bramantya ucapkan, tubuhnya tidak dapat lagi dia kendalikan sayup-sayup terdengar suara mesin yang memantau detak jantungnya berbunyi seakan mengejek diri
Sewaktu kecil Ella tak pernah merasakan bagaimana memiliki seorang ayah. Dia anak yang tumbuh besar dari ibu tunggal yang membesarkannya dengan menyingkir dari kecaman keluarga dan omongan orang terdekat. Sudah tak heran lagi kalau kebanyakan manusia selalu menganggap dirinya yang paling benar dan sempurna. Sehingga merasa lebih mudah untuk menghakimi kehidupan orang lain. Satu perasaan yang selalu Ella syukuri adalah bahwa ia dibesarkan oleh seorang wanita tangguh yang mengorbankan masa muda dan mampu mengalahkan egonya untuk tidak menikah lagi. Dulu Ella tak mengerti. Ia menganggap kalau apa yang dilakukan ibunya memang suatu keharusan. Membesarkannya, merawatnya, memberinya jajan yang cukup, pakaian bagus dan pendidikan mahal. Ella tak pernah bertanya uangnya dari mana. Dan ia tak pernah menyangka kalau sebagian besar apa yang diperolehnya berasal dari seorang pria yang ternyata diam-diam masih bertanggungjawab
Hidup itu selalu tentang pilihan. Tentang baik dan yang buruk, tentang kesulitan dan kemudahan, tentang berjuang atau memasrahkan, juga tentang menjadi baik atau tidak. Semuanya tentang pilihan. Tentu saja semua orang ingin hidupnya berjalan dengan baik. Namun, seringnya yang terjadi malah jauh melenceng dengan yang direncanakan. Begitu pula Andi yang sejak dulu merencanakan memiliki kehidupan rumah tangga yang bahagia bersama Ella. Gadis yang menjadi kekasihnya selama bertahun-tahun, namun hubungan itu kandas karena perselingkuhan yang dilakukan oleh wanita itu. Andi tetaplah manusia biasa. Laki-laki yang jauh dari kata sempurna. Ia marah, murka, membalas, puas, kemudian melampiaskan semuanya dalam satu waktu. Andi yang menjaga dirinya menjadi sosok lelaki berengsek, malah berubah menjadi sosok itu. Bagi Ella, Andi pernah menjadi lelaki berengsek. Bagi Andi, Ella juga pernah menjadi wanita berengsek yang mengkhian
"Oke ... mengejan sekali lagi ya Ibu Ella, sedikit lagi kepalanya sudah kelihatan ya ... siap ya, hitungan ketiga," ujar Dokter Sarah yang membantu persalinan Ella. "Satu ... dua ... tiga ... sekarang Bu Ella," titah sang Dokter. Ella mengejan sekuat tenaga, semampu yang dia bisa. Genggaman tangan Ella semakin erat menggenggam tangan Daru, Daru meringis menahan sakit kala genggaman itu mencengkeram semakin kuat seakan akan mematahkan jari jemari Daru. "Iya ... terus Ibu, bagus ...." Suara tangis bayi memenuhi ruangan persalinan, bayi mungil yang masih ditempeli sisa-sisa plasenta itu menangis begitu keras. "Sempurna, ya ... semua lengkap, perempuan, cantik, berat badan dan tinggi semuanya baik," ucap dokter Sarah. "Selamat Bapak Daru dan Ibu Ella," ujar Dokter Sarah. Ella meneteskan air matanya, saat bayi mungil mereka berada di atas dadanya, mencari-cari puting susu sang Ibu. "Cantik," ujar Daru menatap bayi mereka. "Benar
Daru membuka pintu kamarnya perlahan, dia membawakan susu hangat sesuai permintaan Ella tadi. Istrinya itu sedang duduk bersandar pada headboard, menggulir layar ponselnya. Ya, belakangan ini Ella memang lebih tertarik dengan ponselnya di banding yang lain. Berlama-lama melihat online shop lebih menarik dan menjadi salah satu hobi terbaru Ella. "Susunya di minum dulu, Miss Ella," ujar Daru yang sengaja memanggil Ella dengan sebutan Miss seperti dulu saat mereka pertama kali bertemu. "Terimakasih, Pak Daru." Ella pun tersenyum, menyesap susu yang diberikan oleh Daru. Dari duduk di sebelah istrinya, sambil mengusap-usap perut yang semakin membesar itu. "Kamu pasti belanja baju bayi lagi, ya?" tanya Daru yang melihat Ella sedang memilah-milah jumper untuk bayi mereka. "Lucu-lucu, Mas ... nggak mungkin aku lewatkan." "Iya, tapi kan sayang kalo ke pakenya cuma sebentar, itu yang kemarin kamu belanja sama ibu aja belum ka
