Sayup-sayup terdengar suara Ella di telinga Daru, dengan cepat dia beranjak dari duduknya dan mencengkeram tralis besi yang menghalangi dirinya dengan dunia luar.
“Pak, maaf itu suara istri saya,” ucap Daru yang yakin mendengar suara Ella berteriak histeris di luar. Dia yakin seratus persen itu suara Ella.
Lelaki yang sedang duduk di meja hanya mengalihkan pandangannya dari koran, “Suara apa?”
Rasanya Dari ingin berteriak keras dan memaki lelaki yang sedang menjaganya itu, apakah pendengarannya bermasalah sampai-sampai tidak mendengar suara wanita berteriak di luar sana. “Itu … suara di luar, Bapak nggak dengar?”
“Dengar,” jawab Lelaki itu santai.
“Itu suara istri saya, Pak. Bisa tolong dilihat?” pinta Daru, hatinya pedih mendengar suara Ella berteriak-teriak sepert
"Maksud Anda?" "Saya ayah kandung Ella," ujar lelaki itu lagi. "Tap—" "Saya datang kesini, karena anak saya membutuhkan bantuan saya untuk membebaskan kamu." "Tapi, Ella tidak pernah bilang kalau Anda—" "Karena Ella memang tidak pernah tahu." Lelaki berwajah tegas itu menghela nafasnya kembali memandang ke depan, begitu pun Daru. Daru tidah habis pikir bagaimana bisa sosok yang berada di sebelahnya adalah ayah mertuanya. Bahkan, lelaki itu membantunya bebas bersyarat untuk kasus yang dia hadapi. "Kita langsung menuju ke kediaman Ibu Diana, Pak," ujar Pak Chalid pada supir pribadinya. Mobil itu melaju membawa mereka ke kediaman sederhana milik Ibu Diana, selama di perjalanan hanya ada suasana canggung antara keduanya. Sementara Daru, masih sibuk dengan pikirannya yang menyatukan kepingan demi kepingan kejadian dari awal dia di bebaskan tadi. Salah satu pejabat di negeri ini yang tidak bisa di pandang
“Aku tahu Mas, aku bukan kesalahan untuk hidup kamu,” ucap Diana sambil berusaha memberikan senyumannya yang paling manis yang Diana miliki.Mata Ella membulat saat melihat senyuman Diana dan wajah Diana yang tersipu-sipu, seingatnya Ibunya tidak seperti ini. Diana yang Ella tahu adalah seorang wanita yang keras dan jarang tersenyum apa lagi memberikan pujian. Bisa dihitung dengan sebelah jarinya berapa kali Diana memuji hasil kerja keras Ella.“Bu ....” Ella memanggil Diana dengan nada suara bingung dan keinginan tahuan yang besar mengenai siapa lelaki di hadapannya ini, lelaki yang mengatakan bahwa dia ayahnya. Ayah yang tidak pernah Ella tahu wujudnya itu tiba-tiba datang begitu saja dan membantu menyelesaikan masalah Ella dan Daru dengan sangat mudah. Sesungguhnya Ella seolah mengenal wajah karismatik itu, entah di mana dia pernah melihat wajah itu.“Ella, jangan dulu terlalu banyak bertanya, Nak, Ibu yakin Ayahmu ini lelah sete
"Jadi masak apa, Bu?" tanya Ella menghampiri Ibu Diana di dapur."Ibu cuma ada iga sapi di kulkas, kentang, wortel, daun seledri dan daun bawang, kita bikin sop iga sapi aja, La ... Ayah kamu minta di buatin omelette katanya, nanti biar Ibu yang bikin, kamu bantu Ibu kupas bawang ya," ujar Ibu Diana mengeluarkan sayur dan iga dari dalam kulkas."Ini bawang merah dan putih, kamu kupas lalu masukin ke dalam blender kasih lada sedikit," ujar Ibu Diana lagi, wanita itu mulai mengupas kulit kentang dan wortel."Begini Bu?" tanya Ella setelah menghaluskan bumbu. Senyum Ella mengembang melihat ibu Diana yang begitu bersemangat memasak untuk seseorang yang selama ini ia tunggu bertahun-tahun dan akhirnya datang dengan cara yang tak pernah ia sangka-sangka."La ... kenapa senyum-senyum?" tanya Ibu Diana."Hah?""Kamu kenapa senyum-senyum sendiri?" Ibu Diana mengulang pertanyaannya."Oh ... aku seneng liat Ibu bahagia," ujar Ella. "Dari d
Setelah makan malam yang diselimuti oleh tawa dan kehangatan sebuah keluarga yang utuh, Chalid meminta Daru untuk menemaninya ke balkon depan. Chalid ingin berbincang dengan menantunya itu, lelaki yang akan menjaga putrinya hingga akhir hayatnya."Daru," panggil Chalid sembari menepuk bahu Daru pelan.Daru terdiam saat merasakan tepukkan di bahunya, sebuah tepukkan pelan namun memiliki berjuta makna. Ada rasa hangat, wibawa dan