Lalu lintas sore itu cukup padat, Arya melirik jamnya berkali-kali khawatir ia terlambat untuk makan di restoran. Tempat yang diminta Arya datangi oleh Papahnya. Sambil menatap lampu merah yang lama, Arya teringat dengan pembicaraan dengan Papanya tiga hari yang lalu. Saat di mana Papanya tiba-tiba memanggilnya dan memberikan satu pertanyaan yang tidak pernah Arya duga sebelumnya. “Arya, bolehkan Papa menikah lagi?” Arya mengenang pertanyaan Ayahnya, pertanyaan yang paling simple, paling to the point dan pertanyaan yang paling tidak di duga oleh dirinya. Mengingat selama dua tahun Papanya menjadi seorang duda, sibuk dengan dunia politik. Papanya tidak pernah membicarakan tentang pendamping hidup semenjak kepergian Ibunya. Arya tahu bahwa orang tuanya dinikahkan melalui jalan perjodohan tapi, selama mereka hidup sebagai pasangan suami istri, mereka adalah rekan, partner, rekan dan sahabat baik. Ibu Arya memang selalu tidak sehat, kesehatannya memang ti
Dulu, Diana sangat terkesima dengan sosok Syarif Chalid muda yang begitu gagah dan penuh kharisma. Seorang angkatan bersenjata dengan karir yang cemerlang. Usia mereka bertaut cukup jauh, dan Diana muda yang naif begitu singkat dalam berfikir. “Ella memang lagi di rumah?” tanya Chalid di dalam mobil, menoleh ke arah Diana yang pandangannya mengarah ke luar kaca jendela mobil. “Iya, Ella nunggu hari kelahirannya. Belakangan dia sering nginep di rumah bawa Bayu. Aku juga minta dia di rumah sementara ini. Khawatir ... Daru kerja kadang pulangnya larut malam,” sahut Diana, menoleh sekilas ke arah Chalid kemudian mengembalikan tatapannya ke depan. “Jadi, Bayu juga lagi di rumah?” tanya Chalid lagi. “Iya, Mas. Tadi malah katanya mau ikut kalau dia belum makan. Tapi, kayaknya dia keburu makan sop,” ujar Diana tertawa. Ia menoleh ke arah Chalid dan bertemu pandang sesaat. Tawanya langsung lenyap berg
Diana sudah berdiri di depan kaca selama setengah jam. Wanita 45 tahun itu sudah tiga kali berganti pakaian. Pertama tadi dia hanya mengenakan celana panjang dan kemeja santai. Beberapa langkah keluar pintu kamar, ia kembali ke dalam dan kembali mematut diri.Sekarang Diana telah mengenakan terusan berwarna kuning muda yang menutup hingga ke betisnya. Rasa-rasanya ia sudah sangat lama tidak mengenakan jenis pakaian seperti itu.Alasannya bukan karena tidak suka, tapi lebih ke tidak adanya kesempatan atau tempat yang cocok untuk ia bisa mengenakannya. Tak ada pergaulan yang sangat penting yang terjadi dalam hidupnya setelah ia memiliki Ella.Setelah pernikahan yang amat singkat dengan Chalid, ayah kandung Ella, Diana membelanjai dirinya sendiri dengan memanfaatkan sedikit uang peninggalan orangtuanya. Diana berinvestasi kecil-kecilan di perusahaan temannya. Hasilnya memang tak banyak, tapi setidaknya ia bisa menjaga egony
"Em ... karena—" Ratih tercekat, ternyata nyalinya juga belum cukup kuat untuk mengatakan sejujurnya pada kedua orangtuanya. "Jadi gini, Om ... Tante. Saya dan Ratih, kami ...." Andi menguatkan hatinya. "Kami memohon restu dari Om dan Tante, saya ingin menikahi Ratih putri Om," ujar Andi tegas. "Maksudnya gimana ini, Ibu gak ngerti." Retno duduk di sisi suaminya. "Ratih akan berhenti bekerja, Bu ... kami minta restu dari Ayah sama Ibu, Andi ingin Ratih menjadi istrinya." "Sudah berapa lama?" tanya Ridwan menatap Andi. "Kami kenal sudah enam bulan kurang lebih, Yah." Ratih menjawab cepat. "Ayah tanya pacar kamu." Ekspresi datar dari seorang Ridwan, pensiunan polisi itu. "Enam bulan, Om ... sudah enam bulan." "Pekerjaan kamu?" "Baru selesai ambil spesialis, Om." "Dokter?" "Iya, Om." "Kamu bisa pastikan anak saya bahagia? Dengan latar belakang dia, kehidupan dia bahkan masa lalunya?"
"Oh? Hanya oh?" Ratih berjalan cepat tanpa memikirkan perutnya, troli yang berisi barang belanjaan mereka dia tinggalkan begitu saja. Andi yang serba salah menyusul Ratih hingga meja kasir, wanita hamil itu melenggang begitu saja membiarkan Andi kesusahan membawa barang belanjaan mereka. "Tih ... ya ampun Tih, jangan cepet-cepet jalannya, ingat kamu lagi hamil." Andi meringis melihat Ratih berjalan cepat tanpa menoleh ke belakang. "Buka pintunya," ujar Ratih dengan ekspresi wajah kesal. "Astaga, Tih!" Andi membuka pintu mobilnya. Andi benar-benar harus menahan amarahnya menghadapi Ratih yang selalu sensitif selama masa kehamilannya. Ratih masih dengan mode diamnya, pandangannya dia alihkan keluar jendela mobil. Sementara Andi, merasa kikuk dengan tingkah Ratih yang selalu membuat serba salah. "Maaf ya," ujar Andi yang akhirnya mengalah. Ratih masih terdiam. "Kamu kan tau, hampir tiga bulan ini aku sibuk dengan pro