Wajah Diana memerah, sudut bibirnya mengembang. Getaran cinta itu memang masih ada bahkan di saat umur mereka yang hampir memasuki usia senja. "Kamu yakin gak pulang, Mas?" tanya Diana pada Chalid. "Aku bisa tidur di sofa atau tidur bersama Bayu di kamar tamu," jawab Chalid santai "Tapi ajudan-ajudan kamu?" "Mereka akan pulang di saat waktunya memang harus pulang." Diana mengangguk, lalu beranjak ingin meninggalkan Bayu dan Chalid di ruangan itu. "Aku ambilkan bantal dan selimut untuk kamu," ujar Diana saat Chalid meraih tangannya mencegah kepergian wanita itu. Chalid tersenyum, sepertinya masih terbuka kesempatan pada dirinya untuk kembali bersama Diana. Kenangan masa lalu menyelinap masuk di benak Chalid, seandainya dia bisa memutar waktu mungkin kejadian dua puluh dua tahun lalu tak terjadi. Chalid seorang perwira pada saat itu, pertemuannya dengan Diana yang tak di sangka membawanya pada sebuah asmara yang beg
Apalagi yang membuat dua orang insan bisa terhanyut dalam sesi bercinta yang panas selain daripada rasa rindu dan juga ingin melepaskan satu kebutuhan yang sama-sama diinginkan?Daru sibuk menunduk di antara lipatan kaki istrinya. Mencoba memuaskan wanita itu, sekaligus melepaskan rindu yang membuncah dari dalam dirinya.Kemarin, Ella lebih dari sekadar khawatir. Satu malam ditinggalkan suami yang pergi dan telah berjanji kembali pulang, namun mengingkarinya.Saat menyongsong kedatangan Daru tadi, Ella melihat wajah suaminya sepucat abu, dengan tangan yang buku-bukunya memutih saat mencengkeram tubuhnya ke pelukan. Ia merasakan kekhawatiran suaminya. Seketika itu, Ella merasa sangat beruntung. Betapa beruntungnya mereka sekarang. Bisa saling memiliki setelah menghabiskan begitu banyak waktu dan usaha untuk bisa bersama.Ella lalu kembali mengerang. Ia memang sering tidak tahan jika Daru terlalu lama
Ella sudah basah dan siap berkat ciuman Daru sebelumnya. Daru tidak bergerak perlahan. Lelaki itu tidak membuang-buang waktu , karena ia langsung mendorong lebih dalam dan semakin dalam. Ella mencengkeram tepi meja agar tetap berada di posisinya. Rasa panas dan utuh dari Daru membuatnya gemetar. Kejantanan Daru menyentuh tempat yang belum dijelajahi di dalam tubuhnya. Menunjukkan bagian-bagian baru yang penuh hasrat dari dalam dirinya sendiri. Kenikmatan pun segera menenggelamkannya.“Lebih keras,” desah Ella. “Lebih keras, Mas. Lebih keras lagi,” pinta Ella.Daru menggeram, “ternyata kamu udah suka yang kayak gitu, ya ....” Daru mengangkat Ella sampai ujung jari kakinya berjinjit dan memegangi Ella sembari memompa pinggulnya lebih keras dan lebih cepat. Ella menggigit lengan atasnya untuk menahan pekikan. Daru membuat Ella melayang.Lalu, Daru kembali menjejakkan kaki Ella di la
Yuni menjawab panggilan telepon Bramantya dengan raut cemas. Biasanya Bramantya tidak pernah meneleponnya di jam-jam segitu. Jika hal itu terjadi, artinya sesuatu yang mengkhawatirkan suaminya sedang terjadi. Seruan Bramantya di seberang telepon membuat tubuh Yuni membeku seketika. Bramantya baru saja mengatakan bahwa ia akan mati. Yuni bagai tersambar petir. Ia tak lagi menanyakan alasan apa yang membuat suaminya berkata hal itu. Yuni segera berlari ke lantai dua berganti pakaian, menyambar tasnya dan menelepon supir dari telepon ekstensi. Setengah jam kemudian, Yuni telah berada di mobil dengan wajah cemas. Belasan perkiraan melintas di kepalanya saat itu. Apakah penyakit jantungnya? Ataukah itu hanya sekedar perumpamaan yang digunakan oleh Bramantya? “Bisa cepat sedikit enggak, Pak?” tanya Yuni dari barisan kursi tengah. Tangannya menepuk-nepuk sandaran kursi supirnya